6.Nasib.

Thorn tertunduk pasrah sembari memejamkan matanya erat-erat dan mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat ketika ia merasakan dinginnya besi borgol itu melingkari pergelangan tangannya. Dunianya terasa sangat sempit dan sesak ketika tangannya yang sebelah lagi ditarik paksa kebelakang badannya sebelum pergelangannya dibelenggu dengan borgol. Hilanglah sudah kesempatannya untuk meloloskan diri. Tanpa kuncinya, tidak mungkin Thorn bisa melepaskan kedua borgol yang membelenggu kedua tangannya.

Solar hanya bisa meneguk ludahnya ketika ia melihat kakaknya tengah dibelenggu dengan borgol. Hatinya terasa ditusuk-tusuk melihat orang yang disayanginya dirampas kebebasannya. Dan ia tahu bahwa gilirannya untuk diborgol seperti kakaknya itu akan segera tiba.

Ingin sekali Solar berteriak minta tolong pada kakaknya ketika kedua tangannya ditarik paksa kebelakang badannya. Namun ia tidak berteriak karena tidak ingin melihat para penculiknya merasa puas telah menangkap kembali buruan mereka. Sama seperti kakaknya, Solar hanya bisa menunduk pasrah ketika sebuah borgol dipasangkan pada kedua pergelangan tangannya.

"Bawa mereka, kurung terpisah... Bahaya kalau mereka disatukan," perintah Robert kepada kedua rekannya.

"Ja-jangan. Kak Thorn." Solar hanya bisa memandangi kakaknya yang sama-sama terborgol dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Tolong ... Jangan bawa adikku ... Kumohon ..." Thorn hanya bisa memelas kepada para penculiknya. Sangat tidak enak rasanya harus mengiba begitu baginya, namun hanya itu yang bisa diperbuatnya dalam kondisinya.

Para penculik itu tidak peduli.

"Siap boss!" sahut Rob sembari mencengkeram lengan Thorn dan membuat empunya lengan meringis kesakitan ketika akan diseret dan dipaksa berjalan dengan luka di kakinya.

Roberto berbuat hal yang sama pada Solar dan mulai menyeretnya menjauh dari kakaknya. "Oke boss!"

"Maaf, tapi kurasa kalian salah."

Di tempat itu hanya ada lima orang. Rob, Robert, Roberto para penculik dan Thorn, Solar, para korban. Tapi mendadak ada suara orang keenam yang membuat kelimanya langsung berbalik badan untuk melihat sumber suara orang keenam tadi.

-BLETAK!-

Robert tidak sempat bereaksi ketika sebuah tongkat kasti menghantam kepalanya dan membuatnya langsung jatuh pingsan.

Thorn dan Solar terkejut melihat siapa orang keenam itu. Raut wajah suram mereka seketika lenyap, digantikan dengan kegembiraan yang meluap-luap. "KAK TAUFAN!"

Rob yang melihat bossnya pingsan langsung menghampiri dan berniat untuk menolongnya. Namun langkahnya langsung terhenti ketika di depan mata dilihatnya sebuah penggiling kue menghampiri wajahnya.

-BLUAK!-

"Berani kalian sentuh ... Dan memborgol adik-adikku?"

Bahkan Thorn dan Solar terbengong melihat kehadiran kakak mereka yang jarang sekali meninggalkan rumah dan menghabiskan kebanyakan waktunya di dapur. "Kak ... Gempa?" Lebih mengherankan lagi adalah penampilan sang kakak yang masih memakai celemek berwarna pink terang dan bersenjatakan sebuah penggiling adonan kue yang ternyata cukup keras untuk membuat pingsan penculik itu.

Roberto, penculik yang terakhir, langsung lari terbirit-birit dan berusaha menyelamatkan dirinya sendiri ketika menyaksikan rekan dan bossnya tumbang dihajar oleh saudara-saudara dari korban penculikannya.

Melihat buruannya kabur, Gempa langsung memanggil bala bantuan. "Mau kemana kau? HALI, BLAZE, ICE, KEJAR!" titah Gempa dengan suara yang menggelegar.

Dua dari tiga orang yang diperintahkannya langsung mengejar Roberto. Sedangkan yang satu lagi tampak terlihat ogah-ogahan menghampiri kedua penculik yang sudah tumbang.

"Ice? Kejar dia!" titah Gempa sekali lagi.

Yang diperintah hanya menggelengkan kepalanya. "Buat apa? Toh Kak Blaze sama Kak Hali juga cukup ..." Ice merogohkan tangannya kedalam saku penculik yang tumbang itu. Dari dalam saku itu, ia menarik sebuah kunci berukuran kecil. Tanpa membuang waktu, Ice langsung menggunakan kunci itu untuk melepaskan borgol yang membelenggu tangan Solar dan Thorn.

"Kak Gempa koq bisa tahu kita disini?" tanya Solar sembari memapah Thorn yang kesulitan berjalan karena luka gores di kakinya.

Gempa langsung menjawab sementara Taufan memeriksa luka di kaki Thorn yang masih meneteskan darah. "Kita menulusuri jalan yang mungkin kalian tempuh sepulang sekolah. Blaze menemukan kacamatamu. Solar ... Juga tas sekolah Thorn. Lalu aku mendengar bunyi-bunyi letupan. Kupikir itu pasti kalian berdua." Perhatian Gempa beralih pada luka yang terlihat cukup dalam pada kaki adiknya. "Penculik itu melukaimu, Thorn?"

Solar menggelengkan kepalanya sembari membiarkan Taufan mengambil alih memapah Thorn. "Senjata makan tuan, Kak Gem ... Kaki Kak Thorn kena ledakan senjata buatanku waktu kita melarikan diri."

"Pasti bubuk kristal pembersih toilet ... atau soda api ya? Dari baunya aku kenal," komentar Taufan yang mencium bau kimia yang menguar dari badan Thorn yang sedang dipapahnya.

Solar menganggukkan kepalanya. "Ya, kumasukkan kebotol dan kuberi air."

"Kamu itu antara jenius atau memang sinting, Solar." Gempa menghela napas panjang sebelum sebuah senyum mengulas pada wajahnya yang terlihat senang karena kedua adiknya selamat. "Tapi aku bangga punya adik-adik hebat seperti kalian berdua."

Terlihat Halilintar dan Blaze tengah menyeret penculik yang tersisa dan sudah pingsan. Tanpa rasa kasihan, Roberto si penculik terakhir itu dilemparkan keatas rekan-rekannya yang masih belum siuman. "Mau kita apakan mereka ini?" tanya Halilintar sembari mengosok-gosokan kedua tangannya seakan mengusir debu yang nista dari kedua tangannya itu.

Gempa memungut kedua pasang borgol yang tadinya dipakai untuk membelenggu Thorn dan Solar. Dilambungkannya benda terkutuk itu kepada Halilintar. "Borgol saja mereka lalu telepon polisi. Kamu, Blaze, sama Ice tunggu disini. Aku harus membawa Thorn ke rumah sakit. Luka di kakinya itu dalam, harus dijahit."

Thorn yang mendengar perkataan Gempa langsung memucat. "Apa? Jahit? Ngga! Thorn ngga mau!" Mendadak Thorn langsung melepaskan diri dari Taufan yang tengah memapahnya.

Gempa yang melihat itu menarik napas panjang. Ia lupa kalau adiknya yang satu itu paling takut kalau harus berurusan dengan rumah sakit apalagi kalau harus berurusan dengan jarum atau benda-benda tajam lainnya yang berada di rumah sakit. "Thorn, kamu harus kerumah sakit. Lukamu itu dalam lho ... memang harus dijahit ... ngga sakit kok."

Tetap saja Thorn bersikeras menolak untuk dibawa kerumah sakit. "Ngga mau! Thorn ngga mau dijahit!" ketusnya sembari menggelengkan kepala.

Kali ini Taufan yang berinisiatif untuk membujuk Thorn. "Hali, kemarikan borgolnya yang satu lagi... Thorn mau ikut kerumah sakit atau harus diborgol lagi sampai mau ikut kerumah sakit?"

Thorn meneguk ludahnya ketika melihat borgol yang tadinya terpasang pada pergelangan tangannya. "I-iya deh ... Thorn mau kerumah sakit," lirihnya dengan nada yang sangat terpaksa. "Kak Taufan jahat ..."

.

Keesokan harinya ...

.

Solar terlihat berjalan keluar dari sebuah kantor polisi dan disusul oleh Thorn yang berjalan tertatih-tatih dengan ditopang sebuah tongkat. Bersama mereka adalah kedua saudaranya, Gempa dan Blaze.

Thorn dan Solar baru saja memberikan keterangan dan pernyataan mereka sebagai saksi sekaligus korban dari peristiwa yang menimpa mereka. Secara khusus pihak kepolisian mengapresiasi Solar yang telah memfoto adegan ketiga penculiknya yang tengah membawa hasil curian mereka.

"Akhirnya selesai juga." Gempa menghela napas lega sembari mendampingi Thorn.

"Solar sama Kak Thorn hebat. Bisa lolos dari sekapan penculik." Bahkan Blaze yang biasanya jahil kepada Solar ikutan memuji.

"Tapi kalau Kak Gempa ngga datang pasti kita berdua masih disekap." Dengan tersenyum, Thorn dan Solar melirik ke arah kakaknya yang disebut oleh Solar. "Kak Taufan, Kak Hali, kamu Blaze, Ice juga ... Aku ngga sangka kakak semua datang."

Gempa melempar senyum lembut pada kedua adiknya. "Thorn, Solar ... Kita semua harus bersatu, saling menolong ... Apapun yang terjadi." Perhatian Gempa beralih pada Blaze. "Ingat itu, Blaze, jangan menjahili saudaramu melulu."

Blaze yang mendapat peluru nyasar dari Gempa hanya bisa bengong sembari sweatdrop. "Lah? yang diculik kan Solar sama Thorn, kenapa jadi aku yang kena ceramah?"

"Karena bisa saja terjadi padamu, Blaze ... Kegemaranmu berbaju tanktop tebar ketek begitu banyak mengundang stalker di akun medsosmu lho."

Blaze hanya bisa meneguk ludahnya mendengar penjelasan dan kekhawatiran kakaknya yang ada benarnya. "A-aku bakal hati-hati kok ... Tenang, Kak Gem."

"Eh ya, Kak Thorn ..." Solar melirik ke arah kakaknya sembari melempar senyum. "Kakak hutang maaf padaku lho."

"Lho ngga dong. Yang menyelamatkan kita kan Kak Taufan, Kak Gempa, dan yang lain," jawab Thorn yang menolak dengan ketus.

"Tapi rencanaku berhasil kan? Kalau Kak Thorn ngga kepleset megang botolnya kita pasti sudah lolos kemarin itu."

Thorn menghela napas panjang. Memang benar kalau saja kemarin ia tidak menjatuhkan botol yang hendak dilemparnya waktu melarikan diri, pastinya jalan cerita akan berbeda. "Yah ... Kamu benar, Solar ... Kak Thorn minta maaf."

.

.

.

Tamat.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.

Sampai jumpa lagi pada fanfic berikutnya.