Sakura Haruno menatap wajahnya sendiri yang terlihat kuyu. Ia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Ia harus bisa memisahkan perasaan pribadinya dengan pekerjaannya—tapi tentu saja hal tersebut akan menjadi teramat sangat sulit ketika seluruh tubuhnya tidak bekerja seperti yang ia inginkan.

"Oh, apa yang bisa kulakukan," ujarnya dengan lesu. Ia mengatur rambutnya yang berantakan dan menghela napas. "Lebih baik aku menghilang saja."

Sakura melangkah keluar dari kamar mandi dan berjalan kembali ke meja kerjanya. Ia memberikan senyuman lemah pada Ino yang ternyata sedang menunggunya disana.

"Memberikan motivasi lagi untuk diri sendiri?" tanyanya. Ia meletakkan segelas kopi di atas meja.

Sakura menopang dagunya dengan satu tangan. Sebuah tawa sedih keluar dari bibirnya.

"Eh. Apa yang kau harapkan." Gumamnya tidak terlalu jelas. "Kembalilah ke mejamu sebelum kau ditegur lagi."

"Uh… baiklah. Makan siang di tempat Bibi Mari, okay?"

"Okay."

Ino melambai singkat dan berlalu dari meja kerjanya. Sakura memberikan waktu bagi dirinya sendiri untuk terdiam selama beberapa menit sebelum akhirnya kembali ke dunia nyata. Ia menatap laptop dan mulai kembali menata surat-surat yang masuk—

—ketika akhirnya teleponnya berdering.

"Haruno."

"Tolong bawakan berkas yang kuminta dua hari yang lalu."

Sakura meraih tumpukan kertas di sebelah kanannya dan mengangguk. "Baik."

Ia bangkit dan berjalan menuju ruangan yang terletak tepat di belakang meja kerjanya. Setelah mengetuk pintu dua kali, Sakura menarik napas dalam-dalam dan masuk ke dalam ruangan tersebut.

Oh, rasanya aku ingin menghilang saja.

"Terima kasih."

Sakura tidak berani mengangkat kepalanya. Ia yakin sekali pipinya sudah semerah tomat sekarang dan keringat besar-besar mengalir di pelipisnya. Dengan napas berat, Sakura menunggu respon dari atasannya tersebut sambil terdiam mematung.

"Apa kau sedang sakit?"

Sakura mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia tidak menyangka pertanyaan seperti itu akan ditanyakan kepadanya.

Ia mengangkat kepala pelan-pelan dan menggeleng. Pria yang terduduk di belakang meja dengan papan nama bertuliskan 'Hatake, Kakashi' tersebut terlihat tengah mengamatinya cukup dalam.

"Wajahmu memerah."

"Ah, ya, aku…" gumam Sakura sambil tertawa canggung. "Aku mencoba krim baru."

Kakashi hanya tersenyum kecil mendengarnya. Ia memberikan beberapa berkas ganti ke arah Sakura sambil menyortir beberapa kertas.

"Tolong kirim surat ini," ujar Kakashi tenang. "Dan aku cukup yakin sepertinya kau sedang sakit, jadi kau bisa pulang saat jam makan siang bila kau mau."

"Ah, tidak-tidak. Aku baik-baik saja."

"Wajahmu bahkan lebih merah dari dua menit yang lalu."

Sakura memegangi pipinya sendiri tanpa sadar. Memang terasa panas. Jantungnya berdebar tidak karuan melihat senyum Kakashi dan ia cepat-cepat kembali menundukkan kepala. Bagaimana caranya ia bertahan disini kalau melihat atasannya saja Sakura merasa bisa gila?

"Aku permisi."

.

.

"Kenapa kau tidak mencoba untuk mencari seorang pacar saja, Sakura? Dengan begitu kau bisa melupakan rasa sukamu kepada Hatake-san—"

"Suaramu kurang keras, Ino! Hatake-san yang berada di ujung ruangan tidak bisa mendengarnya." Sela Sakura sarkastik. "Mencari pacar bukanlah solusi yang tepat saat ini. Aku hanya ingin menghilangkan rasa sukaku saja, setelah itu aku berharap bisa bekerja dengan super profesional agar gajiku bisa naik."

Ino tertawa mendengar keluh kesal temannya. Mereka menyandarkan diri di atas sofa dan memandang langit-langit ruang santai tersebut.

"Sulit sekali, huh? Kau menyukainya sejak hari pertama." Bisik Ino.

Sakura tersenyum kecut. "Ya…"

Percakapan mereka berhenti ketika seseorang masuk ke dalam. Laki-laki itu tersenyum ke arah mereka berdua—Shino, yang berasal dari divisi berbeda dari Ino—dan berjalan dengan gerakan lambat ke korner kopi.

"Aku rasanya ingin resign saja…"

"Sedang ada masalah, Haruno-san?"

Sakura dan Ino sama-sama memfokuskan kepala mereka ke arah laki-laki itu. Sakura yakin ia tidak mengenal pria itu, dan Ino juga yakin bahwa ia tidak pernah mengenalkan Sakura pada Shino Aburame. Keduanya memberikan senyuman canggung mereka sebelum akhirnya Sakura angkat suara.

"Masalah kecil…" gumam Sakura. "Um…"

"Aburame. Shino Aburame."

Sakura menerima uluran tangan pria itu. Melihat hal tersebut, Ino menangkap intensi Shino dan dengan perlahan berjalan keluar dari ruangan santai tadi. Waktu yang sangat tepat—baru saja Sakura dan aku membicarakan seorang pacar untuk mengalihkan perhatiannya dari Hatake-san, seorang pria tiba-tiba saja dikirimkan untuknya.

Ino berhenti melangkah ketika ia melihat seseorang sedang berdiri di dekat meja kerja Sakura.

"Hatake-san?" ujar Ino memastikan.

Kakashi menoleh dan mengangguk. "Yamanaka…?"

"Ah, ya. Ino Yamanaka." Ino berujar sekilas. "Ada yang bisa kubantu? Sakura tidak disini, ia sedang istirahat di ruang santai—"

"Oh, aku hanya ingin memberikan beberapa berkas padanya. Aku rasa aku harus mengganggu jadwal makan siangnya karena dokumen-dokumen ini harus dikirim sekarang." jawab Kakashi tenang. Ia meraih kembali tumpukan kertas yang diletakkannya di atas meja Sakura dan mengangguk ke arah Ino.

Kakashi berjalan ke arah ruang santai yang dimaksud Ino. Langkahnya berhenti ketika mendengar percakapan dari dalam.

"…jadi kurasa, aku bisa mengajakmu makan siang, kapan-kapan?"

Kakashi bukanlah orang yang senang mencuri dengar percakapan orang lain, namun kali ini ia hanya berdiri mematung dan mendengarkan percakapan dua orang disana.

"Ehm… aku tidak yakin."

"Apakah pacarmu akan marah kalau aku mengajakmu makan siang?"

"Ah, tidak, tidak! Aku tidak memiliki pacar. Aku hanya—"

Kakashi berdeham setelahnya. Kedua orang tua itu pada akhirnya memfokuskan perhatian mereka pada Kakashi—dan pria itu segera saja menangkap wajah Sakura yang perlahan-lahan memerah.

"Haruno." Ujarnya tanpa mempedulikan Shino. "Aku membutuhkanmu. Tolong ke ruanganku sekarang."

Sakura memandang atasannya itu dengan tatapan tidak percaya. Ia memandang Kakashi dan Shino bergantian selama beberapa saat sebelum akhirnya bangkit berdiri. Sebuah senyuman bersalah ia lemparkan kepada Shino, lalu ia setengah berlari mengikuti Kakashi yang sudah menghilang dari pintu beberapa saat sebelumnya.

Tangannya membuka pintu ruangan Kakashi dengan sangat perlahan dan berjalan mendekat. Kakashi bahkan tidak mengangkat kepala ketika Sakura berhenti tepat di hadapannya.

"Silakan duduk." Ujarnya tenang. "Aku ingin kau membantuku menyortir beberapa berkas lalu mengirimnya sesegera mungkin. Aku hanya mengingat nama-nama perusahaannya, tapi tidak dengan representatif dan alamat surelnya."

Sakura mengangguk dan menerima kertas-kertas tersebut dari Kakashi. "Aku mengerti."

"Synergy, Malcom, Alphagear…"

Sakura tidak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikannya dari balik kaca mata. Kakashi kembali membacakan beberapa nama dari komputernya, dan tiba-tiba saja kata-kata tersebut keluar dari mulutnya tanpa bisa ia tahan.

"Sepertinya Aburame tertarik padamu."

Kakashi memperhatikan lagi Sakura yang perlahan-lahan tersenyum kecil.

"Dia hanya memintaku untuk makan siang dengannya kapan-kapan." Gumam Sakura.

"Tujuannya terlihat cukup jelas." Kata Kakashi. Ia tahu walaupun sudah bekerja bersama Sakura selama dua tahun, hubungan mereka sangatlah canggung dan tidak terlalu dekat. Sakura selalu menolak untuk berbicara lebih jauh dengannya dan akan selalu menunduk.

Sakura menggelengkan kepalanya. "Aku tidak sedang mencari seorang pacar."

"Hmm. Kau tidak sedang menyukai seseorang?"

Kakashi tertegun ketika Sakura mengangkat kepalanya dengan penuh keterkejutan dan rona merah yang biasanya hinggap di wajah gadis itu perlahan-lahan kembali terlihat. Bermula dari kedua pipinya, rona tersebut melebar begitu cepat sehingga seluruh wajahnya kini memerah sempurna.

Melihat ekspresi tidak biasa dari atasannya, Sakura menyadari kebodohannya dan cepat-cepat menunduk.

"Aku bisa menyelesaikan sisanya sendirian, Hatake-san." Ujar Sakura cepat-cepat sambil merapikan kertas-kertas di depannya. "Aku akan mengirimnya tepat jam dua nanti."

.

.

Sakura merapikan meja kerjanya dengan gerakan lambat. Shino akan datang kesini beberapa menit lagi. Ia pada akhirnya memutuskan untuk membuka diri pada Shino perlahan-lahan karena sepertinya rasa sukanya pada Kakashi semakin membesar sekarang.

Shino datang beberapa saat kemudian. Senyumannya mengembang seperti biasanya.

"Ada rekomendasi tempat yang enak untuk makan siang?"

"Uhm… aku tidak tahu…" gumam Sakura, menarik dompetnya dan bangkit berdiri. "Aku—"

"Haruno."

Mereka berdua segera saja menoleh ke arah suara. Kakashi berdiri di ambang pintu ruangannya—memberikan senyuman sekenanya pada Shino dan segera saja memusatkan seluruh perhatiannya pada Sakura.

"Maaf menganggu waktumu dengan Aburame, tapi aku membutuhkanmu sekarang."

Sakura dan Shino sama-sama terdiam. Dehaman pria itulah yang pada akhirnya memecah kesucian di antara mereka.

"Tentu saja. Aku akan menghubungimu lagi nanti," ujar Shino, tersenyum simpul ke arah Sakura. "Jangan lupakan makan siangmu."

Sakura tersenyum canggung dan mengangguk. Ia kemudian mengikuti Kakashi yang berjalan mendahuluinya masuk ke dalam lift.

Ia kira Kakashi membutuhkannya untuk mengorganisir berkas seperti beberapa waktu lalu, namun nyatanya mereka berada di basement sekarang, berjalan menuju mobil Kakashi yang terparkir di sana. Sakura belum pernah menaiki mobil atasannya ini. Ketika melihat keraguan di wajah gadis itu, Kakashi mengulurkan tangan dan membukakan pintu mobil dari dalam.

"Kita akan pergi kemana, Hatake-san?" Tanya Sakura pelan.

"Makan siang."

Sakura menolehkan kepalanya cepat-cepat, tidak yakin pada pendengarannya sendiri.

"Maaf?"

Kakashi tidak menanggapi dan tidak juga menjalankan mobilnya. Ia menimbang-nimbang dengan tenang sementara Sakura masih memandangnya dengan kedua mata melebar.

"Maafkan aku karena aku selalu menganggu waktumu dengan Aburame." Ujar Kakashi pada akhirnya. "Aku hanya… tidak terlalu suka saat kau berurusan dengannya."

"Tapi kau memberikan promosi padanya dua bulan yang lalu." Kata Sakura tidak habis pikir.

"Aku tidak memiliki masalah pada Aburame sendiri, tapi…"

Kakashi berhenti sebentar. Ia tidak terlalu yakin apakah kelanjutan kalimatnya akan diterima Sakura dengan baik atau tidak.

"…aku tidak terlalu menyukainya saat ia berbicara denganmu."

Kali ini wajah melongo Sakura semakin memalukan karena ia benar-benar memerah sempurna. Apakah ia boleh menyimpulkan sesuatu dari perkataan Kakashi tadi? Apakah hal yang dipikirkannya sekarang sama dengan apa yang sedang dimaksudkan oleh Kakashi? Begitu banyak pertanyaan di benak gadis itu sampai-sampai ia kesulitan berbicara.

"A-aku… aku h-hanya… ak-aku…"

"Bolehkah aku menciummu?"

Kedua mata Sakura membelalak. Ia memperhatikan Kakashi yang mendekat dengan jantung yang berdebar tidak karuan.

Pada akhirnya Kakashi memutuskan untuk menciumnya walaupun gadis itu tidak memberikannya jawaban apapun. Ciuman tersebut nyaris sama seperti apa yang selalu Sakura bayangkan selama beberapa kali ketika pikiran tersebut terlintas dibenaknya—namun kenyataannya ciuman Kakashi jauh lebih baik dari bayangannya.

"Kau tahu, sangat sulit bagiku untuk memisahkan emosiku dengan pekerjaanku… karena aku sangat menyukaimu." bisik Kakashi pelan. Dahi mereka masih menempel, sementara hidung mereka nyaris kembali bersentuhan. "Aku juga sangat tidak suka ketika Aburame mengunjungimu hampir setiap pagi untuk sekedar menyapamu. Mulai sekarang, ayo makan siang bersama ketika kau tidak pergi bersama Yamanaka."

Sakura yakin dirinya membutuhkan waktu lebih dari dua jam untuk memproses segala sesuatu yang terjadi selama lima menit terakhir. Lucunya, bibirnya tiba-tiba saja menjawab tanpa diminta.

"Baiklah…"

"Wajahmu yang selalu memerah itu… butuh waktu cukup lama bagiku untuk memahaminya. Dan terima kasih untuk Aburame karena membantuku untuk menyadari perasaanku sendiri."

Oh, aku pasti sedang bermimpi.

Seperti bisa membaca pikiran Sakura, Kakashi kembali menciumnya. Kali ini ciuman mereka tidak seringan tadi—ketika Kakashi pada akhirnya menjauhkan dirinya dari Sakura, gadis itu sedikit kesusahan untuk mengatur napasnya sendiri.

"Kau harus berhenti terkejut seperti itu."

Kakashi sudah kembali ke dirinya yang biasa dan ia kini memposisikan diri di belakang kendali mobil dengan tubuh tegak. Sakura sampai-sampai ekstra kebingungan dibuatnya—apakah Kakashi baru saja menciumnya dua kali tadi? Karena sepertinya pria itu bersikap seolah tidak ada apa-apa diantara mereka.

"Ha… Hatake-san…?"

"Kakashi." Ujar Kakashi singkat.

Wajah Sakura semakin memerah. Telinganya terasa begitu panas sampai-sampai ia merasa bisa pingsan kapan saja.

"Apa kau… menyukaiku?"

Kakashi terdiam selama beberapa saat ketika mendengar pertanyaan tersebut. Setelahnya pria itu tersenyum dan tetawa.

Ini adalah kali pertama Sakura melihatnya tertawa.

"Cukup sulit bagimu untuk mengerti seluruh perkataan dan tindakanku, hm?" gumamnya pelan. Ia mengusap pipi Sakura yang masih memerah dan mengecupnya sekilas. "Dengan senang hati aku akan mengingatkanmu setiap hari."

Tepatnya hari itu, cinta satu sisinya terbalas sempurna.