BoBoiBoy Galaxy own by Monsta Studios

.

Tanah, bebatuan, daratan.
Keras dan melindungi, solid apapun yang terjadi.
Tanah yang kuat, tak tergoyahkan, kokoh.
Tanah yang selalu tegar meskipun diinjak berkali-kali, selalu bisa bertahan meskipun dilukai.
Tapi ada kalanya pertahanan sekeras batu sekalipun akan goyah ketika terkena goncangan.
Sekeras batu, semutlak tanah, tapi itu semua tidak akan bertahan selamanya.
Karena dinding tanah yang keras pun, suatu hari nanti pasti akan tetap runtuh.

.

.

.

Day 7: Loving as Earth, Solid as Stones


"Kak Blaze~ main gamenya udahan dong. Aku capek nih," keluh Boboiboy Ice yang sudah menemani Blaze bermain game sejak 3 jam yang lalu.

"Bentar dong, Ice. Tanggung nih," sahut Boboiboy Blaze tanpa menoleh. Manik jingga kemerahannya masih fokus pada layar televisi yang menampakkan grafik game sepak bola.

"Aku tahu kau senang akhirnya bisa menyentuh console game lagi setelah seminggu absen main karena ulangan semester…tapi nggak nyangka akan sampai begini," kekeh Taufan yang baru datang setelah membantu sang kakak, Boboiboy Halilintar, mencuci piring.

"Well, mereka bilang semakin jarang kau melakukannya, akan semakin asyik ketika kau melakukannya lagi sih ya," komentar Boboiboy Solar, si bungsu jenius yang sejak tadi membaca sebuah ensiklopedia sambil sesekali memperhatikan permainan video kakaknya.

"Yah~ karena ulangan semester yang menyakitkan itu sudah berakhir, kita bisa santai sejenak ya," ujar Taufan sembari mendudukkan dirinya di samping Solar.

"Tapi jangan kebablasan. Kau tahu sendiri akibatnya kan?" Halilintar yang akhirnya ikut bergabung memperingati.

"Iya, iya~ tinggal 5 menit lagi kok~" sahut Blaze santai.

"Kak Blaze juga mengatakan itu 2 jam lalu," desah Ice menyerah. Pemuda itu memilih mengistirahatkan kepalanya di atas meja tamu.

"Terima kasih pada Kak Taufan, kita semua bisa ulangan tepat waktu meskipun kunci jawaban sempat bocor," desah Solar.

"Iya dong~ kalau sampai beneran tersebar nanti Solar bisa galau berhari-hari," canda Taufan.

Halilintar memutar mata, tapi dalam hati menyetujui penuturan adik bungsunya. Paling tidak ulangan sudah selesai dan mereka bisa bersantai untuk sekarang.

Meskipun tidak semua dari mereka…

"Thorn belum pulang ya?" tanya Taufan.

"Kak Thorn lagi ada kegiatan club, kayaknya 10 menit lagi baru pulang," jawab Solar.

"Tambah 10 menit lagi jika dia masih singgah memberi makan Cattus," timpal Ice yang tidak sepenuhnya tidur meski kedua matanya terpejam.

"Nggak masalah lah~ Thorn kan udah gede juga. Iya kan, Kak Hali~?" ujar Taufan jenaka, menyadari gelagat sang kakak yang masih terlihat sedikit cemas dibalik paras datarnya itu.

Halilintar mendengkus, memutuskan untuk tidak menanggapi karena saat ini dirinya sedang tidak ingin sparring dengan adik pertamanya itu.

.

.

.

Tanah yang keras dan kuat.

Tanah yang selalu bertahan tidak peduli sekeras dan sebanyak apapun kaki-kaki yang menginjaknya.

Kuat, hampir tak bisa ditembus…

.

.

.

"Gempa, proposal sudah di-Acc oleh Kepala Sekolah. Kurasa sudah saatnya kamu pulang," saran Yaya Yah, teman sekelas Halilintar yang juga menjabat sebagai Sekretaris OSIS.

"Baiklah…sudah jam segini juga," sahut sang Ketua OSIS, Boboiboy Gempa, adik Halilintar dan Taufan, serta kakak dari Blaze, Ice, Thorn, dan Solar.

"Kamu tidak harus selalu ada di sini, tahu. Soal properti dan perlengkapan acara sudah ditangani Nut dan yang lain," ucap Yaya lagi, sangat paham kebiasaan atasannya ini.

"Aku hanya ingin saja, kok. Lagipula itu sudah tugasku kan," Gempa menjawab sembari merapikan barang-barangnya.

"Ya sudah. Hati-hati di jalan," tukas Yaya menyerah.

Gempa tersenyum, "Kamu juga. Sampai besok," pamitnya kemudian segera melangkah keluar ruangan yang mulai dihiasi bias cahaya matahari sore tersebut.

Yaya menghela napas, kalau dipikir-pikir ini sudah yang kesekian kalinya gadis itu mengingatkan Gempa untuk tidak terlalu memaksakan diri.

Tapi pemuda itu masih tetap bersikap keras kepala.

"Yah…mau bagaimanapun dia itu Boboiboy juga sih," gumam Yaya geli.

.

.

.

Bumi, daratan, tanah.

Ada yang bilang itu adalah beberapa kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan persamaan manusia.

Hanya saja, tidak semua manusia bisa bertahan sekuat tanah.

Ada juga yang memang kuat untuk bertahan.

Tapi, bukan berarti yang cukup kuat juga bisa bertahan selamanya.

.

.

.

"Baru pulang?" tegur Taufan yang kebetulan mendapat tugas beres-beres dapur hari ini setelah Halilintar yang memasak makan malam.

"Ya. Banyak yang terjadi, paling tidak proposalnya sudah diterima oleh Kepala Sekolah," sahut Gempa sambil melepas sepatunya.

Taufan mengangguk, diperhatikannya penampilan Gempa yang begitu kusut dan berantakan. Bahkan tanpa bertanya pun, Taufan sudah menyadari betapa lelahnya sang adik dari air mukanya.

"Mau makan? Jatahmu sudah disimpan Kak Hali," tawar Taufan, memutuskan untuk tidak bertanya macam-macam.

"Terima kasih. Aku mandi dulu," jawab Gempa engan senyuman, baru remaja itu melangkah menuju lantai dua.

Taufan menggeleng geli, akhirnya tidak menanggapi dan memilih menyiapkan makan malam untuk sang adik pertama.

.

.

.

"Kira-kira nilai matematikaku berapa ya…kalau nilaiku di bawah rata-rata gimana…" gumam Boboiboy Thorn khawatir.

"Nggak bakalan. Aku jamin," sahut Solar yang berjalan di samping sang kakak.

"Kok bisa seyakin itu?" tanya Blaze.

"Karena yang mengajari Kak Thorn selama seminggu penuh itu aku. Kalian mau bilang perhitunganku salah?" Solar menjawab santai sembari menaik-turunkan kacamata jingganya.

"Kau ini selalu saja ngeselin ya," komentar Blaze pendek.

"Ya udah, aku percaya deh sama Solar," tukas Thorn kembali tersenyum.

"Gitu dong. Aku 'kan memang bisa dipercaya~" ucap Solar penuh percaya diri.

"Nggak usah ditanggapin, Kak. Nanti jalanan meleleh loh," komentar Ice yang menyadari raut jengkel Blaze.

"Anyway, lagi-lagi Kak Gempa nggak berangkat bareng kita ya?" tanya Solar.

"Dia berangkat duluan. Katanya mau menemui salah satu pihak yang akan mengisi acara," jawab Halilintar.

"Kelihatannya setelah ulangan, Kak Gempa malah semakin sibuk ya," gumam Ice.

"Mungkin karena Kak Gem itu Ketua OSIS," komentar Thorn.

"Yah, karena dia Ketua OSIS," timpal Taufan, "Dia sampai lupa sarapan dan aku harus repot-repot membawakannya,"

"Ck, masih untung daripada kau yang aku suruh masak," ucap Halilintar setelah menjitak kepala Taufan.

"Sakit, Kak Hali…" keluh Taufan, meski tidak benar-benar merasa kesakitan karena entah kenapa pemuda biru tua itu sudah terbiasa dengan kebiasaan ringan tangan kakaknya.

Oke, Taufan mulai merasa masokis sekarang…

.

.

.

"Cih, kalian pikir maaf saja cukup?"

"Gempa, kenapa malah kau yang minta maaf?"

"Kakakku sudah mencelakakan anak kalian, oleh sebab itu, aku meminta maaf atas namanya,"

"Sebentar, kenapa kau yang minta maaf?"

"Karena ini tanggung jawabku,"

.

.

.

"Err…Gempa?" Yaya hanya bisa diam memperhatikan Gempa yang sibuk mengetik dan menulis sesuatu di atas meja kerjanya. Manik karamelnya tidak bisa berpaling dari berkas-berkas di atas meja atasannya itu.

"Gempa, sebaiknya aku saja yang kerjakan. Lagipula itu kan tugasku," tawar Yaya untuk yang ketiga kalinya.

"Aku baik-baik saja. Sebaiknya kamu kumpulkan yang lain dan minta mereka mengumpulkan data murid yang mau mengisi acara," sahut Gempa tanpa menoleh.

"Nut sudah melakukannya. Datanya sudah ada di atas mejamu," ucap Yaya.

"Oh…maaf aku tidak memperhatikan,"

Yaya menghela napas, akhirnya menyerah juga membujuk ketuanya yang masih berkutat dengan berkas yang seharusnya menjadi jatahnya itu.

"Kamu tahu aku ada di mana kan? Panggil saja kapanpun, oke?"

Gempa hanya mengangguk singkat tanpa suara, dan Yaya akhirnya pamit karena sebentar lagi jam pelajaran ketiga.

.

.

.

"Taufan, kamu mau ikut berpartisipasi dalam acara ulang tahun sekolah?" Ying, gadis Cina yang menjadi salah satu teman dekat para Boboiboy bertanya.

"Umm…kayaknya aku pass," jawab Taufan.

"Loh, kenapa? Aku lihat kamu paling menantikan acara itu padahal," tanya Ying lagi.

"Menantikan, bukan berarti aku tertarik untuk ikut loh ya," Taufan menjawab sambil tertawa, "Untuk kali ini aku melihat-lihat saja. Lagian mereka mungkin bosan kalau melihatku atraksi di atas panggung lagi,"

Ying memutar mata, sangat tahu kalimat si topi miring di hadapannya ini hanyalah omong kosong dengan harapan akan dapat jawaban "Nggak kok, kamu bagus banget atraksi skateboardnya!" dari lawan bicara.

Typical…

"Aku juga sebenarnya punya agenda sendiri, jadi aku nggak bisa ikut tahun ini," ucapan Taufan berikutnya kembali mengalihkan kelereng safir si gadis Cina dari kumpulan manusia yang sedang berlalu lalang dari jendela.

"Maksudmu kau tetap akan 'membuat orang lain tersenyum'?" Ying tidak bermaksud sarkastik, tapi kedengarannya memang seperti itu.

Buktinya Taufan hanya merespon dengan tawa yang cukup keras. Syukurlah sekarang ini sedang jam istirahat jadi tidak terlalu banyak murid yang teralihkan perhatiannya ke arah mereka berdua.

"Kamu ini memang…" Ying memutuskan untuk menggelengkan kepala saja, kehabisan komentar untuk teman sekelasnya yang satu ini.

"Ya sudahlah, aku mau ke kantin. Kamu mau nitip?" tukasnya.

"Jus jeruk aja. Kau yang traktir ya?" cengir Taufan sambil memperbaiki posisi topinya.

Ying memutar mata, tapi memutuskan untuk mengiyakan saja karena sudah tahu Taufan tidak akan berhenti merengek padanya jika ditolak.

"Iyey! Ying memang terbaik!"

"Iya, iya, dah lah. Aku pergi dulu," Ying kemudian pamit, berniat menghindar sebelum gendang telinganya bermasalah.

Sayang sekali, itu juga membuatnya luput dari apa yang terjadi selanjutnya.

Taufan hanya tersenyum kemudian melanjutkan mengobrak-abrik tas sekolahnya.

"'Orang lain', eh…"

.

.

.

Tanah itu padat.

Keras, kuat, absolut.

Tanah yang menjadi penopang kehidupan, tanah yang menahan segala beban.

Tapi apa hanya itu?

.

.

.

"Bagaimana?"

"Sudah beres semua. Datanya sudah aku berikan padamu, dan untuk sisa siswa-siswi yang belum membayar iuran juga sudah ditangani bendahara," Fang, Wakil Ketua OSIS yang berdarah campuran Melayu-Jepang-Cina menjawab.

"Oke, terima kasih. Kalau begitu tinggal-"

"Gempa, kau tahu semuanya sudah melakukan tugas mereka kan?" potong Fang cepat, tidak peduli jika dia sudah berbuat tidak sopan dengan memotong ucapan atasan.

Gempa sempat terdiam, namun kemudian senyum kembali menghiasi parasnya, "Aku tahu kok. Makanya sisanya biar aku yang tangani,"

"Ck," Fang mendecih tidak suka, tapi memutuskan untuk diam karena ini memang bukan saat yang tepat untuk berdebat.

"Terserah kau. Tapi ingat yang punya jabatan di sini bukan kau saja," setelah mengucapkan itu, pemuda serba ungu yang juga cukup populer di kalangan siswi itu berbalik meninggalkan ruangan OSIS.

Gempa tersenyum maklum, meski Fang terkesan judes, pemuda itu tetap teman dekatnya juga.

Yah, meski Fang enggan mengakuinya.

Baiklah, Gempa akhirnya kembali fokus pada pekerjaannya.

Apapun yang terjadi semuanya harus segera selesai karena hari pelaksanaan acara sudah sangat dekat.

.

.

.

"Maaf…ini ambil saja punyaku"

"Gempa, kenapa kau memberikan mobilmu?"

"Habisnya…Blaze sudah merusak mainan anak itu,"

"Iya, tapi itu kan bukan salahmu,"

"Nggak apa-apa kok. Yang penting mereka nggak berantem lagi,"

.

.

.

"Boo!"

"Hwaa…!"

Gempa sedikit melompat dari tempatnya berdiri begitu sesosok makhluk berwajah tengkorak muncul di ambang pintu rumahnya.

"Ahahahahaha! Mukamu lucu banget sih, Gem!"

Gempa menghela napas, berusaha untuk tidak meneriaki kakak keduanya yang bisa-bisanya berbuat jahil di saat seperti ini.

"Ini jam berapa sih, Gem?" tanya Taufan sambil melepas topeng seram (yang berguna untuk mengancam Halilintar) yang dulu dibelinya di pasar malam.

"Jam 10 kan?" Gempa balik bertanya karena dia sendiri kurang yakin.

"Benar sekali, jam 10! Kau ngapain aja sih? Sayang banget loh Kak Hali masak rendang hari ini dan rendangnya udah dingin, aku juga kedinginan di sini," omel Taufan sembari memeluk dirinya sendiri dengan dramatis.

"Oh…m-maaf kalau begitu," ujar Gempa kikuk, "Lagian kenapa Kak Taufan menungguku? Aku bisa memanaskan makanannya sendiri,"

"Hmm, dengan kondisimu yang kayak gitu? Aku bahkan nggak yakin kau bisa membedakan mana garam mana gula deh," ucap Taufan setengah meledek.

Gempa merengut, tapi yang diucapkan kakaknya memang ada benarnya. Penampilan Gempa sungguh sangat luar biasa berantakan malam ini. Bahkan dasi yang selalu terpasang rapi di kemejanya kini terlihat seperti hanya diikat asal dengan simpul tak beraturan.

"Sekarang kau duduk diam di situ, sisanya serahkan padaku," Taufan dengan tidak lembut mendorong Gempa sampai bokongnya menyentuh bantalan sofa ruang tamu yang terasa begitu empuk jika dibandingkan kursinya di ruang OSIS.

"Yang lain mana?" tanya Gempa tanpa protes.

"Sudah tidur lah, Gem. Ini kan udah larut banget. Aku juga sebenarnya sudah molor di kamar kalau bukan diancam Kak Hali," jawab Taufan santai sambil menyiapkan panci untuk memanaskan rendang.

Gempa mengangguk mengerti, diperhatikannya Taufan yang mulai sibuk dengan dunianya.

"Padahal Kakak tidak perlu menungguku…kan rendangnya bisa dipanaskan sebelum aku pulang," gumam Gempa.

"Aku tadi habis mencari topengku itu. Nyelip di loteng, kayaknya ulah Kak Hali," jawab Taufan tanpa menoleh.

Gempa tertawa pelan, memang benar-benar typical seorang Taufan.

"Lagipula apa salahnya sih? Toh aku ini kan kakakmu juga,"

Kalimat itu membuat Gempa tertegun. Taufan berujar sambil berkutat dengan panci, tapi entah kenapa Gempa sudah bisa menebak ekspresi wajah sang kakak yang selalu berbuat jahil itu.

"Iya…" Gempa hanya menyahut seadanya.

Atau lebih tepatnya, ia memang kehilangan kata-kata.

.

.

.

Tanah selalu berada di bawah.

Berada di daratan, menjadi tempat berdirinya benda lain.

Tempat untuk berpijak.

Tempat di mana mereka bertahan.

Tanah yang selalu melindungi.

Tanah yang selalu melindungi…?

.

.

.

"Aaah…kenapa harus aku sih?" rengek Taufan, tampak sangat keberatan dengan keputusan saudara-saudaranya yang lain.

"Nggak usah mengeluh, kau itu cuma nganterin bekal ke ruang OSIS, bukan medan perang," sahut Halilintar ketus.

"Kalau memang 'cuma', kenapa bukan Kak Hali aja sih? Kakak tahu kan aku sama OSIS itu terlibat kenangan indah di masa lalu?" keluh Taufan lagi.

Halilintar memutar mata, tentu saja ia tahu.

Murid SMP Pulau Rintis mana yang tidak tahu dengan hubungan OSIS dan Taufan?

"Kau itu ingin membuat orang lain bahagia kan?" Halilintar akhirnya menjawab, "Aku akan bahagia kalau kau mengantar bekal itu, jadi lakukan cepetan,"

Taufan merengut, "Kak Hali jelek. Awas loh ya kalau sampai batal beliin aku burger," akhirnya pemuda serba biru itu menyerah dan melangkah menuju ruangan tempat adik mereka bekerja.

Halilintar hanya menggelengkan kepala sembari menatap punggung sang adik.

"Dasar lebay. Padahal OSIS juga sudah tidak mempermasalahkan 'itu' lagi…"

.

.

.

"Ini data siswa-siswi yang akan berpartisipasi, dan yang ini data siswa-siswi yang belum membayar iuran," Nut menyerahkan beberapa lembar kertas berisi daftar nama pada Gempa yang sibuk berkutat dengan komputernya.

"Taruh saja di situ," sahut Gempa tanpa menoleh.

Nut menuruti perintah si ketua baru kemudian kembali ke kursi bendaharanya.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Yaya.

"Hanya melihat-lihat dekorasi panggung," jawab Gempa pendek.

"Oh…"

Suasana hening lagi untuk beberapa menit.

"Umm…Gempa?" Yaya kembali bersuara, sadar betapa canggungnya suasana saat ini.

"Gempa," panggil Yaya sekali lagi.

"Hmm?"

"Begini, aku pikir kamu-"

"Kak Gempa!" suara salah seorang anggota OSIS yang membuka pintu tiba-tiba memotong ucapan Yaya.

"Ada apa?" suara adik kelas yang terdengar panik itu otomatis mengalihkan tatapan Gempa dari layar komputer.

"Aku baru dapat kabar, katanya band yang waktu itu kita sewa batal tampil,"

Laporan dari anggota OSIS kelas satu itu tentu saja membuat terkejut seisi ruangan.

"Maksudnya?" tanya Gempa memastikan.

"Mereka batal tampil karena ada masalah internal dalam band mereka,"

Pernyataan dari siswa itu seketika membuat anggota OSIS yang lain panik. Karena acara ulang tahun sudah dekat dan mereka tidak bisa menemukan pengganti dalam waktu singkat.

"Bagaimana ini, Gempa?" tanya Yaya yang masih bisa tenang meski rasa cemas tersirat di air mukanya, "Apa kita mengisinya dengan yang lain saja?"

"Masalahnya, acara semacam ini tidak akan meriah tanpa musik…" Gempa menyahut sembari berpikir, siapa kira-kira yang bisa menjadi pengganti band yang batal tampil tersebut.

"Permisi~"

Para OSIS yang sedang panik itu langsung mengalihkan tatapan mereka ke ambang pintu, di mana seorang remaja berwajah sama persis dengan ketua mereka berdiri.

"Apa aku ganggu?" Taufan mengangkat kotak bekal yang dibawanya, bermaksud menjelaskan kalau ia datang untuk mengajak Gempa makan siang.

"Oh, benar juga ini sudah waktunya makan siang." Nut bersuara.

"Terima kasih, kak. Aku akan makan nanti-"

"Tapi sekarang jamnya makan, Gempa." potong Taufan, tanpa permisi berjalan mendekati meja sang adik.

"Aku tahu, tapi sekarang sedang ada masalah-"

"Kak Hali bisa marah loh kalau kamu telat makan." lagi-lagi Taufan membawa nama kakak sulung mereka.

"Kak, aku-"

"Aku tidak akan beranjak dari sini sebelum Gempa mau makan siang." ucapan final Taufan akhirnya membuat Gempa menyerah. Terlebih lagi melihat para anggota OSIS yang seolah menyetujui perintah kakak keduanya itu.

"Ya sudah, kita lanjutkan bahasannya setelah makan siang ya." Gempa kemudian pergi keluar bersama Taufan yang bersenandung senang karena berhasil menyeret Gempa keluar.

.

.

.

Tanah selalu berada di bawah. Apapun yang terjadi tanah harus selalu ada untuk tempat orang-orang berpijak, berdiri mencari kehidupan.

Meski begitu tanah ada bukan hanya untuk diinjak. Tanah ada bukan untuk tempat menghentakkan kaki.

Tanah, ada untuk melindungi.

.

.

.

Akhirnya Taufan dan Gempa berakhir duduk berdua di salah satu bangku yang tersedia di halaman belakang sekolah.

"Kak Hali bikin tumis kangkung dan tuna. Kamu suka kan?" Taufan berucap sambil mengunyah sandwich yang ia buat sebelum berangkat.

"Hmm." Gempa hanya mengangguk sebelum menyuapkan sesendok masakan Halilintar itu dan mengunyahnya pelan. Masakan kakak sulungnya memang tidak pernah mengecewakan. Tanpa sadar Gempa memoles senyum kecil setelah menelan potongan tuna serta kangkung buatan Halilintar.

"Enak ya? Wajahmu mencerminkannya dengan jelas." Taufan tertawa pelan melihat Gempa yang kembali cemberut setelah dikomentari.

"Apa ada masalah?" anak kedua dari tujuh Boboiboy itu bertanya lagi, kali ini lebih serius.

"Hanya masalah kecil…"

"Kalau kecil kau nggak mungkin bakalan terlihat kucel dan kusut begitu, Gempa." sahut Taufan.

Gempa menghela napas, mungkin memang mustahil menyembunyikan apapun dari kakaknya yang satu ini.

"Band yang kami sewa untuk acara sekolah batal tampil. Kami ingin merombak ulang susunan acara dan mencari pengganti tapi aku tidak yakin bisa menemukannya dalam sisa waktu kami yang sedikit ini…" jelas Gempa pelan, mulutnya masih mengunyah bekalnya meski sedikit demi sedikit.

"Hee…." Taufan bergumam pelan.

"Acara besar tanpa musik pasti bakal menuai kritik kan? Aku tidak mau mengecewakan sekolah…terutama acara ini adalah kegiatan terakhirku sebagai ketua OSIS…"

Taufan memperhatikan bagaimana sang adik tampak begitu cemas dan tertekan. Bukan hanya karena band yang tidak jadi tampil, tapi juga karena segudang hal-hal lain yang belum terselesaikan.

Taufan tersenyum, "Kurasa aku mengerti apa maksud Kak Hali sekarang." gumamnya.

"He?" Gempa menatap kakak keduanya, bingung.

"Kau terlalu banyak berpikir, Gem. Kurasa kalau kayak gini terus kau bisa mendapat julukan 'Ketua OSIS tersibuk dalam sejarah SMP Pulau Rintis' loh." cerocos Taufan.

"Tapi kan itu wajar. Aku ketuanya. Aku…" Gempa tidak meneruskan ucapannya, kalau ditanya ia juga tidak tahu kenapa.

"Sudahlah. OSIS itu bukan cuma kau. Aku yakin anggota-anggotamu akan menemukan solusinya nanti. Kalau tidak pun, kau bisa minta bantuan kami kapan saja." sahut Taufan dengan seulas senyum.

"Bolehkah?" tanya Gempa, yang langsung menuai tawa dari Taufan untuk yang kesekian kalinya.

"Well, kau punya enam saudara kembar. Kenapa tidak?" sahutnya geli.

"Hmm…" Gempa akhirnya terkekeh pelan. "Kalau begitu, apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya.

"Fokus saja sama tanggung jawabmu. Untuk band pengganti, serahkan padaku." jawab Taufan.

"Kak Taufan mau menggantikan band yang akan tampil?"

"Bukan begitu." Taufan tertawa lagi, "Aku bukan tipe yang suka bernyanyi di atas panggung."

"Lantas?" tanya Gempa lagi, lupa kalau Taufan lebih suka menampilkan keahliannya dalam skateboard ketimbang "hanya" dengan bernyanyi yang bisa dilakukan hampir semua orang.

Taufan tersenyum, "Aku kebetulan punya kenalan yang mungkin bisa membantu."

.

.

.

Gempa kembali ke ruang OSIS setelah selesai makan siang dan mengobrol singkat dengan Taufan. Untuk sekarang ia merasa lebih lega karena urusan band pengganti akan ditangani kakak keduanya.

Sekarang tinggal mereview kembali susunan acaranya.

Entah karena efek makanan yang membuat otak terisi atau memang Gempa terlalu banyak pikiran sebelum ini, ia merasa lebih bisa mengatasi masalah kegiatan sekolah mereka sekarang.

Mungkin makan siang memang solusinya…

"Bagaimana?" kali ini Fang yang menyambut kedatangan sang ketua OSIS.

"Kita teruskan saja. Masalah penyanyi kurasa sudah beres, selain itu ada apa lagi?" tanya Gempa.

"Iuran siswa." Nut menyahut sebelum ada anggota OSIS yang menanyakan apa maksud Gempa soal penyanyi pengganti.

"Masih ada yang belum membayar?" tanya Gempa lagi.

"Iya. Kebanyakan dari anak kelas tiga. Mereka bebal sekali dibilangin…" sahut Yaya sebal.

Gempa mengangguk, mengucapkan kata "kerja bagus" pada para bawahannya sebelum melanjutkan rapat mereka.

Tidak ada hambatan, meski Yaya, Fang dan Nut diam-diam saling pandang seolah sudah mengerti. Anggota lain mungkin tidak sadar, tapi bagi mereka yang bisa dibilang cukup dekat dengan Gempa bisa melihatnya.

Ada sesuatu yang berbeda dari ketua mereka setelah jam makan siang.

.

.

.

"Gempa, kau tahu kau nggak harus selesaikan semuanya sendiri kan?

"Iya, tapi aku masih bisa kok. Aku janji akan minta tolong sama kalian kalau ada apa-apa."

"Beneran nih? Aku bakal sedih kalau Gempa bohong loh~"

"Ahaha iya, aku janji. Aku kan punya kalian."

Meski begitu, janji itu tetap hanya sekedar "janji".

.

.

.

"Kak Gempa masih di kamar?" tanya Thorn sembari menempatkan dirinya di sebelah Solar.

"Sejak pulang sekolah. Sepertinya masih ada yang harus dikejarkan." Ice yang sudah lebih dulu mengunyah, meringis sendiri membayangkan betapa banyak dan repotnya hal yang harus diurus kakak ketiganya itu.

Halilintar menghela napas, memutuskan untuk kembali menyisihkan jatah makan adiknya yang paling sibuk itu, tentu saja dengan wajah kusut.

"Kak Gempa nggak capek ya? Jadi ketua OSIS, ketua kelas, murid teladan guru, harus kerjain banyak tugas, kemudian ujian…" Blaze merinding membayangkan seandainya ia yang di posisi kakaknya itu.

"Kak Gem dari dulu memang sangat bisa diandalkan sih. Kak Gem kan bisa melakukan hampir segalanya." timpal Thorn dengan senyum.

"Tapi kalau begitu terus nanti Kak Gempa yang bakal capek sendiri." sambung Solar.

"Itu sebabnya kalian jangan nambah-nambahin bebannya. Kasihan nanti Gempa bakal botak kalau digituin terus loh." ucapan Taufan malah membuat Thorn terkekeh karena seketika bayangan Gempa jadi botak melintas di kepalanya.

"Ngaca." Halilintar menyahut singkat sambil memutar mata.

"Oh? Kalau gitu Kak Hali juga ngaca." balas Taufan dengan cengiran yang selalu membuat kakak satu-satunya itu naik darah.

"Hah?" dan benar saja, Halilintar benar-benar terpancing untuk berdebat.

"Aduh…" Solar yang memperhatikan hanya bisa meringis, ingin sekali mengatakan justru kedua kakak tertuanya itulah yang paling sering membuat Gempa pusing, tapi kali ini ia sedang tidak ingin memancing keributan jadi niat itu hanyalah sebatas niat yang tidak dikeluarkan.

"Tapi, Kak Hali dan Kak Taufan kan yang sering membuat Kak Gem capek." Thorn tiba-tiba bersuara.

"Aa…!" Solar tepok jidat. Tidak menyangka kakak keenamnya itu bisa-bisanya menyeletuk dengan senyuman polos tanpa dosa seperti itu.

Suasana seketika hening. Halilintar dan Taufan yang tadinya mau saling meledek aib satu sama lain akhirnya bungkam, dan lanjut memakan makanan mereka dalam diam.

Solar cukup terkejut namun lega keributan tidak berlanjut. Kasihan Gempa kalau misalnya itu benar-benar terjadi.

Meski ia masih harap-harap cemas mengenai apa yang akan terjadi setelah ini.

.

.

.

Sudah mau jam sembilan dan tidak ada tanda-tanda Gempa akan keluar kamarnya. Akhirnya atas inisiatifnya sendiri, Taufan membawa jatah makan malam Gempa ke kamar. Remaja itu kemudian mencoba mengetuk pintu kamar sang adik sembari memanggil namanya.

Tidak ada jawaban.

Taufan akhirnya mencoba memutar gagang pintu, dan rupanya pintunya tidak terkunci. Mungkin Gempa lupa atau semacamnya.

Taufan kemudian berjalan masuk sambil menggumam "Gem, aku masuk ya." kemudian menutup pintunya lagi.

Lampu kamarnya menyala, dan jelas terlihat Gempa sedang duduk di depan meja belajar dengan posisi kepala ditidurkan di atas meja beralaskan kedua lengannya. Laptop di samping kepalanya tampak masih menyala menampilkan data dan grafis apapun itu yang berhubungan dengan acara lusa nanti.

Taufan menghela napas kemudian tertawa pelan. Sekarang ucapan Thorn di meja makan tadi kembali berputar di kepalanya. Sepertinya memang saatnya ia bersikap selayaknya seorang kakak.

"Gem," Taufan dengan pelan menggoyangkan pundak Gempa, berharap adiknya itu akan terbangun sebelum tubuhnya pegal-pegal karena tidur dalam posisi seperti itu.

"Gempa, makan dulu deh terus lanjut tidur di kasur." ucapan Taufan tidak berpengaruh banyak, Gempa hanya menggumam tidak jelas sebelum menyamankan posisi kepalanya di antara lengannya.

Taufan menghela napas lagi. Kalau begitu hanya ada satu cara.

Remaja serba biru itu kemudian mendekatkan kepalanya ke telinga sang adik, menarik napas, kemudian…

"Yaya datang membawa biskuitnya!"

"Hah?! Apa…!" tidak sampai sedetik Gempa langsung terbangun dengan wajah panik nan pucat dan langsung mendapat respon tawa lebar dari Taufan.

"Kak Taufan…"

"Ahahaha oke, oke maafkan aku." sahut Taufan meski tawanya belum reda melihat sang adik menatapnya dengan bibir tertekuk.

"Kau susah bangun sih. Nih, makan dulu." Taufan meletakkan sepiring makanan serta segelas air yang dibawanya di atas meja Gempa.

"Uhh terima kasih." gumam Gempa, lega karena ternyata tidak ada biskuit Yaya di sini.

"Setelah ini tidur, Gem. Tapi jangan di sini nanti badanmu bakal sakit besoknya." ucap Taufan.

Gempa hanya mengangguk sambil mengunyah makanannya.

"Jadi gimana?"

"Gimana apanya?" Gempa balik bertanya.

"Acaranya. Udah lusa kan?" sahut Taufan.

"Oh…iya, sudah selesai hampir semuanya. Besok tinggal memeriksa lagi apa semua persiapan sudah beres atau masih ada yang kurang." jawab Gempa sambil mengunyah pelan.

"Ya sudah, kalau gitu kenapa kau nggak keluar dan makan bareng kami?" tanya Taufan lagi.

"Umm…" Gempa sengaja memelankan kunyahannya karena tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku…hanya merasa…tidak sabar…?" ketua OSIS itu menjawab ragu.

"Hoo, oke. Ini acara besar sih, wajar kau sebagai ketua OSIS merasa bersemangat. Tapi yang lain malah jadi khawatir padamu." ucap Taufan.

"Kenapa khawatir?"

"Karena kau kurang istirahat, dan jadi jarang makan bareng kami." jawab Taufan.

"Maaf…"

Taufan tersenyum, adiknya yang satu ini memang 'sesuatu' sekali. "Sudahlah, bukan salahmu juga kok." ujarnya sembari menepuk pelan kepala Gempa yang kali ini tidak tertutup topi.

"Jangan memaksakan dirimu, oke? Ingat, kau punya kami." ucap Taufan lagi.

Gempa tersenyum kecil, sejak dulu Taufan selalu mengatakan hal seperti itu padanya.

"Kau nggak sendirian kok."

"Kamu kan punya dua kakak, Gem."

"Andalkan kami juga dong, Gem."

Dan masih banyak lagi deretan kalimat serupa yang terus berputar di kepala Gempa.

"Gem? Kok malah bengong? Makanannya belum habis loh." suara Taufan berikutnya langsung membuyarkan apapun yang sedang Gempa lamunkan. Segera remaja yang suka warna kuning itu kembali melanjutkan makannya.

Kelihatannya Taufan tidak akan ke mana-mana sampai seluruh nasi di piring itu tandas.

"Kenapa, Gem?" tanya Taufan ketika tiba-tiba Gempa terkekeh sambil menyuap sesendok nasi ke mulutnya.

"Dulu aku…sejujurnya merasa Kak Taufan itu sangat tidak bisa diandalkan." ucapan Gempa tersebut seketika membuat Taufan menangis komikal.

"Jahat amat, Gem…" gumam Taufan.

"Maaf. Habisnya dulu Kak Taufan sering sekali menjahili kami semua." sahut Gempa, "Ah, bahkan sampai hari ini juga masih sama." lanjutnya.

Taufan cemberut, tapi tidak menyangkal karena memang itu yang sering ia lakukan karena merasa bosan.

"Habisnya…kalau nggak digituin kalian jadi nggak asyik…" si topi biru bergumam lagi, "Kak Hali yang selalu pasang muka judes, Gempa yang terlalu serius, Blaze yang suka marah-marah, Ice yang hobinya tidur sepanjang hari, Thorn yang masih terlalu polos dan Solar yang kerjanya menyendiri mulu." Taufan tampak menerawang, merasa dirinya hebat juga bisa bertahan hidup dengan saudara-saudaranya yang seperti itu.

"Aku tahu, kok. Makanya sekarang aku nggak mikir gitu lagi."

"Hmm?" Taufan beralih menatap Gempa yang tersenyum.

"Kalau nggak ada Kak Taufan, rumah ini bakalan sepi." ucap Gempa. Teringat kembali keseharian mereka yang begitu monoton meski kenyataan mereka adalah kembar tujuh.

Kalau Taufan tidak berulah, mungkin perubahan-perubahan kecil yang perlahan muncul ini tidak akan pernah ada.

"Mana ada." Taufan terkekeh, "Yang aku lakukan tidak lebih dari sekedar 'mencari gara-gara'. Berubah atau tidaknya mereka, yah tergantung sama mereka sendiri." Taufan kemudian balas tersenyum, "dan kenyataannya, mereka bisa. Yang berarti mereka juga…masih ingin dekat satu sama lain. Sebagai saudara."

Gempa mengangguk, setuju. Belakangan ini memang banyak hal yang terjadi, tapi semua itu berbuah dengan manis jadi dirinya sedikit banyak merasa bersyukur.

"Oke, bagus sekali. Gempa memang pintar." Taufan bertepuk tangan bak orang tua yang senang melihat anaknya berhasil menghabiskan makanannya.

Gempa tertawa pelan, "Tentu saja. Ini kan buatan Kak Halilintar."

Taufan segera mengambil kembali piring dan gelas yang telah kosong tersebut kemudian beranjak setelah mewanti-wanti Gempa untuk langsung istirahat, dan dibalas dengan ucapan terima kasih pada sang kakak yang mau mengantarkannya makanan.

"Oh iya…" sebelum keluar kamar, Taufan sempat menoleh ke arah Gempa yang baru mau menyimpan laptopnya.

"Kalau memang benar saudara-saudara kita yang lain berubah, mungkin itu juga termasuk aku." Taufan menatap manik keemasan Gempa, "Berkat kau."

"He?" Gempa menatap Taufan dengan bingung dan hanya dibalas dengan senyuman penuh makna dan ucapan selamat tidur dari kakak keduanya itu.

Gempa gagal paham, hanya menatap pintu yang barusan ditutup oleh Taufan dalam diam.

Seperti biasa, Taufan benar-benar suka melontarkan kalimat yang sulit dimengerti orang lain.

Menghela napas panjang, Gempa memutuskan untuk istirahat saja daripada terus memikirkan ucapan kakaknya barusan.

.

.

.

Apa sebenarnya fungsi tanah itu?

Tempat berpijak?

Tempat untuk berlindung?

Atau keduanya?

Kalau memang iya, apakah tanah harus selalu berada di paling depan?

Atau tanah itu harus ada di paling bawah sebagai pijakan orang lain?

Di mana mereka akan menginjakkan kaki dan berdiri jika tidak ada tanah?

.

.

.

Keesokan harinya, OSIS benar-benar dilanda kesibukan. Semuanya sudah beres, justru artinya pekerjaan semakin banyak karena mereka harus konsisten dan memastikan apa acara bisa berjalan lancar atau tidak.

Apapun yang terjadi semua ini sepenuhnya tanggung jawab OSIS yang menjadi panitia acara ini.

Terutama ketuanya.

"Oke. Dekorasi panggung, alat musik, pengisi acara, konsumsi, persiapan kepada hal-hal tidak terduga dan…" Gempa tampak sibuk bergumam sendiri, merangkum kembali daftar persiapan mereka.

"Semuanya sudah diatur. Sekarang berhentilah melihat daftar itu setiap lima menit dan makan sebelum jam istirahat berakhir." Fang, yang kali ini menemani Boboiboy nomor tiga itu makan siang di kantin berucap jengah. Atasannya yang satu ini benar-benar calon pekerja kantoran workaholic.

"Aku hanya merasa lebih tenang kalau sepeti ini. Memangnya kamu enggak?" tanya Gempa.

Fang memutar mata, "Beruntung sekali anggota OSIS kita tidak menjadi orang seenaknya karena memiliki ketua sepertimu." ujarnya judes.

"Uh, Fang? Anak-anak klub drama sudah menyediakan apa saja untuk penampilannya besok kan?" Gempa malah bertanya lagi.

"Sudah lah. Anggota-anggota lain kan sudah kasih laporan padamu sejak kapan hari." jawab Fang sambil mengunyah donat favoritnya.

"Hadiah untuk para pemenang lomba?"

"Sudah ditangani Nut."

"Bintang tamu spesial yang akan datang?"

"Sudah fix stand up komedian."

"Terus untuk sesi-hmpph!"

Fang yang sudah kesal akhirnya menyumbat mulut ketuanya itu dengan donat lobak merah yang barusan digigitnya.

"Berisik. Makan saja atau kulaporkan kau pada Halilintar."

Gempa menghela napas sembari mengunyah donat pemberian teman sekaligus rivalnya itu. Meski agak arogan Fang ternyata memang peduli padanya.

"Hmph." Fang mendengkus, "Aku tidak percaya aku pernah kalah dari kau yang seperti ini." gumamnya.

Gempa terkekeh, agak tidak percaya Fang benar-benar menyinggung kejadian itu.

"Kita hanya selisih satu suara, Fang."

"Kalah ya kalah, Gempa."

.

.

.

"Kalau besok acara ultah sekolah, berarti nggak bakalan ada jam pelajaran kan?" Blaze, yang sekarang tengah pulang bersama kelima saudaranya yang lain berujar antusias.

"Pada dasarnya emang udah nggak ada jam belajar mengajar lagi karena ulangan kan sudah selesai." sahut Solar, "kecuali kalau Kak Blaze masih punya nilai kurang di beberapa pelajaran."

"Mana ada! Aku 'kan belajar sama Yaya dan Ying." elak Blaze tidak terima.

"Kalau gitu kenapa kita nggak langsung diliburkan saja?" tanya Ice, yang menguap segera setelah melontarkan pertanyaan itu.

"Libur atau tidak juga kau kan selalu tidur di manapun dan kapanpun." ucap Blaze sembari menepuk kepala Ice sebelum sang adik jatuh tertidur di jalanan.

"Tapi meski begitu, nilai Kak Ice dan Kak Taufan selalu tinggi ya." Thorn bersuara, "Padahal kalian nggak pernah belajar. Kok bisa?"

Taufan tertawa, "Kalian aja yang nggak lihat saat aku belajar. Iya kan, Kak Hali~?"

Halilintar hanya memutar mata, malas menyahut.

"O iya, GemGem masih di ruang OSIS?" Taufan mengganti topik.

"Hmm." Halilintar menjawab dengan anggukan kepala.

"Kenapa? Kok dia nggak diajak pulang bareng?" tanya Taufan lagi.

"Kali ini OSIS ada pertemuan untuk yang terakhir kali sebelum besok. Yaya bilang padaku dia yang akan memastikan Gempa langsung pulang setelah rapat itu, jadi biarkan saja." kali ini Halilintar menyahut cukup panjang.

"Hee…." Taufan terkekeh, sungguh tidak biasa Halilintar percaya sama orang lain, terutama jika itu mengenai adik-adiknya.

.

.

.

"Halilintar dan Taufan masih berantem?"

"Nggak apa-apa kok. Mereka bakalan baikan abis ini, aku janji."

"Kamu nggak apa-apa kan ayah tinggal sendiri?"

"Iya. Gempa udah besar kok, Yah. Serahkan saja pada Gempa."

"Kamu memang anak ayah yang bisa diandalkan. Terima kasih ya."

"Sama-sama, Ayah."

.

.

.

Gempa tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Diliriknya jam di atas nakas yang menunjukkan hampir pukul tiga dini hari.

Masih waktunya orang-orang tidur.

Gempa menghela napas. Lagi-lagi ia terbangun di tengah malam, dan bukan hal mudah baginya untuk kembali tidur setelah tiba-tiba terbangun seperti sekarang. Remaja itu kemudian beranjak ke dapur, hendak meneguk segelas susu supaya bisa kembali mengantuk.

Selagi berjalan ke dapur, pikiran Gempa melayang. Teringat kembali masa-masa ketika mereka tidak hanya hidup bertujuh. Masa di mana Gempa masih sering bermain-main dan membuat ulah bersama kakak dan adiknya.

Masa sebelum….hubungan mereka bertujuh meregang.

Sesampainya di lantai satu, Gempa kemudian teralihkan perhatiannya pada bingkai foto yang menggantung di dinding ruang keluarga.

Foto seorang pria berambut hitam dengan sejumput rambut putih (mirip dirinya dan saudara-saudaranya) yang tengah dikerubungi tujuh bocah berwajah sama persis.

Gempa memandangi foto itu lumayan lama. Diperhatikannya potret dirinya dan saudara-saudaranya yang terlihat berebut posisi paling tengah atau dengan kata lain, saling berebut pelukan, kemudian menghela napas panjang. Rasanya benar-benar sudah sangat lama, sejak terakhir kali ia memeluk sosok di foto itu.

Merasa pandangan matanya mulai buram, Gempa tidak jadi mengambil susu dan memutuskan kembali ke kamar saja karena mendadak rasa kantuk menghampirinya.

Gempa masuk ke kamarnya yang gelap, namun irisnya masih bisa melihat visual topi hitam bercorak gunung emas miliknya yang terletak di sebelah jam.

Topi pemberian ayahnya. Topi yang memang dihadiahkan ayahnya untuknya dan saudara-saudaranya.

Gempa mengambil topi tersebut, menciumnya, kemudian memeluknya sembari merebahkan diri ke kasur.

Segera remaja itu memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Meski ada setitik air yang sempat menetes turun dari pelupuk begitu matanya tertutup.

Gempa memeluk erat topi tersebut, menyugesti dirinya sendiri bahwa orang yang paling ia rindukan ada di dalam topi itu.

Untuk kali ini, Gempa merasa benar-benar lelah. Ingin sekali ia melepas penat, memeluk orang itu sambil merengek mengenai betapa lelahnya ia akan segalanya.

Namun sayang sekali, Gempa sudah lama melupakan bagaimana rasanya hidup tanpa tanggung jawab.

Gempa sudah tidak ingat bagaimana rasanya berlarian di sore hari sambil menarik layangan.

Gempa sudah lupa akan betapa cemasnya ia saat PR matematika melanda.

Layaknya tanah yang tidak lagi merasakan apa-apa meski diinjak berkali-kali.

Gempa, sudah lama melupakan itu semua.

"Ayah…Gempa rindu ayah…"

.

.

.

Akhirnya hari yang dinantikan para OSIS dan sebagian besar penghuni SMP Pulau Rintis tiba.

Acara ulang tahun sekolah memang selalu diadakan semeriah mungkin supaya murid-murid yang bersekolah di sini juga turut gembira menyambut hari ini.

Termasuk para Boboiboy bersaudara yang berpecah menuju tempat yang mereka inginkan masing-masing.

Halilintar dan Taufan melihat-lihat berbagai kreasi yang dipamerkan oleh masing-masing klub ekstrakurikuler, Blaze dan Thorn yang berburu jajanan, Ice yang tidur di UKS serta Solar yang sibuk memotret penampilan para pengisi acara untuk dokumentasi.

Gempa sendiri sedang stand by di belakang panggung memastikan acara berjalan lancar tanpa ada kendala.

"Heh? Ini apaan?" tanya Taufan pada sekumpulan murid bertubuh besar yang berdiri di sebelah papan tanda.

"Klub gulat akan mendemokan beberapa gerakan dasar untuk calon-calon pegulat. Berminat?" tawar salah seorang anggota klub.

"Uhh…tidak terima kasih aku masih pengen punya anggota tubuh lengkap. Tapi Gopal mungkin bersedia." tolak Taufan.

"Hey! Aku kan dah ikut klub senam." Gopal menyahut.

"Ya udah, kalau Kak Hali gimana? Kakak yang bisa segala jenis bela diri harusnya bisa-loh?" Taufan seketika gagal paham melihat sang kakak yang tampak sedang memperhatikan sesuatu di spanduk yang terpasang pada stan klub gulat.

"Apa ada yang salah?" tanya salah seorang anggota klub.

"Tidak, hanya saja…" Halilintar kemudian menatap murid berotot itu dengan serius, "Kalian berseni juga ya."

"Wahahaha aku setuju!" Gopal tiba-tiba menyambung. Matanya menatap kagum spanduk putih polos dengan tulisan "Klub Gulat" dengan simbol dan stickman yang entahlah apa itu.

"Oh benarkah? Ahahaha terima kasih. Aku memang dari dulu suka melukis." murid berotot yang tadi mendadak malu-malu yang amat sangat tidak cocok dengan penampilannya.

"Hah…" Taufan memutuskan untuk bungkam karena menghadapi dua murid berbadan besar dan seorang Halilintar sendirian adalah ide bunuh diri terburuk.

.

.

.

"Itu pengganti band yang batal tampil kemarin?" tanya Yaya pada Gempa.

"Iya. Dia datang atas permintaan Kak Taufan, dan ternyata dia bagus." sahut Gempa, tampak menikmati penampilan si penyanyi yang katanya kenalan kakak keduanya itu.

"Ooh? Aku nggak tahu Taufan temenan sama penyanyi." timpal Nut.

Gempa tertawa pelan. Kalau itu Taufan yang punya banyak teman dari berbagai kalangan, tidaklah mengherankan untuknya.

.

.

.

Acara berjalan dengan baik, meski sempat ada kendala teknis di spiker, tapi bukan masalah besar.

Akhirnya para OSIS bisa menghela napas lega dan bersantai karena tugas terakhir mereka sebelum libur panjang sudah dikerjakan.

"Eh? Kak Gempa belum mau pulang?" ulang Blaze yang kini sudah siap pergi bersama ketiga saudaranya yang lain.

"Iya. Masih ada yang harus kulakukan di ruang OSIS bersama pengurus inti lain." sahut Gempa.

"Kau tahu itu tidak harus dilakukan kan, Gempa?" tanya Halilintar.

"Iya tapi aku benar-benar ingin menyelesaikan tugasku sepenuhnya. Nanti aku bisa pulang bareng Yaya dan Ying kok." ucap Gempa dengan senyum, berusaha meyakinkan kakaknya.

"Oke, tapi janji setelah semua ini kau langsung istirahat." ucap Taufan.

Gempa mengangguk, meski dalam hati ia tidak benar-benar berjanji. "Ngomong-ngomong mana Thorn dan Ice?" tanya Gempa begitu menyadari dua dari saudara-saudaranya tidak ada.

"Thorn katanya mau beli makanan kucing jadi aku minta Ice untuk nemenin dia supaya Kak Hali nggak berisik." jawab Taufan, dan langsung mendapat delikan tajam dari kakak sulung mereka.

"Oh…ya sudah. Kalian semua hati-hati di jalan." Gempa akhirnya pamit hendak kembali ke ruang OSIS.

"Kau juga, Gem." keempat Boboiboy kembar itu akhirnya beranjak menuju gerbang sekolah.

Setelah memastikan saudara-saudaranya pulang, dan saat itu juga Gempa baru dapat menghela napas panjang.

Benar-benar melelahkan…

.

.

.

Kata mereka, banyak orang ingin tetap hidup bahagia tanpa mengubah apapun layaknya dinding batu yang tidak akan runtuh.

Namun nyatanya, batu-batu terbesar dan terkuat sekalipun suatu hari akan tetap jatuh, runtuh, berubah bentuk.

Tidak ada yang tidak akan berubah, termasuk tanah dan bebatuan.

Tapi apakah perubahan itu buruk?

.

.

.

"Kerja bagus, semuanya. Kalian semua berhak beristirahat." Gempa menutup pertemuan singkat mereka dengan senyuman, lega semuanya sudah selesai.

"Kita semua." ralat Yaya, dan Gempa hanya tertawa pelan sebagai respon.

"Ya sudahlah. Aku duluan, kalau gitu." Nut pamit, disusul Fang yang kebetulan sudah ditelepon kakaknya.

"Yaya, kamu mau langsung pulang?" tanya Gempa pada sang sekretaris yang sibuk merapikan barang-barangnya.

"Um maaf, Gempa. Hari ini aku harus nemenin Ying ke rumah sakit. Ibunya lagi dirawat di sana." sahut Yaya, terlihat bersalah.

"Oh…nggak apa-apa aku bisa pulang sendiri. Semoga ibu Ying cepat sembuh ya." sahut Gempa dengan senyuman.

Yaya mengucapkan terima kasih dan maaf sekali lagi, sebelum keluar menemui sahabat Cinanya yang sudah menunggu di depan ruang OSIS.

Setelah kedua gadis itu berpamitan, Gempa menghela napas lagi sembari menyusuri koridor sekolah yang sudah sunyi.

Pikiran Gempa kembali melayang. Tugasnya sebelum libur sekolah sudah selesai, sekarang ia mungkin bisa memfokuskan diri pada keenam saudara kembarnya.

Bagaimanapun juga, Gempa sudah berjanji akan bertanggung jawab penuh atas hidup mereka bertujuh, dan orang tua mereka mempercayakan itu padanya, cukup percaya sampai mereka semua dibiarkan hidup bertujuh tanpa ada yang mengayomi.

Meski belakangan ini banyak hal-hal "buruk" terjadi pada mereka, tapi paling tidak hal itu berdampak baik.

Saudara-saudaranya sudah berubah ya kan?

Meski itu terjadi bukan karena dirinya…

"...!" Gempa sedikit tersentak begitu ponselnya tiba-tiba berbunyi.

"Siapa…?" nomor yang tertera di layar ponsel Gempa adalah nomor yang tidak diketahui. Kening pemuda itu berkerut, merasakan firasat buruk namun akhirnya tetap memilih untuk menjawab.

"Halo…?"

"Boboiboy Gempa. Selamat sore."

Gempa semakin bingung dengan orang asing yang meneleponnya ini. Suaranya terdengar sangat aneh, dan tidak jelas…

"Kamu siapa? Kenapa bisa tahu nama dan nomorku?" tanya Gempa tanpa basa-basi.

"Jangan cemas, aku tidak akan melakukan apa-apa. Selama kamu mau membantu mengambilkan barang-barangku…"

"Hah?" kening Gempa semakin tertekuk, gagal paham.

"Ada beberapa barang milikku yang tertinggal di sekolahmu. Sebagai Ketua OSIS, maukah kamu membantuku?"

"Kalau aku menolak?" tantang Gempa. Samar-samar ia bisa mendengar orang di seberang sana terkekeh.

"Well, itu artinya kamu tidak menyayangi adikmu."

Seketika iris emas Gempa membola, apa yang dikatakan orang itu barusan?

"Hmm kalau kamu nggak percaya…"

"Hiks…tolong….tolong aku, Kak Gem…!"

Jantung Gempa benar-benar berpacu bak kuda liar mendengar suara teriakan barusan. Tidak salah lagi, itu Thorn.

"Jelas kan, sekarang?"

"Kau…! Apa yang kau lakukan padanya?!" Gempa akhirnya membentak, dan memang sudah tidak ada siapa-siapa di sekolah itu yang bisa mendengarnya.

"Belum ada. Jangan cemas, tidak akan terjadi apa-apa selama kamu menurutiku, Boboiboy Gempa. Aku janji setelah ini aku akan kembalikan adikmu tanpa kurang-lebih apapun. Deal?"

Gempa menghela napas, mencoba untuk tetap tenang. Entah siapa orang yang meneleponnya ini, yang jelas Gempa tidak akan terkejut kalau orang itu adalah berandalan SMP Pulau Rintis yang membencinya sampai ke sel saraf mereka.

Gempa akhirnya memutuskan untuk setuju. Apapun yang terjadi, keselamatan saudara-saudaranya adalah tanggung jawabnya.

Gempa akan melakukan apapun demi menjaga mereka.

Tentu saja, sendiri.

"Katakan apa maumu." ucap Gempa pada akhirnya.

"Hmm. Sekarang pergilah ke kelas 1-B, di bangku paling pojok dekat jendela."

Gempa mendengarkan instruksi si penelepon itu sambil melangkah menuju kelas yang dimaksud.

"Di sana kamu akan menemukan tiga kotak, salah satu dari kotak itu berisi benda yang aku maksud."

"Kotak yang mana?" Gempa menatap tiga buah kotak kecil yang menggantung di pinggir jendela, dari kiri ke kanan berwarna emas perak dan perunggu.

"Itu tugasmu, Gempa. Kamu harus menemukannya sendiri."

"Ap-"

"Petunjuk sudah ada di atas kotak-kotak itu. Semoga berhasil."

Seketika sambungan telepon terputus, meninggalkan Gempa yang melongo tidak paham.

"Ini sudah mau malam, astaga…" Gempa tidak habis pikir dengan orang aneh yang berniat "balas dendam" padanya ini.

Tapi karena keselamatan Thorn dipertaruhkan, Gempa akhirnya menurut. Memang terdapat secarik kertas berisi deretan tulisan yang menempel di dinding, tepat di atas kotak-kotak tersebut.

Gempa kemudian membaca dengan hati-hati, mencoba mencerna apa maksudnya.

Teka-teki ini terinspirasi dari karya milik pujangga asal Britania Raya, William Shakespeare, "The Merchant of Venice", di abad ke-16. Kalau kamu tahu kisahnya, kamu akan tahu kebenarannya.

Gempa mengernyit, ia memang pernah sekilas mendengar soal ini dari Ice, tapi ingatannya masih samar.

Ada satu kotak berisi benda yang bisa menyelamatkan adikmu. Petunjuk-nya adalah:
Kotak emas berisi sesuatu yang kamu idam-idamkan.
Kotak perak berisi hal yang pantas kamu dapatkan.
Kotak perunggu adalah hadiah yang akan kamu dapat setelah mengorbankan hal yang berharga bagimu.

Gempa terdiam, mencoba berpikir baik-baik. Pasti ada jebakan di sini.

"Hal yang aku inginkan…?" Gempa hanya ingin hidup bahagia bersama keluarganya, dan yang pantas ia dapatkan bukanlah apa yang bisa ia tentukan sendiri.

Berkorban? Gempa tidak mau mengorbankan apapun, terutama saudara-saudara kembarnya. Lagipula, bukannya sekarang dirinya sedang mencoba menyelamatkan adiknya?

Kalau memang ada yang harus ia korbankan, mungkin itu hanya mengenai dirinya sendiri…

"Ini…!" Gempa tiba-tiba mengerti. Kini ia ingat apa yang pernah Ice ceritakan padanya.

"Jawabannya, tidak salah lagi…" Gempa dengan yakin membuka kotak perunggu, dan benar saja. Di dalam ada secarik kertas yang terlipat.

Ponsel Gempa kembali berbunyi, dan langsung dijawab oleh Gempa tanpa pikir panjang.

"Kerja bagus. Yang diidam-idamkan semua orang itu tidak pernah ada selain akhir, dan hanya orang bodoh yang menentukan apa yang pantas dia dapatkan." puji orang itu.

"Sekarang, apa?" tanya Gempa.

"Pergilah ke ruang musik di lantai dua, apa yang aku maksud ada di dekat piano."

"Kau ini…sebenarnya siapa?" tanya Gempa lagi. Sungguh, kalau soal beginian, Gempa bukanlah ahlinya. Ia tidaklah sejenius Solar kan?

"Tidak penting. Sekarang pergilah sebelum gelap. Semoga berhasil." dan telepon kembali ditutup.

Menghela napas lagi, Gempa akhirnya hanya pasrah dan beranjak menuju ruangan yang dimaksud.

.

.

.

Ruang musik. Gempa memandangi satu per satu alat-alat musik yang berjejer di ruangan tersebut sebelum melangkah menuju piano, dan terdapat secarik kertas lagi yang terletak di atas tuts mi fa so la.

Gempa segera mengambil kertas tersebut dan membacanya dengan hati-hati.

teka-teki satu ini bermula dari syair anak-anak, "As I Was Going to St. Ives", pada abad ke-17 di Inggris. Salah satu syair favorit, to be honest. Jawaban yang kamu cari ada di antara tuts do, mi dan si, dan jangan coba-coba memeriksa semua tutsnya kalau tidak ingin hal buruk terjadi. Semoga berhasil.

Gempa mengernyit, entah dari mana orang ini mengawasinya, tapi Gempa tidak mau mengambil risiko apapun selama itu mengenai saudara-saudaranya.

Saat saya beranjak ke St. Ives,

Saya bertemu seorang pria dengan tujuh istri
Setiap istri memiliki tujuh karung,Setiap karung memiliki tujuh ekor kucing
Setiap kucing memiliki tujuh ekor anak kucing:Anak kucing, kucing, karung, dan istri.
Berapa banyak orang yang pergi ke St. Ives?

"Syair…?" Gempa memutar otak, jawabannya antara do, mi dan so, yang berarti bisa saja satu, tiga atau tujuh orang.

Tapi mungkinkah ini jebakan? Yang namanya teka-teki tidak mungkin memiliki jawaban yang jelas-jelas sudah ada di depan mata.

Atau, justru karena itu teka-teki yang biasanya memiliki jawaban menjebak, jawaban logis dari pertanyaan ini adalah jebakan itu sendiri?

"Ugh…" Gempa mulai pusing. Sungguh, ini menjengkelkan. Tapi demi Thorn…

"Sebentar…" Gempa memutuskan untuk membaca lagi syair tersebut perlahan.

"Oh! Si penulis ini…hanya dia yang akan ke St. Ives!" Gempa menyadari bagaimana jawabannya sudah dituliskan sejak awal namun perhatiannya teralihkan pada tulisan-tulisan setelahnya.

Sudah jelas, dari baris pertama yang akan berangkat ke St. Ives hanyalah satu orang saja.

Gempa akhirnya berhasil menemukan satu lagi kertas yang terselip di bawah tuts angka satu, atau do. Tepat setelah itu, ponselnya kembali berbunyi.

"Hebat sekali, Gempa. Kamu masih bisa berpikir di saat seperti ini. Tapi waktumu tidak banyak karena matahari akan segera terbenam…"

Gempa menelan ludah, ia terlalu membuang waktu saat mencoba memecah teka-teki barusan.

"Tugas terakhir. Sekarang pergi ke ruangan klub melukis, carilah kanvas milik adikmu. Sisanya bisa kamu dapatkan di sana. Ingat, kalau kamu sampai gagal menyelesaikannya setelah matahari terbenam…"

"Hwaaaa! Kak Geeem!"

"Thorn!" Gempa reflek berteriak begitu mendengar tangisan dari sang adik.

"Mengerti kan? Sekarang pergilah."

Menarik napas dan berusaha untuk tetap tenang, Gempa melangkah menuju ruang lukis, sambil bersumpah setelah ini selesai, Gempa benar-benar akan memberi pelajaran pada siapapun itu yang berani menyekap adiknya.

.

.

.

"Ayah, yakin akan pergi tanpa menyewa pengasuh untuk kami?"

"Hahaha, buat apa? Pengasuh jaman sekarang sedikit yang bisa dipercaya. Lagipula, ayah kan bisa percaya padamu."

"Benarkah?"

"Iya. Kamu anak yang cepat tanggap dan bertanggung jawab, sama seperti Atokmu."

"Tapi kalau aku mengacau bagaimana?"

"Nggak akan. Ayah percaya kamu pasti bisa, Gempa."

"Bisa…?"

"Iya, kamu bisa."

.

.

.

Dengan tenang namun cepat, Gempa tiba di ruang melukis yang agak sedikit silau terkena sinar matahari terbenam.

Tidak ada waktu lagi, Gempa harus bergegas.

Kanvas milik adiknya, dengan kata lain kanvas milik Ice, yang memang bagian dari klub ini.

Tidak butuh waktu lama untuk Gempa menemukan kanvas bergambar air laut itu. Di kanvas itu kini tertempel sebuah post-it notes yang berisi tulisan, sama seperti sebelumnya.

Sebuah kereta listrik bergerak ke arah timur dari barat dengan kecepatan 70 km per jam. Bila angin dari arah berlawan berembus dengan kecematan 40 km per jam, maka ke mana arah asapnya?

Gempa mengernyit lagi. Kali ini teka-teki berhitung? Tapi kalau memang demikian ia pasti akan butuh waktu.

Gempa bukanlah Solar yang langsung bisa mengkalkulasi jawabannya di kepala saja. Gempa butuh media…

"Tidak…" Gempa melihat jam tangannya. 5 menit lagi matahari akan terbenam, dan Gempa yang sudah dilanda beban pikiran sejak tadi pagi tidak bisa berpikir lagi.

Apa sebaiknya ia menyerah dan langsung menerobos mencari Thorn?

Tapi kalau orang itu mengawasinya bagaimana?

Atau bisa saja orang itu berbohong dan sudah melukai Thorn sejak tadi…

"Tidak…"

"Kak Hali, aku punya teka-teki. Kalau bisa jawab, aku bikinin kakak biskuit deh."

"Huh? Kau meremehkanku?"

"Kak Halilintar, Kak Taufan, tolong jangan bertengkar sekarang."

"Hahaha! Kak Hali hebat."

"Kau pikir aku bodoh? Itu kan kereta listrik. Tentu saja…."

"Ah!" seolah-olah baru saja mendapat pencerahan, Gempa mendadak teringat kembali saat-saat ia bersama kedua kakaknya bermain tempo hari.

Taufan suka sekali memberikan tebak-tebakan atau pantun yang juga tidak jarang menyulut emosi Halilintar. Salah satunya…

"Benar juga. Kereta listrik…kereta rel listrik mana mungkin mengeluarkan asap!" Gempa dengan segera mencopot notes tersebut dan langsung merobeknya.

Pertanyaan konyol milik Taufan yang tidak pernah ia duga akan membuatnya terjebak di situasi seperti sekarang ini. Tapi akhirnya Gempa berhasil, dan masih ada satu menit sebelum matahari benar-benar tenggelam.

Seperti yang sudah diduga, ponsel Gempa berbunyi.

"Kerja bagus. Sesuai janji aku akan kembalikan adikmu. Datanglah ke atap sekolah sekarang, dan jangan sampai telat atau aku akan memastikan kamu melihat ke bawah. Hahaha…" setelah mengucapkan itu, panggilan terputus sebelum Gempa sempat menanyakan namanya.

Tapi ya sudahlah, dengan cepat Gempa beranjak menuju atap sekolah yang memang kebetulan tidak jauh dari ruangannya sekarang.

Kalau sampai terjadi apa-apa pada adiknya, Gempa sudah benar-benar siap untuk mengamuk sekarang.

.

.

.

Tanah selalu dipercaya bisa melindungi, namun tanah juga bisa memusnahkan.

Tanah akan melawan kalau ada yang berani merusak alam.

Tanah akan memberi pelajaran pada siapapun yang membenci alam.

Tanah…tidak sepenuhnya ada untuk melindungi.

Hanya perlu waktu sampai kita semua suatu hari nanti akan berubah, layaknya dinding tanah yang runtuh.

.

.

.

Atap sekolah, Gempa akhirnya tiba di sana dengan napas memburu.

Dengan tergesa-gesa pemuda itu menolehkan tatapannya ke seluruh penjuru atap, dan tidak ada tanda-tanda Thorn di sana.

"Apa ini lelucon…?" Gempa berniat menelpon orang itu lagi, tapi sialnya nomornya tidak bisa dihubungi lagi, atau dengan kata lain, Gempa telah diblokir.

"Sial…" Gempa jarang sekali mengumpat, namun sekarang remaja itu sudah terlalu lelah untuk menjaga kosakata.

Adiknya diculik, matahari sudah mau terbenam, dan ia masih di sini. Dengan membawa tiga carik kertas yang diperolehnya dari memecahkan teka-teki aneh.

tapi setelah dipikir-pikir, Gempa belum melihat isi kertasnya. Akhirnya remaja itu membuka satu-persatu kertas-kertas yang terlipat tersebut, dengan harapan atau petunjuk atau semacamnya di sini.

Kertas pertama berisi huruf Th.

Kertas kedua dengan huruf n.

Kertas ketiga berisi huruf x.

Gempa benar-benar gagal paham.

"Hmm?" namun seketika ingatan remaja itu kembali berputar ke beberapa menit sebelumnya.

"Aku akan memastikan kamu melihat ke bawah." adalah hal terakhir yang diucapkan orang misterius itu.

"Melihat ke bawah…?" Gempa dengan was-was mencoba melihat ke bawah, tepatnya ke halaman sekolah yang kini terdapat panggung bekas acara yang belum dibongkar.

"...he?"

Gempa hanya bisa terpaku di tempat. Ia tidak sendirian di sini.

Di bawah sana, saudara-saudara dan teman-temannya berkumpul di sana. Balas menatapnya penuh arti sambil melambaikan tangan seolah sudah tahu Gempa akan ada di sana.

"Sejak kapan…?" Gempa kemudian ingat, ia begitu lelah dan panik sampai tidak menyadari teman-temannya berkumpul kembali di sekolah. Selain itu instruksi si penelepon tadi juga sepertinya sengaja menariknya sejauh mungkin dari halaman sekolah sampai akhirnya…ia tiba di sini.

Jadi selama ini Gempa sedang dikerjai?

Tapi sama siapa?

Semua ini terlalu tiba-tiba. Lagipula atas dasar apa mereka mengerjainya, seolah sudah tahu Gempa masih bisa sampai sejauh ini?

Oh, Gempa harusnya sudah tahu, dari pola beberapa teka-teki memusingkan namun memiliki jawaban sederhana barusan.

Hanya ada satu orang yang cukup gila merencanakan ini semua sampai Gempa sendiri tidak menyadarinya.

Hanya ada satu orang yang benar-benar bisa mengecohnya sejak kecil.

Hanya satu orang, yang benar-benar out of the box yang selalu memiliki segudang rencana-rencana ekstrim hanya untuk membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum.

Harusnya, Gempa sudah tahu siapa dia…

"Kak Taufan." Gempa menoleh, menatap salah satu kakaknya dengan bibir tertekuk.

Boboiboy Taufan, yang entah sejak kapan sedang duduk di atas pagar pembatas memasang senyum paling lebarnya.

"Oke, kau menemukanku. Adikku yang satu ini memang hebat." Taufan melompat turun dan langsung mendekati sang adik.

Gempa menghela napas, sepertinya Taufan memang akan selalu menjadi Taufan.

"Sejak kapan? Lagipula ini semua maksudnya apa?" tanya Gempa.

"Well, aku hanya berpikir…rasanya nggak adil kalau cuma Gempa saja yang nggak "kena" jadi kenapa nggak sekalian aja?" sahut Taufan jenaka. "T-tapi ini bukan sepenuhnya ideku. Ehm, anak-anak OSIS yang meminta bantuanku." remaja itu melanjutkan.

"OSIS? Kenapa?" tanya Gempa lagi.

"Aku jelaskan setelah kita turun saja, oke?"

.

.

.

"Kak Gempaaa!" Blaze dengan segala adrenalin yang berpacu dalam dirinya langsung menerjang sang kakak.

"Uhh…kalian juga terlibat ya?" tanya Gempa, dan Blaze hanya cengengesan sebagai jawaban.

"Nomor yang barusan meneleponmu adalah nomor lama Fang, dan yang meneleponmu itu Ice, dengan sedikit pengubah pitch suara." jelas Taufan.

"Jadi Thorn juga…?" Gempa menatap sang adik hijau yang hanya tersenyum manis.

"Akting kami hebat ya, kak?" Ice berucap dengan wajah yang datar.

"Teka-teki barusan Solar yang susun, terus sama Kak Hali dan Blaze dipasang di beberapa tempat yang jauh dari halaman sekolah." jelas Taufan lagi.

Gempa menghela napas panjang, ternyata bukan hanya Taufan, tapi saudara-saudaranya bekerja sama mengerjainya?

"Kalian ini…kalau jantungku sampai copot gimana?" protes Gempa, antara senang dan juga kesal.

"Taufan." ucap Halilintar singkat dan dibalas "hey!" dari si pemilik nama.

"Kalian juga, kenapa melakukan ini?" tanya Gempa pada teman-teman OSISnya.

"Kami pikir Gempa sudah bekerja sangat keras selama ini." jawab Nut.

"Jadi, mungkin ada sesuatu yang tidak biasa yang bisa kami lakukan sebagai ucapan terima kasih." sambung Yaya.

"Ah. Kau bekerja seolah-olah kami ini tidak berguna. Jadi ada yang harus menyadarkanmu." ucap Fang, arogan seperti biasa.

"Gempa selama ini susah dibilangin sih. Padahal kan kamu bisa ngandelin teman-temanmu." Ying ikut bersuara.

"Terus karena bakalan makan gratis jadi aku juga bersedia membantu." Gopal, seperti biasa tetaplah Gopal.

Gempa terdiam, benarkah selama ini ia seperti itu?

"Sebenarnya rencana ini bisa saja gagal total seandainya Kak Gempa meminta bantuan, karena kami nggak punya rencana cadangan." ucap Solar.

"Tapi Gempa tidak akan melakukan itu, makanya berhasil kan?" cengir Taufan.

Penuturan barusan membuat Gempa akhirnya sadar. Ia terlalu sering bekerja sendiri, sampai lupa bagaimana caranya bergantung pada orang lain.

"Maaf…" Gempa bergumam, "Aku rasa…aku hanya ingin membuat Ayah bangga…karena Ayah sudah percaya padaku."

"Iya, Ayah percaya padamu. Jadi kenapa kau tidak bisa percaya pada kami?" potong Halilintar cepat.

Gempa terdiam lagi. Sekarang mengerti bahwa ia sudah salah.

"Sudahlah. Ayah akan selalu bangga padamu, Gempa. Kau sudah berusaha dengan baik." hibur Taufan sembari menepuk-nepuk kepala sang adik. "Aku tahu kok, kami memang brengsek tapi berkat kau, aku bisa mengerti apa itu tanggung jawab. Sebagai kakakmu, aku paling ingin melihatmu bahagia." lanjut remaja bertopi miring itu.

"Aku bisa berubah, yang lain bisa berubah. Kau juga, dan itu bukan perubahan yang buruk." sambung Halilintar. "Kami semua ada di sini untukmu."

"Terima kasih, Kak Gempa." empat Boboiboy termuda berucap bersamaan dengan senyum merekah di paras mereka.

"Uuuh…" Gempa yang perasaannya campur aduk akhirnya hanya bisa menangis, dengan kepala tertunduk dalam.

"Aaw adikku yang manis ini akhirnya menangis~ sini sini sini~" Taufan memeluk erat sang adik yang juga tidak melawan, malah menyenderkan kepalanya ke pundak sang kakak yang biasanya suka berbuat rusuh itu.

Kelima Boboiboy yang lain juga akhirnya ikut memeluk Gempa, sedangkan Halilintar menghampiri Taufan yang masih menepuk-nepuk pundak adiknya.

"Senang, sekarang?" tanya Halilintar, sembari menepuk kepala adik pertamanya itu dengan sedikit keras sampai topinya tergeser.

"Hmm." Taufan menganggukkan kepala dengan senyuman, yang akhirnya juga membuat kakak sulungnya yang biasanya dingin itu ikut tersenyum.

"Oke, oke. Sesi haru birunya sudah kan?" Gopal menginterupsi.

"Sekarang makaaaan!"

Akhirnya suasana halaman sekolah itu kembali berisik dengan anak-anak OSIS beserta Ying dan Gopal yang sibuk mengambil jatah makan mereka.

Disusul Blaze dan Thorn yang berteriak ingin ayam goreng, serta Ice dan Solar yang hanya bisa pasrah diseret ke dalam kerumunan itu.

"Makan? Gempa pasti lapar kan?" tanya Taufan, masih tetap merangkul pundak sang adik.

"Kak Taufan berhutang crackers padaku." sahut Gempa, kali ini sembari tersenyum.

"Hee? Kalau gitu sama Kak Hali juga sekalian." protes Taufan.

"Heh-"

"Tentu saja. Aku mau rendang daging buatan Kak Halilintar." Gempa tertawa melihat reaksi kakak pertamanya yang terlihat keberatan namun akhirnya setuju.

Mungkin memang Gempa sudah terlalu terpaku pada janjinya pada sang ayah. Sampai ia tidak bisa melihat kenyataan bahwa ia tidak pernah menghadapi semua ini sendiri.

Saudara-saudaranya mungkin berubah, tapi itu tidak buruk. Tidak pernah buruk.

Sama seperti dinding bebatuan yang runtuh, namun akhirnya membuka jalan bagi mereka yang ingin melangkah lebih jauh.

Layaknya tanah tandus yang butuh waktu lama untuk kembali subur.

Sama halnya dengan bumi ini yang berubah sepanjang waktu.

Itu tidak buruk.

Selama kita tahu ke arah mana kita akan berubah.

.

.

.

Loving as Earth, Solid as Stone (End)


Halo~ ada yang kangen diriku? /tampol

Sebenarnya saya nggak bermaksud balik lagi, tapi kok rasanya ada yang ngeganjel gitu kalau fanfict ini ga dilanjut apalagi tinggal satu chapter terakhir, jadi yaudah…untuk kali ini diselesaikan aja jadi udah deh. Fanfiction ini tamat~ uwu

Meski emang slow banget pacenya dan saya sempet stuck, tapi terima kasih sama isu 10 BBB Galaxy season 2, tetiba aja diriku dapet tenaga lagi untuk nulis ahahaha…tapi okelah. Sampai sini saya ucapin terima kasih banyak buat yang udah baca dan ngikutin fanfict ini sampai akhir, beneran dah saya terhura banyak yang nungguin fanfict ini /hiks srot

Apakah akan ada extra chapter? Mungkin? Tapi kalau emang ada saya akan usahakan diup ke sini juga. Kalau gitu sampai sini saja. Saya Harukaze Kagura pamit pergi lagiii~ sampai jumpa~

Setelah sekian lama, review?