"Tidak."
Belum dua detik tercapai, jawaban Baekhyun terlebih dahulu menyambar Chanyeol. Gugup terhempas dari ekspresi pemuda itu, setengah berubah menjadi frustrasi. Baekhyun menggunakan kebisuan Chanyeol untuk berbicara, "Aku tidak membutuhkan bantuanmu."
Chanyeol menatap Baekhyun sejenak, betapa wajah sang lelaki tampak sangat muda: garis kerutan yang nyaris terdeteksi di dahi mulus; bagaimana dua alis itu mengernyit tidak setuju, protes menjerit di balik obsidian datar. Chanyeol tidak percaya bahwa jarak usia mereka adalah sebelas tahun. Pemuda itu menghela nafas, menyaring kata-kata untuk ditumpahkan, "Aku mengerti kau tidak nyaman dengan kehadiranku. Tapi Cho Hyeyoung—ia akan melakukan sesuatu yang lebih gila. Aku memang mempunyai rencana untuk menyingkirkan wanita itu. Hanya saja, aku membutuhkan waktu. Lebih tepatnya, aku menunggu kesempatan yang tepat."
Baekhyun tampak meragukan penjelasan Chanyeol, maka pemuda itu perlu meluruskan lagi, "Aku tahu, kau menganggap tawaranku tidak beretika. Mengajakmu untuk tinggal denganku..." ia setengah mengacak-acak rambut, melampiaskan stres, canggung, dan rasa bersalah ke sana. "Dengar, Byun Baekhyun-ssi... Ssaem? Aku tidak tahu harus memanggilmu apa," Chanyeol makin bertele-tele, karena ia kesulitan berekspresi bahwa ia mengkhawatirkan keadaan lelaki itu tanpa dicurigai dengan tuduhan negatif. "Aku tidak tahu cara apa lagi untuk mengawasimu dari Cho Hyeyoung. Kalau kau menerima tawaranku, kau bisa tinggal di penthouse selama rencanaku belum terlaksana. Aku tidak akan ikut campur dalam hidupmu. Apa pun aktivitasmu di luar bukan urusanku, tapi aku akan menjamin perlindunganmu selama 24 jam."
Chanyeol mempertahankan kontak mata mereka, mengharapkan Baekhyun untuk menyadari ketulusan pemuda itu. Ia murni ingin membantu sang lelaki, bukan karena tujuan kotor seperti dahulu. Jika Baekhyun harus menderita gara-gara obsesi Cho Hyeyoung terhadap Chanyeol, pemuda itu akan bertanggung jawab. "Aku paham kau sudah menikah, dan kalian perlu saling mengabari. Jika kau tidak keberatan, aku dapat menjelaskan situasi ini pada suamimu. Kapan saja suamimu ada waktu luang, kabari aku. Biar aku yang memberitahu," intonasi Chanyeol serius; ia berlagak tidak tahu bahwa Wu Yifan sedang di Cina, nada penuh wibawa menambahkan, "Kalau perlu, kau dan suamimu tinggal di sini untuk sementara. Kau akan lebih terlindungi."
Chanyeol tidak berbohong. Andai saja Wu Yifan di Korea, ia akan mengizinkan mereka untuk mengungsi ke penthouse, asalkan ini mampu melindungi Baekhyun dari Cho Hyeyoung. Bukan berarti pemuda itu menerima eksistensi Wu Yifan yang tidak berguna; Chanyeol terpaksa menoleransi sang pria karena ia adalah suami Baekhyun. Bagaimanapun juga, Baekhyun memilih untuk menikahi Yifan. Terlepas dari Chanyeol yang tidak melihat nilai guna dari sang suami, ia harus menghargai keputusan lelaki itu.
"Aku tidak memaksa," Chanyeol meyakinkan, walau ia sedang membujuk Baekhyun agar lelaki itu melihat keuntungan dari tawaran sang pemuda. "Selama kau di sini, kau tidak perlu mengkhawatirkan Cho Hyeyoung. Bodyguard-ku akan menjagamu kapan pun dan di mana pun. Entah dari jarak dekat atau jauh. Aku juga akan memantau keamananmu dari waktu ke waktu. Jangan anggap ini sebagai peluang utang budi. Selama Cho Hyeyoung ingin menyakitimu karena obsesinya padaku, kau adalah... tanggung jawabku. Kau tidak berhak untuk terseret dalam sesuatu yang bukan masalahmu. Pikirkan baik-baik tawaranku, Byun Baekhyun. Demi keselamatanmu sendiri."
Mata Chanyeol teralih ke salah satu tangan Baekhyun, lima jari lentik yang tampak mengepal di selimut. Pemuda itu memandang obsidian sang lelaki lagi, membaca keraguan di sana. "Aku akan menghargai privasimu," Chanyeol meluruskan, memundurkan kursi agar jarak mereka lebih luas. "Aku akan mengubah setting kamar ini untuk sidik jarimu dan suamimu saja, kalau ia memang menemanimu tinggal di sini. Pintu kamar otomatis terkunci selama ditutup, dan tidak ada yang dapat membuka termasuk aku. Tidak ada jam malam, silahkan pulang kapan pun kau mau dan kau tetap dilindungi 24 jam. Kalau kau lapar, ada makanan di lemari es atau kau dapat meminta koki untuk memasak," Chanyeol membasahi bibir, menelan liur ke kerongkongan yang mendadak kering. "Hanya karena kita satu atap, bukan berarti kita selalu berpapasan. Aku yakin kita sama-sama sibuk. Jadi, kau tidak perlu khawatir untuk sering melihatku. Aku... jarang di penthouse."
Chanyeol akan sering mendatangi pesta atau acara tidak penting para chaebol apabila ini mengurangi frekuensi pemuda itu di penthouse. Siapa pun tidak mungkin nyaman berada dalam satu ruangan dengan bajingan yang hampir memperkosanya. Jika kehadiran Chanyeol memicu trauma Baekhyun untuk kambuh seperti tadi, pemuda itu lebih baik menghindari penthouse dan memantau lewat Kwak Taegeun. Setidaknya ia tahu bahwa Baekhyun masih dalam jangkauan mereka.
Baekhyun memalingkan muka ke arah lain. Sunyi melahap mereka selama beberapa menit, menyisakan bunyi canggung dari air conditioning dan kaki Baekhyun yang bergerak di atas kasur. Mereka sama-sama terdiam sebelum lelaki itu berujar dingin, "Tidak."
Penolakan lagi.
Park Chanyeol di masa lalu pasti akan menertawai Park Chanyeol di masa sekarang karena ia nyaris mengemis demi melindungi orang lain. Seseorang yang statusnya bahkan tidak layak disamakan dengan keluarga Park, salah satu konglomerat terhormat se-Korea Selatan. Layaknya pecundang, Chanyeol membujuk dan memohon, hanya untuk ditolak. Penolakan Baekhyun pun bukan sekali saja, melainkan dua kali. Tragis. Menyerupai pecundang.
Sesak mengusik dada Chanyeol, dan ekspresinya berbalik datar, menimbun perasaan di belakang hazel kosong—menghadapi realita bahwa Baekhyun tidak akan memercayai pemuda itu sampai akhir hidupnya. "Baiklah," ia berkata tenang, mengangguk sekali seakan-akan ia tidak terpengaruh oleh penolakan terang-terangan Baekhyun. Pemuda itu meraih ponsel seri lama milik Baekhyun dari meja laci (sengaja diletakkan di sana usai terjatuh dari saku sang lelaki), mengabaikan desis protes Baekhyun untuk memasukkan nomornya dengan nama kontak Park Chanyeol. "Hubungi aku kalau ada sesuatu."
Chanyeol bangkit dari kursi, keluar ruangan untuk mengambil sebuah kaleng dari lemari es.
Entah kenapa, cairan segar dari bir pun tidak mampu melenyapkan perasaan asing di benak pemuda itu.
.
.
CHAPTER 6
.
.
Chanyeol tidak menahan Baekhyun untuk tinggal. Lelaki itu langsung pulang keesokan harinya, menyeret tubuh setengah lemas keluar penthouse pada pukul tujuh pagi, membuang muka walau berpapasan dengan Chanyeol di ruang makan. Sang pemuda tidak menyediakan supir bagi Baekhyun, membiarkan lelaki itu melakukan apa yang ia mau: pulang tanpa sarapan, tanpa basa-basi untuk meruntuhkan canggung. Percuma menawarkan kebaikan yang dicurigai sebagai ancaman.
Meski begitu, Chanyeol tetap melakukan perlindungan secara diam-diam. Selama delapan hari berturut-turut, pemuda itu terus memantau Baekhyun lewat CCTV yang dipasang di sekitar rumah dan depot sang lelaki. Setiap hari, ia menerima sejumlah foto berisi aktivitas harian Baekhyun, membawa jaminan bahwa lelaki itu memang baik-baik saja. Menurut bawahan Lee Donghae, mereka tidak melihat orang lain yang membuntuti Baekhyun selain dari suruhan Chanyeol. Mereka juga tidak menemukan bangkai binatang yang sengaja ditinggal di depan rumah sempit Baekhyun. Secara singkat, situasi Baekhyun sedang aman dan tentram. Belum ada tanda-tanda berbahaya dari Cho Hyeyoung.
Tetap saja, ini bukan berarti mereka bisa lengah.
Terakhir kali Hyeyoung menelepon Chanyeol (empat jam usai Baekhyun pergi dari penthouse), pemuda itu langsung mengancam sang wanita. Kecaman yang dilontarkan dalam nada berbahaya yang mengintimidasi dan pasti menanamkan benih ketakutan di benak Hyeyoung. Respons sang wanita berupa pengelakan disertai tangisan lemah, dan Chanyeol memutar mata oleh dramatisasi Hyeyoung.
"Bukan aku. Aku—aku bersumpah bukan aku, Chanyeol-ah!"
Wanita itu terus membantah, dan Chanyeol terkesan oleh akting profesional sang wanita yang nyaris menyaingi aktris papan atas. Sesi telepon mereka tidak melebihi dua menit sebelum Chanyeol menutup secara sepihak.
Sejak "percakapan" tadi, Hyeyoung belum menghubungi ataupun menghampiri Chanyeol lagi sampai sekarang. Pemuda itu yakin sang wanita mengerti bahwa seorang Park Chanyeol bukan asal berbicara; ia tidak segan-segan melakukan kekerasan apabila Hyeyoung berani bertindak di luar kendali. "Coba saja menantangku, bukan aku yang akan menyesal," adalah apa yang Chanyeol katakan pada Hyeyoung. Apabila wanita itu cukup waras untuk berpikir lurus, ia tidak akan menantang Chanyeol. Dari segi IQ saja, sungguh mudah untuk menentukan siapa yang akan menang. Belum lagi, Chanyeol tidak mungkin pergi berperang jika senjatanya tidak lengkap.
"Young Master."
Suara Kwak Taegeun menyadarkan Chanyeol dari lamunan. Pemuda itu memindahkan atensi dari layar MacBook Pro. "Nyonya telah berada di lift," sang asisten masih menunduk saat ia melanjutkan, "Beliau ingin kemari untuk mengunjungi Anda."
Chanyeol mengangkat alis heran. Dari awal kepindahan pemuda itu kemari, ibu baru dua kali mendatangi penthouse karena ia malas bertemu sejumlah teman (baca: golongan ibu muda chaebol tukang menggosip) yang tinggal di EXO Tower. "Tiba-tiba?" Detik itu juga, ketukan pada pintu utama terdengar, dan sang pemuda mengangguk pada Taegeun, sebuah isyarat untuk mengantar Han Hyojoo masuk. Aroma parfum mahal yang familier pun berlari ke penciuman Chanyeol, mengantarkan hangat dalam dada pemuda itu. Sosok elegan ibunya memasuki penthouse: wajah ber-make up tipis, rambut cokelat yang berhenti di sekitar sikut, gaun motif flowery putih selutut, dan sepatu tinggi hitam. Bagi Chanyeol, ia adalah malaikat dalam keluarga kecil mereka.
"Halo, putra tampan Ibu," ia menyapa, menyambut pelukan lembut pemuda itu. Kwak Taegeun tetap menunduk, membungkuk pada Han Hyojoo lalu undur diri, memberikan privasi bagi mereka. Sang ibu mengelus helai Chanyeol pelan, warna rambut yang menyamai satu sama lain. "Ibu dengar kau sibuk di kantor sekarang."
Chanyeol melonggarkan pelukan mereka, menunduk untuk tersenyum tipis. Dahulu, tingginya sepinggang sang ibu, sekarang ia bertumbuh dua kali lebih menjulang. "Begitulah," Chanyeol menjawab ala kadarnya, enggan membahas urusan perusahaan karena itu mengingatkan sang pemuda pada Park Seojoon. "Tumben Ibu kemari. Ada apa?"
Han Hyojoo mendorong kening Chanyeol main-main. "Apa kau tidak suka dikunjungi Ibu?" godanya, menyipitkan mata curiga. Chanyeol mengangkat tangan menyerah. "Hubungi chef-mu. Kita perlu makan malam."
Dengan disajikan wine dan steak favorit, mereka meluangkan waktu bersama untuk sekadar mengobrol, diiringi oleh musik jazz dari speaker televisi ruang tengah. Kalaupun ibu menyadari kejanggalan suasana hati Chanyeol, ia tidak mencari tahu. Walau hubungan mereka dekat, ibu tidak pernah mengobak-abik privasi sang putra, memercayakan Chanyeol untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Terkecuali di masa lalu saat Chanyeol mudah meledak dalam emosi, terutama menyangkut Park Seojoon.
Han Hyojoo meletakkan garpu dan pisau ke piring, hazel identik mengamati pemuda itu dari seberang meja. "Chanyeol-ah."
Sang putra berhenti untuk meneguk sedikit wine, menaikkan alis jahil oleh intonasi serius Hyojoo."Ibu... tidak hendak memarahi Chanyeol, kan?" ia sedikit mengerutkan bibir manja, memplagiat ekspresi masa SD pemuda itu. Ketika ibu menggeleng geli, Chanyeol justru melambaikan jari peace. "Percayalah, aku tidak melawan Ayah dari dua minggu lalu," ia menggerakkan bola mata ke direksi lain, cepat-cepat mengoreksi sambil menyeringai, "Belum."
Hyojoo menghela nafas. "Park Chanyeol," ia mengulang, nada lebih tegas. Pemuda itu otomatis terdiam, menahan diri untuk tidak tertawa usai meledek ibu. Hyojoo menatap meja hampa sebelum berujar pelan, "Ibu... akan pindah ke Los Angeles. Untuk memperluas bisnis ke Amerika Serikat."
Chanyeol mengangkat kepala, menemui rasa bersalah di tatapan ibu. Ada emosi lega sekaligus tidak rela yang menyambuk batin pemuda itu, teringat oleh masa lampaunya di New York: mandiri dalam hunian mewah yang didominasi pelayan. Menunggu kedatangan ibu yang tidak lebih dari sepuluh kali dalam setahun, tapi selalu menghubungi sang putra lewat e-mail maupun telepon. Chanyeol lantas tersenyum simpul. "Aku senang," ia berbicara lembut, meremas tangan ibu dari seberang meja. "Ibu akan lebih bahagia di sana daripada di sini."
Chanyeol tidak berbohong. Pemuda itu tahu betapa menderita ibu untuk tinggal di mansion Park, ditindas dan direndahkan secara verbal oleh suaminya sendiri. Belum lagi Park Seojoon terang-terangan berselingkuh, sengaja tidak pulang untuk meniduri wanita lain di hotel. Pindah ke Los Angeles memang akan mengurangi frekuensi pertemuan mereka, tapi teknologi sekarang sudah canggih dan mereka bisa sewaktu-waktu mengobrol lewat video call. Lagi pula, umurnya 21 tahun; dari kecil pun, pemuda itu dilatih untuk menjadi mandiri dan tidak dapat terus bergantung pada perhatian orang tua.
Mata Hyojoo berkaca-kaca, membendung air mata untuk turun. "Chanyeol-ah..."
Chanyeol menggeleng, dua tangan kini menggenggam jemari indah ibu. "Jangan khawatir. Putra Ibu sudah dewasa," sudut bibir pemuda itu terangkat menjadi senyuman tulus. "Aku akan sering ke Los Angeles untuk mengunjungi Ibu."
Alunan piano lembut mengalir dalam ruangan, menenangkan wanita cantik yang kini terisak, ucapan maaf terucap bertubi-tubi dari bibir merah mudanya.
.
.
Jemari lentik berkuku ungu memegang ponsel, telunjuk mengeksplor sosial media lewat layar persegi panjang. Sang pemilik, seorang wanita cantik dengan rambut abu-abu panjang dan makeup natural, terus mengunyah permen karet, sesekali menggerutu tanpa mengamati sekitar. Suasana di sana tampak sepi, tersembunyi di antara bangunan kosong dan ramai oleh bunyi serangga. Dua preman laki-laki dan dua bodyguard perempuan mengelilingi wanita itu, menunduk penuh hormat.
Suara protes dan tubuh yang diseret seketika menyita perhatian mereka.
"Nona Cho."
Wanita itu—Cho Hyeyoung—menengadah, bibir berlapis merah tersenyum kecut oleh suatu pemandangan. Seorang lelaki cantik berdiri di depan Hyeyoung, obsidian cemas seperti rusa yang takut menjumpai singa, masing-masing tangan ditahan oleh preman. "Byun Baekhyun," ia berkata datar, tidak memindahkan lensa mata emas dari lelaki itu. Hyeyoung memasukkan ponsel ke dalam tas, menghampiri Baekhyun untuk memegang dagunya kasar. "Beast," komentarnya sarkastis, mengeraskan kunyahan sebelum meludahkan permen karet ke wajah Baekhyun. Lelaki itu menutup mata, membisu selagi bekas permen karet tadi jatuh dari hidung ke tanah. "Tipe wajah pelacur yang tidak tahu malu. Menggoda tunangan orang lain dengan tipuan murahan," Hyeyoung membenturkan mata mereka dalam tatapan tajam. "Jelaskan, apa urusanmu dengan calon suamiku? Kenapa kau ke penthouse lagi tadi siang? Kenapa kau sering ke penthouse?!"
Bibir Baekhyun menggigil. "Saya—saya hendak membayar utang."
Sebuah tamparan keras melanda salah satu pipi Baekhyun.
Sekujur tubuh lelaki itu gemetaran hebat, dan Hyeyoung menjambak rambut Baekhyun, dipaksa untuk mendongak, api cemburu kekanak-kanakkan membara di balik manik lebar. "Berengsek," ia mendesis mengerikan, amarah makin terluap selagi ia menampar pipi Baekhyun berkali-kali hingga memerah. "Miskin. Kotor. Manipulatif. Haruskah aku mengingatkan apa posisimu di sini?! Omong kosong apa yang kau katakan pada Chanyeol-ku?" Hyeyoung menarik kerah Baekhyun, hak tinggi menendang kaki sang lelaki. "Berani sekali kau mencuci otak tunanganku, menjadikanku tokoh antagonis dalam 'kisah' kalian yang tidak lebih dari halusinasi bagi lelaki miskin sepertimu?!"
Pegangan para preman pada lengan Baekhyun mengerat. Air mata ketakutan mengalir ke mulut; lelaki itu telah terjebak, badan sengaja tidak diberi kesempatan untuk bergerak—menerima setiap tamparan dari Hyeyoung. "Saya—saya tidak tahu apa-apa, Nona..." ia menjawab terbata-bata, terus menunduk seperti manusia lemah. Hyeyoung memperoleh kepuasan dari menginjak-injak harga diri lelaki ini. "Saya tidak berbohong, Nona... Sungguh. Kami—hubungan kami—bukan apa-apa... tidak seperti bayangan Nona."
Sang wanita mendadak merampas ponsel kuno Baekhyun dari saku, secara mudah membuka isi kontak lelaki itu karena tidak memakai kata sandi. "Park Chanyeol?" ia membaca sebuah kontak, tersenyum pahit. "Kau tidak mempunyai hak untuk menyimpan nomor tunanganku, pelacur!" suara cempreng Hyeyoung meledak dramatis di antara gedung kosong. Ibu jari wanita itu setengah meraba tombol gagang hijau, melayangkan seringai ke direksi Baekhyun. "Kita lihat butuh berapa lama Chanyeol akan mengangkat teleponmu," Hyeyoung mendelik penuh dendam pada Baekhyun, kuku sengaja ditancapkan pada pergelangan sang lelaki yang terbungkus oleh sweater merah. "Makin cepat ia mengangkat, makin lama aku akan memberimu pelajaran."
Kuku ungu menekan tombol call, langsung mengaktifkan loud speaker.
Beep.
Mereka menunggu. Obsidian panik Baekhyun menatap ponsel khawatir.
Beep. Beep. Beep.
Seringai Hyeyoung bertambah lebar, raut penuh kemenangan. Chanyeol tidak mengangkat telepon Baekhyun, panggilan otomatis diarahkan ke voicemail. "Well, well," wanita itu asal menjatuhkan ponsel Baekhyun ke tanah, tidak memedulikan casing yang terpisah dari benda tersebut. "Tebakanku benar. Chanyeol memang tidak menganggapmu penting."
Baekhyun menelan liur. "Mohon... lepaskan saya," ia mengemis terbata-bata, mengamati ponsel kuno yang tergeletak di tanah. "Saya—saya benar-benar tidak memiliki hubungan dengan Park Chan—Chanyeol."
Hyeyoung mengangkat tangan, dan para preman pun berhenti menahan Baekhyun. Lelaki itu terhempas tidak berdaya, lutut menabrak tanah dan punggung membungkuk. Hyeyoung memutar mata, berkali-kali menendang bahu Baekhyun sampai ia mundur ke dinding. Ada sinar psikopat dalam mata emas Hyeyoung, niat buruk terpendam di sana. Sang wanita memegang dagu Baekhyun, mendongak paksa kepala lelaki itu untuk saling menatap dalam bisu. "Buat pelacur ini muntah darah," titah Hyeyoung, sekali lagi mendorong tubuh Baekhyun agar kepalanya terbentur dinding. "Karena kau pintar mengemis... kali ini, aku tidak akan mengeroyok wajahmu. Tapi, kedua kalinya kita bertemu, aku akan menghabisimu dari rambut sampai ujung kaki..." wanita itu mengulurkan tangan untuk menjambak rambut Baekhyun, berbisik ngeri di telinga sang lelaki, "Jadi, jangan biarkan kita bertemu lagi, mengerti?"
Begitu cengkeraman Hyeyoung dilepas, tubuh Baekhyun segera dikerumuni oleh para preman, bertubi-tubi pukulan kasar menyerang area perut.
.
.
Lampu kelap-kelip dalam ruangan gelap. Kerumunan orang yang berdempetan untuk menari. Lagu-lagu EDM yang diputar dengan volume tertinggi. Variasi suara yang meramaikan suasana.
Chanyeol menempati meja paling terisolasi di lantai dua, ditemani oleh Oh Sehun, Kim Jongin, dan Choi Minho, masing-masing memegang gelas berisi whiskey. Obrolan mengenai bisnis, dunia perkuliahan, dan flings masa lalu mengalir natural dari mulut mereka, seperti bagaimana para pemuda kaya saling bercakap santai. Meski begitu, Chanyeol tetap membisu sejak ia mendatangi klub, tatapan kosong diarahkan secara acak antara pada pasangan yang sedang bercumbu mesra, lantai, atau kumpulan manusia yang menari bebas di lantai dansa. Atensi Chanyeol berada pada seorang lelaki polos yang mendatangi penthouse tadi sore, harus berakhir ditemui Kwak Taegeun karena pemuda itu belum "sembuh" dari penolakan minggu lalu. Kini, ia malah terjebak dalam pesta chaebol untuk mencari kegiatan, memakai topi, hoodie, dan jeans serba hitam—jenis outfit yang tidak sesuai dress code.
Sesuai dugaan, dua jam terlewati tanpa inisiatif berbicara dan Chanyeol gagal untuk tidak memikirkan lelaki itu.
"Aku tidak membutuhkan bantuanmu."
Intonasi keras kepala Baekhyun menggema di telinga Chanyeol, membuat pemuda itu secara tidak sadar membanting gelas kaca ke meja, menyebabkan barang tadi setengah pecah. Bukan hanya Sehun, Jongin, dan Minho yang kompak berhenti mengobrol, sejumlah orang juga menoleh untuk memandang Chanyeol penasaran. "Hey, kau tidak apa-apa?" Jongin terlebih dahulu berkata, memotong kecanggungan akibat aksi mendadak Chanyeol. Ia menatap sekitar, menyadari bahwa atensi kini berada pada sang sahabat. "Gelasmu..."
Chanyeol tidak menggubris Jongin, tangan terangkat sebagai perintah untuk mendatangkan pelayan. Seorang lelaki berseragam putih pun mendatangi mereka, dan Chanyeol mengeluarkan dompet, menyerahkan sejumlah lembaran lima puluh ribu won. Jumlah yang terlalu tinggi untuk kompensasi satu gelas yang pecah. "Untuk ganti rugi," ujarnya datar, ekspresi dilanda kebosanan. Ia tidak bereaksi saat pelayan tadi membungkuk gugup, menciut di bawah tatapan kosong Chanyeol—suara tegang yang mengucapkan terima kasih.
Jongin dan Minho bertukar pandangan bingung, sementara Sehun kembali meneguk whiskey santai.
"Ada masalah?" tanya Minho, mengalungkan lengan di bahu Chanyeol. Pemuda itu tetap terdiam. Jongin mengangkat alis berkonotasi negatif ke direksi Minho, menuai kekehan jahil dari Sehun. Minho memahami apa maksud mereka, memanfaatkan pasifnya Chanyeol untuk meremas bahu sang pemuda. "Begini, kawan," ia memulai, nada berlagak serius, "Kalau kau ada masalah, hanya satu solusinya. Get laid."
Jongin mengangkat gelas ke arah Chanyeol. "Cari seorang gadis atau laki-laki, sesuai preferensi."
"Tidak harus satu, bisa juga beberapa atau campuran dua jenis kelamin," Sehun menambahkan, mata berkedip menggoda. "Tergantung suasana hatimu sekarang."
Chanyeol menghabiskan sisa whiskey di gelasnya dalam sekali teguk. "Fuck off," ujar pemuda itu singkat, merasa mual oleh gagasan untuk bersetubuh dengan orang asing. Padahal, beberapa lelaki maupun gadis dengan fisik ideal Chanyeol (dada besar, pinggang kecil, pinggul sintal) bertebaran dalam klub, namun entah kenapa ia sama sekali tidak tertarik untuk meniduri mereka. Realita ini menyadarkan Chanyeol bahwa ia kehilangan nafsu seks dengan orang lain begitu bertemu Baekhyun. Nafsu itu makin punah sejak ia mencoba untuk memperkosa Baekhyun beberapa waktu lalu.
Chanyeol telah berhenti menemukan hiburan dari seks.
Pemuda itu lantas menggerayangi masing-masing saku, mencari keberadaan benda persegi panjang di sana. "Ponselku..." ia menggumam pada diri sendiri, menoleh ke sekitar sebelum menyadari sebuah tangan yang terulur dari seberang meja. Jongin dan Minho menahan tawa di samping sang pemuda.
Sehun sedang menggeleng dramatis, tangan memegang iPhone Chanyeol. Pemuda itu mengabaikan sang sahabat, beralih untuk merampas ponsel dari genggaman Sehun. "Tsk, tsk," ia berkomentar, mata jahil mengamati gerak-gerik cuek Chanyeol. "Ke mana konsentrasimu pergi, Park Chanyeol? Dari tadi kau tidak sadar menjatuhkan ponselmu di lantai?"
Ketika mereka kian mengejek Chanyeol, pemuda itu malah mengecek tumpukan notifikasi di layar, jumlah berlebih yang menutupi gambar lockscreen. Perhatian Chanyeol langsung tertuju pada salah satu pemberitahuan.
Missed
Byun Baekhyun (22:07)
39 menit yang lalu.
Chanyeol setengah mendelik, tergesa-gesa berdiri untuk meninggalkan meja, mengabaikan panggilan tiga orang di sana. Pemuda itu memasuki toilet, mencari suasana hening sebelum menekan tombol hijau. Kendati begitu, setiap panggilan yang ia lakukan selalu diarahkan ke voice mail. "Angkat, Baekhyun. Angkat," Chanyeol berbicara sendiri, belum menyerah untuk menelepon yang kelima kalinya. Begitu panggilan ini gagal, pemuda itu berhenti, tangan sekilas meremas topi. "Fuck," ia mengumpat, membayangkan sejumlah skenario dan alasan kenapa Byun Baekhyun tiba-tiba menelepon Chanyeol. Sejak proses cicilan pertama, Baekhyun tidak pernah berusaha untuk menghubungi Chanyeol, datang ke penthouse sesuai jadwal perjanjian di awal. Pemuda itu tidak dapat menebak apa maksud Baekhyun.
Chanyeol melirik refleksinya di kaca, termenung beberapa detik sebelum tergesa-gesa meraih kunci mobil.
Ia perlu memastikan bahwa Baekhyun baik-baik saja.
Tepat pukul 23:12, Sián FKP 37 Chanyeol terparkir di seberang "Depot Masakan Cina Wu", mobil hijau edisi terbatas yang mencolok di pemukiman sederhana. Pemuda itu pergi sendiri, terlebih dahulu memberitahu Kwak Taegeun bahwa ia hendak mengecek keadaan Baekhyun, dan berpamitan dengan Jongin yang sempat mencarinya ke toilet. Chanyeol menghela nafas, melirik depot dalam hening—mendadak ragu-ragu untuk masuk. Meski lampu ruangan masih menyala, tulisan CLOSED telah terpajang pada pintu.
Chanyeol masih terjebak dalam bimbang saat ia berdiri di depan pintu masuk, mengintip dari luar suasana depot yang sepi total. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali sahutan serangga dari rerumputan. Sejenak, Chanyeol mempertimbangkan cara untuk menekan knob pintu tanpa bersuara, mengendap-endap ke dalam lalu mengunjungi Baekhyun di dapur. Pemuda itu takut diserang tuduhan negatif, tapi pada saat yang sama, ia merasa canggung untuk terlebih dahulu mengetuk pintu seperti orang bertata krama.
Lamunan Chanyeol tidak berlangsung lama, sebab samar-samar tangisan familier mulai memasuki pendengaran pemuda itu, bulu kuduk naik oleh ketakutan.
"Baekhyun!" ia berseru panik, menerobos pintu untuk mencari lelaki itu, pandangan mengelilingi setiap sudut dalam ruangan—memanggili nama ini berkali-kali ke mana pun ia berlari. Lelaki itu langsung membisu, tapi Chanyeol tidak berhenti mencari, menyingkirkan tirai menuju dapur, mengumpat kala ia justru disambut oleh kekosongan. Barulah ketika Chanyeol menghadap ke belakang, ia melihat sebuah figur mungil meringkuk di bawah meja kasir, kulit pucat yang bersinar dalam kegelapan. Chanyeol membeku, perlahan memproses apa yang ia lihat, amarah membangun fondasinya dalam benak pemuda itu.
Hal pertama yang menyita perhatian Chanyeol adalah darah.
Di pojok bibir Baekhyun, atau saat ia tidak sengaja membuka mulut, cairan merah yang menyangkut di gusi lelaki itu.
Chanyeol melihat sisa air mata. Obsidian yang memerah usai menangis lama. Pipi yang membengkak akibat tamparan berkali-kali, persis seperti apa yang ia alami akibat emosi fluktuatif Park Seojoon. Sesuatu menyerupai gusar dan kecewa pada diri sendiri mengerubungi Chanyeol, melampiaskan seluruh perasaan pada kepalan tangan.
Cho Hyeyoung.
Ini pasti ulahnya, dan Chanyeol sudah gagal melindungi Baekhyun, justru berfoya-foya di pesta yang membuang waktu.
"Rumah sakit," pemuda itu kesulitan merangkai kalimat dalam pikiran kalang kabut, hampir membungkuk untuk menarik Baekhyun ke mobil. "Kau—kau harus ke rumah sakit."
Tapi, Baekhyun seperti menolak untuk berdiri, mendelik lemas dari bawah meja. Lelaki itu tampak sangat mungil, rapuh seperti kaca yang akan hancur jika disentuh sembarangan. "Pergi."
Ada intonasi asing dari suara Baekhyun, menyerupai dendam, benci, emosi yang terpaksa ditahan. Chanyeol tidak menghiraukan lelaki itu, membungkuk untuk menarik Baekhyun dari sana, ingin cepat-cepat mengantar Baekhyun ke rumah sakit. Sang lelaki menampar tangan Chanyeol. "Pergi!" jeritan gusar menghentikan usaha Chanyeol untuk bergerak. Kilat jijik tampak di masing-masing manik Baekhyun, sebuah tatapan familier yang lelaki itu tunjukkan jika Chanyeol mendekat. Jijik, karena bagaimanapun juga, ia pernah berusaha untuk memperkosa Baekhyun. "Pergi! Aku tidak mau melihatmu! Jangan sentuh aku!"
Chanyeol langsung memundurkan tubuh. "Baekhyun..."
"Apa kau puas?" Baekhyun mengeratkan pegangan pada ujung sweater, warna putih yang dinodai oleh bekas darah. Suara lelaki itu pecah, layaknya memaksa untuk berbicara walau ia tidak mampu. "Apa kau puas telah merusak hidupku?"
Chanyeol membuka mulut, tapi Baekhyun langsung menginterupsi pemuda itu, "Aku dilecehkan. Dihina. Difitnah. Disiksa tanpa alasan... oleh seseorang yang bahkan tidak kukenal," ia tersenyum pahit, seolah-olah menyerah untuk bersikap kuat lagi. Dada Chanyeol sesak mendengar nada tidak bernyawa Baekhyun. "Hidupku tidak tenang. Setiap hari... aku merasa diikuti. Dikejar. Diteror oleh bangkai binatang. Mungkin sebentar lagi aku akan dibunuh untuk sesuatu yang bukan salahku."
Dingin tersorot dari obsidian Baekhyun. "Semua ini salahmu," lirihnya, air mata terlebih dahulu bercucuran. Chanyeol hanya dapat membisu, menerima setiap tuduhan Baekhyun sebagai permintaan maaf tanpa suara. "Gara-gara kau, aku harus hidup dalam ketakutan. Apakah aku akan baik-baik saja? Apakah bajingan itu akan memaksa untuk menyentuhku lagi?" intonasi hampa Baekhyun mengais sisa oksigen dalam paru-paru Chanyeol, menghadangnya dari bernafas tenang. Memori malam itu terulang lagi dalam pikiran Chanyeol, menyiksa sang pemuda untuk menderita oleh rasa bersalah. "Apakah bajingan itu akan membunuhku? Sampai kapan bajingan itu menganggap hidupku sebagai permainan yang ia kontrol kapan pun ia mau?"
Chanyeol tidak bergerak dari posisi ia berdiri, memandang Baekhyun dalam hening. Mata cokelat diam-diam memohon untuk dimaafkan, sedangkan mata hitam diliputi kebencian. "Park Chanyeol. Tidak sulit untuk mencari informasi tentangmu," Baekhyun melanjutkan, mengeluarkan tawa meremehkan seolah-olah lelaki itu tidak peduli pada status Chanyeol. Sang pemuda membuang muka, pertama kalinya merasa malu dengan titel yang diagung-agungkan itu. Sejak mereka awal bertemu, baru kali ini pula Baekhyun terang-terangan mengungkapkan siapa Park Chanyeol. "Pewaris tunggal EXO Group... Putra semata wayang Park Seojoon," ia menggertakkan gigi. "Pantas kau bersikap sesukamu. Kau memiliki segalanya."
"Lantas, kenapa bajingan kaya sepertimu mencari hiburan dari orang miskin sepertiku?!" bentakan Baekhyun memecah sunyi yang mencekam, amarah meledak seperti kesetanan. "Apa kau tidak puas sebelum kau menghancurkan hidupku?! Apa kau tidak ingin berhenti sebelum kau memperoleh tubuhku?! Bajingan," air mata Baekhyun bertambah deras, layaknya teringat oleh mimpi buruk yang sampai kini berbekas dalam memori. Lidah Chanyeol terikat, tidak mampu digerakkan sekalipun egonya berteriak untuk meminta pembelaan. Bahwa ini bukan salah Chanyeol, dan ia tidak perlu bertanggung jawab untuk penderitaan Baekhyun. Tapi pemuda itu tidak bisa. "Kau telah melecehkanku dengan segala cara. Mengacaukan hidupku. Menganggapku sebagai barang yang dapat kau permainkan hanya karena kau berasal dari keluarga berada."
Nafas Baekhyun berantakan; dada naik-turun tidak teratur seraya berujar lantang, "Di saat kami membanting tulang demi semangkuk nasi, kau tertidur dalam rumah mewahmu, dikelilingi pelayan yang melayanimu setiap saat. Tidak ada beban, karena dunia sudah tunduk padamu sebelum kau lahir..." tangan kecil Baekhyun mengepal gemetaran, air mata bercampur sisa darah di mulut jatuh ke sweater. Ia belum selesai berbicara, meluapkan seluruh emosinya pada Chanyeol, sedangkan pemuda itu terus membisu. "Kau pikir aku membutuhkan perlindunganmu? Aku lebih baik mati. Atas alasan apa aku harus memercayai bajingan yang hendak memperkosaku?! Atas alasan apa aku sudi untuk bergantung pada bajingan yang sengaja menyengsarakan hidupku?!"
"Kau pasti berpikir perilakumu dermawan," Baekhyun mengalihkan tatapan ke direksi lain, seringai kecut melekat di wajah cantik lelaki itu. "Menolong seorang pria miskin untuk melunasi utang. Berpura-pura untuk bertanggung jawab. Omong kosong!" ia memeluk kakinya lebih dekat, meringkuk seperti melindungi diri dari Chanyeol. Menyembunyikan tubuh dari monster yang menghantui mimpi lelaki itu. Sedikit demi sedikit, sebuah belati menggoreskan lukanya ke dada Chanyeol, menyaksikan akibat dari nafsu kotor sang pemuda di malam itu. Sebuah trauma yang tidak mungkin sembuh selamanya. "Kau adalah penipu. Kau hanya mengincar tubuhku. Kau tidak layak untuk dipercaya... sampai kapan pun."
Suara Baekhyun terbenam di lengan lelaki itu, wajah menempel pada lutut. "Aku tidak bisa bebas. Bekerja... melunasi utangku agar aku berhenti menemuimu..." ia berangsur-angsur tenang, perkataan tidak diselimuti dendam seperti tadi. "Sekarang mimpi sederhanaku tidak akan tercapai. Hidupku terancam. Aku harus merasa waswas, karena ia—calon tunanganmu menganggapku sebagai pelacur," Baekhyun menggeleng, isakan pelan yang menyatu dengan angin. Chanyeol mengernyit, gusar bangkit lagi oleh sebutan kejam dari bibir Baekhyun. Hyeyoung, psikopat itu, menganggap Baekhyun sebagai pelacur. Chanyeol harus memberi Hyeyoung pelajaran. Pemuda itu ingin—tidak, ia akan—menyiksa Hyeyoung sampai wanita itu mengaku bahwa sebutan pelacur lebih pantas baginya sendiri. "Ia akan membunuhku. Ia akan menyingkirkanku untuk tuduhan yang tidak pernah benar. Suamiku akan sendirian... aku tidak ingin meninggalkan suamiku."
Pembicaraan Baekhyun bertele-tele, layaknya menggigau di tengah mimpi buruk, "Gara-gara kau—calon tunanganmu... kalian, orang-orang kaya yang tidak tahu apa-apa tentang bekerja keras..." suaranya makin pelan, mendekati tumbang bersama alur nafas yang tenang, "Kalian—kalian—"
Baekhyun berhenti di sana, karena ia tiba-tiba ambruk, lengan kehilangan kekuatan untuk menampa tubuh. Chanyeol tergesa-gesa berlutut, menahan lelaki itu agar tidak jatuh ke lantai, sebaliknya menempatkan kepala Baekhyun pada dada sang pemuda. Permintaan maaf telah menunggu di ujung lidah Chanyeol, memohon untuk diam-diam diutarakan walau Baekhyun tidak sadarkan diri. Kendati begitu, Chanyeol menggeleng lagi, mengalah pada ego sebagai keluarga Park, membantah bahwa ia bukan pecundang seperti apa julukan Park Seojoon padanya.
Untuk sekarang, permintaan maaf Chanyeol hanya dapat diungkapkan melalui usaha pemuda itu demi melindungi Baekhyun.
Perlahan, begitu hati-hati dan penuh hormat untuk tidak asal menyentuh tubuh sang lelaki, Chanyeol menempatkan lengan pada punggung dan belakang paha Baekhyun, mengangkat lelaki itu dari lantai secara bridal style—rambut Baekhyun menggelitik dagu sang pemuda. Layaknya déjà vu, Chanyeol menggendong tubuh Baekhyun ke mobil, menempatkan lelaki itu di samping kursi pengemudi, bantal kecil terletak di sebelah kepala agar ia tidak terbentur pintu. Sebelum pergi, Chanyeol terlebih dahulu mengunci pintu depot, menelepon Kwak Taegeun untuk mengirimkan bodyguard ke sana sekaligus menginformasikan rumah sakit tujuan mereka. Hening kembali menyambut Chanyeol begitu panggilan selesai; pemuda itu menoleh, mengamati Baekhyun yang tergolek lemas pada kursi, bibir bekas darah dan wajah pucat yang basah akibat air mata.
"Kau benar," Chanyeol berujar pilu, merenungkan pengakuan tiba-tiba Baekhyun, terjadi kala lelaki itu mungkin tidak kuat lagi memendam sendiri dan terpaksa mengungkap semua lewat amarah. Mereka sudah berada di jalan selama sepuluh menit, hening yang awalnya menguasai kini terganggu oleh suara lembut Chanyeol. Pemuda itu menekan gas, menaikkan kecepatan di antara mobil-mobil lain. "Aku memang bajingan yang tidak layak dipercaya."
Pemuda itu mengeratkan pegangan pada setir.
Mungkin ayah benar. Chanyeol memang seorang pecundang.
Ia hanya berani mengungkap isi hatinya saat lelaki itu tidak sadarkan diri.
.
.
Baekhyun masih tertidur pulas di rumah sakit, tangan terpasang selang infus. Usai melewati beberapa proses scanning, dokter menemukan adanya infeksi di sekitar perut lelaki itu. Baekhyun telah ditinju, diinjak, dan ditendang secara kasar dan berulang-ulang hingga ia muntah darah. Ditambah dengan kelelahan usai terlalu lama bekerja, kondisinya menjadi lemas. Baekhyun mungkin sempat merasa "membaik" setelah muntah darah (inilah kenapa ia masih mempunyai sisa energi untuk berbicara—lebih tepatnya, membentak Chanyeol), tapi infeksi internalnya tetap memerlukan pengobatan rutin untuk sembuh seperti semula. Beruntung, tidak ada kerusakan parah yang merugikan; menurut dokter, Baekhyun bisa segera membaik asalkan istirahat cukup dan teratur mengonsumsi obat.
Chanyeol terus berjaga di samping Baekhyun, menunggu hingga lelaki itu bangun. Ia tidak ke kantor, mengambil izin meski pemuda itu tahu Park Seojoon akan naik pitam apabila Chanyeol tiba-tiba membolos. Mungkin si pria hidung belang akan menampar pipinya lagi atau merendahkan Chanyeol dengan ratusan kalimat pedas. Sang pemuda sudah terbiasa.
Beberapa ketukan pada pintu kamar VIP menyadarkan Chanyeol dari lamunan. Ia menoleh, melihat Kwak Taegeun yang menyediakan sarapan bagi pemuda itu. Sang asisten meletakkan paperbag berisi bubur ke atas meja sebelum menduduki sofa seberang Chanyeol. Sesekali, ia akan melirik Baekhyun yang masih tertidur, dada bergerak naik-turun tenang seperti bayi.
Tiba-tiba, sebuah kekehan pelan terdengar, mengisi kesunyian canggung mereka.
Chanyeol menaikkan alis, terganggu oleh suara yang berpotensi membangunkan Baekhyun. "Hyung?"
Taegeun menggeleng kecil. "Tidak," ia berkata, menyandarkan punggung ke belakang. "Ini pertama kalinya saya melihat Young Master sangat memedulikan orang selain... Nyonya."
Chanyeol mati-matian mempertahankan pandangan cuek. "Aku tidak," ia merespons datar, tergesa-gesa menambahkan, "—tidak peduli."
Bibir Taegeun membentuk senyum tipis. "Sudah waktunya Young Master memedulikan Byun Baekhyun," ujar pria itu, intonasi halus seperti seorang ayah pada putranya, "Peduli yang tulus. Bukan obsesi."
Chanyeol membuang muka, mendadak bungkam oleh perkataan Taegeun.
"Young Master," Taegeun mengawali, memandang Chanyeol sabar. Pemuda itu tetap menatap dinding. "Ada kalanya apa yang Young Master inginkan tidak perlu digapai..." ia kemudian bangkit, setengah membungkuk di hadapan Chanyeol seraya melanjutkan, "Ada kalanya Young Master harus menyerah sebelum berperang... karena hanya itu tindakan yang benar."
Hazel tajam pun tertuju pada Taegeun. "Jangan ikut campur."
Taegeun tidak terpengaruh, justru terkekeh lagi, suara yang tidak mungkin terdengar jika seseorang tidak duduk dekat pria itu. Langkah kaki Taegeun menari dengan bunyi jam dinding yang bergerak stabil, mengubur nafas lembut Baekhyun di tempat tidur. Pria itu hendak memegang knob ketika ia setengah menoleh, meneruskan kalimat terakhir yang mengguncang perasaan Chanyeol detik itu juga.
"...Terkadang, menyerah bukan berarti Anda kalah, Young Master."
Pintu kemudian ditutup lambat hingga tidak berbunyi.
Meski begitu, suara Taegeun tetap mendengung dalam telinga Chanyeol, sengaja memberi jejak untuk menghantui pemuda itu.
Ia tidak bodoh. Chanyeol mengerti apa maksud Taegeun. Sejak hari pertama pemuda itu mulai mengincar Baekhyun, sang asisten tidak pernah menyetujui tindakan Chanyeol. Ia bolak-balik melempar tatapan menghakimi hingga sarkasme halus pada pemuda itu, mencoba untuk merubuhkan obsesi mengerikan Chanyeol pada Baekhyun. Baru kali ini ia melihat Taegeun bereaksi lebih dari sekadar ekspresi kosong.
Dahulu, berapa pun orang yang Chanyeol tiduri lalu tinggalkan, Taegeun selalu tidak ikut campur, melaksanakan tugas sesuai perintah untuk memesan hotel atau mengusir mereka dari kamar. Sesekali, Chanyeol tahu bahwa sang asisten akan memandang Chanyeol iba, seolah-olah merenungkan kenapa anak yang ia besarkan berubah menjadi lelaki biadab. Kendati begitu, respons Taegeun tidak pernah ekstrem seperti sekarang. Kembali lagi, mantan orang yang Chanyeol pakai sebagai pemuas seksual memang tidak layak disamakan dengan Baekhyun. Tipe orang kaya yang terbiasa bersenang-senang, atau berambisi untuk menjadi pendamping sang penerus EXO Group.
Sungguh berbeda dengan Baekhyun. Berasal dari keluarga tidak berada, membanting tulang siang dan malam untuk bertahan hidup. Menikah dengan pria miskin, pindah ke negeri orang untuk mengubah nasib. Terlalu polos untuk dipermainkan; terlalu menderita untuk memikirkan kesenangan.
Tentu saja Chanyeol mengerti impati Taegeun terhadap Baekhyun.
Apa yang ia lakukan pada lelaki itu sulit untuk diampuni sampai kapan pun.
Chanyeol memejamkan mata, membenamkan wajah pada tangan. Ia terdiam kaku di sana sebelum suara serak menginterupsi pikiran pemuda itu. "Ge—Gege..." Baekhyun berbicara susah payah, mata setengah menyipit oleh cahaya lampu. Chanyeol langsung berdiri dari sofa, mengamati Baekhyun yang ternyata memaksa untuk bangun. "Gege... air... cepat..."
Chanyeol ingin tersenyum pahit, memaksa untuk menerima kenyataan bahwa pria pertama yang dicari Baekhyun bukan dirinya, melainkan suaminya. Tentu saja, realitanya ia bukan siapa-siapa. Bagi Baekhyun, Chanyeol hanyalah bajingan kaya yang menginginkan lelaki itu untuk menderita. Jika ini terjadi di masa lalu, Chanyeol akan marah besar dan menyiksa Baekhyun lebih kasar. Tapi, sekarang, ia berhenti terpancing emosi, justru menumpuk lara dalam batin pemuda itu.
Mendorong pilu untuk kembali menggerogoti batin, Chanyeol berjalan menuju tempat tidur. "Baekhyun," ia ragu-ragu memanggil, tangan menjamah gelas berisi air putih di meja. Pemuda itu telah menyiapkan air putih sejak tadi, berjaga-jaga jika Baekhyun akan sewaktu-waktu bangun.
Terselip sejumlah detik bagi Baekhyun untuk mengedipkan mata linglung, pandangan mengelilingi sekitar sebelum mendarat pada Chanyeol. Dalam sekejap, damai pun lenyap dari wajah pucat Baekhyun, layaknya baru menyadari sesuatu usai melihat Chanyeol. Lelaki itu mendelik gusar, tangan gemetaran terangkat seperti ingin mencekik Chanyeol. "Kau," ia mendesis lemah, tiba-tiba naik pitam. "Kenapa kau di sini?! Keluar!"
Chanyeol menahan untuk tidak meraih tangan Baekhyun, menggagalkan usaha lelaki itu untuk turun dari tempat tidur. "Baekhyun, kondisimu—"
"Apa kau hendak memerkosaku lagi?!" volume suara Baekhyun yang dipaksa lantang memerangah pemuda itu, terlebih karena ia langsung terbatuk kasar setelahnya, "Dalam keadaanku yang begini?!" Baekhyun mencengkeram selimut sampai ke leher, sedikit mundur ke belakang walau jarak mereka cukup jauh. Sejak Chanyeol menghampiri lelaki itu, sang pemuda memastikan untuk menyisakan ruang lebar di tengah mereka. Namun, percuma apa usaha Chanyeol... selama pemuda itu mendekat, Baekhyun akan selalu merasa terancam. "Keluar! Aku tidak ingin melihatmu!"
Chanyeol menelan setiap kalimat menenangkan yang ia siapkan, jemari melonggarkan pegangan pada gelas. Apabila ia memaksa untuk di sini, Baekhyun akan hambur oleh emosi dan ini akan berpengaruh buruk bagi kesehatan lelaki itu. Chanyeol kemudian menekan tombol darurat untuk memanggil petugas medis, menyerahkan perawatan sang lelaki pada mereka. Baekhyun tampak geram; ia seperti ingin mengarahkan sisa energinya untuk membentak Chanyeol, tapi beberapa suster terlebih dahulu memasuki ruangan dan mengerumuni lelaki itu.
Chanyeol memanfaatkan waktu ini untuk keluar, secara hati-hati menutup pintu di belakangnya. Taegeun telah menunggu di deretan kursi depan ruangan, ekspresi mengkhianati untuk terlihat datar, sebuah sinyal bahwa pria itu pasti mendengar seruan Baekhyun barusan. Chanyeol mengalihkan mata ke direksi lain, mengabaikan iba yang tercetak jelas di wajah Taegeun. Sebelum ia dapat mengatakan sesuatu, Chanyeol terlebih dahulu mengangkat tangan, "Kabari aku tentang Baekhyun. Aku akan merokok sebentar."
Entah berapa batang rokok yang habis, Chanyeol berhenti menghitung.
Karena, dahulu, setiap hisapan dan hembusan akan menetralkan perasaan Chanyeol.
Sekarang, mereka berbalik untuk menyesakkan dada pemuda itu.
TO BE CONTINUED
Author's Note: Hiatus-ku selesai, hehe. Bentar banget sih, cuman aku cukup dapet pencerahan kemaren.
[1] Aku jadi ga peduli kalo ini makin alay. Ga tau kenapa sekarang aku udah pasrah dan nerima fanfik ini apa adanya? e_e Kayak "yaudah gapapa ini emang ga jelas, nikmatin aja prosesnya."
[2] Intinya, motoku seterusnya ga mau banyak mikir. Males ngeribetin A-Z. Bakal nulis apa yang pengen aku tulis. Kalo emang lagi ilfil, ya entar aku tinggal rest bentar terus balik lagi pas ada mood. Setelah mikir gini, aku jadi lebih nyantai nulisnya karena berasa ga ada beban. :')
[3] Reminder sekali lagi: alur ceritanya /jelas/ dramatis. Fanfik ini hasil kedramatisan Lizzie yang diem-diem pengen bikin sinetron alay dan fiksi banget. Read at your own risk. : ) [ngakak]
Makasih udah baca! ^^
UNEDITED;;; banyak typo dll
