Disclaimer :
Detektif Conan milik Gosho Aoyama
Kasus milik Criminal Minds
Catatan Penulis :
Terima kasih kepada prisilia06, SherryHaibara4869, Dy dan XxThe-Crest-Of-AnubisxX atas komentarnya. Cerita ini sebenarnya di-update dua minggu sekali setiap hari senin, tapi karena kemarin-kemarin sibuk banget jadi baru sempat upload hari ini. Ending-nya bisa sama siapa saja sebenarnya. Kalau penulis dapat inspirasi, mungkin bisa ada alternate ending.
Penulis mempersembahkan chapter yang lumayan panjang ini sebelum hiatus selama bulan puasa. Nanti kita berjumpa lagi setelah lebaran. XD
Selamat membaca dan berkomentar!
Kasus yang Sulit
By Enji86
Chapter 6 - Pembunuhan Jaksa di Tokyo
Galau. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi Rei saat ini sejak dia pulang dari Nagano. Atau lebih tepatnya sejak Inspektur Morofushi mengajak Shiho berkencan di depannya. Sekarang dia selalu merasa kesal setiap melihat Shiho sehingga dia agak menghindari Shiho. Tapi Shiho sepertinya tidak menyadarinya sehingga dia bertambah kesal.
Rei juga kesal pada dirinya sendiri karena dia galau tanpa alasan yang jelas. Dia benar-benar penasaran apakah Shiho jadi berkencan dengan Inspektur Morofushi. Tapi dia juga takut untuk menanyakannya pada Shiho. Dia takut kalau mereka benar-benar berkencan. Dan dia tidak tahu kenapa dia begitu takut, sehingga dia menjadi frustasi.
Dering ponsel membuyarkan renungan Rei. Dia pun bangkit untuk duduk, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di meja di samping tempat tidurnya. Dia mengerutkan keningnya melihat nomer tidak dikenal meneleponnya larut malam begini, tapi akhirnya dia mengangkatnya. Wajahnya langsung berubah serius saat berbicara di telepon. Setelah mengakhiri pembicaraan di ponselnya, dia langsung bersiap-siap untuk pergi.
XXX
Sesampainya di restoran, Rei diarahkan ke mejanya oleh pelayan restoran. Di meja itu dia sudah ditunggu oleh asisten Jaksa Agung.
"Saya sangat lega anda mau datang untuk menangani kasus ini," ucap orang yang bernama Takuma Sato itu.
"Kasus tetaplah kasus. Tapi kenapa Jaksa Agung memanggilku?" tanya Rei.
"Jaksa Agung bicara pada Kepala Polisi Matsumoto dan beliau merekomendasikan anda," jawab Takuma.
"Lalu kenapa kau tidak menghubungi humas tim kami dulu?" tanya Rei lagi.
"Dengar, Inspektur. Kasus ini sangat sensitif, jadi anda harus bekerja diam-diam. Tidak ada laporan dan tidak ada publikasi. Kepala Polisi Matsumoto juga sudah tahu mengenai hal ini. Apa anda mengerti?" ucap Takuma.
"Yah, kalau memang Kepala Polisi sudah memutuskan begitu, maka aku harus mematuhinya," ucap Rei.
"Bagus. Jadi, apa kita bisa ke TKP sekarang?" tanya Takuma sambil berdiri.
"Aku harus memanggil timku dulu," jawab Rei.
"Lebih baik anda tidak melakukannya, Inspektur. Kita tidak mau ada kehebohan, bukan? Jadi silahkan ikuti saya," ucap Takuma. Kemudian dia berbalik dan melangkah pergi sehingga Rei mau tidak mau harus mengikutinya.
XXX
"Seorang laki-laki tidak akan minum viagra sebelum bunuh diri," ucap Rei sambil menatap bungkus viagra di tangannya.
"Pastinya," sahut Takuma.
Saat itu mereka sedang berada di TKP, yaitu sebuah kamar di hotel tersebut.
"Apa dia punya istri?" tanya Rei.
"Istrinya ada di rumah bersama anak-anak mereka," jawab Takuma.
"Jadi simpanan atau PSK," ucap Rei.
"Menurut asistennya, Aokawa-san selalu menarik uang cash sebesar 10 juta yen setiap hari Rabu dan memesan kamar di hotel ini," ucap Takuma.
"PSK kelas atas, huh?" ucap Rei.
"Kami sudah bertanya pada semua pegawai hotel, tapi tidak ada seorang pun yang melihatnya," ucap Takuma.
"Yah, itu salah satu alasan dia mendapat bayaran tinggi," ucap Rei dengan sinis sehingga Takuma tertawa kecil.
"Ya, anda benar. Makanya, sangat mengherankan ketika dia membakar ladang uangnya satu-persatu," ucap Takuma.
"Jadi ini bukan yang pertama?" tanya Rei.
"Kepala Polisi pasti merekomendasikan anda bukan tanpa alasan, kan? Ini yang kedua dari kejaksaan dan ketiga secara keseluruhan," jawab Takuma.
"Siapa korban yang lainnya itu?" tanya Rei lagi.
"Pejabat tinggi di Kepolisian," jawab Takuma.
"Oh," komentar Rei. Sekarang dia tahu kenapa Kepala Polisi bersikap begitu terhadap kasus ini. "Lalu apa asisten atau ajudan para korban tidak tahu siapa PSK ini?" tanya Rei.
"Tidak," jawab Takuma.
"Jaksa-jaksa lain?" tanya Rei lagi sehingga Takuma menatap Rei dengan geli.
"Apa anda benar-benar berpikir mereka akan buka mulut meskipun mereka mengenalnya?" Takuma balik bertanya.
"Yah, nyawa mereka dalam bahaya, kan?" sahut Rei sambil mengangkat bahu.
"Mereka lebih baik mati daripada ketahuan sudah main dengan PSK," ucap Takuma. "Termasuk atasan saya," lanjut Takuma sebelum Rei bertanya.
"Kalau begitu ini jalan buntu," ucap Rei.
"Tidak juga," ucap Takuma sambil mengeluarkan sebuah kartu nama dari kantong jasnya. Lalu dia menatap Rei. "Apa anda ingin membeli rumah?" tanyanya.
Rei menatap Takuma dengan bingung sebelum menjawab.
"Err... tidak," jawab Rei.
Takuma menyodorkan kartu nama itu dan memaksa Rei mengambilnya.
"Anda pasti ingin," ucap Takuma sambil tersenyum.
Takuma mengantar Rei ke lift dan setelah Rei menekan tombol lift, dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Rei.
"Saya akan menunggu kabar baik dari anda, Inspektur Furuya," ucap Takuma sementara pintu lift sudah terbuka.
"Oke," sahut Rei. Lalu dia masuk ke dalam lift. Ketika dia akan menekan tombol lift, seorang wanita yang sudah berada di dalam lift sebelum ia mendahuluinya.
"Lantai berapa?" tanya wanita itu.
"Lantai dasar. Terima kasih," sahut Rei sementara wanita itu menekan tombol untuk Rei.
Lalu wanita itu berbasa-basi pada Rei, yang ditanggapi Rei dengan singkat. Beberapa saat kemudian, wanita itu sampai di lantai yang ditujunya dan Rei pun sendirian di dalam lift menuju lantai dasar.
XXX
"Ayo kita balapan sampai puncak. Yang kalah harus mentraktir sarapan," ucap Shiho sambil nyengir.
"Kau baru menang sekali, tapi kau sudah sombong, huh?" ucap Heiji.
"Apa kau takut, Hattori-kun?" tanya Shiho dengan nada meledek.
"Tentu saja tidak. Baiklah, mari kita lakukan," sahut Heiji. Dan mereka pun mulai berlomba.
Saat itu, Shiho sedang menjalani salah satu latihan fisiknya dengan Heiji sebagai mentornya, yaitu berlari menaiki bukit. Mereka melakukan latihan fisik setiap pagi sebelum pergi ke kantor.
Shiho akhirnya memenangkan balapannya sehingga dia nyengir pada Heiji dengan nafas terengah-engah sehingga Heiji menatapnya dengan cemberut setibanya di puncak bukit.
Lalu ponsel Shiho berdering sehingga dia mengeluarkannya dari kantong celananya dan langsung mengangkatnya setelah melihat siapa yang menelepon.
"Ya, Kudo-kun?" ucap Shiho masih dengan nafasnya yang terengah-engah sehingga Shinichi menaikkan alisnya.
"Apa yang terjadi? Kenapa nafasmu terengah-engah?" tanya Shinichi.
Belum sempat Shiho menjawab, Heiji membuka mulutnya.
"Kudo? Kenapa dia menelepon pagi-pagi begini?" tanya Heiji yang juga masih ngos-ngosan.
Shinichi yang mendengar suara Heiji yang juga terengah-engah seperti Shiho menjadi marah karena dia pikir mereka berdua sedang main gila.
"Apa itu Hattori? Apa yang sedang kalian berdua lakukan sehingga nafas kalian terengah-engah begitu?" seru Shinichi dengan nada menuduh sehingga Shiho memutar bola matanya.
"Kami sedang lari pagi, dasar otak mesum!" ucap Shiho sementara Heiji menatap Shiho dengan penuh tanda tanya.
"Benarkah?" tanya Shinichi dengan nada tidak percaya sehingga Shiho menghela nafas.
"Jadi ada apa? Kenapa kau meneleponku?" Shiho balik bertanya sehingga Shinichi juga menghela nafas di ujung sana.
"Inspektur Furuya menyuruh kita datang secepatnya ke kantor pagi ini. Sepertinya ada kasus penting yang harus kita tangani," jawab Shinichi.
"Oke, aku akan memberitahu Hattori-kun. Sampai jumpa di kantor," ucap Shiho. Lalu dia langsung menutup teleponnya sehingga Shinichi mengomel di ujung lain karena dia masih ingin menginterogasi Shiho tentang apa yang sedang dilakukannya bersama Heiji.
"Kudo-kun bilang Inspektur Furuya meminta kita datang secepatnya ke kantor pagi ini. Sepertinya ada kasus penting yang harus kita tangani," ucap Shiho pada Heiji setelah menutup teleponnya.
"Yah, kalau begitu kita akhiri saja latihan hari ini. Ayo kita cari sarapan, lalu aku akan mengantarmu pulang," ucap Heiji.
"Oke," ucap Shiho.
Mereka pun membeli sarapan di pinggir jalan, lalu memutuskan untuk makan di apartemen Heiji yang lebih dekat dari bukit tempat latihan mereka.
Setelah sarapan, Heiji pun mandi dulu sebelum mengantar Shiho pulang. Lalu saat Heiji sedang mandi, ada yang membunyikan bel, sehingga Shiho pergi ke pintu untuk melihat siapa yang memencet bel. Dia agak ragu ketika melihat dua orang yang sedang berdiri di depan pintu, tapi dia tidak punya pilihan, sehingga dia akhirnya membuka pintu.
Kedua orang tersebut langsung terbelalak ketika melihat Shiho yang membukakan pintu. Mereka saling berpandangan sebelum kembali menatap Shiho.
"Err, penjaga apartemen di bawah berkata bahwa Heiji Hattori tinggal di sini. Tapi sepertinya dia salah, ya kan?" ucap Kazuha sambil tersenyum malu.
Shiho pun tersenyum.
"Ah, tidak. Hattori-kun memang tinggal di sini. Silahkan masuk," ucap Shiho. Lalu dia berbalik dan melangkah ke dalam.
Kazuha dan Shizuka kembali saling berpandangan. Tidak tahu harus bagaimana. Saat akan berbelok ke ruang tamu, Shiho berpapasan dengan Heiji yang baru keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk di pinggangnya.
"Siapa yang memencet bel?" tanya Heiji.
Shiho tidak menjawab dan hanya menoleh ke arah pintu sehingga Heiji ikut melihat ke arah pintu dan matanya langsung membesar.
"Ibu? Kazuha? Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" seru Heiji.
Kazuha yang melihat kondisi Heiji pun menjadi salah paham dan menatap Heiji dengan marah. Dia mengira Shiho adalah selingkuhan Heiji dan mereka habis berbuat yang tidak-tidak.
"Dasar Heiji bodoh," seru Kazuha sambil menerjang masuk untuk menghajar Heiji.
XXX
"Jadi kau juga detektif seperti Hei-chan?" tanya Shizuka membuka obrolan.
Kesalah-pahaman yang tadi akhirnya sudah berhasil diluruskan dan sekarang ketiga wanita yang ada di apartemen Heiji itu sudah duduk bersama, meskipun Kazuha masih cemberut dan bersikap dingin pada Shiho. Kazuha merasa cemburu karena Heiji melarang Shiho pulang sendiri dan bersikeras mengantar Shiho pulang saat Shiho pamit pulang tadi.
Sementara itu, Heiji sedang berpakaian untuk ke kantor.
"Ah, tidak, Hattori-san. Saya humas tim yang biasanya berhubungan dengan media," sahut Shiho.
"Media? Oh ya, aku ingat. Aku pernah melihatmu di TV. Pantas saja wajahmu terlihat familiar," ucap Shizuka.
"Iya, begitulah pekerjaan saya di tim," ucap Shiho sehingga Shizuka mengangguk-angguk.
"Oh, dan jangan memanggilku Hattori-san. Panggil Shizuka saja supaya lebih akrab. Bagaimanapun kau teman Hei-chan," ucap Shizuka.
"Baiklah, Ha... Shizuka-san," ucap Shiho sehingga Shizuka tersenyum.
"Jadi kau lari pagi bersama Hei-chan setiap hari?" tanya Shizuka.
"Iya. Hattori-kun adalah mentor latihan fisik saya. Dia juga mengajari saya beberapa trik untuk mempertahankan diri dari penjahat dan itu sangat berguna sejauh ini," jawab Shiho.
"Benarkah? Aku baru tahu kalau Hei-chan punya bakat mengajar," komentar Shizuka dengan wajah berseri-seri.
Sementara itu, Kazuha semakin cemberut setelah mendengar Heiji setiap hari lari pagi bersama Shiho.
"Ayo, Miyano," ucap Heiji yang sudah selesai bersiap-siap sambil menyambar tasnya dari gantungan.
"Heiji, tidak bisakah kau cuti? Aku dan Bibi sudah jauh-jauh datang dari Osaka. Apa kau akan meninggalkan kami begitu saja?" ucap Kazuha.
"Maaf, Kazuha, Ibu. Kalian datang tanpa pemberitahuan jadi aku terpaksa meninggalkan kalian sendiri. Inspektur Furuya menyuruh kami datang ke kantor secepatnya karena ada kasus penting jadi aku harus pergi ke kantor," ucap Heiji.
"Tapi...," ucapan Kazuha dipotong oleh Shizuka.
"Tidak apa, Kazuha-chan. Hei-chan memang harus ke kantor untuk bekerja. Kau harus mendukungnya," ucap Shizuka.
"Terima kasih atas pengertiannya, Ibu. Di bawah ada kantin dan minimarket. Jika Ibu dan Kazuha ingin makan atau membeli sesuatu, kalian bisa pergi ke sana. Aku berangkat dulu," ucap Heiji.
Shiho pun pamit pada Shizuka dan Kazuha, lalu mengikuti Heiji.
Shizuka agak takjub melihat Heiji yang sepertinya lebih dewasa dan bertanggung jawab. Bergabung dengan tim Rei rupanya berdampak positif bagi Heiji. Saat di kepolisian Osaka dulu, Heiji terkenal dengan gayanya yang serampangan dan semau gue karena dia anak komisaris. Tapi sekarang Heiji kelihatannya tidak seperti itu lagi.
Kazuha menggigit bibirnya saat melihat Heiji berboncengan dengan Shiho keluar dari bangunan gedung apartemen lewat jendela apartemen Heiji. Perasaannya benar-benar tidak enak.
"Kau tidak perlu khawatir, Kazuha-chan. Kita tahu Hei-chan bukan laki-laki seperti itu," ucap Shizuka.
"Tapi dia...," Kazuha tidak meneruskan ucapannya sehingga Shizuka-lah yang meneruskan ucapannya.
"Cantik? Kau masih ingat sudah berapa wanita cantik yang berusaha mendekati Hei-chan namun gagal?" ucap Shizuka.
"Aku tahu," ucap Kazuha dengan muram sehingga Shizuka tersenyum.
"Kemarilah," ucap Shizuka sehingga Kazuha kembali duduk di sofa di sebelah Shizuka. "Kalian sudah bersama sejak kecil. Tidak mungkin ada yang bisa memutus ikatan kalian. Henzo juga dikelilingi polisi-polisi cantik dan muda. Dia bisa saja main gila, tapi dia tidak melakukannya karena dia laki-laki berintegritas. Hei-chan pasti begitu juga. Jadi kau harus percaya pada Hei-chan dan selalu mendukung karirnya, kau mengerti?" nasehat Shizuka.
"Mmm, aku mengerti. Terima kasih, Bibi," ucap Kazuha sambil tersenyum. Hatinya agak tenang setelah mendengar ucapan Shizuka.
Shizuka pun menepuk pundak Kazuha sambil tersenyum.
XXX
"Jadi sekarang kita berurusan dengan pembunuh berantai berjenis kelamin wanita," komentar Heiji setelah Rei selesai memberi penjelasan tentang kasusnya.
"Dan dia menggunakan racun tikus untuk membunuh korbannya. Terdengar familiar. Salah satu dari kita mungkin bisa memberikan pandangannya terhadap kasus ini," ucap Shinichi sambil nyengir pada Shiho.
Shiho pun memutar bola matanya.
"Aku ini pembuat racun, bukan pengguna. Tapi kalau kau memang ingin mendengar pandanganku, aku akan memberitahumu beberapa hal. Pertama, ketika wanita ingin membunuh, dia hanya membunuh tanpa meninggalkan tanda karena dia tidak butuh apresiasi. Kedua, karena dia hanya ingin membunuh, maka dia akan memilih cara yang paling efektif dan efisien untuk membunuh korbannya. Dan terakhir, karena wanita biasanya tidak sekuat laki-laki secara fisik, maka racun merupakan pilihan yang paling efektif dan efisien bagi wanita. Cukup dengan menyelipkannya ke minuman atau makanan target dan pekerjaan itu pun selesai. Jadi kalau aku boleh memberimu saran, jangan pernah membuat seorang wanita ingin membunuhmu, Kudo-kun," ucap Shiho sambil menatap Shinichi lekat-lekat sehingga Shinichi menelan ludah.
"Baiklah, aku mengerti," ucap Shinichi dengan gugup.
"Terima kasih untuk penjelasannya, Miyano," ucap Rei dengan geli karena Shinichi langsung terkena getahnya saat mencoba meledek Shiho. "Dan temuilah mucikari ini bersama Kudo, sementara aku dan Hattori akan tetap di sini untuk menyusun fakta-fakta tentang kasus ini," lanjutnya sambil memberikan kartu nama pada Shiho.
"Siap, Pak," jawab mereka bertiga.
XXX
"Bukankah tadi Inspektur Furuya bilang kita harus menemui seorang mucikari?" tanya Shinichi saat mereka sudah turun dari mobil.
"Mungkin itu pekerjaan sambilannya selain menjadi agen properti," jawab Shiho sambil mengangkat bahu.
"Kenapa agen properti?" tanya Shinichi dengan bingung.
"Yah, aku tidak begitu mengerti. Mungkin karena para orang kaya suka berinvestasi di bidang properti," sahut Shiho.
"Dan yang bisa menyewa PSK kelas atas pastilah orang kaya. Itu masuk akal," ucap Shinichi.
Saat mereka akan menaiki tangga yang menuju beranda rumah yang mereka tuju, seorang wanita menyambut mereka dari dalam rumah.
"Apa kau seorang...," pertanyaan Shinichi langsung dipotong oleh wanita itu.
"Selamat datang. Ayo masuklah, kalian pasti akan menyukai rumah ini," ucap wanita itu dengan ramah sambil mendorong Shinichi dan Shiho yang kebingungan untuk masuk ke dalam rumah.
"Apa kalian tidak bisa berakting sedikit? Aku punya kelas akting kalau kalian butuh," ucap wanita itu dengan sinis saat mereka sudah di dalam.
"Maaf, Yokoyama-san. Kami hanya agak bingung. Jadi apa benar kau seorang mucikari? Kau mengatur kencan dengan para PSK?" tanya Shiho.
"Aku hanya mempertemukan mereka. Setelah itu menjadi urusan mereka masing-masing," jawab wanita yang bernama Mitsuko Yokoyama itu. Lalu dia kembali tersenyum ramah khas sales. "Jadi, ada yang mau kudapan?" tanyanya. Kemudian dia berbalik dan melangkah ke ruang makan sehingga Shiho dan Shinichi mengikutinya.
"Pasti tidak banyak klien yang bisa membayar jasa yang kau punya ini," ucap Shiho setelah dia dan Shinichi dipaksa mencicipi kue di atas meja makan.
"Memang tidak banyak. Makanya wanita itu tidak bagus untuk bisnis ini. Wanita itu hanya menyakiti dirinya sendiri," ucap Mitsuko.
"Apa maksudmu?" tanya Shiho.
"Untuk pekerjaan ini, yang terpenting adalah daftar klien. Itu adalah pemasukan harian dan investasi pensiunnya karena dia bisa menjual daftar itu nantinya," jawab Mitsuko.
"Jadi kau tidak tahu siapa wanita ini?" tanya Shinichi.
"Yah, seorang mucikari tidak mungkin membiarkan anak didiknya membunuh klien, bukan?" sahut Mitsuko.
"Kami membuat dugaan kalau dia membunuh karena laki-laki yang menyewanya mungkin menyuruhnya melakukan sesuatu yang, uh, tidak umum, saat di tempat tidur...," ucapan Shinichi dipotong oleh Mitsuko.
"Sesuatu seperti apa, Sayang?" tanya Mitsuko dengan geli sehingga Shinichi menjadi malu.
"Aku tidak tahu... maksudku...," sahut Shinichi sehingga Mitsuko tertawa kecil.
"Kalau begitu biarkan aku membantu kalian karena kalian sepertinya melihat hal ini dengan sudut pandang yang salah. Pertanyaan pertama, kenapa para laki-laki ini mau menghamburkan 10 juta yen per malam untuk seorang wanita?" ucap Mitsuko.
"Untuk berhubungan seksual?" sahut Shiho.
"Ya, tentu dia harus lihai di ranjang. Tapi itu bagian yang paling mudah," ucap Mitsuko.
"Lalu bagian apa yang paling sulit?" tanya Shiho.
"Menjadi terapis. Para lelaki ini membutuhkan seseorang yang bisa menyerap rasa frustasi dan rasa tidak aman yang mereka rasakan. Seseorang yang bisa mereka ajak bicara tentang apapun dan bisa menerima sisi tergelap mereka, semua yang tidak bisa mereka bawa pulang ke istri-istri mereka di rumah. Jadi kalau wanita ini membunuh karena variasi hubungan seksual, maka dia tidak akan pernah mencapai bayaran 10 juta yen," jawab Mitsuko.
"Jadi pelaku membunuh karena sikap kliennya di luar ranjang, bukan di ranjang," ucap Shinichi pada Shiho.
"Dan aku lihat kau punya potensi. Apalagi dengan pekerjaanmu dan kau kerap tampil di TV. Mereka akan membayar jauh lebih banyak dari 10 juta yen per malam," ucap Mitsuko pada Shiho dengan nada menggoda.
Shinichi langsung naik darah mendengarnya, tapi Shiho meremas bahunya sambil tertawa kecil.
"Yah, itu tawaran yang sangat menggiurkan, tapi tidak, terima kasih. Sekarang aku lebih suka tidur di malam hari daripada bekerja," ucap Shiho.
"Tidak apa. Aku hanya menggodamu saja. Aku tahu pacarmu pasti bisa menunjang gaya hidupmu dengan mobil bagusnya itu," ucap Mitsuko sambil mengerling Shinichi dan tas bermerek yang dipakai Shiho.
Shiho pun kembali tertawa kecil.
"Yah, dia bukan...," ucapan Shiho dipotong oleh Shinichi.
"Kalau begitu kami permisi," ucap Shinichi.
"Oke. Dan kalau suatu saat kau tertarik, kau tahu dimana mencariku," ucap Mitsuko sambil menjabat tangan Shiho.
Shiho hanya nyengir sementara Shinichi menatap Mitsuko dengan tatapan membunuh.
"Sebenarnya ada apa dengannya?" gerutu Shinichi saat dia berkendara bersama Shiho untuk menuju ke kantor.
"Sudahlah, Kudo-kun. Dia hanya melakukan pekerjaannya," ucap Shiho dengan geli.
"Dia bisa melakukan pekerjaannya pada orang lain, bukan padamu," sahut Shinichi dengan ketus.
Shiho pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya begitu melihat siapa yang menelepon.
"Siapa itu?" tanya Shinichi setelah Shiho selesai menerima telepon.
"Hattori-kun. Ada korban baru dan kita ditunggu di TKP," jawab Shiho.
Shinichi pun menghela nafas.
XXX
"Jadi apa yang kita dapatkan sejauh ini?" tanya Rei saat mereka kembali berkumpul di ruang rapat kantor mereka.
"Para korban pernah menikah beberapa kali dan mereka selalu menjalani sidang cerai yang alot saat membahas harta gono-gini dan tunjangan anak. Dan meskipun keputusan pengadilan berpihak pada istri, mereka masih bisa menemukan cara untuk menghindar dan tidak membayar kewajiban mereka," sahut Shiho sambil menatap layar laptopnya.
"Mereka bisa menghamburkan uang jutaan yen semalam untuk PSK, tapi tidak mau membayar gono-gini dan tunjangan anak. Itu menjijikkan," ucap Shinichi.
"Ya," sahut Rei. Kemudian dia menoleh pada Shiho. "Miyano, bisakah kau membuat daftar pejabat tinggi di kejaksaan dan kepolisian yang sesuai dengan profil para korban?" ucap Rei.
"Oke," sahut Shiho.
"Tapi kenapa orang yang sebenarnya bisa membayar tunjangan anak tidak mau membayarnya? Maksudku meskipun mereka berpisah, anak mereka tetaplah anak mereka, bukan?" tanya Heiji.
"Karena orang-orang ini egois, narsis dan murni bajingan. Mereka tidak peduli apapun kecuali diri mereka sendiri, termasuk anak-anak mereka," jawab Rei.
"Sementara kebanyakan PSK berasal dari keluarga broken home. Dan seperti yang dikatakan oleh mucikari yang aku temui bersama Shiho, para lelaki ini menceritakan pada PSK yang disewanya tentang hal-hal yang tidak bisa dikatakannya pada istrinya. Jadi para lelaki ini mungkin juga curhat tentang istrinya dan anak-anaknya. Hal ini bisa menjadi pemicunya," ucap Shinichi.
"Karena para lelaki ini malah berbuat curang meskipun punya segalanya dan keluarga yang baik, sementara pelaku tidak punya semua itu?" tanya Heiji.
"Ya," sahut Shinichi.
"Jadi, apa kita harus memberikan deskripsi pelaku pada polisi? Aku akan menghubungi mereka," ucap Shiho.
"Tidak, itu tidak akan bekerja. Aku akan menghubungi Sato-san untuk mengumpulkan para asisten jaksa dan ajudan pejabat tinggi kepolisian. Mereka pasti punya petunjuk tentang pelaku, meskipun mereka tidak menyadarinya," ucap Rei.
XXX
"Hei, Shiho, lihat ini," ucap Shinichi yang sedang memeriksa lemari terduga pelaku sehingga Shiho menghampirinya.
Saat itu mereka sedang berada di penthouse yang diduga ditinggali oleh pelaku. Mereka mendapatkan informasi tentang penthouse itu dari pertemuan dengan para asisten jaksa dan ajudan pejabat tinggi kepolisian.
"Apa?" sahut Shiho.
Shinichi mengambil gaun mini berwarna hitam berbahan kulit lengkap dengan bandana bertanduk merah dari gantungan di lemari dan mencobanya pada Shiho.
"Kita tinggal mencari pecutnya dan ini akan sesuai dengan mata setanmu itu," ucap Shinichi sambil nyengir dengan nada meledek.
Shiho pun memutar bola matanya sementara wajah Rei dan Heiji yang menoleh ke arah mereka menjadi merah karena mereka membayangkan Shiho dalam pakaian itu.
"Dan aku akan sangat menikmatinya ketika aku memecutimu," ucap Shiho untuk membalas candaan Shinichi.
Mata Shinichi pun membesar dan wajahnya memerah sehingga Shiho menjadi heran. Tapi sesaat kemudian dia langsung mengerti apa yang ada di pikiran Shinichi sehingga dia menyipitkan matanya pada Shinichi.
"Dasar mesum," ucap Shiho sambil berlalu dari hadapan Shinichi.
"Aku tidak begitu," seru Shinichi dengan kesal. "Lagipula dia sendiri yang bicara sugestif seperti itu," gumamnya dengan nada menggerutu.
Sementara itu, Rei dan Heiji meneruskan kembali pekerjaan mereka dengan perasaan lega.
Tiba-tiba mereka dikagetkan oleh dering telepon yang ada di penthouse itu.
"Tunggu! Kalau itu salah satu klien pelaku, Miyano yang akan menerima panggilan telepon itu agar mudah menggali informasi darinya," seru Rei.
Mereka pun berkumpul mengelilingi telepon. Akhirnya mesin penjawab telepon pun menyala dan yang terdengar kemudian membuat mereka semua terkejut.
"Rei-kun," ucap penelepon itu. Suara seorang wanita.
Mereka semua terdiam tak bergerak.
"Rei-kun. Rei Furuya. Aku tahu kau disitu. Angkat teleponnya, Rei-kun," ucap wanita itu lagi.
Rei pun menatap Shiho.
"Hubungi seseorang untuk melacak panggilan telepon ini," ucap Rei.
Shiho pun mengangguk dan pergi menjauh untuk menelepon.
Rei mengangkat teleponnya setelah Shiho pergi. Dia berusaha membujuk wanita itu untuk menyerahkan diri sambil mengulur waktu. Dan ketika usahanya membujuk wanita itu sepertinya akan berhasil, ternyata wanita itu kembali mengeras.
"Kalau kita bertemu dalam situasi yang berbeda, aku pasti akan mempercayaimu. Tapi aku harus mengekspos para bajingan ini dan kau tidak akan bisa menghentikannya," ucap wanita itu.
Lalu terdengar suara tembakan sehingga jantung semua orang yang ada di situ serasa hampir copot, termasuk Shiho yang baru kembali.
Rei pun langsung menatap Shiho setelah pulih dari kekagetannya dan Shiho meresponnya dengan menyebutkan sebuah alamat. Setelah itu, mereka bergegas pergi ke alamat tersebut.
XXX
"Profil korban yang terbaru ini tidak seperti profil korban-korban sebelumnya. Laki-laki ini setia pada istrinya sampai istrinya meninggal 8 bulan yang lalu dan mereka tidak punya anak," ucap Shiho.
Saat itu mereka sudah kembali lagi ke ruang rapat.
"Dan metode pembunuhannya pun berbeda," ucap Heiji.
"Yah, dia mulai kehilangan kontrol," ucap Shinichi.
"Dan dia akan membunuh siapapun yang menghalangi jalannya," ucap Rei.
"Inspektur, saat di penthouse kau bilang bahwa pelaku mungkin orang yang berkecukupan. Terlihat dari koleksi bukunya bahwa dia terdidik dengan baik dan punya selera yang bagus. Mungkinkah dia melihat para korban seperti ayahnya? Maksudku ayahnya berkelakuan seperti para korban," ucap Heiji.
"Ya, itu masuk akal. Dia mungkin menjadi PSK untuk membalas ayahnya yang suka menyewa PSK," sahut Rei.
"Tapi darimana pelaku mendapatkan klien? Menurut mucikari yang kutemui, pelaku sepertinya tidak menggunakan jasa mucikari karena kalau pelaku mempunyai mucikari, mucikarinya pasti tidak akan membiarkannya membunuh klien," ucap Shinichi.
"Bagaimana kalau dia membeli daftar klien dari PSK lain? Mucikari yang kita temui pernah bilang kalau daftar klien adalah investasi pensiun bagi PSK kelas atas karena mereka bisa menjualnya dengan harga tinggi, ya kan, Kudo-kun?" ucap Shiho pada Shinichi.
"Ya, kau benar. Jadi kita harus mencari PSK yang menjual daftar kliennya pada pelaku," ucap Shinichi.
"Kalau begitu lebih baik kau dan Miyano kembali menemui mucikari itu untuk mencari tahu PSK yang pensiun belum lama ini," ucap Rei.
"Baik, Inspektur," sahut Shinichi dan Shiho.
Setelah mendapatkan informasi dari Mitsuko, Shinichi, Heiji dan Rei mendatangi kediaman para pensiunan PSK tersebut untuk mencari tahu siapa yang membeli daftar klien mereka. Dari situ mereka mendapatkan nama Nami Akiyama yang merupakan putri Wakil Jaksa Agung.
Ketika mereka bertiga kembali ke kantor, Shiho sudah menyiapkan informasi tentang Nami Akiyama beserta fotonya. Mata Rei pun membesar melihat foto Nami. Wanita itu adalah wanita yang berbasa-basi dengannya di lift hotel yang menjadi TKP pertama yang dikunjunginya bersama Takuma. Dia pun mengumpat dengan kesal.
"Ada apa, Inspektur?" tanya Shiho.
"Aku pernah bertemu dengannya di hotel yang menjadi TKP pertama yang kukunjungi bersama Sato-san. Aku harus menemui Wakil Jaksa Agung," sahut Rei. Kemudian dia segera pergi untuk menelepon.
XXX
Wakil Jaksa Agung ternyata tidak mau bekerja sama untuk melacak keberadaan putrinya. Tapi Rei dan timnya percaya, dia pasti akan berusaha berkomunikasi dengan putrinya, setidaknya untuk mengamankan daftar klien yang dipunyai putrinya itu, yang memuat namanya. Jadi Rei meminta bantuan divisi lain untuk menguntit Wakil Jaksa Agung.
Lalu mereka mendapat informasi dari divisi cyber crime kalau Wakil Jaksa Agung memesan kamar di sebuah hotel mewah di pusat kota Tokyo sehingga mereka segera bersiap untuk melakukan penggerebekan. Sesampainya di sana, mereka ternyata terkecoh karena mereka hanya menemukan asisten Wakil Jaksa Agung.
"Sial!" umpat Rei.
"Apa kau tahu dimana Akiyama-san sekarang?" tanya Heiji.
"Tidak. Saya hanya disuruh untuk ke sini tadi," jawab wanita yang bernama Inori itu dengan gugup. Dia masih agak syok karena ditodong pistol oleh Rei dan Heiji saat masuk ke dalam kamar hotel itu.
"Bagaimana dengan hotel favoritnya? Apa kau tahu?" tanya Shinichi.
"Seingat saya beliau biasanya memesan kamar di hotel Haido City," jawab Inori.
Mereka pun bergegas pergi ke hotel Haido City yang tidak terlalu jauh dari situ. Saat akhirnya Rei dan Heiji memasuki kamar hotel yang diduga ditempati pelaku, pelaku yang sedang duduk di balkon baru saja meletakkan gelas sampanye yang sudah kosong di meja di sebelahnya.
Rei dan Heiji menatap gelas itu lalu saling bertatapan.
"Rei-kun, apa itu kau?" tanya Nami dari balkon.
Rei pun memberi isyarat pada Heiji agar pergi keluar.
"Apa kau yakin, Inspektur?" tanya Heiji.
"Iya, aku akan menangani ini sendiri," jawab Rei.
"Aku akan menelepon ambulans," ucap Heiji. Lalu dia berbalik dan melangkah pergi sambil memasukkan pistolnya kembali ke sarungnya.
Rei juga memasukkan pistolnya kembali ke tempatnya, lalu melangkah menuju balkon.
"Iya, ini aku," ucap Rei saat dia sudah bertatapan dengan Nami.
"Aku akan membayar berapapun untuk melihat wajahnya saat ini," ucap Nami sambil mengerling tangannya.
Rei pun duduk di kursi yang ada di situ dan mengulurkan tangannya sehingga Nami meletakkan tangannya yang memegang simcard ponsel di atas tangan Rei.
"Kau benar-benar detektif yang hebat, Rei-kun. Kau benar-benar sesuai dengan ekspektasiku. Kau laki-laki pertama yang tidak mengecewakanku," ucap Nami.
Rei tidak bisa berkata-kata sehingga dia hanya diam. Dia bisa melihat kalau racun yang ditenggak oleh Nami mulai bereaksi.
"Apa kau mau menemaniku di sini?" tanya Nami.
"Ya," jawab Rei.
"Janji?" tanya Nami lagi.
"Aku janji," sahut Rei.
Nami pun tersenyum sebelum tubuhnya mulai kejang-kejang dan akhirnya tidak bergerak sementara tangannya berada dalam genggaman Rei.
Sementara itu, Wakil Jaksa Agung yang sudah berada di mobilnya yang terparkir di basemen hotel, menghidupkan ponsel yang diberikan Nami padanya. Nami berkata padanya kalau daftar klien Nami ada di situ. Dia pun mengumpat ketika dia tahu simcard ponsel itu tidak berada di tempatnya. Dan tepat setelah itu, Shinichi yang memakai rompi polisi mengetuk jendela mobilnya.
XXX
Jadi disinilah Shiho sekarang, di sebuah bar langganan timnya, untuk menemani Rei minum. Heiji tidak bisa ikut karena ibunya dan Kazuha menunggunya di apartemennya dan Shinichi sudah ditunggu oleh Ran sehingga dia juga tidak bisa ikut. Mereka minum dalam diam selama beberapa lama sampai Shiho memecah keheningan diantara mereka berdua.
"Itu bukan salahmu, Inspektur," ucap Shiho.
"Dia mati," ucap Rei.
"Ya. Tapi itu bukan salahmu," ucap Shiho sehingga Rei menatap Shiho selama beberapa lama.
Kegalauan Rei pun tiba-tiba berganti dari kasus yang baru mereka tangani ke hubungan Shiho dan Inspektur Morofushi. Dia ingin sekali bertanya, tapi dia tidak berani. Jadi dia mengalihkan tatapannya dari Shiho dan kembali pada minumannya. Dan ketika dia sudah tidak tahan lagi, dia mengajak Shiho pulang.
Rei tidak tahu apa yang sedang merasukinya karena ketika sampai di tempat parkir, dia tiba-tiba memeluk Shiho.
Shiho pun terkejut, tapi dia tidak menolak pelukan Rei. Mungkin Rei masih terguncang karena pelaku akhirnya bunuh diri dan meninggal di depannya.
Sementara itu, Rei memaki-maki dalam hati. Memeluk Shiho begitu nikmat. Bahkan ketika jantungnya deg-degan tidak karuan dan terancam melompat keluar dari dadanya, dia tetap merasa nikmat. Sekarang dia tahu kenapa dia galau. Dia tidak lagi melihat Shiho sebagai adik perempuannya. Sekarang dia melihat Shiho sebagai wanita. Dan kata-kata itu pun meluncur keluar dari mulutnya tanpa bisa dia tahan.
"Inspektur Morofushi terlalu tua untukmu, kau tahu?" ucap Rei.
Mata Shiho pun membesar dan dia mendorong Rei sehingga Rei melepaskan pelukannya. Shiho menyipitkan matanya dan menatap Rei.
"Sepertinya kau mabuk. Kita pulang naik taksi saja," ucap Shiho.
"Ap-? Aku tidak mabuk," seru Rei.
"Kau selalu mendeklarasikan dirimu sebagai kakakku, tapi kali ini kau sudah melewati batas, jadi kau pasti sedang mabuk," ucap Shiho. Kemudian dia berbalik dan melangkah menuju jalan raya.
Rei pun kehabisan kata-kata dan akhirnya dia melangkah mengikuti Shiho. Mungkin dia memang sedang mabuk.
XXX
Minggu pagi yang cerah itu, Heiji memencet bel pintu apartemen Shiho dengan senyum di bibirnya. Entah kenapa menghabiskan waktu bersama Shiho terasa sangat menyenangkan baginya. Mungkin itu karena dia tidak punya banyak teman, jadi ketika dia menemukan teman baru yang klik dengannya, hidupnya jadi lebih berwarna. Shiho memang bisa sangat sulit kadang-kadang, tapi dia masih bisa mentolerirnya.
"Masuklah, Hattori-kun. Aku ganti baju dulu," ucap Shiho setelah membukakan pintu.
Heiji menutup pintu di belakangnya, lalu mengikuti Shiho masuk ke dalam.
Heiji duduk di meja makan, lalu mengambil gelas yang ada di situ dan menuang air putih ke dalamnya untuk minum, sementara Shiho sudah menghilang ke kamar mandi. Setelah menghabiskan air putihnya, dia menyadari bahwa ada yang bergerak di tempat tidur Shiho. Dia pun terkesiap ketika seorang pria yang bertelanjang dada muncul dari balik selimut untuk duduk.
"Err, Inspektur...," ucap Heiji dengan kaget setelah dia mengenali orang itu.
Orang yang kelihatannya masih mengantuk itu langsung melotot melihat Heiji.
"Bukankah kau Heiji Hattori? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya orang itu dengan sama kagetnya.
"Aku...," Heiji tidak tahu harus bilang apa.
Lalu Shiho keluar dari kamar mandi sehingga dua orang pria yang ada di situ langsung menoleh kepadanya.
"Kau sudah bangun? Tadinya aku mau menulis pesan di pintu kulkas kalau aku lari pagi bersama Hattori-kun. Tapi berhubung kau sudah bangun, aku tidak perlu menulisnya lagi," ucap Shiho.
"Aku juga bisa lari pagi denganmu," ucap orang itu.
Pria itu sudah akan bangkit dari tempat tidur, tapi kemudian menyadari sesuatu sehingga dia mengurungkan niatnya. Heiji menduga pria itu tidak mengenakan apapun dibalik selimut, makanya dia tidak jadi bangkit dari tempat tidur.
"Tidak apa, Sayang. Kau terlihat lelah dan masih mengantuk, jadi tetaplah di sini. Anggap saja rumah sendiri. Kau bisa kembali tidur kalau kau mau," ucap Shiho.
Ketika orang itu akan membuka mulutnya lagi, Shiho menutupnya dengan kecupan di bibir.
"Aku akan membawa sarapan sepulang dari lari pagi, oke? Sampai nanti," ucap Shiho. Lalu dia berjalan ke pintu. "Ayo berangkat, Hattori-kun," ucap Shiho sambil menoleh pada Heiji yang hanya membeku di tempat dan tidak mengikutinya.
"Ah, iya," ucap Heiji. Dia mengangguk pada orang itu lalu buru-buru berangkat karena orang itu menatapnya dengan galak.
Heiji pun memaki dalam hati karena bulu kuduknya meremang saat dia keluar dari komplek apartemen Shiho. Orang itu pasti sedang menatapnya dari jendela apartemen Shiho dengan tatapan membunuh. Dia pun menghela nafas lega setelah mereka pergi agak jauh.
"Ada apa?" tanya Shiho.
"Kau masih berani bertanya ada apa?" seru Heiji sehingga Shiho tertawa geli.
"Sejak kapan kau pacaran dengan Inspektur Morofushi?" tanya Heiji sambil mengerutkan keningnya.
"Belum lama. Ini pertama kalinya dia menginap dan aku lupa memberitahumu. Aku juga lupa memberitahunya tentang rutinitas pagi kita," sahut Shiho.
"Kalau dia menginap lagi, kau harus memberitahuku karena kita tidak akan lari pagi bersama hari itu," ucap Heiji.
"Eh? Kenapa?" tanya Shiho dengan kening berkerut sehingga Heiji memutar bola matanya.
"Kau masih bertanya kenapa?" Heiji balik bertanya dengan tidak sabar.
"Ya, aku bertanya kenapa," sahut Shiho sehingga Heiji menjadi gemas.
"Karena pacarmu tidak akan menyukainya," ucap Heiji dengan tajam.
"Kenapa dia harus tidak suka? Aku lari pagi bersamamu setiap hari. Itu adalah rutinitasku. Dia harus mengerti itu," ucap Shiho dengan kening berkerut.
"Tapi tidak saat dia berkunjung. Dia sudah jauh-jauh datang menemuimu. Setidaknya kau harus menghargainya," ucap Heiji.
Shiho pun termenung mendengar ucapan Heiji, tapi kemudian dia tersenyum.
"Aku rasa kau ada benarnya. Terima kasih, Hattori-kun," ucap Shiho.
"Tidak masalah. Kembalilah ke apartemenmu sekarang. Aku juga akan pulang," ucap Heiji.
"Oke," sahut Shiho.
Heiji tersenyum kecil saat membalas lambaian tangan Shiho. Kemudian dia menghela nafas ketika Shiho sudah tidak terlihat. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Bersambung...
