Bisnis.
Chapter 5. Rekruitmen Blaze dan Halilintar.
Beberapa hari telah berselang setelah Solar berhasil menarik kedua kakaknya yaitu Taufan dan Thorn untuk setuju menjadi bagian dari rencananya. Tidak terlalu sulit untuk membujuk keduanya itu bagi Solar. Bahkan tidak ada yang sulit untuk seorang Solar mencari pengikut selama ia tahu ungkitan macam apa yang ia perlukan untuk meyakinkan saudara-saudaranya selain Gempa. Dalam bayangannya, ia sengaja tidak mengikutsertakan Gempa dalam rencana akbarnya karena perbedaan prinsip. Selain itu Solar memang bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya mampu dan jauh lebih hebat daripada semua kakak-kakaknya.
Siang itu sepulang sekolah, Solar mendapat giliran menjaga kedai bersama dua orang kakaknya yaitu Blaze dan Taufan. Semenjak Solar secara dadakan membuat kedai Tok Aba-BoBoiBoy Kokotiam buka sampai pagi di akhir pekan, pengunjung kedai di hari biasa pun ikutan meningkat. Memang masih jauh dari ideal, tetapi sudah lebih baik daripada bulan-bulan sebelumnya.
"Lumayan juga ya Sol... Sejak ide kamu membuat BoBoiBoy Solar Love Cafe, pengunjung kita di siang hari jadi bertambah," komentar Taufan ketika kedai terlihat agak senggang.
"Sayang aku ngga ikut waktu kamu buat kedai dadakanmu itu Sol," gerutu Blaze yang penuh sesal tidak diikutsertakan dalam pembukaan perdana kedai selingan buatan Solar itu.
"Mau bagaimana lagi, kak? Kamu kan jaga kedai di pagi hari... Ngga mungkin jaga kedai lagi sampai larut malam... Aku takut kamu ngga kuat bergadang seperti aku," jawab Solar sembari menatap khawatir pada Blaze.
Ketiga kembar bersaudara itu sedang berkumpul di dekat mesin kasir ketika kedai mereka sedang agak sepi dari pengunjung dan setelah semua pesanan diantarkan. Solar yang berada di belakang meja kasir terlihat sedang menghitung pendapatan kedai sejauh ini sambil mencicil pembuatan laporan laba-rugi, debit-kredit, hutang-piutang bulan yang tengah berjalan. Taufan kali ini mendapatkan tugas sebagai barista untuk mencatat dan membuat pesanan para tamu. Sedangkan Blaze mendapat tugas mengantarkan pesanan, mengambil piring atau gelas kotor dan membersihkan meja. Bagian mencuci piring dan gelas kotor mereka kerjakan bersama-sama.
"Iya sih... Aku memang ngga kuat bergadang seperti kamu atau Ice,"" keluh Blaze sembari menyandarkan dirinya pada meja bar kedai. "Aku dengar uang tip nya besar ya?"
"Hooo." Taufan langsung tersenyum lebar selagi mengingat jumlah uang tip yang didapatkannya akhir pekan lalu itu. "Seratus ringgit lebih, Blaze... Itu bersih lho, ngga dibagi-bagi lagi."
Mendengar itu Blaze langsung mendecih kesal. "Duuuh... Aku juga mau!" ketusnya sembari melipat kedua tangannya. "Ngga apa-apa deh aku korban tenaga lebih... Demi seratus ringgit."
"Begitu ya? Kak Blaze," gumam Solar sembari melempar pandangan ke arah Taufan yang disambut oleh kakaknya itu dengan kedipan mata.
Blaze tidak melihat pertukaran isyarat antara Solar dan Taufan. Ia masih sibuk menggerutu dan menghayal apabila dirinya menerima uang tip sebesar itu. Jika dalam satu kali akhir pekan saja ia bisa menghasilkan minimal seratus ringgit, berarti dalam sebulan ia bisa menghasilkan empat ratus ringgit, atau bahkan lebih. Itupun belum termasuk gaji pokoknya yang diterima dari Gempa. "Minggu depan ajak aku dong, Sol..."
"Nanti deh dirumah aku jelaskan... Aku ada rencana yang lebih dari itu, kak... Kalau kakak berminat sih... Sejauh ini Kak Taufan sama Kak Thorn ikutan lho."
Blaze langsung menengok ke arah Solar dan menatap tajam kearah adiknya itu. "Apa? Kak Ufan dan Thorn ikutan? Aku ngga diajak?" Sebuah perempatan urat imajiner pun melintas di dahinya. "Teganya kau Solar!"
"Sabar, tenang, Kak Blaze... Aku harus hati-hati... Jangan sampai Kak Gempa tahu." ujar Solar sembari terkekeh melihat kakaknya yang mulai kesal. "Nanti setelah kita dirumah ya?"
"Oke, aku tunggu dikamarku ya? Atau aku yang kekamarmu?"
"Nanti aku yang menyusul ke kamarmu, Kak," jawab Solar dan kembali mengerjakan laporan bulanan kedai mereka.
Melihat itu Blaze langsung mengalihkan perhatiannya pada kakaknya yang lebih tua. "Kak Ufan, memang apa rencana Solar?"
"Ooh, itu... Yah, tunggu saja, biar dia yang jelaskan... Solar bilang kalau aku ngga boleh kasih tahu siapa-siapa dulu, termasuk ke kamu Blaze."
Jawaban Taufan hanya membuat Blaze semakin merengut kesal.
Beruntunglah tidak lama setelah itu datang Thorn, Gempa dan Ice yang akan menggantikan mereka sore itu. Tanpa membuang waktu, Solar langsung melakukkan serah terima kasir kepada Thorn sore itu. Setelah yakin tidak ada kekeliruan pembukuan dan keadaan real uang kas sama dengan catatan kasir barulah tugas Solar, Taufan, dan Blaze selesai.
.
.
.
"Bagaimana kedai hari ini?" tanya Halilintar yang menyambut kedatangan ketiga adik-adiknya dirumah.
"Lumayan lah kak, jauh lebih baik daripada minggu lalu," jawab Solar sembari melangkah masuk kedalam rumah diikuti oleh Taufan dan Blaze.
"Fang sudah berani datang kembali atau dia masih kapok dicekoki Gempa sepuluh gelas Ice Chocolate Special?"
"Belum tuh," jawab Taufan. "Tadi kuajak kekedai sepulang kuliah... Belum sempat aku selesai ngomong dia sudah kabur duluan."
Halilintar hanya terkekeh saja membayangkan wajah horror Fang ketika diajak Taufan mampir ke kedai. "Aku ngga heran. Pasti landak ungu itu trauma."
"Kalau aku jadi Fang juga pasti bakalan trauma... Sama saja mengusir langganan itu sih," keluh Taufan sembari melangkah ke arah tangga rumah.
Sementara Solar baru saja melepaskan dan meletakkan sepatunya dengan rapi diatas sebuah rak di dekat pintu depan rumah. Ia melirik ke arah Blaze sembari mengedipkan sebelah mata. "Kak Blaze, aku mau mandi dulu, nanti aku menyusul ke kamar kakak ya."
"Ya, kutunggu kamu, Sol." Blaze menganggukkan kepalanya dan melepaskan sepatunya yang ditumpuk begitu saja diatas rak.
"Tumben kamu akur sama Solar?" tanya Halilintar yang memperhatikan interaksi antara Blaze dan Solar yang serius.
Blaze yang baru saja menyibakkan dan melepas bajunya mendadak teringat perkataan Solar untuk tidak memberi tahu siapa-siapa dulu. "Ah... Ada yang mau dia tanyakan," jawab Blaze sembari menarik bagian bawah tanktop hitam yang biasa ia kenakan keluar dari celana panjangnya.
Halilintar yang mendengar itu mengangkat sebelah alisnya "Sepertinya serius ya?"
"Ya, aku juga belum tahu apa yang mau dia tanyakan," jawab Blaze lagi sembari melempar baju kotornya kearah mesin cuci di yang terletak di bagian belakang rumah.
Halilintar yang melihat itu hanya memutar bola matanya saja. Ia tidak bisa mengkritik Blaze kali itu karena cara Blaze melempar baju kotor itu dipelajari dari Halilintar sendiri. "Hati-hati saja... Semoga ngga ada hubungannya dengan BoBoiBoy Love Cafe ciptaan Solar itu... Gempa hampir mengamuk gara-gara idenya... Kalau saja idenya gagal kemarin, aku yakin Solar sudah mati digantung Gempa di tiang listrik depan rumah."
Peringatan kakaknya itu membuat Blaze meneguk ludah. "Yah... Demi uang tip kak..." jawabnya sembari terkekeh dan menggaruk-garuk pipi gembilnya yang tidak gatal.
"Hati-hati saja... Jangan sampai aku diperintah... maksudku, diminta Gempa untuk memasungmu, Blaze... Kujamin hidupmu bakal nista seharian... Dan tanganku sudah gatal... Kamu tahu maksudku kan?" Halilintar hanya cukup menambahkan seringaian tipis pada peringatan terakhirnya itu.
"Ah.. Iya, iya, aku bakal hati-hati." Sebuah sweatdrop pun menitik di kepala Blaze.
.
.
.
Kali ini Solar tidak perlu lagi mengetuk pintu kamar yang dihuni oleh kedua kakaknya yaitu Blaze dan Thorn karena posisi pintunya sudah terbuka sebagian. Bahkan terlihat Blaze yang duduk di atas ranjang dan bersandar pada tembok kamar sudah menunggu kedatangannya ke kamar itu.
Tanpa permisi lagi Solar langsung masuk ke dalam kamar itu sebelum menutup dan mengunci pintunya. "Perlukah sampai kunci pintu begitu?" tanya Blaze yang melihat Solar tengah mengunci pintu kamarnya.
"Ya... Privasi, Kak Blaze... Apa yang akan kukatakan ini rahasia... Seperti yang kak Taufan bilang, ngga semua orang boleh tahu," jawab Solar sembari duduk di tepi ranjang milik Blaze itu.
"Seberbahaya itukah recanamu, Sol?"
"Ngga sih, tapi ya resiko pasti ada lah," jawab Solar dengan nada enteng melagu. "Semua pekerjaan kan ada resikonya, kak."
Blaze mengangguk setuju dengan logika Solar kali itu. "Ya memang sih... Tapi kamu belum bilang rencanamu apa."
Solar menghela napas panjang sembari berpikir bagaimana cara mengutarakan idenya yang radikal itu kepada kakaknya. "Aku juga bingung harus mulai dari mana, kak... Aku takut Kak Blaze ngga sanggup, sebetulnya."
Perkataan Solar membuat Blaze langsung mendelik. "Hey, kamu meragukan aku ya?" tanya si kakak yang terlihat sedikit tersinggung.
"Jujur saja...ya, aku ragu-ragu kak... Aku khawatir Kak Blaze ngga sanggup." Solar menghembuskan napas panjang sembari berdiri dari duduknya. "Mungkin aku cari yang lain saja. Kak Hali-"
Dari sedikit tersinggung, Blaze menjadi tersinggung betulan apalagi ketika ia mendengar nama kakak tertuanya disebut dan langsung menangkap Solar yang tengah beranjak pergi itu pada tangannya. "Kenapa Kak Hali? Apapun yang Kak Hali bisa, aku juga bisa!"
"Ssst... Ngga perlu nge-gas begitu kak... Nanti kedengaran," desis Solar sembari duduk kembali di atas ranjang milik kakaknya itu.
"Katakan saja, apa yang harus kuperbuat. Apapun aku sanggup!"
"Oke kalau begitu kak..." Solar memejamkan matanya sejenak dan menarik napas panjang laksana orang bijak. "Aku perlu Kak Blaze untuk... Menjadi duta kedai kita."
Blaze mengerenyitkan dahinya mendengar perkataan adiknya itu. "Menjadi duta? Apa susahnya?"
Solar menatap kakaknya tanpa berkedip dengan ekspresi wajah yang serius "Susah sangat... Karena rencanaku begini..."
... ... ...
"A... APA MMppff."
"Sssttt.. Ngga usah nge-gas begitu kan kubilang!" ketus Solar sembari membekap mulut kakaknya yang hendak memekik kaget. "Itu yang kubutuhkan dari Kak Blaze... Sanggup?" tanyanya lagi sembari melepaskan bekapannya pada mulut kakaknya itu.
"Astaga... Malu lah aku," gumam Blaze dengan kepala tertunduk.
"Huh... Ya sudah kalau begitu... Memang aku sudah merasa dari awal kalau kamu ngga akan sanggup, kak."
"I... Itu ngga ada hubungannya dengan kemampuan," protes Blaze sembari memalingkan wajahnya. "Aku bisa kalau cuma itu."
"Kak Blaze NATO...No Action Talk Only." Solar menggumam dengan kedua matanya yang disipitkan seperti mata yang malas dan sedikit membuang muka. "Ngga usah alasan kalau memang ngga sanggup."
"Aku sanggup!"
"Buktikan."
"Oke!. Aku setuju ikut rencanamu itu, Solar... Berapa bagianku?"
"15 persen."
Blaze menggelengkan kepalanya mendengar angka yang diberikan Solar. "terlalu kecil... 25 persen."
"20 Persen tawaran terakhirku... Kalau Kak Hali aku berani bayar lebih, kalau kamu... ngga."
"Oke, 20 persen... Kubuktikan kalau aku lebih populer daripada Kak Hali," ujar Blaze dengan semangat yang berapi-api.
"Senang berbisnis denganmu, kak..." Sebuah senyum puas mengulas di wajah Solar ketika mengamit dan menyalami tangan kakaknya itu.
.
.
.
Halilintar sedang berada di ruang tengah sendirian dan menonton TV ketika Solar dan Taufan datang menghampirinya.
"Ada acara apa nih?" tanya Taufan sembari duduk mengambil posisi di sebelah kakaknya itu sementara Solar duduk di sisi yang berlawanan.
"Ngga ada yang bagus cuma berita selebriti ngga jelas." Halilintar menjawab sambil menengok ke arah adiknya itu. "Yah, yang menarik cuma testimoni mengenai kafe dadakan Solar itu." Tambahnya sembari menengok ke arah Solar.
"Ah... Aku memang tag beberapa selebriti lokal di media sosialku... Aku sendiri malah ngga kenal mereka," komentar Solar sembari terkekeh saja
"Kuakui... Rencanamu jauh lebih sukses daripada yang kukira." ujar Halilintar dan tersenyum tipis pada adiknya itu. "Bukan berarti masalah selesai lho ya. Kita belum lihat jangka panjangnya."
"Justru itu, Lin. Kita-"
"Sebut nama itu lagi, kubuat kau menyesal seumur hidup, Fan..." Halilintar menggeram sembari mengangkat tangannya yang mengepal diatas selangkangan Taufan.
Kepalan tangan Halilintar membuat otot-otot lengannya yang tidak tertutup baju tanktop merah yang dikenakannya menegang dan menonjol.
'Itu dia yang aku butuhkan... Badan atletis sempurna Kak Hali' Solar membatin sembari memperhatikan gerak-gerik kakaknya yang tertua itu.
Taufan meneguk ludahnya dan tidak berani bergerak ketika diancam seperti itu oleh Halilintar. "Ah.. Maaf Hali!"
Halilintar menyeringai saja sembari menari tangannya menjauh dari selangkangam Taufan. "Gitu dong..."
Solar hanya bisa menitikkan sweatdrop melihat interaksi kedua kakaknya itu. "Seperti yang Kak Ufan mau bilang tadi, kita butuh bantuan," lanjut Solar.
"Bantuanku, maksudmu, Solar?"
Solar mengangukkan kepalanya. "Ya, kami butuh bantuan Kak Hali."
"Ngga biasanya kamu mencariku, Sol..."
Solar menghela napas panjang dan menatap Halilintar dengan ekspresi wajah yang sangat serius. "Kak Hali yang terakhir. Harapanku yang terakhir kak." Ia menghentikan kata-katanya untuk menarik napas panjang dengan dramatisnya. "Tanpa Kak Hali, semua rencanaku pasti gagal... Jadi aku minta... Bukan, aku mohon Kak Hali untuk ikut rencanaku ini."
Halilintar meneguk ludahnya ketika ia melihat adiknya yang menatapnya tanpa berkedip dan dengan raut muka serius. Jarang sekali ia melihat Solar sampai seperti itu. "Siapa saja selain Taufan yang kamu ajak, Sol?"
"Kak Blaze."
"Blaze ya... Oke kalau begitu. aku ikut. Mungkin kamu perlu bantuan untuk mengendalikan Blaze."
Solar terbengong melihat Halilintar yang setuju begitu saja bahkan sebelum ia sempat memberitahu detail rencananya. "Eh... Sebenarmya bukan untuk mengendalikan Blaze, kak... Tapi..."
"Tapi?" Kini Halilintar mulai terlihat curiga, namun ia sudah terlanjur setuju.
"Aku butuh Kak Hali untuk jadi duta kedai kita kak..."
"Oh, itu mudah."
"Ngga juga, Hali." Gantian Taufan yang berkomentar. "You see, Hali... Solar butuh kita untuk jadi model foto... Untuk promosi kedai..."
Halilintar langsung tercengang. "Model foto?"
"Ya kak... dengan memakai ini..." Solar mengeluarkan sebuah pakaian dari dalam sakunya.
"Alamak." Mungkin untuk pertama kali dalam hidupnya, Halilintar memucat dan menatap horror pada benda yang dipegang Solar.
Solar tidak dapat menahan seringai setannya. "Celana renang Speedo mini ini saja..."
"Oh, aku lupa bilang kalau Thorn juga ikut, Hali..."
Mendadak Halilintar merasakan dunianya berputar-putar. "Sekarang aku tahu kenapa kalian merahasiakan ini dari Gempa... Habislah kita kalau ketahuan."
"Yap... Dan kamu sudah setuju untuk ikut, Hali... Kamu bukan mau menghindar, kan?" tanya Taufan sembari meletakkan tangannya di pundak kakaknya yang berotot itu.
"Tapi... Kalau ketahuan..."
"Yah minimal aku ngga bakal dipasung Gempa sendirian."
'Matilah aku kali ini...' lirih Halilintar dalam batinnya.
.
.
.
Bersambung.
