Onigiri Miya
Haikyuu FurudateHaruichi
Pairing : Sakusa x Osamu/Suna x Osamu (Yup, Osamu is bottom)
Warn : OOC AF, cerita nggak jelas, dan ... selama ini aku bilang ayo bikin fluffy di fanfic ini? Hahahahaha No! wkwkwk
Summary :
Semua berawal dari Sakusa Kiyoomi memutuskan dapur Osamu cukup bersih untuk dia kunjungi. Namun siapa sangka kedekatan mereka akan membawa Sakusa pada masa lalu Miya Osamu yang tak pernah dia duga? Sakusa/Osamu. (Suna/Osamu)
Happy reading
Atsumu memainkan poni Osamu yang tengah tertidur di meja ruang tamu dengan jemarinya. Sakusa terus-menerus melihat hal baru dari Miya bersaudara. Seperti pertama kali melihat Atsumu mengamuk, pertama kali melihat Osamu terlihat rapuh, dan sekarang, pertama kalinya melihat Miya sulung menjadi begitu dewasa. Tatapannya sendu seolah dia menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Osamu.
Setelah Osamu bercerita, mereka memutuskan kembali dalam diam. Osamu memintanya menginap, dan dia tidak keberatan meskipun harus tidur di sofa. Osamu tidak dalam kondisi terbaik untuk memasak, meskipun dia tetap bisa memaksakan dirinya untuk tersenyum. Setidaknya dia terlihat lebih lega setelah menceritakannya.
Mereka memakan oyakodon—Sakusa tidak perlu mempertanyakan rasanya, karena Osamu selalu bisa membuat makanan terasa lezat—dan meminum sake yang dibawa Sakusa. Osamu benar-benar tertidur saat meminum gelas ke empat, bahkan gelas itu masih tersisa setengah di tangannya. Piring-piring oyakodon masih berceceran di meja. Untuk pertama kalinya, Sakusa tidak merasa terganggu. Dia hanya ingin melihat wajah Osamu yang damai, membuatnya tampak beberapa tahun lebih muda. Lebih polos.
"Pasti melelahkan untuknya menceritakan itu," gumam Atsumu. Dia masih memainkan poni Osamu, dan kerutan-kerutan di dahinya setiap kali lelaki itu merasa tak nyaman.
"Tak kusangka kau bisa sedewasa itu bila menyangku Osamu," komentar Sakusa. Atsumu menatapnya, lantas kembali meminum sakenya. "Jadi, siapa pun orang itu memotret mereka saat bermesraan, kemudian menyebarkannya. Semua orang yang ada di sekolah mencemoohnya dan bukan hanya tidak membelanya, Suna malah memanggilnya hanya untuk dihajar?"
"Singkatnya begitu," gumam Atsumu. "Kau tahu kenapa aku jadi sangat marah, bukan?"
"Daripada marah, aku lebih merasa kau ketakutan," ucap Sakusa. Atsumu mengangkat sebelah alisnya, dan Sakusa memberanikan diri untuk menanyakannya. "Hal yang diceritakan Osamu memang mengerikan, tetapi aku merasa ada hal yang tidak sanggup dia ceritakan. Bagaimana dengan traumamu sendiri?"
Atsumu tidak menjawab saat itu juga. Dia hanya menyesap sakenya sedikit demi sedikit, menimbang apakah dia akan menceritakannya. Sakusa sendiri sudah merasa terlibat terlalu dalam, tidak ada jalan untuk kembali, tidak, lebih kepada dia tidak ingin kembali. Apa yang dialami Osamu memang mengerikan, tetapi dia merasa lelaki itu pun tidak sanggup menceritakan keseluruhan.
Miya Sulung membanting gelasnya di meja. Sakusa mendelik, kemudian menatap Osamu yang tampak tidak terganggu.
"Dia tidak akan bangun lagi ketika mabuk," katanya tenang. "Kau bertanya apa tadi? Traumaku? Yah ... seperti yang kau tahu, waktu itu segalanya kacau, sial. Kau pasti sudah dengar kami bertengkar karena keinginan tololku memintanya terus bermain voli. Aku juga percaya pada si brengsek itu, padahal seharusnya aku tahu dia itu brengsek. Dia memintaku mencarikannya pacar, seharusnya aku tahu. Seharusnya aku tidak membiarkan Osamu menemuinya."
Cengkraman Atsumu pada gelas mengerat. Sakusa bertanya-tanya apakah Atsumu akan mampu menghancurkannya dengan genggaman, sebelum dia berpikir lebih jauh Atsumu melonggarkan cengkramannya. Dia mengisi gelasnya kembali gelasnya dengan sake, dan meminumnya sampai habis. Toleransi alkohol Atsumu memang mengerikan.
"Kurasa itu bukan salahmu, Miya."
Lelaki itu menatap Sakusa tajam. "Kau tidak mengerti. Kau tidak tahu bagaimana 'Samu pulang dalam keadaan basah kuyup. Wajahnya babak belur dan setengah hidup. Dia hanya menunduk, hampir tidak mengenaliku. Kau tidak tahu bagaimana ekspresinya saat itu. Aku ... Aku mendatangi Bajingan itu, kemudian menghajarnya. Dia hanya membiarkanku menghajarnya, tampak syok, seolah dialah korbannya, dan brengsek itu membuatku semakin kesal. Kalau bukan karena Aran, aku pasti sudah membunuhnya. Baru kusadari setelahnya, para pengecut itu adalah orang-orang yang membenciku dan menargetkan 'Samu di saat terlemahnya."
Atsumu menggertakkan giginya. Sakuka tidak berani menyela.
Kemudian lelaki itu melanjutkan. "Ketika aku pulang, ibu sudah di rumah. Dia tahu apa yang terjadi dan mengata-ngatai 'Samu. Dia bahkan masih basah kuyup, belum diobati, babak belur. Wanita itu sama sekali tidak khawatir padanya, hanya mengamuk, dan mengatai, dan menyesal karena melahirkan 'Samu. Sinting. Aku menonjoknya dan membawa 'Samu pergi. Aku memutuskan hubunganku dengannya dan bersumpah tidak akan kembali."
"Kau memukul ibumu?"
"Hal paling menyenangkan yang pernah kulakukan," dengusnya. "Setelah kami keluar, Kita-san meminta kami berjanji terus melanjutkan sekolah. Dia meminta kami tinggal di rumah neneknya. Rumah itu kosong setelah neneknya meninggal, dan Kita-san kuliah di luar kota. Dia membuatku berjanji untuk terus sekolah, masuk ke klub voli. Kami perlu berpikir jernih dan memikirkan masa depan. Yah dia benar."
Atsumu terdiam. Dia kembali menatap Osamu yang tampak tak terganggu. Terlelap dalam—semoga—mimpi indahnya. Dia berhak beristirahat. Tidur nyenyak dan melupakan semuanya.
"Namun di situlah masalahnya, perhatianku lagi-lagi dengan konyol teralih. Aku begitu fokus agar bisa ditawari klub besar. Aku menang Haruko—tentu saja—kau tahu itu, aku mengalahkanmu di final. Kemudian memastikan aku bisa menghasilkan uang begitu lulus, dan membiayai 'Samu melakukan apa pun yang dia mau."
"Aku ingat," jawab Sakusa. Dia tidak tahu harus merespons apa pada cerita Atsumu. "Kau begitu kuat saat itu, tetapi aku tidak melihat Osamu bermain."
Atsumu mengangguk. "Saat aku pulang dan kegirangan, aku menemukan Osamu di lantai. Jatuh tak sadarkan diri. Rupanya dia mengalami Iritasi usus, tukak lambung, dan apapun itu. Bisa kau bayangkan betapa rusaknya dia? Seorang 'Samu mengalami masalah dengan lambungnya karena stress dan sering sekali melewatkan makan."
Atsumu meminum satu gelas penuh dan menjatuhkan kepalanya ke meja. Mulai mabuk.
"Kau tidak tahu bagaimana takutnya aku. Dia pucat sekali seperti mayat. Aku tidak tahu harus menghubungi siapa. Kita-san ada di luar kota dan jangan berharap aku memanggil ibu. Aku menelpon ambulan. Setidaknya Kita-san dan Aran segera kembali. Dia memintaku menghubungi ibu, tetapi aku tidak mau. Dia dirawat beberapa hari. Tidak sadarkan dri. Aku ... aku tidak bisa melewati hari itu lagi. Membayangkannya saja membuatku ngeri. Bagaimana bisa aku membiarkan orang yang berbagi rahim denganku menderita? Aku tidak mau. Tidak lagi."
"Miya," cegah Sakusa ketika lelaki itu ingin mengisi gelasnya lagi. Wajahnya memerah. Sudut matanya berkedut. Dia hampir menangis. Atsumu hanya perlu sedikit dorongan saja dan dia pasti akan menangis. "Berhenti minum."
Atsumu menatapnya jengkel, tetapi dia menurut.
"Rupanya hari itu nenek meninggal. 'Samu dekat dengan beliau. Hal itu membuat tingkat stressnya tak tertahankan." Jarinya yang gemetar kembali memainkan poni Osamu. "Ternyata di sekolah juga dia masih ditindas. Para pengecut itu menindasnya ketika aku tidak ada. Aku ingin dia berhenti sekolah. Kita-san tidak memperbolehkannya. Aku mengamuk, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan. Aku memaksa pindah kelas, dan menemaninya ke mana pun. Selama itu Kita-san sering pulang, atau Aran, atau Akagi. Dia mengajak 'Samu untuk memasak, dan saat itu aku tahu itulah yang dia inginkan."
Saat Atsumu terdiam, Sakusa menyadari bahwa ceritanya telah berakhir. Atsumu takut kehilangan Osamu. Sakusa tidak bisa membayangkan bagaimana dia memutus hubungan dengan keluarganya, neneknya meninggal, penindasan di sekolahnya. Rasa bersalah masing-masing dari mereka. Atsumu yang memilih klub MSBY yang jauh dari rumahnya. Kedai Osamu yang ... tenang?
Setelah mendengar itu semua, Sakusa tidak bisa tidur. Apalagi ketika dia bisa merasakan keberadaan Miya bersaudara di masing-masing kamarnya. Atsumu memberinya selimut dan bantal setelah memintanya membantu membawa Osamu ke kamarnya. Sakusa senang melihat lelaki itu tidur, setidaknya dia mampu melepaskan bebannya.
Keesokan harinya kepalanya terasa mau pecah. Atsumu keluar dari kamarnya sembari menguap lebar, sedangkan Osamu muntah-muntah.
"Dia tidak pernah kuat minum alkohol," kometar Atsumu. Rambutnya acak-acakan dan dengan santai dia mengangkat kausnya sembari menggeliat. "Kapten pasti memarahiku."
Sakusa menyetujui dalam diam. Padahal lusa mereka harus berangkat untuk pertandingan pertama musim ini. Sekarang mereka malah membiarkan diri bermuram durja dan meminum berbotol-botol sake.
Pintu kamar Osamu terbuka dan Sakusa mengerjap tidak percaya. Padahal dia baik-baik saja saat Atsumu keluar kamar. Sekarang, ketika dia melihat wajah yang sama, tetapi tampak begitu mengantuk, keluar kamar dia bisa merasakan dirinya menganggap lelaki itu manis. Serius? Setelah semua yang terjadi semalam, Sakusa masih bisa-bisanya berpikir demikian?
Osamu menguap, menggeliat, kemudian mengerjap sembari memegangi kepalanya. "Oh, kau menginap disini, Sakusa?" tanyanya sambil lalu. Sakusa mengangguk, tetapi tidak berkomentar. Lelaki itu berjalan terhuyung-huyung ke dapur. Dia menggurut tentang hangover-nya dan mulai mencari-cari sesuatu di dalam lemari es. Ah ... betapa manisnya. "Kalian mau miso sup?"
"Yeah," gumam Atsumu. Dia mendatangi Osamu, mengambil sekotak susu dari belakangnya, hendak meminumnya langsung. Namun Osamu segera merebut kotaknya. "Hei!"
"Gunakan gelas!"
Atsumu memutar bola matanya. Dengan kesal, dia mengambil gelas dan menuang sampai penuh. Osamu tidak begitu mempedulikannya, dia hanya fokus pada bahan masakannya. Sakusa sendiri tidak berkomentar banyak, apalagi mereka bersikap seolah kejadian kemarin tidak terjadi.
Sampai Atsumu membawa topik itu saat sarapan.
"Aku akan mencari apartemen baru. Kau tinggal saja denganku."
Osamu mengerut kesal. "Ha?"
"Kau pindah ke apartemenku."
"Aku tidak mau."
"Bajingan itu datang ke restoranmu, sudah bagus aku tidak memintam menutup restoran." Atsumu tetap berbicara dengan tenang meski Osamu sudah tampak ingin memukul wajahnya. Sakusa bertanya-tanya sampai kapan Osamu akan menahan diri. Sembari memasukkan sesuap nasi Atsumu menggerutu, "Bagaimana caranya Bajingan itu menemukan restoranmu?"
"Oh!" Sakusa mengerjap. Hal itu membuat Miya bersaudara menghentikan pertengkaran mereka, dan menatapnya penasaran. "Kurasa itu salahku. Aku menceritakan tentang restoran Osamu pada Komori, dan menyarankannya datang ke mari. Dilihat dari sifatnya, aku yakin dia mengajak Suna juga."
"Sialan," umpat Atsumu.
Osamu menunduk, tidak berkomentar. Melihat hal itu, Sakusa tidak bisa menahan rasa bersalah yang mencokol. "Maaf. Seharusnya aku tidak melakukan itu."
Miya bersaudara saling berpandangan.
"Yah," kata Atsumu. "Itu bukan salahmu. Kau kan tidak tahu."
Akan tetapi, rasa bersalah tetap mengganggu Sakusa. Apalagi setelah ini mereka harus pergi untuk dua minggu ke depan. Pada akhinya, Atsumu memaksa Osamu untuk pindah ke apartemennya selama dua minggu. Dia juga diminta untuk tidak membuka kedai. Perdebatan mereka cukup panjang karena pada akhirnya Miya bersaudara sama-sama keras kepala.
Sakusa sendiri tidak tahu harus memihak yang mana. Di satu pihak, dia tidak ingin Suna dan Osamu bertemu. Sejarah mereka yang panjang dan reaksi Osamu yang tampak belum mampu bertemu dengannya. Sakusa tidak tega membiarkannya sendiri. Akan tetapi, dia juga merasa Atsumu terlalu berlebhihan. Mungkin yang dikatakannya benar, bahwa Osamu tidak perlu memikirkan tentang uang, tetapi bukan itu yang dicari Osamu ketika dia membuka restoran.
Mereka kembali ke gedung MSBY, tidak ada latihan untuk dua hari ke depan. Mereka hanya berlatih ringan dan membahas tentang liga pro yang akan berjalan. Pemain inti MSBY tidak berubah. Sakusa juga sudah merasa cocok dengan formasi ini. Atsumu jelas sudah bisa membawa setiap spiker MSBY ke penampilan terbaik mereka. Bokuto bermain sangat baik, Hinata benar-benar mengejutkannya, dan toss Atsumu sangat mudah dipukul. Pertahanan mereka juga sangat baik. Tidak ada yang perlu diganti, tetapi kita tidak tahu bagaimana perkembangan tim lain.
Sementara itu, kepalanya masih penuh dengan Osamu. Osamu. Dan Osamu. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk cepat pergi ke apartemennya begitu dia selesai dengan urusannya sekarang, tetapi Atsumu menolak. Dia ingin berbicara berdua dengan Osamu, dan Sakusa merasa tidak berhak untuk mengganggu.
Dia akan datang besok. Lagipula mereka sudah berjanji untuk berbelanja bersama secepatnya ketika mereka kembali.
"Terima kasih," ucap Atsumu ketika mereka berjalan bersisian menuju mobil. Sakusa mengangkat sebelah alisnya. "Kau sudah mendengar cerita kami. Padahal biasanya kau tidak akan peduli. Kau juga tidak menghakimi 'Samu. Karena itu, terima kasih."
"Tidak perlu berterima kasih," balas Sakusa. "Aku tidak keberatan. Maksudku, aku malah senang kalian terbuka denganku."
Atsumu tersenyum, memukul bahunya ringan, kemudian berjalan ke mobilnya sendiri.
Sakusa mengendarai mobilnya di tengah kemacetan. Dia harus membeli bahan makanan untuk dirinya sendiri. Selama ini dia membeli makanan untuk Osamu, dan lebih sering makan di sana, sehingga melupakan kulkasnya sendiri. Dia tidak belanja banyak. Lagipula dia tidak bisa memasak. Tidak sebaik Osamu. Sama sekali tidak bisa dibandingkan.
Dia hanya membeli beberapa paha ayam, sayur, dan ... Suna? Dia berdiri di luar supermarket seperti sedang menunggu seseorang. Dia tampak tidak nyaman. Kemudian mata mereka bertemu di balik kaca. Oh ... Dia mengangguk, lantas membuat gestur menunjuk tempatnya berdiri. Sakusa mengernyit, apa yang diinginkannya?
Sakusa segera membeli apa yang dia butuhkan, lantas pergi ke kasir, dan menghampiri Suna.
"Hei! Maaf, Sakusa-san, tetapi aku melihatmu di jalan, dan kemarin, kau datang ke restoran Osamu, bukan?"
Di balik maskernya, Sakusa mengernyit tidak suka. "Ya?"
"Aku, engh ..." Suna mengusap belakang kepalanya gugup. Dia melihat sekitar, dna beberapa orang tampak memperhatikan mereka, kemudian menatap kantung belanjaan Sakusa. "Bisa kita mencari tempat dan mengobrol? Ada yang ingin kubicarakan padamu. Itu, tentang Osamu. Tolong!"
Ini adalah kali pertama Sakusa benar-benar ini seseorang enyah. Dia menatap lelaki yang lebih tinggi beberapa centimeter darinya itu dengan dingin.
"Kurasa aku tidak berhak berbicara apa pun tentang Osamu denganmu."
Suna melonjak. Dia menunduk. "Maafkan aku."
Sakusa menghela napasnya. "Tidak ada gunanya meminta maaf padaku. Yang kau sakiti Miya bersaudara, bukan aku."
"Aku tahu. Karena itulah, kumohon ..." Lelaki itu membungkuk dalam. Sakusa terbelalak. Suara Suna terdengar bergetar, seolah selama ini dia juga merasa tersiksa. Tentu saja dia merasa bersalah. "Kumohon, tolong, biarkan aku bebicara denganmu."
Sakusa ragu. Haruskah dia membantunya? Lagipula Suna juga merasa tersiksa dengan apa yang terjadi. Lagipula Miya bersaudara harus menghadapi ini. Akan tetapi, apakah dia pantas memutuskan apa yang harus dilakukan Miya bersaudara? Apakah dia pantas memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk Osamu?
Sakusa menatap Suna sekali lagi. Hanya untuk mendapati keteguhannya.
"Tolong angkat kepalamu!" desahnya. "Mari bicara di tempat yang lebih nyaman."
Suna mengangkat wajahnya cepat, kemudian tersenyum dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Sakusa mengangguk dan kembali ke mobilnya, setelah meminta Suna mengikutinya.
Sementara itu, hatinya bertanya-tanya, apakah dia memilih keputusan yang benar?
To Be Contiued
Padahal inginnya kutulis kemarin, tapi ya udahlah, rebahan menyerang. Semua ceritanya udah keluar. Yang kemarin yang flashback, sekarang dari sudut pandang ceritanya Atsumu, dan akhirnya Sakusa bertemu Suna secara pribadi. Kasihan Suna sih, eh apa kasihan Osamu? Atau Atsumu yang ketakutan? Atau Sakusa yang berdiri di tengah-tengah mereka?
Fufufu ... bab 8 sampai di sini dulu, nanti baru aku buat bab 9, bagian Suna sama Sakusa ngobrol.
Sampai jumpa.
