Siangnya, Baekhyun diperbolehkan untuk pulang, dan informasi sembilan orang (selain Cho Hyeyoung) yang terlibat pengeroyokan Baekhyun terbongkar.
Selama Lee Donghae menelepon untuk membawa berita tadi, Chanyeol tetap menunggu di ruang tunggu, menuruti amarah Baekhyun untuk tidak memasuki kamar. Menurut informasi Donghae, lima dari mereka berhasil ditangkap, sementara sisanya terpaksa ditunda, karena mereka adalah dua bodyguard pribadi dan satu asisten Cho Hyeyoung. Ini bukan berarti Chanyeol melepaskan mereka; khusus nama-nama tertentu, ia tidak mungkin asal menghajar tanpa bukti, terlebih karena tindakan Hyeyoung kemarin berhasil bebas dari CCTV. Menurut hasil interogasi kelima preman, mereka menghadang Baekhyun sepulang belanja harian, diseret secara kasar ke gedung sepi yang bebas area CCTV setempat untuk mengeroyoknya.
Satu hari pun berlalu sebagai berikut. Chanyeol mengurus administrasi rumah sakit Baekhyun, mengabaikan lelaki itu yang bersikeras meminta kertas tagihan untuk ditambahkan ke total utang. Dua bodyguard lantas mengantarkan Baekhyun pulang (usai ditolak mati-matian, tapi terpaksa diterima karena kondisi lemah), sementara Chanyeol datang ke kantor walau sudah pukul satu siang. Semua lancar-lancar saja; ternyata Park Seojoon baru berangkat ke Singapore untuk urusan bisnis, dan Chanyeol dapat mengikuti rapat tanpa mendengar suara pria itu. Siapa sangka, mendekati jam sembilan malam, Chanyeol akan memperoleh kejutan dalam bentuk Cho Hyeyoung. Wanita cantik yang sengaja memakai gaun pendek untuk (lagi-lagi) menggoda sang penerus EXO Group.
Memendam gusar yang terpicu akibat kehadiran Hyeyoung, hazel Chanyeol terarah ke salah satu ruangan rapat. "Ikut aku," ia langsung berkata ke titik utama, melayangkan tatapan datar ke Kwak Taegeun dan asisten Hyeyoung. "Tinggalkan kami sendiri."
Mereka pun menunduk, mematuhi perintah Chanyeol. Hyeyoung, di sisi lain, tampak berseri-seri, salah mengartikan ajakan Chanyeol untuk sesuatu yang positif. "Chanyeol-ah!" ia berseru ceria, gagal menyadari suasana buruk sang penerus EXO Group karena ia memunggungi sang wanita. "Bagaimana? Apa ia masih mengganggumu di penthouse? Aku tahu kau pasti tidak peduli dengan pelacur itu. Sebagai calon istrimu, aku sudah memberi pelajaran—"
Chanyeol mendorong Hyeyoung ke dalam ruangan, membanting pintu di belakangnya. Dalam sekejap, pemuda itu tiba-tiba membatasi pergerakan Hyeyoung, tangan terangkat untuk menampar pipi sang wanita—sengaja menimbulkan darah di pojok bibir. Hyeyoung terperangah, menjatuhkan tas berharga ribuan dolar ke lantai hingga sebuah lipstick milik Dior tergulung keluar. Mata berkaca-kaca Hyeyoung mengikuti tindakan Chanyeol selanjutnya: punggung membungkuk untuk meraih lipstick tadi, dibuka lalu dipakaikan ke bibir guna bercampur dengan darah di sana.
"Aku ingin melihatmu muntah darah."
Cho Hyeyoung mendelik, memperoleh kilas balik kejadian kemarin malam. Chanyeol menyeringai, membanting kasar lipstick ke lantai—bunyi nyaring yang menambah kegentingan. "Familier, hm? Bagaimana kalau aku mengulang kejadian tadi malam padamu?" nada pemuda itu turun satu oktaf, dan Hyeyoung melangkah ke belakang, punggung hampir menabrak dinding. "Bedanya, selain darah, kau akan memuntahkan organmu sendiri," Chanyeol terkekeh mengerikan, tangan mencengkeram kerah baju Hyeyoung, sengaja setengah mencekik wanita itu. Hyeyoung terbatuk-batuk, jemari berkuku merah mati-matian meraih pergelangan Chanyeol, memohon untuk dilepas. "Sudah berapa kali kuperingatkan, dan kau tetap saja menantangku.
Hyeyoung kesulitan untuk membuka mulut, "Chan—Chan—aku bersumpah, aku tidak—"
"Berhenti membuat masalah. Apa pun yang terjadi, kau tidak akan mendapatkanku," Chanyeol membebaskan kerah Hyeyoung, mendorong wanita itu ke dinding hingga kepalanya terbentur keras ke sana. Air mata segera jatuh dari lensa biru Hyeyoung. "Lihat dirimu, merangkak padaku berkali-kali seperti pengemis. Pembawa bencana bagi keluarga Cho. Cari penis lain untuk dihisap," Chanyeol berjalan mundur untuk menyisakan jarak, lengan menyilang di dada. "Aku yakin Cho Hyeyoung dengan IQ rendahnya memahami apa maksudku, benar?"
Pemuda itu lantas meninggalkan ruangan, membanting pintu keras-keras sebagai peringatan terakhir bagi Hyeyoung. Wanita itu terjatuh dramatis, berlutut di lantai untuk melampiaskan tangisan yang menggebu-gebu. Asisten Hyeyoung, Lee Naeun, terburu-buru menghampiri sang wanita, perlahan membantunya untuk bangkit. Melihat kondisi tragis putri kesayangan chairman dari SM Corporation, Naeun pun naik pitam. "Nona... Nona...Apa Nona yakin kita tidak melapor Tuan?" ia memohon, intonasi khawatir. "Tuan Muda Park sudah keterlaluan..."
Hyeyoung langsung menggeleng. "Jangan! Aku benar-benar ingin menikahi Chanyeol..." ia menunduk, isakan berangsur-angsur selesai. "Suatu hari, begitu kita menikah, aku yakin Chanyeol akan jatuh cinta padaku..." Hyeyoung mengepalkan tangan, lensa biru menegang untuk mengontrol perih berlebihan. "Untuk sekarang, aku menahan sikap kejam Chanyeol karena—aku tahu, ia... memang begini. Aku mencintai Chanyeol sejak remaja. Aku sadar dengan konsekuensiku."
Lee Naeun membasahi bibir. "Nona..."
Cho Hyeyoung membiarkan dirinya dituntun keluar ruangan, berjalan lambat ke sedan hitam yang diparkir di depan kantor utama EXO Group. Asumsi berlalu-lalang dalam otak wanita itu, duka bercampur emosi membawa kabut untuk tidak berpikir lurus. Bagaimanapun juga, ini adalah pertama kalinya Hyeyoung melihat Chanyeol bersikap protektif pada seseorang, sampai pada titik di mana ia cukup peduli untuk terang-terangan mengancam demi melindungi orang itu. Hyeyoung sudah mengenal Chanyeol sejak umur sebelas tahun; ia tahu betul karakter sang pemuda, dan percayalah, ia terlalu mementingkan diri sendiri untuk mengkhawatirkan orang yang tidak berguna baginya. Ada alasan kenapa Hyeyoung jatuh cinta pada Chanyeol: selain karena status dan fisik sejajar, sifat mereka pun sama.
Nafas Hyeyoung memberat, dendam bertumbuh menjadi tekad yang berbahaya.
Wanita itu harus menyingkirkan Baekhyun, apa pun caranya.
CHAPTER 7
Peluncuran ponsel seri terbaru dari EXO Electronics sukses besar. Selain menjadi trending topic nomor tiga sedunia di Twitter, angka pre-order mereka mencapai 4,7 juta—berhasil melampaui penjualan ponsel EXO seri sebelumnya sekaligus kompetitor sebelah. Park Seojoon maju ke panggung untuk menyajikan pidato sempurna layaknya seorang chairman dari salah satu perusahaan raksasa di Korea Selatan, punggung tegak dan senyum ramah ke kamera. Kendati berusia pertengahan lima puluh, ketampanan Seojoon tidak pudar, tetap bertahan untuk menonjolkan fitur wajah maskulin yang mencuri perhatian.
Park Chanyeol menemani ayahnya selama acara hingga after party, dua insan bertinggi sejajar yang menjadi pusat utama para hadirin. Mereka kompak mengenakan toxedo koleksi terbatas Giorgio Armani yang memamerkan tubuh atletis, hasil cemerlang dari olahraga teratur dan rutinitas diet yang disiplin. Rambut keduanya sama-sama dibawa ke belakang, wajah sekilas tampak serupa. Berbagai orang penting mencoba untuk menyapa mereka, dan Chanyeol memanfaatkan momen ini untuk membangun relasi, menciptakan komunikasi yang baik sebagai penerus EXO Group.
Tentu saja, dengan ambisi bahwa kinerjanya akan lebih baik dari si hidung belang.
Berjam-jam usai obrolan nonstop bersama para pebisnis ternama, Chanyeol kabur ke toilet untuk sekadar bernafas. Pemuda itu masuk ke salah satu bilik, menduduki toilet guna mengecek media sosial, menikmati kesepian kala ratusan orang di luar sana bersenang-senang. Chanyeol lantas mendengar pintu yang dibuka, keran yang mengalir, beserta tisu yang ditarik seenaknya. Sang pemuda bersandar ke belakang, membungkam mulut untuk tidak bersuara.
"Halo?" suara cempreng Sehun mengganggu keheningan. Chanyeol menyeringai. Lucu, kendati menghadiri acara yang sama, mereka belum mengobrol, hanya saling melambai dari kejauhan. Sekarang, mereka akan bertemu di toilet. "Biasa saja. Membosankan. Tidak—belum—ada masalah. Mungkin nanti. Bagaimana kabarmu di sana? Aku siap membantu 24/7," kekehan jahil khas Sehun menggema dalam ruangan, "Oh, tentu saja aku tahu kau bisa menjaga diri, Hyung-nim. Kau sangat impresif dalam menjaga diri..." ada intonasi sarkastis main-main di suara sang pemuda, "Nanti kukabari. Akan kutelepon lagi nanti."
Chanyeol mengantongi ponsel, membuka pintu untuk menemui Sehun lewat kaca. Pemuda itu mendelik, nyaris menjatuhkan ponsel ke wastafel. "Oh—oh, fuck. Kau mengagetkanku, bodoh," Sehun memegang dada dramatis, menyalakan keran lagi untuk membasahi tangan. "Aku baru menonton film horor kemarin."
Chanyeol memutar mata. "Joonmyun-hyung menelepon?" Sehun mengangkat alis sebagai jawaban, senyuman lembut terukir di wajah tampan sang teman. Chanyeol mengangguk, mengetahui betul bahwa Oh Sehun hadir ke acara mereka bersama ayahnya (tuan chairman) dan Kim Jongdae saja (sekretaris). "Kau masih memanggil kakakmu Hyung-nim?"
Chanyeol sejenak teringat oleh masa lalu mereka di New York, menyantap makan siang di bawah rumah pohon dan bermain monopoli sepulang les bahasa asing. Sehun tersenyum main-main. Kini, mereka beranjak dewasa dan siap menerima tanggung jawab lebih berat. "Ia adalah seorang CEO muda, Chanyeol-ah," pemuda itu menyenggol bahu sang teman. "Kami tidak selevel."
Ketika mereka keluar dari toilet, seorang wanita cantik bergaun putih telah menunggu mereka. Kulitnya putih tidak bernoda, terekspos di belahan dada dan paha akibat rok yang terlalu pendek. Ia kurus, dengan pinggang mungil tapi berisi di bagian yang dibutuhkan. Rambutnya panjang, keriting di ujung dan bertabur bunga, menekankan sisi feminin yang ideal.
Chanyeol terlambat menyadari bahwa wanita itu adalah Cho Hyeyoung.
"Chanyeol-ah..."
Sehun tersenyum puas, menikmati penderitaan di ekspresi Chanyeol. Ia mendadak hilang ditelan bumi, bergabung dalam kerumunan pebisnis, sengaja meninggalkan Chanyeol untuk meladeni Hyeyoung sendiri. Sebelum Chanyeol dapat melarikan diri, Hyeyoung terlebih dahulu menyeret pemuda itu ke area yang tertutup, tersembunyi dari massa yang mempertanyakan hubungan mereka. Putra tunggal Park Seojoon dan putri bungsu Cho Seungwoo. Siapa yang tidak penasaran?
Kali ini, Chanyeol terpaksa tidak melawan. Pemuda itu membiarkan tangan Hyeyoung mencengkeram lengan, memendam emosi karena ia enggan dicap sebagai pemuda kurang ajar terhadap wanita. Bagaimanapun juga, ia mempunyai reputasi untuk dijaga.
Hanya saja, Chanyeol sama sekali tidak menyangka bahwa Hyeyoung hendak menunjukkan sebuah foto yang mengerikan.
Baekhyun, tubuh terikat di kursi dan mulut disumpal kain. Matanya tertutup, jejak tangisan tertinggal di pipi yang merah. Rambutnya berantakan, warna hitam yang menyatu dengan latar belakang yang gelap. Lelaki itu berada dalam ruangan yang tidak berlampu, kotor, menyerupai gudang tidak terpakai yang berdebu dan sebagai markas preman untuk bertindak kotor.
Cho Hyeyoung telah menculik Baekhyun, menganggap nyawa lelaki itu sebagai permainan. Cho Hyeyoung telah mendapatkan Baekhyun, entah bagaimana caranya, padahal Chanyeol terlebih dahulu mengarahkan orang untuk menjaga lelaki itu kapan pun dan di mana pun.
Gagal.
Ia sudah gagal.
Sekilas, Chanyeol lupa untuk bernafas, udara terjebak di kerongkongan dan sulit untuk dihembuskan. Jantung pemuda itu berdebar kencang, suara yang memporak-porandakan ketenangan, memenuhi seluruh pendengaran dalam panik yang luar biasa menakutkan. Baekhyun, Baekhyun, Baekhyun. Chanyeol mengulang di kepala, tangan gemetaran yang menempel kaku pada celana. Meski begitu, sang pemuda mempertahankan raut muka datar, mati-matian menjaga hampa yang hampir lenyap dari matanya.
"Familier, hm?" Hyeyoung tertawa sarkastis, sengaja menampar kata-kata Chanyeol kemarin ke muka sang pemuda. Ada amarah sadis yang tersirat di balik senyum licik sang wanita. "Aku sudah menahan pelacur ini sejak satu jam yang lalu. Semua tergantung padamu, Chanyeol-ah..." Hyeyoung mengangkat tangan untuk meraba otot di lengan pemuda itu. "Jika kau patuh padaku, aku akan membebaskan pelacur ini. Kalau tidak... bayangkan sendiri apa yang bisa kulakukan."
Jangan panik.
Tenang dan mulailah permainan manipulasi yang cerdik.
Chanyeol menaikkan satu alis, terkekeh ringan seolah-olah ia tidak peduli. Kini adalah giliran Hyeyoung yang melongo, terlebih karena pemuda itu malah mengelus rambut sang wanita. "Well done," Chanyeol memuji, menindas kegelisahan untuk tidak terlalu kentara. Lee Donghae dan timnya mengelilingi Baekhyun 24 jam. Chanyeol harap mereka melakukan sesuatu, atau ia mungkin dijebloskan ke penjara karena memutilasi belasan mata-mata bayaran dalam semalam. Pemuda itu meneruskan akting tenang, "Ia belum melunasi utangnya padaku. Aku tidak tahu sampai kapan aku harus bersabar. Kau tahu, kesabaranku terbatas..." ia tidak lupa untuk menyeringai, menguak aura psikopat yang kurang lebih setara dengan Cho Hyeyoung. "Tapi untuk melihat penderitaan pecundang miskin... terkadang memang perlu diperpanjang."
"Apa—apa maksudmu?" raut muka Hyeyoung linglung; wanita itu jelas tidak mampu memahami jalan pikiran Chanyeol. Kemarin, ia akan mengancam siapa pun yang menyakiti Baekhyun. Sekarang, ia mendadak bermasa bodoh. "Kau—kau tidak ingin me—mencoba menyelamatkan pelacur ini?"
Chanyeol mengangkat bahu santai. "After party sedang berlangsung, Hyeyoung-ah," ia tertawa remeh, bereaksi seakan-akan pertanyaan Cho Hyeyoung tidak masuk akal. "Kau pikir aku akan membuang waktu untuk menyelamatkan... orang miskin? Terkecuali untuk urusan lain, mungkin aku bisa mempertimbangkan," pemuda itu berhenti untuk menyeringai nakal sebelum berkata dalam nada lebih seduktif, "Apa ia sudah mati?"
Jantung Chanyeol berdegup waswas, mengeliminasi segala panik yang nyaris tampil di wajahnya.
Hyeyoung menelan liur, ekspresi bingung karena sulit memahami transformasi drastis Park Chanyeol. "Ha—aku—tidak—belum," ia berkata terbata-bata, pandangan berubah tertarik. "Kau... mau membunuhnya?"
"Mungkin," Chanyeol tersenyum kecil, ingin meringis oleh jawaban barusan. "Apa kau ada ide? Menyembunyikan mayat tidak akan mudah."
Hyeyoung tiba-tiba mencengkeram masing-masing bahu pemuda itu. "Ch—Chanyeol-ah! Kau benar-benar tidak—tertarik pelacur ini?!" suara tingginya menyakiti telinga Chanyeol, tapi sang pemuda terus melancarkan akting lembut, menggeleng pelan seperti menghadapi anak kecil. "Kau—kau begitu kasar padaku untuk melindungi pelacur ini. Kau seperti... terlalu protektif..." Hyeyoung mengerutkan bibir, ekspresi sedih berubah menjadi gusar dalam satu detik. "Apa kau sedang menipuku?"
Chanyeol terkekeh gemas. "Menipu?" pemuda itu mengulang, intonasi dibuat tidak percaya. "Oh, Hyeyoung. Dari mana kau berkonklusi begitu?"
"Kau—kau melindungi lelaki itu—"
"Ia adalah mainan yang menyenangkan, Hyeyoung-ah. Tipe yang mudah disiksa tanpa disakiti langsung. Dilindungi untuk menjadi hiburan. Bukankah selera kita sama?" Chanyeol tampaknya berhasil memanipulasi anggapan Hyeyoung, dilihat dari kilat bahagia yang muncul usai pemuda itu sengaja mencantumkan "selera kita" dalam kalimatnya. "Lagi pula... kenapa aku harus menipu gadis kecil yang selalu menyerahkan susu cokelat di lokerku?"
Hyeyoung menganga. "Kau—kau tahu?!" ia berseru tercengang, seluruh jejak ragu-ragu lenyap begitu saja. Chanyeol bersyukur fakta tadi berguna untuk kebutuhan darurat. "Aku—aku bahkan tidak pernah memberitahu siapa pun!"
Chanyeol tidak lahir dengan IQ tinggi untuk kesulitan menebak sesuatu. Cho Hyeyoung selalu meminum merk susu cokelat yang sama, dan selama mereka di sekolah dasar, Hyeyoung berpura-pura cuek pada Chanyeol tapi rutin mengamati sang pemuda dari jauh. Untungnya, Chanyeol belum pernah mengungkit masalah ini; kalau tidak, pemuda itu mungkin sedikit kesulitan menenangkan Hyeyoung. Bagaimanapun juga, bertahun-tahun menolak usaha Hyeyoung dan tiba-tiba ditanggapi adalah mencurigakan.
Chanyeol mengoles senyumnya lebih tulus. "Tentu saja aku tahu, sayang. Aku diam-diam memerhatikan gerak-gerikmu," pemuda itu melarikan tangan di rambut Hyeyoung sebagai efek tambahan, "Aku tahu apa pun tentang calon istriku."
Air mata haru tampak di bawah pelupuk Hyeyoung. "Chanyeol-ah..."
Fuck, waktu mereka terbatas. Chanyeol tidak ingin menghabiskan durasi untuk momen begini. Maka, pemuda itu segera menunduk untuk berbisik, "Mau kabur sekarang?"
"...Kabur?"
"Ke EXO Hotel?" Chanyeol mencengkeram pergelangan Hyeyoung. "Aku sudah menunggumu sejak lama," mata sang wanita makin melebar, teracuni oleh tipuan manis pemuda itu. Chanyeol tertawa kecil, suara hangat yang mengguncang Hyeyoung untuk terbuai. "Kenapa? Gugup? Kau selalu memintaku untuk tidur denganmu. Begitu aku mengajakmu, kau malah terkejut."
Hyeyoung layaknya tersihir menjadi bisu, dan Chanyeol pun berkata panjang lebar seperti aktor profesional usai menghafal pidato, "Selama ini, gadis yang mengagumiku sudah bekerja keras. Kau harus tahu bahwa aku sedikit mempunyai masalah untuk berkomitmen, dan aku mengulur waktu untuk menguji perasaanmu padaku. Tapi... tidak kusangka Hyeyoung tetap menerimaku apa adanya. Hyeyoung tidak hanya menyingkirkan hama yang mengganggu hidupku, ia juga tidak keberatan dengan kebiasaan burukku. Aku sudah terlalu menyakiti Hyeyoung, padahal ia pantas untuk menjadi pendampingku. Bagaimana, Hyeyoung-ah? Aku menyukai sedikit... cekikan, tamparan, atau sesuatu yang... mengeluarkan darah. Apa kau akan menerima seleraku, sayang? Aku tidak akan menyakitimu, hanya memberimu kepuasan. Bagaimana?"
Omong kosong meluncur secara lancar tanpa latihan dari bibir Chanyeol, dan pemuda itu tidak berhenti berbicara, sesekali menyentuh, apa pun untuk memanipulasi pikiran Hyeyoung. Karena, siapa sangka, ia mudah mencapai tujuan gara-gara mengingat masa lalu konyol. Hanya idiot yang memercayai "ketulusan" Chanyeol usai penolakan dan kekerasan yang terang-terangan pemuda itu tampilkan.
Beruntung, idiot itu adalah Cho Hyeyoung.
Setelah beberapa menit mendengarkan deklarasi Hyeyoung sebagai orang yang paling pantas bagi Chanyeol-nya, pemuda itu sukses mengajak sang wanita pergi dari pesta. Cho Seungwoo dan Park Seojoon tampak puas oleh perkembangan drastis mereka; tanpa rundingan panjang, mereka boleh meninggalkan acara. Mereka mengendarai mobil sang wanita, dengan Hyeyoung yang menempel di lengan Chanyeol sepanjang perjalanan, mengomel tentang sikap lama pemuda itu. Chanyeol, di sisi lain, memaksa sebuah senyum di sela pikiran yang berkecamuk.
Sekarang, kurang lebih begini rencana Chanyeol sementara.
Pemuda itu memberitahu Hyeyoung untuk tidak terburu-buru. Ia meminta jeda tiga puluh menit untuk "mempersiapkan diri" di penthouse sebelum mereka bertemu di SM Hotel. Terlebih dahulu dibodohi, Hyeyoung langsung memercayai alasan Chanyeol, malah berkicau bahwa ia akan mencari lingerie paling seksi bagi sang pemuda. Nanti, dalam durasi tiga puluh menit, Chanyeol akan membawa Baekhyun pulang.
Entah disengaja atau tidak, apa saja bentuk olah kata Chanyeol tidak berhasil membujuk Hyeyoung untuk membocorkan lokasi penculikan Baekhyun. Kendati begitu, dari deskripsi Hyeyoung, Chanyeol memperoleh gambaran bahwa tempatnya mungkin di perbatasan kota, dalam gedung kosong yang diketahui sebagai markas preman tertentu. Waktunya terbatas; apa pun yang terjadi, Chanyeol akan membawa Baekhyun pulang.
"Mata-mataku di mana-mana. Kau tidak bisa lari, Chanyeol-ah."
Peringatan terakhir Hyeyoung sebelum pergi mendengung di telinga Chanyeol. Sedan wanita itu berlalu usai menurunkan Chanyeol di depan EXO Tower, menyertakan dua bodyguard laki-laki di samping pemuda itu. Sejak mereka meninggalkan after party, gerakan Chanyeol menjadi terbatas karena ia dikelilingi oleh orang-orang Cho Hyeyoung. Ponsel utama Chanyeol disita; mereka hanya bergantung untuk berkomunikasi lewat bodyguard dan perjanjian untuk bertemu di kamar 192 tiga puluh menit dari sekarang.
Chanyeol sedang menyiapkan rencana untuk menyingkirkan 2 bodyguard tadi sebelum salah satu dari mereka berkata, ekspresi datar menjadi panik, "Tuan Muda, lokasi Byun Baekhyun berada di gedung bekas kantor Starship di—"
"Aku tahu," Chanyeol memotong omongan tergesa-gesa mereka, menaikkan alis skeptis ke direksi dua bodyguard. "Kalian anak buah Lee Donghae?"
Pertanyaan Chanyeol dikonfirmasi melalui bungkukan hormat. Ah, ternyata Lee Donghae cukup berguna bagi pemuda itu. "Waktu kita terbatas," ia berkata, sekilasmemandang jam tangan. "Karena alat komunikasiku disita dan lift ke penthouse terlalu lambat,kalian sampaikan informasi ini ke Kwak Taegeun. Ia akan tahu harus melakukan apa. Kamar yang kupesan untuk Cho Hyeyoung adalah kamar 192 Presidential Suite di EXO Hotel."
Mereka mengangguk patuh. "Baik," jawab mereka kompak, "Tenang, Tuan Muda. Ketua Lee Donghae sedang mengarahkan tim untuk menyelamatkan Byun Baekhyun. Mohon maaf bahwa kami sempat mengalami miskomunikasi tadi... asisten Nona Cho cukup cerdik dalam merahasiakan lokasi mereka. Inilah kenapa kami terlambat untuk mengetahui bahwa Byun Baekhyun... diculik."
"Lakukan saja tugasmu," Chanyeol melambaikan tangan cuek. "Jangan terlambat lagi. Aku akan menjemput Byun Baekhyun."
Dua anak buah Lee Donghae bertukar pandang linglung, sementara Chanyeol terlebih dahulu memunggungi mereka, berjalan ke parkir bawah tanah. "Tuan—Tuan Muda akan pergi ke sana sendiri?" suara mereka diliputi terkejut, mungkin tidak memercayai bahwa Park Chanyeol yang egois rela bertindak sebanyak ini untuk seseorang. "Apa Tuan Muda akan baik-baik saja?"
"Anak buah Cho Hyeyoung tidak akan melukaiku," jawab Chanyeol santai, memutar mata seolah-olah ia baru mendengar pertanyaan konyol. "Mereka pasti tahu siapa aku."
Mereka pun mengangguk lagi, kali ini lebih percaya diri. "Baik, Tuan Muda. Mohon izinkan kami untuk menyiapkan mobil."
Tatapan Chanyeol lurus ke depan. "Tidak perlu," ujarnya, meraih sebuah kunci yang tersembunyi di salah satu kantung dalam tas kecilnya. Sengaja disimpan jika ia mendadak menemui situasi darurat. "Mobil akan memakan waktu lama."
.
.
Sebuah sepeda motor Ducati DDRR16 merah melesat dalam kecepatan tinggi. Penyetirnya, seorang pemuda dengan helm hitam menggerakkan gas, secara handal bergerak melewati kendaraan yang menghalangi jalan. Bertubi-tubi bunyi klakson bolak-balik terdengar, diikuti hujatan dan peringatan untuk berhenti mengebut, tapi sepeda motor tadi seakan-akan menganggap jalan raya sebagai arena balapan. Begitu lampu merah berubah menjadi hijau, sepeda motor mencolok ini akan menyelinap di antara kendaraan lain, layaknya pembalap profesional yang berambisi untuk mencetak skor tertinggi.
Dalam kecepatan terlalu gila, Chanyeol sampai di lokasi dalam 23 menit. Secara tergesa-gesa, pemuda itu asal memarkir sepeda motor, mengaitkan helm di kaca spion. Figur tinggi Chanyeol berlari memasuki gedung kosong, disambut oleh separuh sumber cahaya dari lampu jalan dan kesunyian. Keadaan di sana begitu janggal; tidak ada orang, dan ia terus melangkah ke dalam, menoleh ke segala arah untuk mencari keberadaan Baekhyun.
Suara batuk yang lemas menyita perhatian Chanyeol.
Antara panik dan takut, pemuda itu membalikkan tubuh untuk melihat Baekhyun, dalam kondisi persis dalam foto yang Hyeyoung tunjukkan. "Baekhyun!" ia terburu-buru menghampiri lelaki itu, berlutut untuk mengamati tangan dan kakinya yang dirantai dengan gembok besar. Baekhyun mempunyai kulit yang halus, dan rantai ini pasti menimbulkan bekas merah. "Fuck," Chanyeol mendesis, dada naik-turun berantakan akibat emosi campur aduk.
Baekhyun perlahan membuka mata, mengedipkan mereka lambat. Tatapan lelaki itu sayu, seakan-akan ia kehabisan energi untuk melakukan sesuatu. Baekhyun mengernyitkan alis linglung. "Park—Park Chanyeol?" suara serak lelaki itu dipaksa untuk keluar, membisikkan nama sang pemuda penuh waswas. "Kau..."
Chanyeol menegakkan punggung, menyamakan level mata mereka. "Jangan takut," ia menenangkan, mengangguk untuk meyakinkan Baekhyun. "Kau akan pergi dari sini."
Setetes air mata pun jatuh dari obsidian Baekhyun.
Sebelum Chanyeol dapat bereaksi, kumpulan langkah tegas tiba-tiba memasuki ruangan. Pemuda itu langsung berdiri, menyembunyikan Baekhyun di belakang tubuhnya, tangan terulur ke samping sebagai pembatas bagi siapa pun yang hendak menyakiti lelaki itu. Para preman dengan tato tersebar ke lengan menyambut Chanyeol, masing-masing menyeringai licik. Jumlah mereka sekitar sepuluh orang, tangan menggenggam sejumlah alat berupa golok hingga tali, diayun-ayunkan layaknya mainan yang tidak sabar mereka coba.
"Siapa pun yang dibawa ke sini tidak akan bebas," ujar seorang preman paling tinggi di barisan depan. Chanyeol menerka orang ini sebagai pemimpin mereka. "Kata siapa kau berhak membawa pergi tahanan kami?"
Chanyeol mempertahankan tatapan percaya diri. "Aku Park Chanyeol."
Mereka terbahak bersama, memegang perut sambil menunjuk figur tinggi sang pemuda. Chanyeol mengangkat alis tidak terkesan. "Hey, anak muda," pemimpin mereka berkata lagi, intonasi merendahkan. "Kau pikir kami peduli? Kami akan menghabisi siapa saja yang menghalangi kami, terlepas dari siapa mereka."
Fuck.
Detik itu juga, Chanyeol menjadi bisu. Tebakan pemuda itu salah besar. Entah Cho Hyeyoung yang memang menyuruh mereka untuk menyerang Park Chanyeol (tidak mungkin) atau mereka yang memang tidak peduli pada siapa Park Chanyeol (sangat mungkin, tapi ini adalah pilihan yang tolol), ia tidak tahu pasti. Kendati kemampuan taekwondo Chanyeol berhasil mencapai sabuk hitam, kasusnya akan berbeda jika ia harus melawan sepuluh orang sendiri. Lagi pula, ia datang kemari dengan tangan kosong, sedangkan mereka membawa berbagai macam alat tempur. Idiot pun tahu Chanyeol akan kalah di sini.
Sial, di mana Lee Donghae dan anak buahnya?
"Jangan sentuh Baekhyun."
Meski dalam kondisi terdesak, Chanyeol tetap memperingatkan mereka. Bagaimanapun juga, tujuan pemuda itu kemari adalah untuk menyelamatkan Baekhyun. Apabila ia akan hancur, ia lebih baik hancur dengan tujuan tercapai. Apabila ia akan berakhir dikeroyok ramai-ramai, biarkan ia terluka asalkan Baekhyun akan baik-baik saja.
Pada menit selanjutnya, tidak ada yang berkomentar. Para preman terlebih dahulu mengerubungi Chanyeol, menyerang pemuda itu secara bersamaan. Chanyeol berlari, menghindari setiap serangan mereka begitu tangkas, membalikkan pukulan dua kali lebih keras. Untuk satu tonjokan akan dibalas beberapa tendangan lebih kasar, kaki dan tangan secara terlatih menjauhi tinju mereka.
Namun, aksi bela diri Chanyeol tidak bertahan lama.
Ia tahu ia akan kalah, bergabung dalam pertikaian satu lawan sepuluh. Chanyeol berangsur-angsur melemah; jika awalnya ia mampu menahan sakit dari tinju di beberapa bagian tubuh, sekarang fisiknya tidak lagi menoleransi pukulan mereka. Figur tinggi Chanyeol tumbang, diseret seperti sampah lalu ditendang berkali-kali hingga ia muntah darah. Wajahnya setengah lebam; seluruh perih rata-rata berasal dari perut, lengan, dan kaki yang dipukuli menggunakan kayu ataupun diinjak kasar. Tawa mereka berdering di telinga Chanyeol, ejekan yang merendahkan pemuda itu padahal ia adalah penerus EXO Group yang diagung-agungkan.
Mereka baru berhenti menghabisi Chanyeol saat pemuda itu telah terkapar tidak berdaya di lantai. Chanyeol mengepalkan tangan, meredam nyeri dari perut untuk merangkak, menyeret tubuh lemasnya ke kursi di mana Baekhyun dirantai. Seraya lututnya menggesek lantai, ia terus mendesis, luka dari sekujur tubuh bereaksi untuk setiap gerakan terkecil yang ia lakukan. Chanyeol membasahi bibir, liur tidak sengaja menyeka darah dari pojok mulut dan menimbulkan perih yang mengajak rintihan untuk jatuh lagi.
Dalam pandangan antara jelas dan buram, pemuda itu melihat Baekhyun mendelik, air mata mengintip di balik obsidian sang lelaki. Ada sesuatu yang tidak terbaca dari tatapan Baekhyun, entah tercengang atau tidak percaya, dan Chanyeol menggeleng. "Tidak apa-apa," ia berbicara lewat gertakan gigi, mengabaikan ngilu akibat membuka mulut. "Aku di sini."
Baekhyun terus membisu, dan Chanyeol kembali mengambil posisi berlutut, hazel kosong pada lantai. Sejenak, suasana di sana diisi oleh variasi suara preman yang bercanda dan musik yang berasal dari ponsel mereka. Migrain mulai menyerang kepala Chanyeol; ia tidak tahu sampai kapan ia akan terjaga, atau sampai berapa lama mereka harus menunggu sampai bantuan datang. Mata pemuda itu mengerjap lemah, nyaris tertutup jika ia tidak memaksa untuk dibuka.
"Baekhyun..." lirih Chanyeol, suara parau yang begitu lembut hingga tidak mungkin terdengar apabila jarak mereka jauh. Wajah Baekhyun telah kabur bagi mata Chanyeol; dari bawah, sang pemuda melihat lelaki itu menunduk untuk saling menatap. Satu per satu indera Chanyeol ambruk, meninggalkan bibir dan mata yang setengah berfungsi. Kali ini, pemuda itu tidak ingin mengolor waktu lagi; tidak mau menyerah pada harga diri seperti pecundang.
Sebuah nafas yang ditarik gemetaran lalu senyum yang rapuh.
"Maafkan aku."
Tubuh Chanyeol tiba-tiba tumbang ke lantai, mata terlebih dahulu terpejam.
.
.
23:47.
Hyeyoung mengerutkan bibir, terduduk dengan lengan menyilang di atas tempat tidur. Chanyeol resmi terlambat 47 menit dari perjanjian mereka untuk bertemu dalam kamar 192 di SM Hotel. Sejak tadi, Hyeyoung telah menelepon Lee Naeun, hendak menanyakan keberadaan Chanyeol, tapi entah kenapa setiap panggilan berakhir tidak diangkat. Padahal rencana penculikan ini ia serahkan secara penuh ke sang asisten, dan menurut Lee Naeun, ia berani meyakinkan bahwa tugas ini telah dipercayakan ke orang yang kompeten. Ah, setidaknya, rencana mereka mampu membuat Chanyeol mengaku bahwa ia memang tertarik pada Hyeyoung.
Sekarang, ia tinggal menunggu mereka untuk bercinta. Wanita itu telah merapikan rambut, mengenakan lingerie seksi di balik gaun seksi yang memamerkan belahan dada dan pinggul sintal. Beberapa paket kondom bahkan terlebih dahulu ia persiapkan, karena ia tahu Chanyeol pasti meminta lebih dari tiga ronde. Bersama wanita seperti Cho Hyeyoung, tidak ada lelaki yang puas jika mereka bersetubuh kurang dari lima kali.
Ada ketukan kasar dari luar, dan Hyeyoung terburu-buru bangkit, terlalu bersemangat untuk membuka pintu tanpa terlebih dahulu memastikan siapa pengetuknya. Wanita itu mengernyitkan alis, bingung melihat kumpulan orang berseragam putih yang sebaliknya menunggu di sana. Hyeyoung mengamati mereka satu per satu, dagu terangkat angkuh. "Siapa kalian?" ia meraba ujung pintu. "Berani sekali kalian mengganggu tidurku. Haruskah aku memanggil pihak hotel untuk mengusir kalian?"
Tidak ada yang menyangka bahwa masing-masing lengan Hyeyoung akan dicengkeram, lelaki berbaju putih menahan pergerakan sang wanita untuk kabur. "Lepaskan! Ayahku tidak akan memaafkan kalian kalau ia tahu!" Hyeyoung berteriak kencang, tidak berhasil melonggarkan diri dari pegangan mereka. "Tolong!"
"Nona Cho," sebuah suara rendah berujar, dan Hyeyoung menoleh, melihat seorang pria dengan kemeja putih garis-garis dan celana hitam menatapnya tajam. "Anda telah menyusun rencana untuk melakukan penculikan terhadap Byun Baekhyun sekaligus bersekongkol untuk menyerang Tuan Park Chanyeol. Sekarang, Tuan Park Chanyeol dirawat di rumah sakit dengan infeksi berat di—"
Penjelasan pria itu tidak terproses dalam pendengaran Hyeyoung. Sang wanita melotot tidak percaya, menggeleng panik bersama tangan gemetaran. "Tidak," ia mengulang kata ini berulang-ulang, tubuh melemas yang kini sedikit diseret oleh dua lelaki berbaju putih. "Mereka—tidak mungkin. Aku—aku bersumpah! Aku tidak menyuruh mereka untuk menyakiti Chanyeol! Bukan aku! Aku—aku tidak mungkin menginginkan calon suamiku sendiri untuk terluka!"
Pria itu bahkan tidak menggubris bantahan Hyeyoung, melanjutkan dalam intonasi penuh wewenang, "Apabila kami meneruskan kasus Anda sesuai jalur hukum, maka Anda harus melalui persidangan untuk dijatuhkan hukuman berupa denda dan penjara. Tapi atas permintaan Tuan Cho Seungwoo, yang memohon keringanan bagi Anda, maka—"
Barulah saat Hyeyoung mengamati seksama seragam putih dua lelaki di sampingnya, wanita itu membaca lencana "RUMAH SAKIT JIWA ANAM" di lengan mereka. Hyeyoung langsung menjerit histeris, mendorong, menyuarakan penolakan seperti orang gila, teriakan menggema di lorong yang cukup ramai. Semua pengunjung hotel menatap ngeri wanita itu, bergerak mundur untuk menjauhi amukan tidak terkontrol Hyeyoung. Topi dan masker terlebih dahulu dipasang di tengah ledakan sang wanita, melindungi identitas Hyeyoung sebagai putri bungsu Keluarga Cho yang terhormat.
Begitu jarum suntik menerobos kulit di belakang leher Hyeyoung, ia berhenti melawan.
.
.
Chanyeol tidak sanggup membuka mata.
Punggungnya menempel pada kasur setengah empuk, bahan yang tidak mungkin berasal dari tempat tidur di penthouse. Masing-masing lengan pemuda itu tergeletak kaku, tidak mampu digerakkan sekalipun ia berusaha. Bau asing memasuki penciuman Chanyeol, mirip seperti aroma rumah sakit yang ia jumpai selama mengurus Baekhyun. Ada sebuah tangan yang mengelus puncak rambutnya lembut, meluruskan helai-helai di sana, setiap sentuhan membawa darahnya untuk mendidih oleh afeksi dan rindu—mengingatkan Chanyeol pada masa lalu saat ibunya tidur di samping sang pemuda.
"Cepatlah bangun, Park Chanyeol."
Sebuah suara merdu berbisik hangat, menginterupsi keheningan.
Jantung Chanyeol segera berdebar kencang, menggetarkan sekujur tubuh meski dalam kondisi lemah. Tanpa membuka mata pun, pemuda itu tahu siapa pemilik suara tadi. Baekhyun. Ia hafal bagaimana sang lelaki berbicara, membawa intonasi halus bagi suaminya saat mereka bergurau di depot. Chanyeol terkadang mendengar suara ini dalam mimpi; di sana, hubungan mereka begitu akrab, dan Baekhyun akan tertawa mendengar candaan Chanyeol. Di sana, Baekhyun tidak mengusir Chanyeol; lelaki itu tidak mengungkapkan kebencian bagi Chanyeol karena ia telah melakukan kesalahan yang tidak termaafkan. Di sana, dalam mimpi, Chanyeol dapat merasakan kelembutan Baekhyun yang memang ditujukan bagi sang pemuda.
Tapi, seperti bagaimana hal indah tidak mungkin terjadi di realita, mereka hanya sebatas mimpi.
Maka, Chanyeol enggan membuka mata, tenggelam dalam sentuhan lembut di rambutnya. Tenggelam dalam angan bahwa pemilik tangan di puncak kepalanya adalah Baekhyun. Bermimpi bahwa suara yang tadi mengharapkan Chanyeol untuk bangun adalah Baekhyun. Kalaupun nanti ia bangun dan tidak menemui Baekhyun, pemuda itu tidak akan menyesal.
Setidaknya, ia tidak bermimpi buruk.
.
.
Chanyeol terbangun dalam kamar kosong, tidak ada bunyi apa pun kecuali dari jarum jam.
Pemuda itu menyipitkan mata, susah payah meluruskan punggung untuk bangkit dari posisi terlentang. Ada alat bantu bernafas yang terselip dalam masing-masing lubang hidung, melancarkan oksigen untuk diserap oleh paru-parunya. Chanyeol menunduk, menyadari bahwa ia telah mengenakan baju putih seperti para pasien di rumah sakit. Ia menggeleng, memejamkan mata untuk merenung, mengingat kembali apa yang terjadi dan kenapa ia berada di rumah sakit.
Perlahan, satu per satu memori merangkak ke kepala Chanyeol, melenyapkan tenang dari batin pemuda itu dalam sekejap.
Cho Hyeyoung yang mengancam Chanyeol. Baekhyun yang diculik dan ditahan dalam gedung kosong. Chanyeol yang terlibat dalam pertikaian satu lawan sepuluh. Chanyeol yang pingsan usai dihajar habis-habisan, dengan darah mengalir dari mulut dan luka di mana-mana.
Bunyi pintu yang dibuka tiba-tiba menyerang pendengaran Chanyeol.
Chanyeol otomatis menoleh, mulut seketika bungkam oleh apa yang ia lihat. Di sana, pada jarak beberapa langkah dari tempat tidur, berdiri Byun Baekhyun, handuk bertengger di bahu usai keluar dari toilet. Rambutnya setengah basah; bau segar dari sabun lembut menguar dari tubuh mungil sang lelaki. Mereka saling berbagi pandang, sama-sama terkejut untuk menatap satu sama lain. Baekhyun mendelik, sementara Chanyeol mendadak tidak berfungsi, dagu nyaris menyentuh lantai karena ia menganga.
"Kau... sudah bangun," ujar Baekhyun lega, seakan-akan ia telah menunggu momen ini sejak lama, sebuah situasi yang sangat membingungkan dan tidak masuk akal untuk terjadi. Pemuda itu menelan liur waswas, memperhatikan Baekhyun yang berlari menuju tempat tidur, menuangkan air dalam gelas. "Minum?" tanya sang lelaki, menyerahkan gelas tadi ke depan mulut pemuda itu. Chanyeol ragu-ragu membuka bibir, memajukan wajah untuk meminum setengah gelas air. Baekhyun mengangguk singkat, meletakkan gelas tadi ke meja. "Tunggu sebentar, aku akan memanggil suster. Mereka berjaga di luar. Asistenmu juga."
Sebelum lelaki itu dapat pergi, Chanyeol terburu-buru berbicara, suara serak yang lebih gemetaran, "Baek—Baekhyun?"
Baekhyun memiringkan kepala lucu. "Hm?"
Sebagian dari pemuda itu ingin bertanya, mencari konfirmasi apakah ini mimpi. Karena apa yang terjadi sekarang terlalu indah untuk menjadi realita. Alih-alih mengusir Chanyeol dari kamar, Baekhyun malah membawakan minum bagi pemuda itu. Ia tidak meluapkan amarah seperti bagaimana reaksinya terhadap Chanyeol; sang pemuda juga tidak melihat benci dan jijik di obsidian lelaki itu.
Meski begitu, Chanyeol tidak mengutarakan apa pun selain, "Kau... baik-baik saja, kan?"
Baekhyun tersenyum tipis. Chanyeol makin bungkam, jantung memompa berlebihan dalam dada, meruntuhkan sisa konsentrasi pemuda itu untuk mengontrol ekspresi. Ia mungkin terlihat bodoh sekarang, melongo dan membisu seperti orang linglung.
"Aku tidak apa-apa, Chanyeol," ujar Baekhyun dalam intonasi halus, transformasi drastis dari bagaimana ia biasanya merespons Chanyeol. Ada ketulusan dari tatapan sungkan lelaki itu, semburat merah tampak di masing-masing pipi tembam. "Kau harus mengkhawatirkan dirimu sendiri."
Setelahnya, seorang dokter dan kumpulan suster memasuki ruangan, mengerumuni Chanyeol di tempat tidur: memeriksa dan menginterogasi pemuda itu. Baekhyun dan Taegeun berdiri di belakang mereka, mendengarkan penjelasan dokter yang berakhir masuk telinga kanan dan keluar di telinga kiri bagi Chanyeol. Sejak tadi, perhatian sang pemuda hanya pada Baekhyun, mengamati ekspresi serius lelaki itu kala memperhatikan instruksi dokter. Begitu selesai, para suster dan dokter meninggalkan ruangan, menyisakan mereka bertiga saja.
"Young Master," Taegeun setengah membungkuk sebagai salam, mengoyak sunyi dengan suara beratnya. "Saya senang melihat Anda baik-baik saja. Saya harap Anda tidak akan mengulang kejadian seperti kemarin lagi."
Chanyeol melambaikan tangan santai. "Jangan dibahas. Bagaimana Cho Hyeyoung? Dipenjara atau diisolasi di rumah sakit? Aku harap kau mengambil keputusan yang tepat tanpa campur tanganku."
"Nona Cho akan diisolasi di Rumah Sakit Jiwa Anam sampai jangka waktu paling lambat lima bulan," Taegeun memberitahu, intonasi datar seperti robot yang menghafalkan informasi tertentu. "Karena kejahatan yang diperbuat Nona Cho di luar batas, Tuan Chairman Cho tidak meminta kelonggaran lagi. Ia secara tulus memohon maaf atas tindakan Nona Cho, dan siap menerima segala konsekuensi asalkan kita tidak membocorkan ini ke media. Tuan Cho juga mencabut permintaan pertunangan Anda, termasuk sampai nantinya Nona Cho keluar dari rumah sakit. Sekali lagi, Tuan Cho secara spesifik menyampaikan bahwa ia siap bertemu dengan Anda untuk meminta maaf langsung, Young Master. Parsel bunga dan buah di sofa juga berasal dari Tuan Cho."
"Aku tidak peduli," Chanyeol memutar mata, menyandarkan punggung ke belakang. "Pastikan kau memberi pelajaran pada para preman kemarin."
Taegeun tampak puas. "Lee Donghae sudah terlebih dahulu menghabisi mereka, Young Master."
Chanyeol hendak menjawab sang asisten, tapi ia tidak sengaja melirik Baekhyun, menyadari masing-masing tangan lelaki itu yang mengepal. Sepanjang percakapan mereka tadi, Baekhyun terus menunduk, lengan menempel kaku pada baju. Tatapan Chanyeol seketika melembut, diam-diam merutuki diri sendiri karena tidak mencantumkan sang lelaki dalam obrolan. "Baekhyun... kenapa?" panggil Chanyeol hati-hati, "Apa kau sakit?"
Taegeun ikut menoleh untuk memandang Baekhyun. Obsidian lelaki itu bergerak linglung antara Taegeun dan Chanyeol, berkali-kali begitu hingga ia melambaikan tangan malu-malu. "Ti—tidak," Baekhyun menggeleng lambat, tersenyum canggung. "Aku akan keluar..."
Seolah-olah memahami situasi aneh mereka, Taegeun terlebih dahulu mengangguk. "Biar saya yang keluar."
Bunyi pintu yang ditutup menggema dalam ruangan. Dua insan jatuh dalam hening: yang satu berdiri canggung di ujung kamar, dan yang lain terlentang kaku di tempat tidur. Chanyeol menelan liur, meremas kain putih dari matras untuk meluapkan gugup di sana. Ia menghela nafas berat sebelum menengadah, ragu-ragu memanggil lelaki yang berada jauh dari pemuda itu. "Baekhyun?" ia mencoba waswas, seperti takut membangunkan amarah sang lelaki jika namanya disebut. Baekhyun mengerjapkan mata. "Bisakah kau kemari sebentar? Aku... ingin mengatakan sesuatu padamu."
Setiap langkah yang Baekhyun ambil mendebarkan jantung Chanyeol. Lelaki itu kini berdiri di samping tempat tidur, jarak di antara mereka lebih dekat dari perkiraan Chanyeol. Sang pemuda kembali menunduk sebelum berbicara lembut, "Aku seharusnya mengatakan ini dari awal, tapi aku tidak lebih dari pecundang," ia mengungkapkan, akhirnya mendongak untuk memandang Baekhyun. "Aku minta maaf... untuk semuanya."
"Untuk setiap tindakan dan kata-kataku yang keterlaluan padamu. Aku tahu aku selalu menyakitimu sejak kita... saling mengenal. Perlu kuakui bahwa obsesiku sempat membutakanku untuk melakukan hal-hal... menjijikkan," Chanyeol memejamkan mata, tangan mengepal erat di atas kasur. Pemuda itu tidak sanggup menatap Baekhyun; tidak mampu melihat benci yang mungkin sedang terukir di obsidian lelaki itu. "Aku dilahirkan untuk menganggap diriku superior, tapi malam itu... aku sadar bahwa aku tidak lebih dari bajingan yang kotor. Aku tidak pernah memaksakan nafsuku pada seseorang. Aku selalu berpikir, dengan ego dan percaya diriku, bahwa semua orang menginginkanku. Semua orang selalu menginginkanku tanpa paksaan. Aku akan mendapatkan siapa pun yang aku mau."
Chanyeol tetap menolak untuk terlibat dalam kontak mata selagi berkata, "...Aku menyesal. Entah berapa kali aku berusaha melupakan tangisanmu malam itu, aku tidak bisa. Aku selalu dihantui oleh rasa bersalah dan penyesalan, merenungkan kenapa aku melakukan itu padamu. Aku tahu... jutaan maaf pun tidak mungkin menghilangkan kebencianmu padaku. Apa yang aku lakukan tidak pantas dimaafkan. Tidak sebanding dengan trauma yang kau rasakan akibat tindakanku. Aku mengerti jika kau tidak akan memaafkanku. Aku tidak akan memaksa."
"Percayalah, aku—aku tidak bermaksud untuk mengganggu hidupmu lagi. Bahkan setelah kau tahu bahwa aku melunasi seluruh utangmu; meskipun aku tidak mengharapkan uangku kembali, aku berniat untuk membiarkanmu melunasi seluruh cicilanmu. Begitu urusan kita selesai, aku tidak ingin menjadi benalu dalam hidupmu. Aku tahu... kau trauma setiap melihatku."
Chanyeol tidak berbohong. Bahkan uang yang Baekhyun serahkan pada pemuda itu tiap dua minggu sekali selalu didonasikan ke panti asuhan. Rencananya, setelah lunas, Chanyeol hendak mencabut seluruh CCTV dari depot lelaki itu sekaligus memberitahu Lee Donghae untuk berhenti memonitor Baekhyun. Ia benar-benar ingin berhenti menguntit sang lelaki, menjauhkan diri dari hidup Baekhyun.
"Tapi, Cho Hyeyoung tiba-tiba mengejarmu," Chanyeol menambahkan, teringat oleh mimpi buruk dari ancaman wanita itu. "Aku harus melakukan sesuatu. Bagaimanapun juga, ini adalah salahku. Kau tidak mungkin terseret dalam masalah kami jika bukan karena aku," pemuda itu menelan liur, membasahi kerongkongan yang kering. "Aku tidak hanya membuatmu trauma, tapi juga merusak hidupmu. Maafkan aku, Baekhyun. Aku tidak pantas untuk bahkan memohon maaf darimu... aku—"
Jemari mungil menyentuh tangan besar begitu hati-hati.
Mata Chanyeol melebar, melihat jari-jari Baekhyun berada di atas tangan sang pemuda, tidak menggenggam namun hanya sedikit meraba. Ia perlahan mengangkat kepala, hazel terkejut bertemu obsidian malu-malu. "Park Chanyeol..." Baekhyun berkata pelan, intonasi ragu-ragu seperti bingung harus berkata apa, "Aku menerima... permintaan maafmu," ia tersenyum kecil, mendesak pipi tembam untuk menjadi bulatan mungil di wajahnya. "Dan terima kasih... untuk pertolonganmu kemarin. Maafkan aku juga untuk perkataanku yang mungkin menyakitimu. Padahal kau telah melakukan banyak hal untuk menolongku."
Chanyeol mendadak mati kutu. Seluruh kalimat lenyap dari otak pemuda itu. Kehangatan dari kulit Baekhyun menyapa lembut tangan pemuda itu, melarikan sengat lewat pembuluh darah. Ia membuka dan menutup mulut sebelum berdeham. "Tetap saja—aku, aku harus meminta maaf, Baekhyun," Chanyeol terbata-bata berujar, pilihan kata makin berantakan karena konsentrasinya hilang.
Baekhyun tertawa ringan. "Kau sudah meminta maaf," ia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Sekilas, Chanyeol membiarkan dirinya hambur dalam senyuman Baekhyun, bahagia bertumbuh lebat karena ia tahu, senyuman ini ditujukan pada sang pemuda. "Ibuku selalu berkata untuk berhenti terjebak di masa lalu. Apa pun yang kau lakukan sekarang akan menjadi karmamu di masa depan..." Baekhyun mengawali, menggerakkan obsidian penuh nostalgia untuk menatap dinding. Chanyeol membeku di tempat tidur, satu tangan mengepal pada selimut. "Malam itu, kau memang bersalah dan aku... memang trauma akibat tindakanmu. Tapi, kau berhenti sebelum kau melakukan kesalahan yang lebih besar," Chanyeol menunduk, menyembunyikan wajah dari lelaki itu. "Setelahnya, kau berusaha untuk menebus kesalahanmu. Bahkan saat aku berkali-kali mengusir dan menghujatmu, kau tidak menyerah. Kau tetap... menyelamatkanku. Secara tulus; tanpa paksaan."
"Seperti Cho Hyeyoung yang mencoba untuk menyakiti orang di sekitarnya, karmanya adalah kehilangan kebebasan dan... orang yang ia cintai," Baekhyun meneruskan, alunan suara yang menenangkan dan diselimuti bijaksana, "Karmamu adalah dihantui oleh rasa bersalah," tangan Baekhyun kini memegang jemari Chanyeol, seperti memberi keyakinan bagi pemuda itu. "Park Chanyeol, tidak adil jika aku terus memperlakukanmu begitu buruk. Setelah semua yang kau lakukan untuk menebus kesalahanmu, kau berhak untuk dimaafkan. Mungkin... ini saatnya kita meninggalkan masa lalu di belakang kita. Selama kau tidak akan mengulang kesalahanmu kemarin, kau tidak perlu merasa bersalah lagi. Kau yang sekarang bukanlah kau yang di masa lalu. Jangan menganggap dirimu sebagai orang yang sama jika kau sudah berubah."
Air mata perlahan membangun dinding mereka di balik hazel Chanyeol. Pemuda itu membungkuk, membenamkan wajah pada gabungan tangan mereka di pangkuan. "I don't deserve you at all," ia berbicara dalam bahasa Inggris, seluruh beban seolah-olah terangkat dari batin pemuda itu. Pemuda itu menghembuskan nafas gemetaran, membendung air mata agar tidak tiba-tiba jatuh dari pelupuk.
Ia cukup sukses, berhasil menahan air mata tadi untuk tidak turun.
"...Apa?"
Chanyeol tertawa gemas, meluruskan punggung lagi untuk mempertemukan mata mereka. Sesuai dugaan, bingung terlukis di wajah cantik Baekhyun. Chanyeol langsung melambaikan tangan. "Tidak, tidak," ia berkata di sela kekehan, sementara ekspresi Baekhyun benar-benar polos, seperti tidak mengerti apa maksud pemuda itu. "Aku bilang, kau benar-benar terlalu baik untuk menjadi manusia."
Baekhyun mengalihkan obsidian ke arah lain. "Jangan mengejekku."
Chanyeol seketika membungkuk. "Maafkan aku, maaf—aku bercanda," ia memiringkan kepala, berusaha untuk mengikuti ke mana mata mungilnya melirik. Pemuda itu kembali serius begitu Baekhyun memandangnya lagi, senyuman kaku terukir di bibir. "Terima kasih... telah memaafkanku. Mungkin aku akan terus meminta maaf padamu, karena seperti yang kubilang, entah berapa kali aku meminta maaf, kurasa permintaan maafku tidak akan cukup untuk menebus kesalahanku di masa lalu. Aku memang bajingan."
Baekhyun menghela nafas panjang. "Jangan menyebut dirimu begitu," ia memperingatkan lagi, menggunakan intonasi lembut seperti ibu yang menegur anaknya.
Chanyeol menelan liur gugup, tiba-tiba menyadari bahwa hanya ada mereka dalam ruangan. Pemuda itu terbatuk canggung, satu tangan menggaruk lengan yang tidak gatal lalu mengulurkan jemari tadi ke depan. "Jadi... apa kita benar-benar baik-baik saja?" ia memulai hati-hati, menatap Baekhyun penuh harap. "...Teman?"
Sudut bibir Baekhyun terangkat menjadi senyuman hangat.
Lelaki itu tidak ragu-ragu untuk menjabat tangan Chanyeol.
"Teman."
TO BE CONTINUED
Author's Note: WTF, ini makin dramatis... [muntah]
Eh, aku akhirnya nonton The Box kemarin. YAY. Iya, telat banget. Gara-gara dikurung di rumah, dan mumpung lagi pada pergi lama, aku kabur deh, haha. Terus boro-boro nonton sama Chanbaekists, ending-nya aku nonton sendiri. Dan cuman aku doang di baris paling atas. Makin sepi ya bioskop, huhu. Pas aku dateng, literally aku doang di dalem studio. Pikirku, mungkin aku aja nih yang nonton karena aku pernah ngalamin gini juga. [LOL] Para penikmat nonton sendiri kayak aku mungkin bakal seneng nonton di CGV kotaku. Kalo lagi hoki, kami bisa nonton sendiri berasa nyewa sebioskop, haha. :')
*SPOILER* The Box bagus banget, huhu. :') Terkesan sama akting CY di situ. Dia berhasil menyatu sama karakter Ji Jihoon. Apalagi yang abis dia gagal tampil What a Wonderful World. Agak berkaca-kaca liatnya... Terus pas sepanjang nonton sih aku juga mikir... ini kalo dijadiin ChanBaek makin nangis kali ya. Apalagi di bagian terakhir, "Kau mau mencampakkanku?!" — dengan nada agresif PCY. Bye!
Typo dll abaikan dulu... ngetiknya agresif WKWKW
