Bisnis.

Chapter 7. Tenaga Tambahan

Hari Sabtu siang itu Gempa kembali mendapatkan giliran menjaga kedai. Hampir dua minggu berselang sejak ia mengumpulkan semua saudara-saudaranya untuk membahas masa depan kedai mereka.

Dan pada saat itulah Solar, adiknya yang terkecil mengemukakan sebuah ide.

Pada awalnya Gempa pesimis dengan rencana adiknya yang sangat samar-samar itu. Namun tidak dihalanginya niatan baik si adik.

Malam minggu pertama cukup membuat Gempa shock ketika mengetahui kalau rencana adiknya itu terlalu radikal. Namun karena pendapatan satu malam itu menandingi pendapatan satu minggu, Gempa memutuskan untuk membiarkan Solar mengadakan kafe goyang dadakan. 'Toh Solar berjanji hanya satu kali sebulan mengadakan seperti itu.' Pikir Gempa.

Selepas malam minggu itu, jumlah pengunjung kedai pun boleh dibilang jauh meningkat. Namun namanya juga usaha dagang, pasti ada saja saat-saat sepinya. Minimal saat pengunjung sepi itu tidak membuat Gempa khawatir.

"Huff... Akhirnya... kita bisa agak santai." Gempa menghela napas lega setelah melayani pengunjung yang terakhir terlihat di siang hari itu. Ia melirik ke arah tumpukan kartu-kartu plastik yang dipromosikan Solar sebagai semacam kartu member untuk mendapatkan gratis Ice atau Hot Chocolate Special setiap sepuluh kali pembelian minuman. "Bagus juga ide Solar ini ya?"

Thorn yang siang itu mendampingi Gempa hanya terkekeh saja mendengar komentar Gempa. "Ah, iya Kak Gem... Kata Solar sih untuk menarik minat pelanggan."

"Ya memang sih, banyak juga langganan kita yang membeli kartu member baru karena yang lama sudah terpakai kesempatan gratisnya... Tapi aku ngga sangka secepat itu mereka meng-claim minuman gratis mereka." Gempa meraih salah satu kartu yang tersusun tertumpuk dan mengamat-amatinya.

Hal itu membuat Thorn langsung meneguk ludah. 'Alamak... Jangan sampai Kak Gempa tahu rahasia kartu itu... Habislah... Matilah kita semua kalau dia tahu,' gumam Thorn dalam batinnya. Ia harus mencari cara untuk secepatnya mengalihkan perhatian kakaknya itu.

Beruntung bagi Thorn karena mendadak ia mendengar sebuah suara memanggil kakaknya. "Hoi, Gempa!"

"Eh? Fang?" Gempa menengok ke arah suara yang memanggilnya sembari meletakkan kartu yang tengah dipegangnya kembali keatas tumpukkannya. "Tumben kau jadi sering kemari... Kukira kapok setelah kucekoki sepuluh gelas Ice Chocolate Special."

Thorn langsung menghela napas lega, apalagi ketika melihat bagian kartu yang dipegang Gempa mulai berubah warna. 'Hampir... Hampir saja tamat nyawaku,' lirih Thorn dalam hati ketika ia menyadari bahwa dibalik gambar logo kartu itu adalah foto dirinya sendiri yang bercelana renang saja yang dimuat oleh Solar.

"Ah, ngga koq," ujar Fang sembari mengambil duduk di depan meja bar kedai. "Minuman buatanmu memang terbaik Gem. Sekaligus aku mau beli kartu member baru. Punyaku yang lama sudah habis... Sekalian beli satu lagi untuk abangku."

"Wow dua kartu member sekaligus? Oke, mau minum apa nih?" tanya Gempa sembari menyerahkan dua buah kartu sekaligus kepada Fang."

"Hot Chocolate Special saja deh. Aku lagi mood yang hangat-hangat," jawab Fang sembari mengambil dompetnya dan membayar pesanannya.

"Oke, tunggu ya." Gempa langsung berbalik badan dan membuatkan minuman pesanan Fang.

Saat itulah Fang menoleh ke arah Thorn yang terlihat kaku dan tegang. "Sst... Thorn," bisik Fang.

"Ya kak?" Thorn berbisik balik sembari mendekati teman kakaknya itu. "Ada apa?"

"Fotomu imut juga.."

-Blussshhh-

Seketika itu wajah Thorn berubah merah padam. Ia langsung menunduk malu karena tahu persis apa yang dimaksud oleh Fang yang kini tersenyum-senyum sendirian. "Ish Kak Fang... Malu lah, jangan sindir-sindir dong."

Fang menunjuk kearah Gempa namun matanya masih tetap memandang Thorn yang berusaha untuk terlihat normal. "Dia tahu?" tanya pemuda bercat rambut ungu itu.

Thorn menggelengkan kepalanya. "Jangan sampai Kak Gem tahu... Mati aku kalau ketahuan Kak Gem."

"Separah itukah kalau dia mengamuk?"

Thorn mengangguk sebagai jawaban. "Biarpun ini ide Solar tetap saja aku pasti kena marah..."

"Oooh... Pantas saja cuma ada Hali, Taufan, Blaze dan kamu sendiri, Thorn." Fang hanya cengar-cengir saja. "Kok bisa?"

Thorn melirik ke arah Gempa yang masih meracik minuman pesanan Fang. "Aku kejebak omongannya kak " keluh Thorn dengan tatapan mata yang nanar. "Memang bayaran dari Solar banyak... Tapi aku takut ketahuan Kak Gempa."

"Pfftt..." Fang menutup mulutnya, mencegah dirinya tertawa. "Selamat datang di dunia nyata, Thorn... Tanya saja kakakmu, Taufan... Dia paling tahu bagaimana rasanya diamuk Gempa."

"Nih pesananmu Fang," ucap Gempa sembari menyajikan minuman pesanan temannya itu. "Tumben kalian berdua mendadak akur... Ya dibilang akur banget sih ngga, tapi jarang-jarang sampai akrab begitu."

Fang menyeruput miniman hangat pesanannya itu. "Ah... Nikmat," desahnya setelah seruputan pertama. "Tadi Thorn nanya... Bagaimana kalau kamu ngamuk Gem... Kubilang saja, tanya Taufan."

"Oooh, itu. Taufan atau Blaze yang mirip-mirip deh kalau kuamuk... Paling kupasung sampai pagi. Lumayan awet kapoknya, bisa sebulan."

Thorn hanya mengerenyit mendengar istilah Gempa itu. "Aku sering dengar sih Blaze sama Kak Ufan ngomong begitu... Memang seperti apa dipasung itu kak?"

Gempa hanya menggelengkan kepalanya saja. "Percayalah, Thorn... Kamu ngga mau tau... Lebih pedih daripada nista."

Jawaban Gempa membuat Thorn meneguk ludahnya. "Sebegitu parahnya?"

"Oh, ya, Taufan sering cerita ke aku... Neraka dunia," tambah Fang sembari memasang mimik muka suram. "Duniamu akan terasa sempit... Dan kamu akan memohon apa saja untuk terhindar dari nistaan seperti itu-"

"Fang, sudah... Jangan menakuti Thorn... Kasihan tuh dia sampai pucat pasi," ketus Gempa sembari melihat adiknya yang gelisah berkeringat dingin.

Berbagai macam bayangan akan nista langsung membanjiri otak Thorn dan yang lebih parah ia tidak tahu seperti apa wujud Gempa yang benar-benar mengamuk. "Iya! Aku jadi takut mendengarnya!"

Beruntunglah Thorn kali itu karena tidak ada lagi yang memperpanjang cerita yang kemungkinan akan menjadi mimpi buruknya.

Dari kejauhan terlihat Blaze, Halilintar, Solar dan Taufan yang akan menggantikan dirinya dan Gempa untuk jaga kedai malam itu.

Seperti biasa, pertukaran jaga kedai berlangsung setelah serah terima pembukuan dan uang kas kepada yang bertanggung jawab atas mesin kasir. Dan seperti biasa pula, Solar selalu yang dipercaya untuk menjaga mesin kasir dan melakukkan pembukuan karena memang ia adalah yang paling teliti kalau sudah menyangkut angka-angka.

Blaze, Taufan, dan Halilintar menunggu sampai Gempa benar-benar meninggalkan kedai sebelum mereka melaksanakan sebuah lagi rencana Solar yang masih dirahasiakan.

"Sepuluh gelas Ice Chocolate Special lagi kah, Fang?" tanya Halilintar yang sore itu mendapatkan tugas sebagai barrista.

"Ngga... Jangan buat aku kapok lagi... Berhari-hari aku diet dan fitness gara-gara kamu dan Gempa," ketus Fang dan kembali menyeruput Hot Chocolate Special yang tadi dipesannya. "Lagipula... Solar... Dia memintaku kemari. Ada rencana apa lagi adikmu itu?"

Halilintar mengedikkan bahunya sembari meletakkan gelas-gelas yang sudah dicuci oleh Gempa dan Thorn pada raknya. "Entah, masih dirahasiakan... Aku ngga bisa nebak jalan pikirannya."

"Memang, Kak Hali." Mendadak Solar yang berada dibelakang mesin kasir berujar. "Nanti jam tiga sore baru kita mulai... Kali ini aku butuh bantuan Kak Fang juga, apalagi kan Kak Fang populer."

"Oh, begitu." Mendengar dirinya dipuji, Fang langsung tersenyum lebar. "Aku memang populer sih."

"Ya. Makanya aku minta bantuan Kak Fang kali ini." Solar menatap teman kakaknya itu dengan raut muka serius. "Popularitas Kak Fang pasti bisa membuat kedai kami ini jadi lebih sukses lagi."

Fang yang dipuji-puji oleh Solar tidak memperhatikan Halilintar yang tengah menggelengkan kepalanya. "Katakan saja, apapun aku sanggup... Selama bayarannya sesuai."

'Mampus kau Fang, kena jebakan Solar,' gumam Halilintar dalam batinnya.

"Baguslah. Mudah saja koq, Kak Fang. Aku perlu Kak Fang untuk-"

"Jadi model fotomu? Aku mau!"

Kali ini Solar lah yang meneguk ludahnya ketika melihat keseriusan teman kakaknya itu. "Ah, itu nanti kak... Maksudku untuk sekarang ini," lanjut Solar sembari terkekeh nervous.

Fang malah terlihat kecewa. "Yah.. Lalu aku harus apa?" Tanyanya yang hilang semangat.

"Itu kak." Solar menunjuk pada beberapa mobil pengunjung yang mulai berdatangan. Beberapa mobil bahkan berlogo kuda jingkrak dan berlogo banteng ngamuk. "Tolong parkirkan di dekat kedai."

Seketika itu raut muka Fang menjadi masam tak keruan. "Jadi aku dipanggil cuma untuk jadi petugas valet?"

Solar tersenyum-senyum polos saja sembari menganggukkan kepalanya. "Yak, betul... Sisanya tugas Kak Hali dan Kak Blaze."

"Nah lho... Apalagi nih?" tanya Blaze yang sedari tadi menyimak saja. Entah mengapa ia merasakan firasat buruk.

Seringai setan mengembang di bibir Solar.

Koreksi, Blaze merasakan firasat yang sangat buruk. Apalagi ketika Solar mengeluarkan dua buah celana renang mini dari sebuah kantung plastik yang dibawanya. "Kak Blaze sama Kak Hali pakai ini... Cucikan mobil-mobil pengunjung kita itu... Jangan menolak ya, kakak berdua kan sudah setuju untuk menolongku."

"Blaze..." Halilintar mendesis sembari melirik ke arah adiknya yang biasanya sering jahil kepadanya. "Pernah ngebayangin bagaimana rupa Solar kalau kita gantung hidup-hidup?"

"Kak... Kali ini aku setuju dengan kakak," desis Blaze sembari menatap balik pada Halilintar.

"Ckckck" Solar mendecih sembari mengibaskan telunjuknya. "Aku sangat tidak ingin melihat muka Kak Gempa kalau dia melihat foto kalian berdua di kartu member baru kita itu... Bukan begitu, Kak Blaze, Kak Hali?"

Halilintar dan Blaze hanya bisa tertunduk lesu sembari mengambil dua buah celana renang mini itu dari tangan Solar. "Habislah kita..."

"Aku senang kakak berdua setuju dengan caraku," ujar Solar dengan sebuah senyuman ekstra manis pada kedua kakaknya yang menghilang dibalik kedai untuk berganti pakaian.

.

.

.

Bersambung