"Kakashi! Kakashi!"
Kakashi Hatake mengangkat kepalanya dan tersenyum melihat Mei yang terlihat begitu antusias. Perempuan itu memberikannya kecupan sekilas di pipi sebelum melanjutkan kata-katanya.
"Aku terpilih menjadi ketua proyek! Apa kau bisa membayangkannya?!"
"Kau pantas menerimanya, Mei. Kau bekerja dengan sangat keras."
"Aku tahu! Aku masih tidak menyangka saja." Ujar Mei senang. Ia tersenyum begitu lebar sampai-sampai pipinya terasa sakit. "Karena itu aku akan pergi ke Paris selama beberapa lama… apakah kau tidak apa-apa?"
Kakashi mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"
"Errr... masih cukup banyak yang harus disiapkan untuk pernikahan kita, Kakashi. Kita belum memilih gedung, katerer, bunga, kue—"
"Bukankah itu semua bisa dikerjakan oleh wedding organizer?"
"Memang, tapi kita juga harus berdiskusi dengan mereka, 'kan?"
Kakashi terdiam melihat perempuan itu yang tampak sekali tidak tenang. Tentu saja. Mei Terumi sedang mengalami dilemma besar sekarang—mereka akan menikah enam bulan lagi, sementara ia harus pergi ke Paris dan menetap disana selama kurang lebih empat bulan. Ia tidak akan memiliki cukup waktu untuk mengurus semua keperluan pernikahan.
"Aku tidak ingin mengundur tanggal pernikahan." Gumam Mei sedih. Ia meraih kedua tangan Kakashi dalam genggamannya, lalu tersenyum kecil. "Aku juga tidak ingin membebanimu. Maksudku, kau juga punya pekerjaan yang penting kan?"
"Aku akan melakukannya."
Kakashi tahu kalau sebenarnya Mei hanya ingin meminta persetujuannya saja. Pria itu menghela napas dan memaksakan sebuah senyuman.
"Aku akan mengurusnya. Kau tidak perlu khawatir."
.
.
"Kau yakin aku tidak perlu mengantarmu ke bandara?"
"Tidak, oh, tidak perlu, Kakashi…" ujar Mei sambil tersenyum lebar. Ia memastikan dokumen-dokumen pentingnya sudah lengkap dan memeluk Kakashi dengan kencang. "Kau hanya perlu langsung datang ke gedung Kekkon saja."
Kakashi mengangguk-angguk. Ia mengusap kepala Mei beberapa kali sebelum akhirnya memandang taksi gadis itu yang berangsur-angsur menjauh.
Ini hari Sabtu. Sebenarnya Kakashi sudah berniat untuk menghabiskan waktu luangnya untuk istirahat di rumah karena pekerjaannya luar biasa banyak akhir-akhir ini, tapi ia sudah berjanji pada Mei untuk mengambil alih segala urusan pernikahan mereka selama setidaknya empat bulan. Dengan langkah berat pria itu melangkah ke arah mobilnya yang tidak terparkir jauh dari sana dan masuk ke dalam.
Gedung besar berwarna putih bersih terlihat di depannya satu jam kemudian. Tulisan besar-besar Wedding by Kekkon terbaca jelas oleh Kakashi, membuatnya membelokkan mobil dan masuk ke area parkir gedung tersebut.
"Selamat siang, Tuan. Apa sebelumnya sudah membuat janji?"
Kakashi tersenyum ke arah resepsionis tersebut. "Ya. Namaku Kakashi Hatake…?"
"Dan mempelai wanitanya?"
"Mei Terumi."
Perempuan tadi mengangguk dan mengetikkan sesuatu di layar komputernya. Beberapa saat kemudian ia kembali mengangkat kepala, kembali memberikan senyuman manisnya pada Kakashi.
"Pernikahan Hatake-Terumi… silakan langsung menemui planner kami di lantai tiga, ruang Jasmine." Ujarnya pelan. Ia memberikan sebuah kartu kepada Kakashi dan membungkukkan tubuh cukup dalam, mengakhiri percakapan.
Kakashi hanya tersenyum kembali dan tidak menjawab. Ia berjalan ke arah lift, menggunakan kartu yang diberikan tadi dan menyusuri lorong lantai tiga sesuai dengan arahan perempuan itu. Sebenarnya ia tidak tahu apa-apa tentang pernikahan ini karena Mei-lah yang selalu mengurus semuanya dari awal… tapi… ya sudahlah.
Tangannya mengetuk pintu kaca tiga kali. Sebuah suara lembut menyapanya dari dalam.
"Silakan masuk."
Kakashi mendorong pintu kaca tersebut dan tersenyum kecil.
"Hai. Aku… Kakashi Hatake." Ujarnya tidak yakin.
"Ya. Nona Terumi bercerita banyak tentangmu." Timpal perempuan di depannya. Ia mengeluarkan buku berlabel Hatake-Terumi yang setidaknya setebal lima ratus halaman dan mengulurkan tangan setelahnya. "Kita belum pernah bertemu, Tuan Hatake. Namaku Sakura Haruno, planner pernikahanmu dengan Nona Terumi."
.
.
"Aku benar-benar bodoh, Ino…"
Sakura mengusap wajahnya dengan kasar. Sanggul tingginya sudah rusak sekarang, wajahnya dipenuhi oleh air mata dan ingus yang sepertinya sudah bercampur satu sama lain. Blazzer kerjanya ia lempar ke sembarang arah beberapa menit yang lalu, dan tangannya menggenggam gelas minuman ketiganya sekarang.
"Bukankah hal itu wajar?" Tanya Ino pelan.
"Ya, tapi itu tidak seharusnya terjadi padaku! Aku mengharapkan promosi bulan depan, apa yang harus kukatakan pada atasanku sekarang?" Tanya Sakura putus asa. "Bahwa aku menyukai klienku sendiri?"
Sakura bukannya berbicara seperti ini tanpa alasan. Baginya, Mei Terumi adalah perempuan yang benar-benar bodoh karena dengan naifnya membiarkan laki-laki sesempurna Kakashi mengurus pernikahan seorang diri. Tidak, tidak seorang diri, tapi dengannya. Baru saja dua setengah bulan ia mengurus segala sesuatunya dengan Kakashi, Sakura merasa bahwa dirinya sudah jatuh hati pada pria itu.
Siapa yang tidak?
Namun kenyataannya, karirnya hancur saat itu juga. Ia tidak mungkin bisa mengurus pernikahan mereka lagi karena setiap kali bertemu Kakashi, mulut bodohnya ini tidak akan berhenti menggoda pria itu.
"Terlambat sepuluh menit, Tuan Hatake. Kau yakin masih ingin menikah?"
"Kau memotong rambutmu? Benar-benar cocok."
Baiklah, kalimat-kalimat tersebut tidak sepenuhnya menggoda, tapi tetap saja mereka menyalahi kode etik Sakura sebagai seorang perencana pernikahan. Gadis itu kembali meneguk minuman di depannya—gelas keempat, kelima, keenam, sampai akhirnya tangan Ino menghentikan gerakannya.
"Cukup. Kau harus tidur sekarang." Kata Ino dengan nada memerintah. "Saranku, carilah orang lain yang bisa menggantikan kerjamu selama beberapa bulan… bilang saja kau sedang butuh sekali berlibur atau beristirahat, terserah. Tidak usah pikirkan promosi terlebih dahulu. Yang penting kau tidak kehilangan pekerjaan."
Dan Sakura menuruti saran itu dua hari kemudian. Ia berhasil membujuk salah satu teman kerjanya untuk mengambil alih pernikahan Hatake-Terumi—dan hatinya mencelos saat itu juga. Sakura memang sudah lama tidak menyukai siapapun, tapi tidak pernah sekalipun terbersit dibenaknya kalau ia akan menyukai kliennya sendiri.
"Sakura, Hatake-san bertanya padaku apakah kau bisa menemuinya atau tidak."
Sakura tersentak pelan mendengar kalimat itu. Tangannya yang sedang mengaduk kopi berhenti tiba-tiba.
"Hatake-san?" ulangnya memastikan.
Tenten mengangguk. "Ya. Dia bilang dia ingin berbicara sesuatu padamu."
"Uh…" gumam Sakura sekilas, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Apakah kau bisa bilang padanya kalau aku tidak masuk kerja hari ini…?"
"Tidak… dia bilang dia melihatmu masuk ke ruangan tadi dan sempat memanggilmu, tapi kau menghindarinya begitu saja."
Sialan, aku lupa, pikir Sakura.
"Uh, baiklah, begini saja," kata Sakura. "Bilang saja padanya kalau aku sudah pulang."
"Kau ingin aku berbohong padanya?"
"Tidak, tidak berbohong. Karena…" ujar Sakura sambil tersenyum lebar, mengangkat gelas kopinya dengan gerakan lambat. "Aku memang akan pulang sebentar lagi. Hanya tinggal meminta ijin Yuhi-san saja, dan setelah itu aku pulang."
Tenten terlihat ragu. Namun sepertinya karena melihat Sakura yang tidak kunjung berhenti bersikap canggung, ia merasa iba dan pada akhirnya mengangguk.
"Memang susah untuk tidak menyukainya, huh?"
Sakura tersenyum masam dan tidak menanggapi. Ia keluar dari dapur kecil tersebut dan berjalan cepat-cepat masuk ke dalam ruangannya, berharap bisa menghilang saat itu juga.
.
.
Sakura pada akhirnya bisa kembali menjalani hidup normalnya. Ia tidak ingin mendengar informasi apapun tentang pernikahan Kakashi dan Tenten sepertinya juga cukup memahaminya, dan hidupnya menjadi jauh lebih ringan setelahnya. Ia kembali mendapatkan beberapa proyek besar—bahkan salah satunya adalah pernikahan anak wali kota!—dan pada akhirnya berhasil dipromosikan pada akhir tahun tersebut.
Sekarang ia berdiri tepat di depan pintu sebuah gedung pernikahan, memandang tamu-tamu undangan yang terduduk manis di meja-meja yang sudah ia pilih bersama kedua mempelai tujuh bulan yang lalu. Di telinganya terpasang monitor kecil dan matanya sibuk mengawasi setiap hal yang bisa saja salah.
"Um, siapa yang berjaga di dekat meja tamu nomor enam?" Tanya Sakura pelan. "Anak kecil berbaju biru itu menumpahkan sampanye. Cepat kirim pelayan."
Seorang pelayan datang beberapa saat kemudian dan membersihkan bekas sampanya tersebut dari taplak meja. Sakura kembali memperhatikan sekelilingnya, namun seluruhnya berjalan cukup lancar dan ia menghela napas lega setelahnya.
"Haruno-san, ada masalah dengan karangan bunga di aula depan."
Sakura menegakkan tubuh dan berjalan keluar dari ruangan tersebut dengan cepat.
"Dimana?"
"Di dekat pintu masuk… karangan bunganya sepertinya salah. Seluruhnya merupakan mawar merah muda."
"Oh, bukankah aku sudah mengingatkan tukang bunga itu untuk membawa mawar merah?!"
Sakura menggeram sendiri dan menyusuri lorong di depannya dengan tergesa-gesa. Sebentar lagi karangan bunga tersebut akan dibutuhkan dan ia tentu saja bisa mendapatkan protes kalau bunga yang diberikan salah warna. Sambil memasuki lift, Sakura menghubungi penjual bunga tersebut dan tidak berhenti menggerutu.
Kedua matanya melebar ketika melihat karangan bunga tersebut—seluruhnya merah muda.
Mati aku.
"Ya, Shiroi-san?" ujar Sakura cepat saat teleponnya sudah diangkat. "Bukankah aku memesan karangan bunga berwarna merah? Ya, tentu saja merah darah, aku tidak ada bilang kata 'muda' sama sekali, 'kan? Aku tidak ingin berdebat—apakah kau bisa mengirimkanku karangan yang baru dalam waktu lima belas menit?"
Sakura mengetuk-ngetuk meja dengan gerakan tidak sabar. Seorang rekan kerjanya datang beberapa menit kemudian, berdiri di sampingnya dengan wajah tidak kalah panik.
"Sesi pemberian lagu hampir berakhir." Bisik Naruto di sampingnya.
"Baiklah. Semuanya akan berakhir dengan baik. Jangan terlalu panik."
Sakura mengatakan hal tersebut lebih kepada dirinya sendiri dibanding Naruto. Untungnya, Shiroi mau bekerja sama dan karangan bunga berhasil dikirimkan dua puluh menit kemudian. Terduduk tanpa tenaga, Sakura meminta Naruto untuk segera membawanya ke aula atas dan ia sendiri mendudukkan diri di salah satu sofa disana.
Aku bisa gila kalau terus-terusan bekerja disini, pikir Sakura.
"Haruno-san?"
Sakura menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Mungkin karena sudah cukup lama tidak bertemu, Sakura melupakan suara yang sebenarnya terdengar sangat familiar itu.
Hatinya berhenti berdegup selama beberapa saat sebelum akhirnya ia mengumpat dalam hati.
"Hatake-san!" ujar Sakura riang. Ia segera berdiri—namun kepalanya yang tiba-tiba pusing membuatnya cepat-cepat berpegangan pada sofa saat ia merasa dirinya hampir jatuh. Dengan senyuman lebar nan canggung, ia membuka percakapannya dengan Kakashi.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Ah, aku ingin menghadiri pernikahan tetanggaku…"
Sakura mengangguk-angguk. Ia tahu meninggalkan Kakashi lagi adalah tindakan yang tidak sopan.
"Kalau begitu, aku permisi."
Sakura mengangguk sopan. Kakashi memberikan senyum sekenanya, berjalan melalui gadis itu namun berhenti beberapa langkah setelahnya.
"Kau tahu, Haruno," ujar Kakashi tiba-tiba, memandang Sakura tepat dimanik mata. "Apa yang kau lakukan padaku sangatlah tidak profesional."
Uh, aku tahu hari ini akan datang! Keluh Sakura dalam hati.
Pria itu terdiam dan memandang Sakura selama beberapa saat. Ada sesuatu yang sedang bergejolak di dalam dirinya—dan jelas terlihat bahwa ia sedang berusaha untuk mengontrol emosinya sendiri.
Pada akhirnya Kakashi menghela napas dan melambaikan tangan.
"Sudahlah. Lupakan saja." Ujarnya, tampak sedikit frustasi.
Sakura ingin sekali membungkukkan tubuh dalam-dalam dan meminta maaf saat itu juga. Namun entah kenapa, lidahnya terasa sangat kelu dan membeku di tempat. Ia tertegun ketika untuk kedua kalinya Kakashi membalikkan tubuhnya.
"Aku dan Mei tidak jadi menikah."
Suaranya terdengar sedikit nelangsa namun juga lega. Kedua mata Sakura sontak saja melebar.
"Jadi bisakah kau berhenti memblokir kontakku, agar aku bisa mengajakmu minum kopi kapan-kapan?"
.
.
