All My Regrets : 6
.
.
.
"Aku sudah menunggumu, bocah." Ucap Levi.
"Izinkan aku masuk." Pinta Eren, sebenarnya khawatir, dan terus berpikir bagaimana cara untuk bertemu Mikasa.
"Oh, karya seniku bagus juga ya…" gumam Levi mendengus geli melihat sebuah plester tertempel di pipi dan sudut bibir Eren yang lebam. Eren tidak membalas perbuatan Levi, karena ia merasa pantas mendapatkannya.
"Tolong, izinkan aku bertemu Mikasa." Pintanya lagi. Sosok Levi yang bertubuh lebih pendek dari Eren itu menghalangi pintu.
"Kalau bukan karena adikku, aku tak akan pernah mengizinkan kau bertemu dengannya lagi. Seumur hidup." Perkataan Levi cukup membuat Eren meneguk ludahnya. Di hadapan Levi, Eren bukanlah siapa-siapa, sangat berbeda sekali jika di sekolah. Mikasa… memang membuatnya merasakan perbedaan.
"Ada yang ingin aku bicarakan dengannya." Eren menunduk.
"Ck." Levi mendecih sebelum ia membukakan pintu dan membiarkan Eren masuk menemui adiknya.
"Eren…?" gumam Mikasa. Posisinya saat ini duduk diatas ranjang dengan bantal yang ia jadikan sandaran. Mikasa melihat kakaknya menutup pintu, dan berdiri bersandar pada pintu tersebut sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Mikasa tahu ia sudah mengizinkan Eren datang menemuinya dan seukir senyuman ia berikan pada kakaknya sebagai terimakasih.
Eren mengambil tempat duduk yang ada di dekat ranjang, "Mikasa…" nafasnya berat ketika memanggil nama gadis itu. Rasanya tidak pantas ia menyebut nama perempuan di depannya ini.
Mikasa memperhatikan Eren, luka lebam ini… sudah pasti dari kakaknya, pria itu menceritakan semuanya dan bagaimana dia mengukir karya seni di wajah Eren. Mikasa mendengus, "Kau akhirnya tahu ya… Padahal aku tidak ingin kau tahu tentang penyakitku. Aku jadi malu 'kan…" Sejenak Mikasa menjeda lalu melanjutkan, "kau tidak harus setiap hari kesini, aku pasti sembuh dengan cepat, jangan khawatir."
"Maafkan aku…" Eren menatap wajah Mikasa yang juga menatapnya. Mikasa merasa aneh sekaligus lucu, karena ini pertama kalinya Eren meminta maaf padanya. Seperti bukan Eren yang selama ini ia kenal.
Tidak ada kata yang lebih pantas dari ucapaan maaf. "Maaf…" Eren mengulanginya, karena tak kunjung mendapatkan balasan. Sebenarnya Mikasa memaafkannya atau tidak?
Levi tidak menaruh perhatiannya pada Eren dan Mikasa, tapi ia memasang telinganya lebar-lebar untuk mendengar percakapan mereka berdua.
"Kenapa kau minta maaf? Kau tidak sala—"
"Mikasa, katakanlah, apa yang membuatmu bahagia?"
Mikasa terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Eren. Termasuk Levi yang sekarang menatap Eren dengan pandangan bingung, butuh penjelasan lebih dalam.
"M-maksudmu? Hal yang membuatku bahagia?" wajah Mikasa sedikit memerah menahan malu.
Eren mengangguk pelan, "Aku sudah menyakitimu, secara fisik, juga perasaanmu. Aku minta maaf… maafkan aku, Mikasa. Jika kau punya keinginan yang membuatmu bahagia, akan aku lakukan."
Mikasa menggeleng pelan, "Jangan salahkan dirimu, Eren. Bukankah ini sudah takdir? Yah, bagaimana mengatakannya… Aku sama sekali tidak menyesal." Mikasa tersenyum. Levi mendengus ketika mendengar ucapan Mikasa, antara geli dan menjengkelkan. "Lagi pula, aku sudah mengikhlaskannya. Eren, aku tidak lemah, jangan pernah menganggapku seperti itu."
Eren terdiam sejenak, lalu menghela nafas berat dan memandang Mikasa dengan tatapan cemas, "ada berita buruk, pak Erwin pindah ke luar negeri dan guru kesenian diganti. Jadi tidak bisa melanjutkan prakaryanya. Aku sudah berusaha meminta untuk tetap dilanjutkan, tapi guru baru itu menolaknya."
Mikasa yang semula menggembungkan pipinya selama mendengarkan Eren tiba-tiba mengerucutkan bibirnya, "begitu ya, yasudah tidak apa-apa." Dalam hatinya ia sedikit kecewa.
"Mikasa,"
Eren menatap Mikasa serius, sampai membuat Mikasa mengernyitkan dahinya, "Y-ya?"
Eren terdiam sejenak, "Kau punya keinginan 'kan? Izinkan aku melanjutkan kisah seribu bangau itu… dan buktikan padaku, keinginanmu pasti terkabul."
Mikasa menutup kedua mulutnya tak percaya lalu tersenyum tulus, "Pasti."
.
.
.
Ini sudah hari ketiga setelah Mikasa dirawat di rumah sakit. Luka lebam Levi sudah lumayan berkurang, setidaknya wajahnya tidak membiru seperti sebelumnya.
"Hei, jangan terlalu dekat dengannya." Ucap Levi yang terdengar seperti perintah.
Mikasa memandang kakaknya yang kini datang dengan sesuap nasi, "Jangan masukkan wortelnya, aku tidak suka." Levi mengerti lalu menggantinya dengan brokoli, setelah Mikasa menelan makanannya, barulah ia bertanya, "kenapa aku tidak boleh dekat dengannya?"
"Aku tidak menyukainya."
"Kenapa?"
Pintu terbuka dan menampakkan sosok Eren yang masih lengkap dengan seragamnya.
"Ck. Jangan masuk sembarangan tanpa permisi." Ketus Levi. Pria Ackerman itu kembali menoleh pada adiknya dan berkata, "lihat 'kan? Tidak ada sopan-sopannya."
Eren mendesah, "Kupikir kau sedang tidak ada. Jadi aku langsung masuk saja." Perlahan Eren mendekat dan memberikan satu kantong tas berisi makanan.
Levi mendekat, "kau tidak meracuninya 'kan?"
Eren kambali mendesah, pertanyaan konyol. "Untuk apa aku melakukan itu?"
"Aku masih membencimu, bocah. Aku akan benar-benar membunuhmu jika kau berani menyakiti Mikasa lagi."
Dan Eren hanya tersenyum tipis. Tidak apa-apa jika ia dibenci, yang jelas prioritasnya sekarang adalah bertemu dengan Mikasa dan membuktikan ucapannya.
"Mikasa, aku sudah membuat sepuluh hari ini. Aku masih belum terbiasa, tapi aku akan berusaha." Eren membawa satu burung bangau kertas warna putih, "Ini, aku bawakan contohnya, bagaimana?"
Mikasa membalas, "Tidak terlalu buruk, tapi masih kurang seimbang, tidak apa-apa, aku menyukainya. Tapi…" ia menjeda kalimatnya sejenak, "kenapa kau tidak memakai kertas origaminya?"
"Itu hanya contoh, tenang saja aku 'kan sudah membuat sepuluh dengan kertas origami."
Mikasa merasa senang, jarang sekali ia melihat Eren mengeluarkan kalimat yang panjang. Senyumannya lebar dan tersirat kebahagiaan yang mendalam di sana.
Levi menyela, "Jangan pernah kau mengecewakan adikku, bocah."
"Tidak akan." Setelah membalas perkataan Levi, Eren kembali mengalihkan pandangannya pada Mikasa.
"Aku pegang kata-katamu." Lalu Levi beranjak pergi, sebelum benar-benar meninggalkannya, Levi memberi perintah, "jaga dia, aku akan keluar sebentar."
Levi berjalan ke pintu keluar, ia menelpon bawahannya, "Aku masih di rumah sakit, bawakan dokumennya. Aku akan kesana dalam lima belas menit." Levi pun menutup teleponnya.
Saat sebelum meninggalkan rumah sakit, tiba-tiba seorang dokter dan beberapa perawat berjalan terburu-buru berlawanan arah dengan Levi, merasakan firasat buruk, Levi memutuskan untuk kembali dan benar saja, ia melihat dokter itu masuk ke ruangan Mikasa. Di situ pula Levi melihat Eren duduk mencengkram rambutnya.
"Eren!" teriak Levi. "Eren, bagaimana Mikasa? Apa yang terjadi?" Jika dipikir-pikir, ia kali pertamanya Levi menyebut nama pemuda yang ia benci. Namun itu tidak penting sekarang.
"Saat kau pergi, Mikasa batuk dan memuntahkan darah, tiba-tiba ia pingsan." Eren gemetar, "Aku… tidak tahu apa yang terjadi…"
Levi mengerti dan mencoba berpikir jernih agar tetap tenang, ia menelpon bawahannya dan berkata, "Batalkan rapatnya."
Sudah setengah jam lebih mereka menunggu, dan seorang dokter keluar, Eren berdiri di hadapan ayahnya, "bagaimana kondisinya?"
"Minggir bocah, aku walinya." Ketus Levi pada Eren, dan kembali bertanya pada Dr. Yeager, "Bagaimana kondisi adik saya?"
"Detak jantungnya tidak stabil, kadang meninggi dan kadang melemah." Ujar sang ayah. "Kita sudah memakaikannya alat pemacu jantung dan hasilnya memang tidak stabil."
"Katakan padaku, kau bisa menyelamatkannya kan?" Eren tidak peduli, meski dokter yang dihadapannya ini bagi orang lain adalah dokter yang hebat, tetapi bagi Eren, ia hanyalah ayah yang payah.
"Aku sedang bekerja, sopanlah sedikit." Jawab dokter Yeager.
Eren meninggikan nadanya, "Aku tidak peduli. Kau hanyalah ayah yang tak berguna!"
Levi mengambil kesimpulan, ternyata hubungan ayah dan anak yang tidak bersahabat. Levi mendegus lalu berkata, "Terima kasih… saya berdoa untuk keselamatan adik saya. Mohon bantuannya." pada Grisha. Levi tidak peduli dan tidak ingin tahu apa masalah kedua orang yang ada di hadapannya ini.
Karena baik Levi maupun Eren, prioritasnya adalah Mikasa.
.
.
.
Seperti yang dipikirkan Mikasa, gambaran yang cocok untuk tempat tinggal Eren adalah rumah ini besar namun hampa.
Tentu saja, Eren tidak mau tinggal bersama dengan keluarga ayahnya yang terdahulu. Dina Yeager dan Zeke Yeager adalah sepasang ibu dan anak yang sudah merusak hubungan keluarganya.
Dalam hatinya, ia ingin melepas nama Yeager, jika ia bisa memilih lebih baik dilahirkan di keluarga yang sederhana namun harmonis.
"Tuan Eren, makan malam sudah siap." Ucap seorang pelayan.
Eren tidak menjawab dan hanya mengangguk pelan. Ia perlahan berjalan menuju meja makan. Eren mendesah, sampai kapan ia harus hidup seperti ini terus? Di ruangan yang besar namun hanya ada kekosongan yang tak berarti. Eren bahkan tak menikmati makanan buatan pelayan yang sudah bekerja selama bertahun-tahun. Terkadang ia membuat makanannya sendiri seperti makanan instan.
"Eren."
Eren menghentikan acara makannya sampai ia melihat kehadiran ayahnya. Membuat nafsu makannya semakin buruk.
"Kenapa kau datang?"
"Kau itu anakku, kau harus memanggilku 'Ayah', Eren."
Eren mendesis, memutar bola matanya bosan, "Aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai ayah."
Grisha datang dan duduk di depan Eren, "Aku sudah tahu semuanya. Ternyata kau temannya ya, pantas saja kau khawatir."
Rahang Eren mengeras dan tatapannya memicing, "Kau harus menyelamatkan nyawanya. Jangan seperti kau membunuh Ibuku!"
"Aku tidak tahu bisa menyelamatkannya atau tidak, kondisi jantungnya terus melemah." Grisha hanya menghela nafas beratnya dan bersikap tenang.
Nada Eren meninggi, "Kenapa kau bisa menyelamatkan nyawa para petinggi itu? Kenapa kau tidak bisa menyelamatkan nyawa Ibuku?! KENAPA?!"
Grisha Yeager terdiam, "Carla memang tidak bisa diselamatkan…"
"BOHONG! KENAPA KAU TIDAK ADA WAKTU ITU?! KEMANA KAU PERGI, HAH?" Eren menjeda, ia mengambil nafas dalam sebelum mencurahkan semua emosinya, "KAU KEMBALI PADA ISTRI PERTAMA MU, IYA 'KAN?! KAU BAHKAN TIDAK ADA WAKTU UNTUK IBUKU!"
"EREN!"
"AKU TIDAK PEDULI! Aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai ayah sampai kau berhasil menyelamatkan nyawa Mikasa!"
Eren beranjak pergi, dia muak melihat wajah Ayahnya yang sekaan tidak bersalah akan perbuatannya di masa lalu.
"Apa kau tahu apa permintaan Ibumu saat terakhir kali, Eren?"
Mendengar itu, Eren menoleh pada ayahnya yang masih duduk tenang. Grisha mulai menjelaskannya dari awal, "Aku tidak mengambil tanggung jawab itu dan yang menangani Ibuku bukan aku. Ibumu bilang ia tidak mau melihatku disaat terakhirnya. Dia ingin aku—"
"Kau bohong kan? Lalu kenapa kau mencegahku bertemu Ibuku?! Kau membohongiku, kau bilang Ibu akan baik-baik saja…" Eren menjeda, "Tapi apa? Aku tidak bisa melihat wajahnya, tidak bisa memeluknya! Aku hanya bisa melihat batu nisannya saja tanpa tahu kondisi terakhirnya!"
"Ibumu tidak mau melihatmu, Eren! Dia tidak ingin melihat anaknya sedih disaat terakhirnya! Itu permintaannya!"
"AKU TIDAK PERCAYA!"
BLAM
Grisha hanya bisa pasrah saja setelah Eren menutup pintu kamarnya dengan keras. Tanpa tahu, dibalik pintu kamarnya, Eren terisak.
"Pembohong…"
.
.
.
Eren menopang dagunya dan menghadap ke jendela. Mata emeraldnya memandang ke luar jendela kelas melihat setiap orang berlalu-lalang. Kemudian pikirannya kembali pada beberapa waktu yang lalu.
Belum saja dia menghilangkan momen bertengkar dengan Ayahnya, dan sudah ada lagi yang menyangkut di pikirannya lagi kali ini.
Saat sebelum istirahat, guru olahraga Mike memanggil Eren dan merekomendasikan Eren untuk masuk ke klub basket, jika bersedia mengikuti pelatihan, dan hasilnya memuaskan ia akan dikirim untuk bertanding di kejuaraan basket musim semi.
"Aku tidak bisa."
"Pikirkanlah lagi, Eren. Dari anak-anak yang lain, kau yang paling berpotensi."
Eren awalnya menolak, tapi Mike melihat potensi besar pada Eren dan terus berusaha membujuknya dan akhirnya Eren bersedia masuk klub, tapi ia tidak berjanji untuk bisa mengikuti pelatihan selama waktu yang ditentukan. Mike mengiyakan dan memberi waktu Eren untuk berpikir dua kali sebelum benar-benar menolak tawarannya untuk ikut dalam pertandingan.
Hanya satu kesempatan ya…
Eren kembali menghembuskan nafas beratnya, ia tidak yakin apakah bisa memenuhinya. Dulu waktu sekolah menengah pertama, dia pernah mengikuti pertandingan dan ditunjuk sebagai kapten, tetapi karena saling salah paham dan tidak maksimal, mereka gagal meraih kemenangan. Dan yang membuat Eren paling membencinya adalah saat pelatih terus menerus menyalahkannya karena tidak becus sebagai pemimpin tim.
"ARGH! SIAL!"
Itulah sebabnya, ia tidak sengaja melempar bola pada Mikasa, teringat saat dulu ia begitu sering melakukan kesalahan dan membuat tangannya gemetar, bahkan sekedar untuk memegang bola saja. Padahal yang diminta hanya melempar bola kepada rekan, dan Eren malah tidak sengaja mengenai Mikasa.
"Hei, Eren…"
Lamunan Eren terpecah dan dengan pelan, dia mendongakkan kepalanya pada salah satu teman yang memanggilnya. Mereka bertiga, dan yang memanggilnya tadi adalah Connie. Eren menghela napas melihat trio ini selalu bersama, Eren menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi di belakangnya, "Ada apa?"
"Kami belakangan ini tidak melihat Mikasa…"
Jean bermaksud menanyakan keberadaan Mikasa namun Eren sudah mengerti dan memotongnya. "Ya, dia sedang sakit."
"Sakit?" Sasha mengulanginya.
Eren menatap ketiga teman Mikasa itu dengan tatapan bingung, "kenapa kalian terkejut? Kurasa kabar ini sudah meluas."
"Jadi kabar itu benar?" tanya Connie.
Eren mengangguk pelan.
Dan di sinilah mereka sekarang. Levi sudah mengizinkan ketiga teman Mikasa untuk mengunjungi adiknya. Memberikan peraturan sendiri jika tidak boleh berisik dan tetap menjaga kebersihan.
Baik Jean, Connie, dan Sasha merasa sedih melihat kondisi Mikasa yang sekarang. Mereka tidak menyangka Mikasa menderita penyakit jantung, dan semakin melemah setiap harinya.
Mikasa tetap menebarkan senyuman, itu membuat trio yang selalu bersama itu menjadi sedih.
"Aku tidak suka ya kalian menatapku sedih." Mikasa marah. Ia tidak ingin melihat raut wajah menyedihkan dari teman-temannya ini.
Eren duduk di sebelah Levi dan membiarkan ketiga temannya menghabiskan waktunya untuk berbicara. Lagi-lagi ia memikirkan tawaran guru olahraganya.
"Hei, kau melamun?"
Seketika lamunan Eren buyar begitu Levi menepuk pundaknya. "Ti-tidak…"
Levi mendengus, jelas-jelas Eren melamun. "Kau tidak perlu berbohong."
Eren hanya diam dan memandangi Mikasa yang masih asyik berbincang bersama teman-temannya.
"Dah, Mikasa. Aku yakin kau pasti sembuh." Ucap Sasha sembari melambaikan tangannya sebelum pergi ke luar diikuti kedua temannya yang memberikan salam hangat untuk Mikasa. Tak lupa mereka juga berpamitan pada Levi dan juga Eren yang masih ada di sana.
Suasana canggung kembali menyelimuti, ditambah suhu ruangan yang dingin membuat pikiran menjadi kaku. Tak lama setelah itu, Mikasa tertidur. Ia terlihat lebih lelah dari biasanya. Lalu Levi mengisyaratkan Eren untuk keluar. Eren hanya menurutinya dan keluar lebih dahulu.
"Jangan tunjukkan wajah muram, bocah." Ucap Levi pada Eren yang kini menoleh padanya.
"Hn?"
Levi melipat tangannya di depan dada dan bersandar pada dinding, "aku tidak peduli apa yang sedang kau pikirkan, tapi jangan perlihatkan wajah burukmu itu di hadapan adikku."
Eren menunduk, "maaf…"
Cklek.
"Mikasa?! Apa yang kau lakukan?!" Levi dan Eren terkejut begitu melihat Mikasa membuka pintu dan menampakkan dirinya.
"Apakah aku mengganggu?" tanya Mikasa pada kedua laki-laki di depannya. "Kalian bertengkar?" tanya Mikasa lagi. Dengan langkah yang pelan, Mikasa mendekat ke Eren, ia hanya menduga kalau mereka bertengkar pasti ulah kakaknya. "Pasti gara-gara kakak ya?"
Levi memutar bola matanya, "Kupikir kau sedang tidur, kembalilah ke tempatmu." Pinta Levi.
"Kakak. Aku baik-baik saja, aku tidak harus berada di ranjang, bukan?" Mikasa menatap kesal kakaknya. "Iya 'kan, Eren? Bukankah dokter Yeager bilang selama aku tidak kelelahan aku bisa jalan-jalan keluar? Lihat, aku sudah tidur seharian. Aku juga lelah melihat tembok putih yang mengurungku!"
"Mikasa…" Eren tersenyum yang membuat Mikasa terkejut untuk sesaat lalu ia memegang dadanya yang berdegup kencang. Seperti mendapat tekanan yang berat tapi menyejukkan.
Mikasa membuka mulutnya untuk mengambil nafas sebanyak-banyaknya, mencoba menenangkan diri. Senyuman Eren itu bagaikan alkohol yang candu bagi penikmatnya.
"Hei, kau baik-baik saja?" Levi mendekat melihat adiknya yang memegang dadanya membuat Levi tersentak.
Aku pasti akan menemanimu…
.
.
To Be Continued
.
.
A/N:
Finally, today is the day. Attack on Titan final chapter officially released
9/9/2009 until 9/4/2021
139 chapters
11+ years
Gabisa berkata-kata lagi, hahaha
Thank you, Hajime Isayama
Oh iya, mungkin di cerita kali ini plotnya agak lambat dan ya biar masih kerasa aja feelnya. Semoga. Kurang pede soalnya ini cerita lama hehehe
Dan juga untuk selanjutnya, kira-kira ngikutin series apa ya yang asik selain Chainsaw Man, Jagaaaan, Jigokuraku? Jujutsu Kaisen udah jelas banyak sih, penjualan manganya tinggi
Oh mungkin Blue Lock? Manga rekomendasi dari Hajime Isayama?
Anyways, tinggalkan jejak setelah baca, ok?
Regards, Reye
9 April 2021
