Unfinished

05

Bungou to Alchemist belong to DMM Games

[note: school!AU]

.

.

.

[Seluruh pemain bersembunyi dan harus bertahan hingga pukul tiga pagi. Jangan sampai Aki melihatmu, atau hidupmu akan tamat.]

[Ketika waktu menunjukan pukul 3 pagi, Aki akan kembali ke ruangan tempat boneka diletakan. Dengan begini, seluruh pemain dinyatakan menang apabila tidak tertangkap oleh Aki. Namun, apabila ada pemain yang tertangkap, maka ia dinyatakan kalah.]

[Seluruh pemain tidak boleh keluar dari gedung / tempat yang digunakan untuk bermain. Apabila salah satu pemain keluar sebelum pukul 3, maka permainan akan berakhir, namun Aki akan terus memburu sampai semua pemain kalah.]

[Selamat bermain.]

Shuusei masih hafal peraturan-peraturan lanjutan permainan ini—meskipun sejujurnya, ia masih tak menyangka akan memainkannya. Koridor tempatnya berjalan kini hanya dihiasi oleh gema dua pasang langkah kaki, langkahnya sendiri dan langkah Tayama Katai yang mengambil arah yang sama dengannya. Ia dan Katai memilih tetap ada di koridor lantai dua, sementara yang lainnya berpisah kala bertemu tangga (entah naik ke lantai atas, atau turun di lantai bawah).

"Shuusei."

Suara Katai yang memanggilnya dapat terdengar dengan jelas—dan kalau boleh jujur, entah kenapa rasanya agak menenangkan. Shuusei menoleh selagi kakinya terus melangkah.

"Ya?"

"Sebelum kau sama Touson datang tadi, Doppo bilang, kalau ada apa-apa, kabari saja salah satu dari kita—lewat chat, kau bawa ponsel kan?" Katai berujar.

Shuusei mengerjap-ngerjap. "... Oke ...?"

Katai terkekeh-kekeh. "Dia takut kau kenapa-napa, kayaknya." Ucapannya diakhiri tawa kecil, barangkali karena sejak awal Shuusei adalah orang yang menolak tegas ide untuk memainkan permainan ini. Shuusei mendengus kecil.

"Iya, deh. Iya."

"Omong-omong aku sembunyi di sini. Shuusei cari tempat lain, ya!"

Katai memasuki ruang kelas 2-1 kala mereka melewati ruangan tersebut. Shuusei sendirian sekarang. Dalam koridor yang lenggang ini, ruangan yang belum ia lewati hanya lab kimia, lab bahasa, toilet, dan gudang tak terpakai. Langkah pemuda itu terhenti di depan lab bahasa.

Ia diam sejenak. Lampu lab bahasa selalu mati tiap malam, sementara ia ragu untuk menyalakan lampu. Akan tetapi, cahaya lampu dari luar yang menembus masuk lewat jendela kelihatan cukup untuk menerangi.

Shuusei meneguk ludah.

Baiklah, segini juga tidak apa-apa. Lagipula ponselnya punya senter, 'kan?

Mengumpulkan semua keberanian dan berharap tidak akan terjadi apa-apa, Shuusei menggeser pintu lab, memilih masuk.

Ia memilih satu meja yang letaknya di pojok kanan, paling belakang. Letaknya berlawanan dengan pintu masuk, hingga memiliki titik buta tersendiri apabila dilihat dari luar. Shuusei menunduk, masuk dan duduk di bawah meja yang dipilihnya.

Hening. Betul-betul hening. Saking heningnya Shuusei bisa mendengar napasnya yang terdengar samar-samar, juga merasakan detak jantungnya yang terasa agak lebih cepat ketimbang biasa.

Shuusei meneguk ludah.

Omong-omong, kalau sudah terlewat beberapa menit, artinya hitungan hingga sepuluh itu seharusnya sudah berakhir. Artinya, permainan ini sudah dimulai ... bukan?

Mendadak Shuusei merasa merinding, akan tetapi di saat yang bersamaan kembali teringat dengan peraturan yang tertulis dalam buku tua yang mereka temukan.

Aki.

Sekali lagi Shuusei ingin tahu kenapa Aki. Apa itu nama sang boneka? Apa yang membuat penulisannya berbeda dengan langkah sebelumnya?

Shuusei mengambil ponsel dari saku celananya, kemudian menyalakan layarnya. Pukul dua belas lewat sekian menit. Masih lama sekali sebelum pukul tiga pagi—meski begitu Shuusei berharap waktu berjalan cepat, mendadak ia ingin segera pulang.

Brak!

Shuusei terlonjak.

Gara-gara tak sengaja melompat lantaran terkejut, kepalanya terbentur meja. Shuusei mengaduh pelan sambil mengusap-ngusap kepalanya, namun sejurus kemudian ia terdiam.

Barusan ... itu apa?

Terdengar seperti suara pintu yang didobrak paksa, dan suaranya benar-benar dekat. Shuusei menahan napas, lebih-lebih ketika mendadak ia mendengar gema langkah kaki yang kedengaran bersemangat, asalnya dari luar.

"Tadi ... ada suara dari sini."

Shuusei merasa detak jantungnya seakan terhenti.

Itu bukan suara Kunikida, Katai, Touson, apalagi Shimada. Lebih terdengar seperti suara gadis kecil yang lugu. Suaranya tepat di depan pintu lab bahasa yang baru Shuusei ingat, lupa ia tutup kembali. Shuusei makin membatu ketika ada suara langkah mendekat, diiringi gumaman yang lebih mirip senandung kecil.

Aki?

Tunggu, tapi bukannya dia boneka? Atau tenyata bukan? Atau ...

Shuusei menutup mulutnya dengan satu tangannya yang tak memegang apapun. Sebelah tangannya yang memegang ponsel gemetar, ia tidak berani membuka layar dan mengabari pada yang lain bahwa ada sesuatu mendekatinya.

Tetapi, tiba-tiba langkah dan senandung itu terhenti. Shuusei lagi-lagi terkejut kala mendadak langkahnya berubah arah, lantas menjauhinya. Langkah yang kemudian disertai tawa riang khas anak-anak itu menggema di koridor sunyi.

Shuusei merasa seluruh tubuhnya lemas.

Tapi ... mengapa tiba-tiba ia pergi?

Bersamaan dengan pemikiran yang mendadak lewat itu, ponsel Shuusei bergetar. Shuusei melirik, tangannya yang sudah bisa digerakkan kembali menyalakan layarnya.

Ada satu pesan masuk, dari Shimada.

[Shimada-kun

Aku pulang duluan. Udah satu jam dan gaada apa-apa.]

Tunggu, apa?

Ada dua hal yang membuat Shuusei terkejut. Pertama, soal waktu yang katanya sudah lewat satu jam. Matanya buru-buru melirik jam digital di pojok kiri. Benar, sudah pukul satu.

... Tapi rasanya ia belum lama ada di sini, bahkan ketika seseorang tadi datang dan membuatnya was-was setengah mati.

Yang kedua adalah soal Shimada yang mendadak membatalkan permainan. Apa-apaan?! Bukankah ia yang mengajak mereka bermain tadi sore? Shuusei mengeryitkan dahi.

Satu pesan lagi tiba-tiba masuk, kali ini dari Kunikida.

[Kunikida

Shimada bilang dia pulang duluan, berarti permainan ini berakhir, 'kan? Aku otw turun ke lantai dua, bareng Shimazaki. Kita ketemuan di tangga.]

Shuusei meneguk ludah untuk yang kedua kali. Sejenak, ia mengintip keluar dari tempat persembunyiannya.

Aman. Buru-buru ia keluar dari sana, berdiri, kemudian berlari keluar dari lab bahasa.

Katai, Kunikida, dan Touson sudah ada di puncak tangga lantai dua kala Shuusei sampai. Katai melambai padanya, yang entah mengapa membuat Shuusei mempercepat larinya.

"Wajahmu pucat." Touson yang pertama berkomentar, ketika Shuusei sudah sampai di dekat mereka.

Shuusei mengernyit. "Eh?"

Kunikida mengarahkan senter dari ponselnya pada Shuusei, membuat yang bersangkutan refleks menutup mata dan menghalaunya dengan lengan karena silau. Tak lama Kunikida berkata, "Ah, iya!" Ia menatap Shuusei seraya menurunkan ponsel. Tak lama ia terkikik. "Seseram itukah?"

Shuusei tidak menjawab.

Hening menyerang untuk sesaat. Sadar Shuusei tidak akan menjawab pertanyaan Kunikida, Katai memilih memecah hening. "Ah, ayo pulang! Ngantuk nih!" Begitu katanya.

"Ke ruang klub koran dulu, ada yang mau kuambil." Ucapan Kunikida membuat keempatnya mulai bergerak menuju ruang klub koran.

Lampu klub koran agak remang-remang—sejak musim semi kemarin memang sudah begitu, barangkali sudah waktunya diganti. Namun, meski begitu, terangnya tetap menenangkan Shuusei. Rasa takutnya barusan menguap seiring berjalannya waktu.

"... Ke mana bonekanya?"

Atensi semuanya teralih pada Touson yang mendadak berkata. Shuusei turut menoleh, kemudian sedikit terkejut mendapati ketiadaan boneka yang seharusnya masih tergeletak di atas meja ruangan mereka.

Keempatnya saling berpandangan.

~o~

"Pagi, Shuusei. Tugas geografi sudah dikerjain?"

Touson iseng berkata demikian ketika Shuusei mendudukkan diri di kursinya—serius, yang barusan dikatakannya bukan sambutan pagi yang menyenangkan sama sekali. Yang diajak bicara menoleh sebentar, lalu hanya menjawab, "Oh."

Sungguh jawaban yang tidak nyambung. Shuusei sadar, akan tetapi tenaganya untuk bicara seolah habis, hingga pada akhirnya ia memilih mengangguk saja setelah menjawab demikian, seolah tidak peduli.

Touson masih menatapnya.

"Kau sakit?"

"... Hah?"

"Wajahmu pucat, tingkahmu juga aneh. Jangan-jangan waktu jalan ke sini kamu hampir jatuh? Harusnya kamu di rumah saja kalau sakit."

Pertanyaan Touson entah kenapa tepat sasaran—Shuusei hampir jatuh dua kali, di depan gerbang sekolah dan di tangga. Di tangga tadi bahkan ia benar-benar nyaris terguling ke bawah apabila Nagai Kafuu tidak menarik tangannya lebih cepat.

"Tokuda? ... Kau sakit? Tanganmu dingin ..."

"... Aku baik-baik saja. Uh, makasih ... untuk yang tadi."

Namun Shuusei menggeleng pelan. "Aku ... cuman kurang tidur, kurasa."

Touson mengerjap-ngerjap. "Kenapa?"

"... Takut."

"Takut ...?"

"Uh ..." Sejak Sabtu memang Shuusei kurang tidur. Ada perasaan takut menyergapnya tiap menutup mata sendirian, membuatnya gagal tidur lelap dan berakibat seperti sekarang ini.

Touson diam sejenak.

"Tidur sekarang aja, gih." Seenaknya pemuda berhelai cokelat itu menyuruh.

Shuusei menggeleng lagi. "Sebentar lagi bel bunyi," katanya.

"Nanti kubangunin." Touson berdiri, kemudian mendekati meja Shuusei dan menepuk-nepuk pelan kepala pemiliknya. "Ayo, tidur, tidur ..."

Shuusei tidak tahu mengapa, namun tubuhnya menurut. Kepalanya pelan-pelan terbaring di atas lengannya yang terlipat di atas meja. Ramainya suasana kelas 3-2 pada pagi hari tidak menghalanginya untuk menutup mata, hingga dalam hitungan detik, ia jatuh tertidur.

~o~

Percaya pada Shimazaki Touson sedikit banyak merupakan kesalahan. Pada kenyataannya Shuusei bangun sendiri, kelas masih ramai, namun posisi matahari sudah sedikit berubah. Pemuda itu refleks duduk tegak.

"Ah, Shuusei udah bangun!"

Shuusei menoleh. Ada Katai yang tersenyum lebar padanya, tengah duduk di area meja Touson menggunakan kursi entah milik siapa.

"Sini, sini!" Kunikida yang berdiri melambai kecil padanya.

Shuusei mendekat. Ada empat kotak minuman berdiri di meja milik Touson, salah satunya belum ditusuk sedotan.

"J-jam berapa ini ...?" tanya Shuusei kaku.

Kunikida melirik jam tangannya. "Sepuluh lewat," ucapnya. "Sebentar lagi bel masuk, sih."

"Tunggu ... apa?!" Shuusei langsung menoleh pada Touson. "Shimazaki—katanya mau bangunin?!"

Touson mengangkat bahu. "Shuusei tidurnya pulas banget, soalnya," ujarnya santai. Sebelum Shuusei protes, ia menambahkan, "Kalem dulu, Shuusei. Mokichi-sensei dan Faust-sensei nggak masalah kalau kamu tidur di kelas mereka tadi, kok—aku sudah mintakan izin."

"Tapi ..."

"Sudah mendingan, belum?"

Shuusei kehabisan kata-kata.

Memang benar—ia baru sadar, sejak bangun tadi, tubuhnya terasa lebih segar ketimbang tadi pagi. Pilihan Touson yang membiarkannya tetap tidur selama tiga jam pelajaran barangkali tidak buruk-buruk amat (tapi yang pasti ia harus pinjam catatan setelah ini). Pada akhirnya pemuda itu hanya menghela napas. Kunikida terkekeh dan menawarkannya teh kotakan yang belum dibuka—yang mana diterima saja oleh Shuusei, karena kerongkongannya terasa kering.

"Ah, iya." Shuusei menoleh ke depan, pada bangku belakang yang paling dekat dengan pintu, yang hanya diisi tas sekolahan. Ia tidak ingat pemiliknya datang tadi pagi—pasti orang itu datang setelah ia tidur. "Shimada-kun ... kalian lihat dia ke mana? Ada yang mau kutanyakan."

"Dia bolos sejak pelajaran fisika, sih." Touson kembali mengangkat bahu.

"Ah, jam pelajaran kedua, 'kan? Aku ketemu dia pas mau ngantar kertas-kertas not baloknya Yumeno-sensei ke ruang musik lantai tiga," sahut Kunikida. "Apa yang mau kamu tanyakan soal malam itu, Shuusei?"

"Ah, iya ..."

"Itu juga yang kutanyakan padanya. Jawabannya sama seperti yang dia katakan lewat pesan kemarin."

"... Ah ..." Shuusei mengangguk. "Makasih."

Kunikida nyengir. "Makasih kenapa?"

Shuusei tidak menjawab.

"Omong-omong ..." Deheman si pemilik helai merah muda menarik perhatian yang lain. "Yang Sabtu pagi kemarin, aneh nggak sih?"

"Soal boneka itu?" tebak Katai.

Kunikida menjentikkan jari. "Tepat."

Pasal boneka yang hilang ketika mereka kembali ke ruang klub koran, sulit dipercaya bahwa benda itu mendadak ada di meja, persis seperti ketika mereka terakhir meletakkannya, begitu mereka kembali untuk kegiatan klub pada pagi hari. Tidak ada yang tahu bagaimana boneka itu bisa kembali, atau mengapa ia menghilang pada malam sebelumnya.

"Siapa ... yang mengembalikannya?" Sejujurnya, Shuusei masih tidak habis pikir dengan semua itu.

Kunikida mengangkat bahu. "Enggak tahu," balasnya. "Yah, siapapun itu, yang pasti orang, 'kan? Permainannya sudah selesai dan nyatanya kita semua masih hidup meski peraturannya bilang tidak boleh pergi sebelum pukul tiga, Shuusei—jangan takut begitu~"

Lalu Kunikida tertawa, diikuti Katai yang tawanya lebih keras. Touson yang sejak tadi memperhatikan hanya tersenyum tipis. Yang tidak bereaksi apa-apa hanya Shuusei.

Kalau boleh tahu, sejujurnya Shuusei tidak percaya begitu saja dengan perkataan Kunikida, sekalipun ia turut mengharapkan dalam hati.

Dering bel masuk mengakhiri tawa dua siswa asal kelas 3-3 itu. Keduanya izin pamit, kembali ke kelas, sementara Shuusei kembali ke mejanya.