Chapter 7. Selamat Jalan.

Kedua rahang Taufan ternganga lebar seakan otot wajahnya tidak bisa menahan kedua rahangnya itu untuk mengatup.

Begitu pula dengan sekujur tubuhnya yang mendadak lemas. Otot-otot kedua kaki dan tangannya masih menolak perintah dari otaknya untuk segera berdiri.

Dari posisinya yang jatuh terduduk, Taufan hanya bisa memandang kearah saudaranya yang telah mendorongnya menjauh dari tikaman belati dedengkot pemburu haram itu.

Adik Taufan yang telah menyelamatkan nyawanya itu masih berdiri dengan belati milik BoraRa yang bersarang di perutnya.

Kedua kelopak mata adiknya itu masih terbuka lebar. Bibirnya berkedut-kedut gemetar karena rasa sakit pada perutnya yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Kau lagi?" BoraRa hanya terkekeh melihat sasaran tikaman belatinya telah bertukar. "Dasar bocah degil!" ketusnya lagi seraya menarik belatinya yang bilahnya tengah bersarang didalam perut korbannya.

Netra hijau tua korban BoraRa mendelik ketika belati yang bilahnya dikikir seperti gergaji itu meninggalkan perutnya.

Tidak ada teriakan, tidak ada jeritan yang memilukan hati yang keluar dari mulut remaja yang bernetra hijau tua itu ketika belati milik BoraRa meninggalkan perutnya seraya mencabik-cabik daging disekitaran luka tusuknya.

Hanya terdengar lenguhan yang tercekat terdengar keluar dari mulut remaja itu.

"THOOORRN!" jerit Taufan ketika adiknya yang telah menyelamatkan nyawanya itu jatuh berlutut sembari memegangi perutnya yang menghamburkan darah.

"JAHANAM!" Terdengarlah sebuah teriakan bersuara sengau. Dari balik semak pepohonan tempatnya bersembunyi, Blaze meloncat keluar. Ia berlari secepat mungkin mendekati Taufan sebelum meraih parang yang tadinya digunakan oleh kakaknya.

"Hoo ada satu lagi rupanya." BoraRa terkekeh melihat lawan barunya yang bernetra oranye kemerahan. "Bagus. Masih ada satu yang belum bercela."

Tanpa banyak bicara Blaze langsung menyerang BoraRa dengan sebilah parang yang terhunus. Tidak ada lagi pikiran kalah atau menang dalam otak Blaze. Hanya ada satu niatnya, yaitu membalaskan adik kembarnya yang terbaring sekarat dalam pangkuan kakaknya.

Taufan tidak perduli lagi dengan pertarungan Blaze dengan BoraRa. Ia menangkap tubuh adiknya yang jatuh berlutut dan mulai limbung. "Thorn!" panggil Taufan sembari merangkul adiknya dengan hati-hati. Ia menatap wajah pucat adiknya yang paling ia sayangi itu.

"Kak... Ufan ..." Thorn berbisik dengan suara lembut yang gemetaran. Netra hijau tuanya yang nanar menatap sendu pada kakaknya yang ia sayangi.

Tatapan netra hijau tua dan biru safir saling bertemu ketika kedua kakak beradik itu saling. Puluhan kata-kata yang tak terucap seakan tersirat dibalik tatapan nanar mereka.

"Thorn ... bertahanlah." Taufan berbisik lirih. Dunianya seakan berangsur sirna di hadapan matanya

Segaris darah mengalir dari sudut bibir Thorn yang sedikit membuka. "Kak ... Ufan," bisik Thorn dengan suara gemetaran. "Dingin ... Kak ..."

"Ja-jangan Thorn ..." Tanpa terasa air mata menetes dari sudut netra biru safir Taufan. "Kumohon jangan ...," lirihnya lagi diantara napasnya yang bertukar menjadi sesegukan.

"Thorn ... mau pulang ... Kak ..." Netra hijau tua Thorn terlihat berkaca-kaca sebelum segaris air mata mengalir membasahi pipinya dan bercampur dengan darahnya. "Atuk ... Thorn ... pulang."

"Thorn?" panggil Taufan lagi ketika adiknya yang paling ia sayangi dan selalu bersamanya itu mengedipkan kedua netra hijau tuanya ketika meregang nyawa. "Jangan pergi ... Kak Ufan sayang Thorn ..."

"Terima ... kasih ... Kak ...," bisik Thorn diantara napasnya yang penghabisan. "Jaga ... Blaze ... untuk Thorn ..." Kelopak kedua netra hijau tua Thorn menutup dan tidak pernah terbuka lagi dan seluruh tubuhnya terkulai lemas di pangkuan kakaknya yang paling menyayanginya.

Taufan memeluk kepala adiknya itu dengan isak tangis tersedu-sedu yang sudah tidak terbendung lagi. "Janji ... Kak Taufan janji ...," lirih Taufan ditengah sesegukannya. Dengan hati-hati Taufan membaringkan jasad Thorn yang sudah tidak bernyawa lagi diatas tanah. "BoraRa ... kau ... tega ..."

Sebilah parang yang tersisa kembali berada dalam genggaman tangan kanan Taufan. Dengan langkah yang perlahan namun berat, remaja bernetra biru safir itu mendekati adiknya yang tengah melawan BoraRa.

"Blaze!" bentak Taufan. Suara nyaringnya menghentikan pertarungan antara Blaze dan BoraRa. "Mundur! BoraRa bagianku!"

Bahkan Blaze meneguk ludahnya ketika ia melihat tatapan mata biru safir kakaknya itu. Belum pernah ia melihat amarah Taufan yang sedemikian memuncaknya."Tapi, kak-"

"MUNDUR!" Taufan menghardik sekali lagi seraya mempercepat langkahnya mendekati orang yang telah menghilangkan nyawa adiknya.

Blaze mengehela napas panjang sebelum menuruti perintah kakaknya itu. Perlahan-lahan tanpa membelakangi musuhnya, ia beranjak mundur dan membiarkan kakaknya yang maju dan menghadapi BoraRa.

"Mau kemana kau?!" Enggan melepaskan buruannya, BoraRa menghujamkan belatinya kearah Blaze yang tengah melangkah mundur.

Tepat pada saat-saat terakhir sebelum belati yang bilahnya dikikir seperti gergaji itu menghampiri dirinya, Blaze langsung menjatuhkan diri kebelakang.

Serangan BoraRa hanya menemui udara hampa. Dedengkot pemburu haram itu mendelik ketika menyadari Blaze sudah berada dibawahnya.

"Mati kau!" pekik Blaze yang mengayunkan parang di tangannya sembari berguling menjauh. Bilah tajam parang yang digenggam Blaze itu mengenai kedua kaki BoraRa.

"AAGH! KURANG AJAR!" teriak BoraRa yang tersungkur akibat luka yang cukup dalam pada kedua kakinya.

Blaze langsung melompat berdiri. Dengan cepat ia mengayungkan parangnya kearah tangan pemburu haram yang sudah menghabisi nyawa adiknya.

Namun jaket yang dikenakan BoraRa kembali melindunginya. Hanya dengan memajukan tangannya sedikit saja, ayunan parang Blaze meleset dan mengenai lengan BoraRa yang terlindung oleh jaket yang dikenakannya.

Meremehkan rasa sakit, BoraRa menyapukan kakinya yang sudah terluka dan menjegal Blaze sampai terjatuh. "MATI KAU!" teriaknya seraya menghujamkan belati miliknya kearah Blaze yang tergeletak dan sudah tidak sempat lagi menghindar.

"JANGAN!" Taufan berteriak seraya mengayunkan parangnya secara vertikal dari bawah ke atas, berlawanan dengan arah gerakan tangan BoraRa yang menhujamkan belatinya.

Serangan BoraRa terhenti dengan jarak hitungan jengkal saja dengan dada Blaze yang diincarnya ketika parang Taufan menahan tangannya yang memegang belati. Remaja yang diincar dan hendak dihabisi nyawanya langsung berguling menjauh dan mencari keselamatan.

BoraRa yang semakin kesal dengan lawan-lawannya itu langsung mengayunkan belatinya lagi.

Kali ini Taufan berhasil menghindar dengan melangkah mundur dari serangan BoraRa yang terlihat semakin lambat.

"Kalian ..." BoraRa menggeram sembari melangkah mendekati Taufan dengan terpincang-pincang karena luka di kakinya yang diperparah karena ia telah menggunakan kakinya yang terluka untuk menjegal Blaze. "Benar-benar mencari mati-"

"KAU YANG CARI MASALAH DENGAN KAMI!" Taufan menyahut balik seraya memasang kuda-kuda bertarungnya lagi. Ia memilih untuk bertahan dan tidak menyerang duluan. Walaupun terluka, BoraRa dengan belatinya itu tetap saja berbahaya.

"Berani kau!" Kembali BoraRa menyerang.

"HEY PENGECUT!" Mendadak terdengar teriakan bersuara sengau Blaze dan membuat BoraRa menengok kearahnya.

BoraRa melihat Blaze sedang memutar-mutarkan sebuah potongan kain diatas kepalanya. Putaran potongan kain itu semakin lama semakin cepat dan bahkan hampir tidak terlihat. Hanya suara dengingan saja yang menandakan bahwa potongan kain yang digenggam Blaze itu berputar sangat cepat diatas kepalanya.

Pada saat yang tepat, Blaze melepaskan ujung potongan kain yang diputarnya diatas kepala. Dari potongan kain itu meluncurlah sebuah batu seukuran kepalan tangan dengan kecepatan tinggi.

Begitu cepatnya batu itu meluncur bahkan BoraRa tidak sempat menghindar lagi. Dengan telak batu itu mengenai kepalanya. Bunyi tulang yang berderak patah terdengar ketika batu itu mengenai dahi sang dedengkot pemburu haram.

Satu serangan itu cukup untuk merubuhkan BoraRa yang kini tergeletak tidak sadarkan diri lagi diatas tanah

Taufan pun langsung melangkahkan kedua kakinya, menghampiri BoraRa yang sudah tumbang. Parang di tangan kanannya tergenggam erat ketika jaraknya semakin dekat dengan orang yang sudah menghabisi nyawa adiknya itu.

"Habislah kau ...," desis Taufan seraya menempelkan bilah tajam parang miliknya pada leher BoraRa. Perlahan-lahan Taufan mengangkat parangnya. Memori dan kenangan Taufan seakan terputar kembali di kepalanya seiring dengan terangkatnya parang yang digenggamnya.

Kenangan manis dan indah bersama kedua adiknya, Blaze dan Thorn. Kekompakan mereka bertiga sangatlah legendaris sampai timbul panggilan bagi mereka bertiga, Trio Troublemaker. Memori dimana Taufan bersama Blaze dan Thorn pernah menjahili saudara-saudaranya yang lain, walaupun pada akhirnya selalu Taufan dan Blaze yang kena batunya.

Sekarang semua itu betul-betul tinggal kenangan saja. Tidak akan pernah lagi Taufan bisa mengalami serunya melewati hari-harinya seperti dulu lagi. Thorn, adik kesayangannya sudah tiada.

Begitu pula dengan Blaze yang tengah melangkahkan kakinya mendekati Taufan. Kalau saja ia tadi tidak lengah ketika Halilintar terluka oleh BoraRa, seharusnya ia bisa menyelamatkan Taufan juga dengan cara menjegal BoraRa. Namun terlambat, Thorn sudah lebih dahulu berlari menyelamatkan Taufan dengan caranya sendiri.

Demam karena infeksi dan luka parah akibat terkena peluru tidak menjadi halangan bagi Thorn yang mendorong Taufan menjauh dari serangan BoraRa. Walaupun ia harus membayar mahal dengan nyawanya sendiri.

Detik-detik saat bilah belati BoraRa menembus perut Thorn kembali terputar dalam ingatan Taufan. Tidak pernah ia membayangkan akan merasakan sendiri bagaimana sakit hatinya kehilangan seorang adik yang paling disayangi, apalagi sebagai seorang kakak Taufanlah yang seharusnya menjaga Thorn.

Gagal!

Itulah yang dirasakan dan berkecamuk dalam hati Taufan. Ia harus melakukkan sesuatu untuk membalaskan kematian Thorn dan itulah yang hendak diperbuatnya

Parang yang berada dalam genggaman tangan Taufan terangkat semakin tinggi. Niatnya diantapkan untuk mengakhiri hidup jahanam yang telah menghilangkan nyawa adiknya yang paling ia sayangi.

"Ja-jangan, Fan ...," desis Halilintar diantara kedua rahangnya yang mengatup rapat menahan perihnya luka pada kedua lengan dan dadanya. "Jangan ..."

Taufan menolehkan kepalanya, menengok kearah Halilintar yang terbaring dengan luka menganga di tubuhnya yang melumpuhkannya. "Harus ... dia ... membunuh Thorn."

Seumur hidupnya, Halilintar tidak pernah melihat tatapan mata Taufan yang begitu tajam. Segala keceriaan yang biasanya terpancar dari netra biru safir adiknya lenyaplah sudah. Hanya ada penyesalan tak berujung dan dendam. "Jangan ... ikutan ... jadi ... pembunuh!"

Taufan tidak menghiraukan Halilintar yang berusaha menyadarkan dirinya. Niatnya sudah bulat dan dengan niatan itu Taufan menghujamkan parangnya.

"Jangan!"

Parang yang digenggam Taufan tidak sempat mengenai leher BoraRa karena ada yang memegangi tangannya dan menghentikannya.

"Ge-Gempa?" lirih Taufan ketika ia melihat siapa yang menghentikannya yang hendak menghabisi nyawa BoraRa.

Gempa baru saja tiba ditempat itu bersama Solar, Ice dan rombongan penjaga hutan. Tidak pernah ia menyangka akan menemukan kakaknya hendak menghabisi nyawa seseorang walaupun orang itu yang telah membuat Halilintar, Solar, dan Thorn sengsara.

Sekuat tenaganya Gempa memegangi tangan Taufan. "Halilintar betul, Fan ... Jangan ...," ucap Gempa yang mati-matian menahan tenaga Taufan yang demikian kuatnya. Belum pernah Gempa merasakan tenaga Taufan yang seperti itu, hampir sama kuatnya dengan Halilintar.

"LIHAT THORN!" bentak Taufan seraya menunjuk kearah jasad Thorn yang terbaring diatas tanah.

Gempa menolehkan kepalanya kearah Thorn yang ditunjuk oleh Taufan.

Blaze terlihat sesegukan dengan air mata yang tidak terbendung lagi. "Thorn ... Blaze ... minta... Maaf ... Blaze ... gagal," lirihnya sembari memegangi tangan adik kembarnya yang sudah tidak bernyawa lagi. "Maaf Thorn ... Blaze ... bukan ... kakak yang baik ..."

Begitu pula dengan Solar yang membenamkan wajahnya di dada Ice. Sesegukan tangisannya yang pilu menyayat hati tidak bisa disembunyikannya. Jerih payahnya merawat kakaknya untuk bertahan hidup selama disekap berakhir sia-sia. Padahal mereka sudah berada di ambang kebebasan dan hanya selangkah lagi untuk pulang bersama ke rumah mereka.

Ice memang tidak terlalu dekat dengan Thorn, namun Ice selalu terhibur dengan tingkah polah Thorn yang polos walaupun umur kakaknya itu sudah memasuki masa remaja. Teringat oleh Ice saat-saat dimana ia selalu ada untuk Thorn mengadu ketika ada hal-hal yang tidak bisa diceritakan kepada Taufan atau Blaze.

"T-Thorn?" Gempa meneguk ludahnya ketika ia melihat adik yang paling dilindunginya ditunjuk oleh Taufan dan dikelilingi oleh Ice, Solar dan Blaze yang berlinangan air mata.

Wajah Thorn yang pucat dan luka yang menganga pada perutnya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Gempa.

"Dia ... dibunuh ... jahanam ini!" Taufan menghardik seraya menunjuk pada BoraRa yang masih pingsan dengan parangnya. "Biar kubalaskan Thorn-ku ...," desisnya seraya mengangkat parangnya lagi.

Sekali lagi Gempa memegangi tangan dan lengan Taufan. "Jangan! Kau bukan pembunuh macam dia!" Mati-matian Gempa berusaha mendorong Taufan menjauh dari BoraRa. "Kau pikir Thorn mau kamu jadi pembunuh? Hah?!"

Bentakan Gempa seakan menegur jiwa Taufan yang tengah terguncang. Keraguan akan niatnya untuk menghabisi BoraRa terlihat jelas dari raut wajah Taufan yang berubah-ubah.

"Jangan, Taufan ... Biarkan hukum dan keadilan yang bicara ... Jangan kamu jadi pembunuh macam dia." bisik Gempa seraya meraih parang yang berada dalam genggaman kakaknya.

Taufan tidak melawan ketika Gempa mengambil parang yang berada dalam genggamannya. "Gem..." lirih Taufan seraya melirik nanar kearah adik kembarnya.

Tanpa berkata apa-apa, Gempa langsung menarik Taufan kedalam pelukannya.

"Aku gagal ... Gem," lirih Taufan diantara isak tangisnya ketika ia membenamkan wajahnya di dada adik kembarnya. "Thorn ... Aku ... gagal."

Tidak ada dari Halilintar, Taufan, Gempa, Blaze, Ice, ataupun Solar yang mampu membendung air mata mereka ketika jasad saudara mereka diangkat keatas sebuah tandu dan ditutup dengan kain hitam oleh para petugas kepolisian dan penjaga hutan.

Halilintar yang terluka parah langsung dilarikan kerumah sakit sementara Solar yang ditemani Taufan dan Blaze diantar lebih dahulu ke posko penjaga hutan untuk dimintai keterangan.

Di posko penjaga hutan itu pihak kepolisian meminta keterangan Solar sebagai salah satu korban dari kegiatan para pemburu haram yang berhasil diringkus petugas kepolisian. Sementara Taufan dan Blaze yang menyelamatkan Halilintar dan Solar dimintai keterangan sebagai saksi.

Tanpa bujukan atau paksaan, Solar, Taufan, dan Blaze langsung setuju untuk kelak bersaksi di pengadilan jika dibutuhkan. Tidak ada balasan yang lebih setimpal atas kejadian yang menimpa mereka selain pelakunya dihukum yang seberat-beratnya. Terutama dedengkot pemburu haram yang sudah menghilangkan nyawa saudara mereka yang paling dilindungi dan disayangi, Thorn.

Tidak ada lagi yang bisa diperbuat selain menunggu kepulangan jasad Thorn.

Rumah yang kini dihuni oleh enam bersaudara kembar itu sudah dipenuhi sanak saudara dan teman-teman terdekat mereka yang ikut menunggu kepulangan Thorn.

Diruang utama terlihat Halilintar yang berada diatas sebuah kursi roda yang didampingi oleh Gempa. Sang kakak tertua yang terkenal dengan tatapan mata tajam dan dingin kini terkulai lemah. Netra merah darahnya yang nanar hanya menatap kearah lantai rumah mereka.

Gempa yang bersama Halilintar pun tidak banyak berkata-kata. Ia hanya diam saja sembari sesekali menyeka air matanya dan air mata Halilintar yang sesekali menitik.

Taufan dan Blaze menunggu didepan rumah. Keduanya yang pertama kali akan menyambut kepulangan saudara mereka yang membuat mereka lengkap sebagai Trio Troublemaker.

Tidak hanya Blaze dan Taufan yang ingin menyambut kepulangan Thorn. Ice dan Solar pun sudah menunggu sejak mendapat berita bahwa jasad Thorn sudah berada di Pulau Rintis dan sedang diantar menuju kerumahnya.

Terdengar dari kejauhan suara sirene yang semakin lama semakin jelas terdengar. Reaksi keenam bersaudara itu semuanya sama. Masih ada setitik harapan dalam hati mereka bahwa sirene itu bukan dari mobil jenazah yang mengantar kepulangan saudara mereka atau sirene itu adalah ambulans yang mengantar kepulangan saudara mereka dalam keadaan hidup. Namun semua penyangkalan itu tidak ada gunanya.

Apalagi ketika mobil wagon berwarna hitam dengan lampu strobo dan rotator yang menyala terang berhenti didepan rumah ketujuh bersaudara kembar itu yang kini hanya tinggal enam orang saja.

Jasad Thorn yang berbalut kain putih ditandu dibawah tutup keranda menuju kedalam rumahnya. Taufan dan Blaze lah yang pertama menyambut keranda itu. Mereka berdua yang terdepan menandu saudara mereka yang sudah tidak bernyawa lagi. Disusul dengan Ice dan Solar yang menandu bagian tengah dari keranda kakak mereka.

Halilintar bangkit dari kursi rodanya ketika jasad adiknya diletakkan di tengah-tengah ruang tamu rumah mereka. Ia berlutut disamping adiknya yang sudah tidak bernyawa lagi. Kembali Halilintar teringat ketika Thorn disekap bersamanya di pondok kayu pemburu haram itu. "Terima ... kasih ... Thorn ...," ucap Halilintar diantara sesegukan dan air matanya.

Masih segar dalam ingatan Halilintar, adiknya itu sampai meringis-ringis melawan pedihnya luka hanya untuk menyeka air mata Halilintar ketika ia putus asa. Bahkan Thorn masih mau menahan rasa nyeri sakit hanya untuk menggaruk wajah Halilintar yang gatal semasa mereka disekap.

Pada sisi yang berseberangan duduklah Solar yang terdiam seraya menatap Thorn yang begitu damai dalam tidur abadinya. Tidak ada kata-kata yang mampu mengungkapkan kekecewaan Solar yang jerih payahnya menjaga Thorn selama mereka disekap itu berakhir sia-sia. Otak logisnya tidak mampu menjawab mengapa harus terjadi, mengapa harus Thorn padahal kebebasan sudah tinggal selangkah lagi.

Dan yang paling merasa kehilangan adalah tiga orang yang saling berpelukan disamping Halilintar.

Gempa, Taufan, dan Blaze.

Bagi Gempa, Thorn adalah adik emasnya, adik yang paling disayangi dan dijaga. "Selamat ... jalan ... Thorn ... Kak Gem ... kami semua ... sayang ... kamu," bisik Gempa dengan berlinang air mata seraya mengamit dan menggenggam tangan Thorn yang tertangkup diatas dada.

Taufan dan Blaze hanya mampu memandangi wajah adik mereka itu tanpa kata-kata yang terucap. Hanya suara berat napas mereka berdua yang terdengar ditengah usaha mereka untuk menahan tangis dan air mata.

Taufan dan Blaze tahu kalau Thorn pasti tidak mau melihat mereka bersedih. Mereka berdualah yang paling dekat dengan Thorn. Mereka berdualah yang paling paham akan sifat Thorn yang paling tidak tahan melihat saudara bersedih. Karena itulah Taufan dan Blaze hanya diam saja, demi Thorn mereka berdua berusaha untuk tidak larut dalam kesedihan.

Semalaman sampai keesokan pagi hari lantunan doa dan pelayat tidak berhenti. Dari sanak saudara sampai ke teman-teman sekolah ketujuh bersaudara kembar yang tinggal tersisa enam orang semuanya datang melayat, bahkan sampai ke tempat peristirahatan terakhir.

Sebuah papan dan tanah yang baru saja ditimbun yang menjadi penanda dimana kini Thorn beristirahat dengan tenang.

Kini hanya ada enam orang yang mengelilingi sebuah makam yang baru saja ditutup.

"Selamat ... jalan, Thorn," ucap Halilintar yang kemudian memandangi semua adik-adiknya satu persatu. "Mari ... semuanya ... kita panjatkan doa ... untuk Thorn ... yang terakhir kalinya."

Bisikan dan gumaman keenam bersaudara yang tersisa itu terdengar sahut menyahut mengelilingi makam dengan papan nisan bertuliskan

-Daun BoBoiBoy Thorn-

.

.

.

Tamat.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.