Disclaimer : Gege Akutami
A Fanfiction by Noisseggra
Pair : Gojo X Geto
Genre : Romance, Drama
Warning : YAOI, BL, RATED M, AU (Alternate Universe), OmegaVerse, maybe typo (s), probably OOC, bahasa campur aduk
PS. Fanfic ini ditulis untuk kepuasan pribadi, jadi serah aing mau nulis apa :"V
You have been warned !
.
.
Thank you buat ai selai strawberry and loeybby yang udah yempetin review. Dibales lewat PM ya~ ^-^/
.
.
Kyou Kara Mate
.
.
Ittai…ittai…
Tubuhnya terasa remuk, lubangnya perih. Ia menatap Alpha di atasnya menatap dengan penuh nafsu, Alpha itu tak berhenti memasukinya. Kapan ia berhenti? Kapan semua ini selesai? Yang ia inginkan hanyalah pulang, tidur di ranjangnya sambil memeluk bantal dan menangis. Tidak akan ada yang melihatnya menangis nanti, tak apa. Ia hanya ingin sendiri. Menangis sejadi-jadinya. Mengutuk dunia. Meskipun tetap takkan mengurangi rasa sakit yang ia rasakan.
Gasp…!
Geto terbangun dengan nafas tersentak. Ia menatap sekeliling, mengumpulkan kesadaran. Ah, ya, saat ini ia berada di rumah sakit. Ia menatap langit gelap lewat bagian atas jendela yang tirai nya tertutup. Sudah malam rupanya. Ruangan itu terang karena lampunya sudah dinyalakan. Di meja dekat ranjang sudah ada vas yang terisi bunga, benda itu tadi tidak ada di sana. Geto duduk dengan hati-hati.
"Eh…" Geto baru menyadari matanya basah. Mungkin ia menangis dalam tidurnya. Ia segera menyeka air mata itu.
Cklek…
Pintu terbuka. "Oh, kau sudah bangun," Gojo muncul di sana membawa pakaian dan ponsel Geto yang sebelumnya ditinggal di ruangan Shoko. Ia juga menenteng sebuah tas yang cukup besar, kemungkinan berisi pakaian ganti untuk Geto.
"Ya, baru bangun," ucap Geto.
"Kau mau makan apa? Biar kupesankan," Gojo meletakkan barang-barang itu di lemari.
"Hng…steak. Belikan aku steak."
"Haha baiklah."
"Baaka, aku hanya bercanda. Siapa juga yang ingin steak jam segini. Sini handphone ku. Aku pesan di applikasi langgananku saja," Geto mengotak-atik ponselnya beberapa saat. "Kau mau pesan sesuatu?"
"Nggak, aku sudah makan tadi."
"Baiklah," Geto menyelesaikan pesanannya. Ia menghentikan jari sebelum menekan tombol bayar. "Hei, bayari ya," goda Geto.
"Iya iyaa," Gojo duduk di samping Geto, memeluknya sekalian meraih ponsel itu. Ia mengganti opsi pilihan bayarnya ke virtual account bank milik Gojo.
"Hahaha kau seriusan akan menuruti semua ucapanku," tawa Geto.
"Tentu saja," Gojo mengecup pipi Geto. Ia lalu mengeluarkan ponselnya untuk membayar tagihan Geto. "Halah cuma segini."
"Sialan," Geto menampol pelan pipi Gojo. "Dah ah, kumau mandi."
"Hng," bukannya melepaskan pelukan, Gojo malah membopong tubuh Geto ke kamar mandi.
"Oh sok sweet," ledek Geto, Gojo hanya tertawa.
"Tapi aku nggak mau memandikanmu, aku pasti sange. Mandi sendiri ya," Geto mendudukkan Geto di atas closet yang tertutup.
"Hee, nggak mau mandi bareng nih," goda Geto.
"Tch, maunya sih begitu," Gojo menyiapkan air hangat di bathtub. "Jangan tidur di bathtub loh," ia mengecup bibir Geto sebelum keluar dari kamar mandi.
Geto melepas pakaiannya lalu masuk ke bathtub pelan-pelan. Sengatan rasa perih langsung menghujam kulitnya, juga lubangnya yang terasa sangat nyeri. "Aargh," ia meringis kesakitan. Tapi bathtub masih lebih mending daripada shower, sepertinya kalau shower ia masih belum kuat dihujam tetesan air. Ia menghabiskan waktu cukup lama di kamar mandi karena kesulitan membasuh badannya itu.
"Suguru, makanannya sudah datang," terdengar teriakan Gojo dari luar.
"Ya," balas Geto setenang yang ia bisa. Dengan sedikit usaha extra, ia mempercepat kegiatannya di kamar mandi.
"Kupikir kau ketiduran," ucap Gojo begitu Geto keluar.
"Nggak dong, aku lapar," ucap Geto.
"Aku ke ruangan Shoko dulu ya, kalau ada apa-apa panggil saja."
"…" meski Geto tak meng iya kan, Gojo tetap pergi. Geto merasa Gojo sedikit menghindarinya. Ya, di sisi lain Geto lumayan senang, karena ia tak perlu sok kuat lagi. Ia bisa meringis kesakitan, atau duduk dengan hati-hati, kadang sampai air matanya mengalir tanpa sadar karena menahan perih, kalau ada Gojo ia tak bisa melakukan itu semua. Tapi ditinggalkan sendirian juga rasanya tak menyenangkan.
Seusai makan ia main game online di ponsel, TV ia nyalakan sekedar supaya suasana tak sepi. Ia menatap ke arah pintu yang tak pernah terbuka. Apa…ia hubungi saja ya. Tapi apa alasanya menyuruh Gojo datang? Pada akhirnya Geto tak menghubungi Gojo, dan malam itu pun Gojo sama sekali tak kembali ke kamar.
.
Keesokan harinya, Geto sudah selesai mandi saat akhirnya Gojo datang ke kamar, itupun bersama Shoko yang membawa peralatan medis nya.
"Tidurmu nyenyak?" Gojo memberikan ciuman selamat pagi.
"Lumayan."
"Akan kuobati lagi lukamu, juga mengganti perban," Shoko menyuruh Geto buka baju.
"Umm, aku keluar dulu," Gojo mengusap tengkuknya. Tapi saat ia hampir melangkah, Geto menahan tangannya. Padahal mereka baru bertemu sebentar. "Nggak nggak nggak, kau yang meminta pun aku nggak bisa tetap di sini," ucap Gojo tanpa Geto mengatakan apapun, ia mengerti kalau Geto tak ingin ia pergi. Well, sebenarnya dia juga tak ingin pergi, tapi dia mana kuat melihat tubuh Geto polos. "Nanti setelah selesai aku akan langsung ke sini, ok," ia mengecup pipi Geto. Akhirnya Geto setuju.
"Hei, jangan ngambek begitu," ucap Shoko setelah Gojo pergi. "Aku yakin dia juga ingin bersamamu kok, hanya saja dia kesulitan menahan diri kalau hanya berduaan saja denganmu. Maklum lah, heat nya baru saja berakhir. Mungkin dia masih terbawa suasana," Shoko mulai mengobati dari luka di bibir Geto terlebih dahulu.
"Ouch…" Geto merasa perih, tapi mencoba tak bergerak selama diobati. "Yeah, tapi aku berharap bisa sekedar ngobrol kan tidak masalah."
"Haha dia bilang kan akan segera datang nanti. Bersabarlah," Shoko selesai mengobati luka luar Geto, tapi ia lalu mengambil alat lain. "Tengkurap," ia mengkode dengan jarinya untuk memutar badan. "Aku mau mengobati bagian dalammu."
"Eh…" Geto sedikit memerah, padahal kemarin tidak.
"Kemarin aku perlu mengetahui kondisi sebelum discan," Shoko menjelaskan tanpa ditanya. "Juga mengetahui seberapa parah supaya aku mencari penanganan yang tepat."
"Ugh…" meski sedikit malu, Geto menurut untuk membalik tubuhnya dengan posisi menungging.
"Tolong bantu buka dengan tanganmu ya," perintah Shoko.
Dengan wajah memerah yang ia sembunyikan ke bantal, Geto mencengkeram kedua belah bokongnya sendiri supaya lubangnya terbuka. Dengan hati-hati Shoko memasukkan sesuatu ke sana. Geto merasakan perih saat benda itu menyentuh tubuhnya di dalam sana, cengkeramannya mengerat, juga tumpuan kaki nya di ranjang.
Shoko menghela nafas panjang. "Satoru benar-benar deh," lirih Shoko masih sambil mengobati. "Apa perlu kubius, Suguru?"
"Ngh…tidak perlu, aku masih sanggup," jawab Geto. Shoko pun melanjutkan pengobatannya. "Baiklah, sudah selesai," ucapnya beberapa saat kemudian.
Dengan hati-hati Geto melepas cengkeramannya di bokong, rasanya perih saat lubang itu perlahan menutup. "Shoko, apa setiap Alpha heat seperti ini," Tanya Geto sambil memakai pakaiannya kembali. "Kau kan dokter, pasti pernah menangani Alpha kan."
"Hmm, kurang lebih sama. Tapi jujur saja, aku pribadi menganggap sex drive nya Satoru lebih dari Alpha normal. Ya, setiap orang berbeda-beda sih, maksudku Satoru termasuk yang di atas rata-rata," jawab Shoko sambil memberesi peralatannya.
Geto sweatdrop dengan muka diarsir. "Apa setiap bulan akan begini. Aku tidak tahu seberapa lama aku akan bertahan."
"Untuk yang kali ini kupikir juga karena beberapa factor sih," Shoko duduk di tepi ranjang, menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Geto. "Kemungkinan pertama, Satoru sudah lama tidak melakukan sex. Makannya ia meledak saat heat, apalagi saat memiliki partner secara tiba-tiba. Atau juga karena ini kali kedua dia heat dengan melakukan sex. Kau ingat kan aku pernah cerita soal dia yang hampir membunuh PSK itu. Setelah kejadian tersebut Satoru tak pernah lagi melakukan sex saat heat, bisa saja dia jadi lepas kendali karena setelah sekian lama baru merasakan sex saat heat lagi. Lalu kemungkinan lainnya, karena sekarang ia punya mate."
"Eh…" gumam Geto.
"Ya, punya mate itu sebuah pengalaman baru kan. Merasakan compatible dan ikatan yang lebih dalam dengan pasangan. Bukan sekedar pasangan kekasih atau pacar, melainkan mate. Mungkin dia overwhelm karena itu. Kau sendiri bagaimana? Kau sudah pernah melewati masa heat mu bersama Satoru?"
"Ya, sudah pernah."
"Lalu bagaimana menurutmu?"
"Aku…tidak tahu. Soalnya itu sex pertamaku saat heat. Tentu saja aku merasa terpuaskan, tapi aku tidak tahu itu karena pertama kalinya aku merasakan sex saat heat atau karena aku melakukan sex dengan mate ku."
"Hmm sulit juga ya," Shoko menopang dagu. "Ah, soal heat Satoru selanjutnya, bagaimana kalau kau mengurangi impact nya sedikit demi sedikit."
"Maksudmu?"
"Tadi kubilang kalau kemungkinan Satoru meledak karena sudah lama ia tak melakukan sex kan. Mungkin kau bisa memperbanyak sex dengannya di luar waktu heat masing-masing. Dengan begitu saat kalian heat, intensitas sex nya tidak separah ini."
"U-umm…i-itu…" Geto setuju, hanya saja saat ini bokongya sakit, jadi mau bilang setuju pun otaknya masih menolak.
"Tenang saja, beberapa hari lagi kurasa lubangmu sudah bisa digunakan. Mulai lah melakukan rutinitas sex itu," Shoko tersenyum nakal. "Yah, tapi kalau sekarang masih mustahil sih, jadi mungkin kau masih enggan hanya untuk memikirkan hal itu. Tapi lihat saja, sebentar lagi aku yakin kau juga menginginkan sex dengan Satoru," goda Shoko.
"Ghh…Shoko kau ini," wajah Geto kembali memerah.
Shoko memainkan ujung rambutnya dengan jari. "Habis untuk ukuran Alpha, Satoru itu sangat menggoda loh. Aku saja yang Beta bisa merasakannya. Apalagi kau yang seorang Omega dan mate nya," ia menatap Geto. "Hei jangan cemburu begitu. Aku hanya bilang dalam perspektif ku sebagai Beta, lagipula aku sudah punya pasangan."
"A-aku tidak mengatakan apapun," balas Geto meski dalam hati mengiyakan kalau ia sempat cemburu tadi. Apalagi melihat kalau sepertinya Shoko dan Gojo sangat dekat.
Tok tok tok…
"Shoko kau sudah selesai," terdengar suara Gojo dari luar.
"Ya, sudah selesai," balas Shoko.
Gojo masuk sambil membawa sebuah amplop coklat.
"Oh, hasil scan nya sudah keluar kah," ucap Shoko meraih amplop itu.
"Ya kurasa, tadi seseorang mau memberikan ini padamu."
"Hmm dore dore," ia melihat isi amplop besar itu yang berisi foto-foto x-ray hasil scan tubuh Geto sebelumnya. Ia menghela nafas lelah. "Nih, lihatlah sendiri, ia meletakkan foto-foto itu di atas ranjang antara dirinya dan Geto. Ia menunjuk foto-foto itu per bagian. "Bagian ini robek parah, sebelah sini bengkak. Lalu luka di sepanjang dinding ini," Shoko menggariskan jari nya di sebuah foto.
"Ghaakk…!" sepertinya yang kena critical hit justru Gojo, dan sekarang ia pundung di pojokan.
"Aaahh, rasanya melihat ini jadi tambah sakit," ucap Geto dengan wajah diarsir, tubuhnya serasa ngilu keseluruhan. "Kau tahu, semacam perasaan sakit yang tambah sakit karena sudah melihat luka nya. Padahal sebelum melihat rasa sakitnya biasa saja."
"Ghak!" Gojo kembali terkena critical hit.
"Begitulah Satoru, jadi kau dilarang horny untuk beberapa hari kedepan," goda Shoko lalu mendorong meja peralatannya keluar ruangan.
"Wa-wakatteru," omel Gojo sebelum Shoko menutup pintu. Ia lalu menghampiri Geto yang masih sweatdrop memandangi hasil x-ray nya. "Gomen…" lirih Gojo tak bersemangat.
"Haha sudahlah. Tidak ada yang perlu dimaafkan juga," Geto memberesi foto-foto itu, memasukkannya kembali ke dalam amplop. Ia meraih tangan Gojo untuk menariknya duduk. Ia merebahkan kepalanya di pangkuan Gojo, diciumnya tangan Gojo lembut. "Temani aku, jangan pergi."
"Hng," Gojo mengangguk, membelai rambut Geto.
"Kenapa semalam tidak menemaniku."
"Kurasa…berbahaya kalau aku berduaan saja denganmu di malam hari."
"Geez, meski aku jadi kesepian karenanya?"
"Gomen."
"Cium."
"…" Gojo membungkukkan badannya untuk mengecup bibir Geto.
"Kau sebut ini ciuman?"
"Tapi bibirmu luka, lidahmu juga—…aaa ittetetetete…punggung, punggungku sakit," keluhnya saat Geto meraih kepala Gojo untuk lebih membungkuk lagi.
Geto tertawa. Ia pun duduk untuk bisa mendekatkan wajahnya ke wajah Gojo. "Pelan-pelan saja," ucap Geto sebelum mengecup bibir Gojo. Lidah mereka bertautan, tapi bisa Geto rasakan kalau Gojo sangat berhati-hati dalam menyentuhnya.
"Kau lapar?" Tanya Gojo dengan jarak wajah yang masih begitu dekat. Geto mengangguk. "Biar kupesankan makanan. Aku juga lapar."
"Makan bareng oke, jangan pergi lagi," Geto kembali menyatukan bibir mereka, membuat Gojo mengangguk di dalam ciuman.
.
Sore harinya Shoko kembali datang ke ruangan Geto. Tapi kali ini setelah mengobati luka luar Geto, ia mengajak Geto ke ruangan lain.
"Eh, sudah selesai?" Tanya Gojo yang rupanya duduk menunggu di depan kamar rawat Geto.
"Aku mau mengobati luka dalamnya, melihat dari hasil x-ray sepertinya lebih parah dari yang kuduga, jadi aku mau pakai alat lain. Kau ikut?" jawab Shoko.
"Ung…" tapi tak sempat ia menjawab, Geto lah yang menyeretnya ikut pergi.
Shoko membawa mereka ke sebuah ruangan, disuruhnya Geto berbaring di tempat perawatan. Shoko menyiapkan peralatannya. "Aku mau pasang alat-alat ini, kau harus menungging," ucap Shoko. Gojo tentu saja langsung memutar tubuhnya ke arah lain, tak kuat untuk melihat. Setelah selesai, Shoko pergi ke balik monitor.
"A-aku bersama Shoko, okay," ucap Gojo sebelum mengikuti langkah Shoko. Ia berdiri di samping Shoko yang kini sudah memakai peralatan lengkap. Rupanya alat yang dimasukkan ke tubuh Geto semacam robot yang bisa dikendalikan jarak jauh, sejenis dengan alat untuk menyusuri kondisi usus dan melihat bagian dalamnya. Shoko melihat dengan google khusus sambil mengendalikan alat itu untuk mengobati luka-luka Geto, sementara Gojo melihat dari monitor.
"Astaga, separah ini…" lirih Gojo saat melihat monitor.
"Ugh…" terdengar Geto mengeluh pelan.
"Hmm, padahal sudah kuberi anestesi," gumam Shoko. "Apa terasa sakit, Suguru?" Tanya Shoko dengan suara sedikit keras.
"Umm…tidak terlalu, tapi tetap terasa aneh," balas Geto.
Mungkin sama dengan saat orang dioperasi, meski obat bius nya bekerja tapi tetap merasakan saat organ dalam mereka sedang dibedah.
Mendengar ucapan Geto, Gojo melangkah menghampiri Geto. Shoko hanya tersenyum di balik peralatannya mengetahui kalau sebenarnya Gojo sangat khawatir. Gojo berada di dekat kepala Geto, dipegangnya tangan Geto yang tadinya mencengkeram bantal dengan erat supaya berganti menggenggam tangannya.
"Hng…?" merasakan keberadaan Gojo, Geto setengah mengangkat wajahnya dari bantal. Wajahnya memerah dengan ujung mata berair. "Sato—…ru, ngh…" ia kembali menyembunyikan wajahnya, cengkeraman di tangan Gojo bertambah erat. Gojo membungkuk untuk mengecup kepala Geto, diusapnya tangan Geto lembut.
"Bertahanlah sebentar lagi Suguru," ucap Shoko dari balik peralatannya. Sekitar 15 menit setelahnya barulah Shoko menyudahi pengobatan, ia melepas peralatannya lalu menghampiri Geto untuk melepas alat-alat yang menempel di tubuhnya. Dengan perlahan Geto duduk dengan posisi bersimpuh supaya bokongnya tak menyentuh permukaan apapun.
"Sudah bisa kembali ke kamar?" Tanya Gojo.
"Ya, sudah selesai. Mulai besok pagi kuobati dengan cara ini saja supaya lebih efektif," balas Shoko.
"He, apa yang mau kau lakukan," Tanya Geto saat Gojo meraih tubuhnya.
"Menggendongmu ke kamar, tubuhmu sakit kan?"
"H-huh, tapi kalau sekedar jalan aku masih bisa sendiri," protes Geto dengan wajah memerah.
"Hee, tereru na yo~ biarkan aku memanjakanmu," goda Gojo.
"Urusee. Mana ada laki-laki dewasa digendong melewati lorong rumah sakit. Kursi roda masih mending," Geto masih berusaha menyingkirkan tangan Gojo.
"Haish, kursi roda sama saja kau harus duduk kan. Sudahlah, ayo sini sini sayangku," goda Gojo. Shoko yang melihat mereka hanya tersenyum lalu meninggalkan ruangan tanpa pamit. Pada akhirnya Geto menyerah dengan kekeraskepalaan Gojo. Ia digendong bridal style menuju kamar rawatnya. Selama perjalanan ia menyembunyikan wajah di dada Gojo, tak mau melihat kemanapun. Tapi untunglah lorong rumah sakit bagian VVIP sepi, hanya sesekali saja perawat atau dokter melintas di lorong lain.
Setiba di kamar rawat, Gojo menurunkan Geto dengan hati-hati. Begitu turun, Geto langsung mengunci leher Gojo dengan siku nya, dan menekannya ke ranjang.
"Ghkk…aaaa ka-kau mencekikku uhuk…" Gojo menepuk-nepuk lengan Geto yang seriusan menekan lehernya kuat.
"Urusai," kesal Geto masih dengan wajah memerah.
Gojo hanya tertawa kecil karenanya, ia justru menepuk-nepuk pelan kepala Geto. Setelah beberapa detik barulah Geto mengendorkan cekikannya, meski posisi mereka masih seperti itu. "Hei seriusan, sesekali biarkan aku memanjakanmu," goda Gojo.
Geto hanya memiringkan wajahnya menatap Gojo, pipinya masih memerah.
"Mau kau laki-laki dewasa kek, cowok sangar kek, kalau bersamaku kau adalah orang paling manis di dunia. Jadi biarkan aku tampak keren sesekali seperti cowok yang bisa diandalkan," cengir Gojo mencubit pipi Geto.
"Hng…" Geto memeluk Gojo, menyembunyikan wajah di dada nya. "Kurasa aku hanya tak terbiasa saja diperlakukan manis begini."
"Kalau begitu aku akan melakukannya terus sampai kau terbiasa," Gojo memeluk kepala Geto, mengusap-usap nya lembut. Mata Gojo sedikit sayu menatap mate nya. Mungkin selama ini Geto harus terus bersikap kuat supaya tak dilecehkan, ia berjuang keras supaya dirinya yang Omega bisa berdiri sejajar dengan gender lainnya. "Aku mencintaimu," tiba-tiba kata itu terlepas dari bibir Gojo, seolah terlontar begitu saja. Gojo sendiri langsung merasa malu kenapa ia tiba-tiba mengatakan itu, tapi mendengar tak ada respon dari Geto selain pelukannya yang mengerat, Gojo pun tersenyum senang.
"Hei, malam ini tidur di sini ya," ucap Geto setelah sekian lama keduanya terdiam.
"Ugh…i-itu…"
"Bodo amat. Pokoknya malam ini tidur di sini," Geto memaksa.
.
Malamnya karena dipaksa Geto, Gojo pun tetap berada di ruag rawat itu.
"Aku tidur di sofa ya," ucap Gojo membopong selimut dari dalam lemari.
"Nggak, tidur denganku di ranjang. Tempatnya luas kok," kesal Geto dengan tangan terlipat di depan dada.
"Huwaa kanben shite kure yooo…" rengek Gojo.
"Bodo amaaat," Geto tak peduli. Ia mematikan lampu lalu menyeret Gojo ke ranjang. Ia bahkan berbaring memeluk Gojo.
"Suguruuu, aku di sebelah sini saja kau di sebelah sana deh," rengek Gojo.
"Nggak," balas Geto tanpa melepas pelukannya.
"Ugh kau ini."
Geto menyamankan posisinya di dada Gojo, merasakan hangat tubuhnya. Ia tersenyum mendengar degup jantung Gojo yang begitu kencang. Ia meghirup wangi tubuh Gojo, aroma yang sangat ia sukai. Mungkin karena mereka mate kah? Suguru bisa mencium aroma tubuh Gojo, dan rasanya manis sekali. Ia berharap Gojo juga merasakan hal yang sama.
"Ngh…Suguru…" keluh Gojo. Kakinya bergerak tak nyaman.
Geto menghela nafas lelah, tangannya bergerak ke arah selangkangan Gojo yang ternyata sudah ereksi. "Maji ka yo."
"Gaah, apa yang kau lakukan!" Gojo langsung menyingkirkan tangan Geto.
"Aku serius tidak mengerti kenapa kau bisa terangsang padahal kita tidak melakukan apa-apa," Geto berbaring mensejajarkan wajahnya di samping wajah Gojo.
"Ugh, apa kau tidak sadar, aroma tubuhmu wangi sekali," balas Gojo dengan wajah memerah.
"…" Geto terdiam, sepertinya benar Gojo juga merasakan yang ia rasakan. Geto bangun. "Biar kupakai mulutku," ucapnya seraya membuka selimut, tapi Gojo mencengkeram tangannya.
"Bibirmu luka, lidahmu juga," cegah Gojo. "Aku ke kamar mandi saja," Gojo duduk bersiap turun dari ranjang tapi Geto memeluk tubuhnya. Wajah mereka mendekat, tanpa kata bibir mereka menyatu, lidah mereka saling bertaut. Gojo mengusap ujung bibir Geto yang robek saat ciuman mereka terhenti sesaat.
"Jangan gigit," ucap Geto sebelum menyatukan bibir mereka kembali, tangannya bergerak untuk mengocok kejantanan Gojo yang sudah tegak sempurna.
"Nn…" Gojo langsung melepas ciuman saat ia hampir menggigit lidah Geto karena merasakan nikmat di selangkangannya. Nafasnya terengah, ia menunduk di dada Geto. Tangan Geto tak berhenti memanja miliknya di bawah sana. "Sugu—…ru—…" ucapnya tertahan. Ia meraih tangan Geto yang tengah mengocok penisnya, dengan tak sabar ia menggenggam tangan itu dan ikut mengocoknya lebih cepat. "Ngh…aahh…ahh…" ia mendesah merasakan klimaksnya semakin dekat. Geto menundukkan kepala untuk menjilati telinga Gojo. "Ngh…mou—… ikku—…" akhirnya Gojo pun klimaks, sperma nya membasahi tangan Geto. Ia terengah dengan kepala masih di dada Geto.
Untuk beberapa saat mereka masih dalam posisi yang sama, hingga Gojo bangkit untuk meraih tissue di atas meja. Ia mengelap tangan Geto dengan tissue itu. "Gomen…" lirihnya.
"Tch, kenapa harus minta maaf," Geto kembali memeluk Gojo, mengajaknya kembali berbaring untuk tidur. "Merasa diinginkan oleh mate ku bukan hal yang buruk. Kalau kau sampai hilang nafsu padaku malah gawat."
"Baaka, itu nggak mungkin terjadi," Gojo mengecup singkat bibir Geto.
"Hehe syukurlah kalau begitu," Geto memeluk Gojo erat lalu mulai memejamkan mata.
"Oyasumi," lirih Gojo seraya mengecup puncak kepala mate nya dengan lembut.
.
.
.
~TBC~
Support me on Trakteer : Noisseggra
