11/Mei/2021


Ini adalah sebuah cerita yang khusus dipersembahkan untuk para penulis di akun Author Icha-chan Ren


Shinobi with Magic—

By: Abidin Ren

Summary: Ramalan itu sudah lama disebutkan, dan hanya tinggal menunggu waktu … sampai ramalan itu terjadi. Tidak peduli dengan dirinya yang dianggap aib oleh warga desanya sendiri, dia akan tetap terus melangkah ke depan. Dengan seiring bertambah rasa tidak sukanya kepada gelar pemimpin, dia akan menunjukkan kekuatannya. Naruto, jalan seperti apa yang akan kau pilih?

Disclaimer: [Naruto] Masashi Kishimoto.

Sedikit Tambahan Elemen [Fate Series] TYPE-MOON.

Saya tidak mengakui kepemilikan atas semua karakter yang muncul di dalam cerita ini. Saya hanya meminjamnya, tanpa ada niat sedikit pun untuk merugikan pihak manapun.

This Story Created by Me

Genre: Advanture — Fantasy — Friendship — Romance(?) — Comedy(?).

Pair: NaruShion, MenmaHina, dan SasuSaku.

Rated: T

Warning: Alternate-Reality! (AR!), All-Human! (AH!), Mini Slight Crossover! MAGIC-POWER! OOC(s)(?), OC(?), MAIN WARN FOR SEMI-CANON OUT OF CANON, And Many More. [Mengambil Sedikit Elemen Kekuatan dari Fate Series].

.

Happy Reading, Minna-san~

Enjoy It~

Please Like, Favorite, and Review!

.


[Prologue]


[Chapter 8: Bersamaan dengan Tekad Api-nya yang Berkobar, Rasa Benci di Dalam Hatinya pun Ikut Membesar


Opening: Aimer — Brave Shine (Opening dari Anime Fate/Stay Night: UBW Season 2)


Pagi hari di Desa Konoha.

Naruto saat ini sedang berjalan di jalanan setapak yang ada di dekat sungai Desa Konoha. Raut wajahnya terlihat kesal.

Naruto sebenarnya tadi berencana berlatih bersama Shirou pagi-pagi sekali, karena memang hari ini merupakan hari libur dari Akademi. Tapi, saat sudah berada di luar desa—yang entah kebetulan atau apa—, dia dihadang oleh lima Anbu Ne suruhan Danzo. Yah, dia beruntung, tidak berselang lama … datang Itachi dan Shisui untuk menolong Naruto, sehingga bocah itu tidak mendapat luka yang cukup serius; hanya luka goresan di pipi kanannya saja yang ia terima.

"Kenapa sih, harus ada seorang pemimpin yang seperti dia?!" guman Naruto dengan wajah benci. Yang dia maksud adalah Danzo. Tentu, sudah diketahui sebelumnya, bahwa Naruto sangatlah tidak menyukai cara Danzo dalam memimpin kelompok ciptaannya, Anbu Ne.

Naruto paham, kalau Danzo melakukan ini hanya untuk membuat Konoha terlihat bersih di mata Desa Besar lainnya, yaitu dengan cara menyingkirkan aib seperti dirinya dari desa ini.

"Benar-benar memuakkan!"

Dia mendongak ke atas, menatap langit pagi. Yah, paling tidak, melihat pemandangan seperti ini bisa menenangkan pikirannya.

Naruto mengalihkan pandangannya ke samping ketika mendengar sebuah suara dari arah tepi sungai. Dapat ia lihat, disana ada seorang bocah yang seumuran dengannya.

"Shizukesa …."

Naruto menggumamkan nama itu. Dia kemudian berjalan menuju si bocah berambut coklat keemasan.

"Hoi, Shizu!" teriaknya, memanggil bocah laki-laki berwajah cantik tersebut.

Shizukesa yang saat itu sedang berlatih Taijutsu dengan menjadikan pohon di depannya, yang di bagian tengahnya sudah diberi ikatan jerami sebagai sasarannya, mengalihkan pandangan ketika merasa ada yang memanggil namanya.

"Oh? Naruto?" gumamnya merasa heran. Jarang-jarang dia melihat Naruto di sekitar sini jika masih sepagi ini.

"Apa yang kau lakukan di sini, Shizu?" Naruto bertanya ketika sudah cukup dekat dengan si bocah Midoru di depannya.

"Apa kau tidak lihat, kalau aku sedang berlatih, hm …?" Shizu hanya menanyakan itu sambil menatap sesaat pada bocah yang sudah ia anggap sebagai temannya itu. Naruto sendiri hanya mendudukkan dirinya di rerumputan disana.

"Hoaahm …." Naruto menguap pelan, sementara kedua matanya memandang air sungai yang mengalir di depannya.

"Untuk apa sih, berlatih terus? Toh, ini juga masih pagi, Shizu. Kau ini terlalu rajin, tahu," ujarnya yang sangat tidak sesuai dengan apa yang ingin dia lakukan berusan. Padahal, tadi dia sendiri juga ingin berlatih bersama Shirou. Ha~ah, dasar.

Shizukesa ikut duduk di samping bocah berambut merah jabrik itu. "Yah, aku cuma mau meningkatkan fisikku saja. Aku mau mempersiapkan diriku dulu, sebelum nantinya aku akan pergi berlatih bersama Jiraiya-sama ke luar desa."

"APA?!"

"Hm? Kenapa kau ini?"

Shizu menatap bingung Naruto yang malah melotot tidak percaya ke arahnya.

Naruto menatap serius temannya itu sambil mencengkeram kedua bahu si Midoru. "Shizu, apa benar perkataanmu tadi? Kau akan pergi berlatih dengannya?!"

Shizukesa mengangkat sebelah alisnya. "Um? Tentu saja."

Naruto menepuk bahu temannya itu dengan wajah mengasihani. "Aku akan selalu mendo'akan keselamatanmu, Shizu …."

"Apa maksudmu, woi?!"

Shizukesa menghela napas pelan setelah meneriakkan kalimat barusan. Dia tidak mengerti sama sekali dengan alur pembicaraan ini. Naruto tertawa pelan saat melihat itu.

"Aku cuma khawatir kalau kau akan dijadikan bahan oleh Ero Sannin untuk bukunya itu," katanya sambil mengangguk yakin beberapa kali. Jangan lupakan dengan gayanya yang melipat tangannya di depan dada serta menutup kedua matanya.

"Ero Sannin? Maksudmu Jiraiya-sama?"

"Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan dia?!"

Shizukesa sweatdrop. "Aku tidak mengerti kenapa kau memanggil beliau dengan sebutan kurang ajar begitu, Naruto."

"Mungkin cara pandangmu terhadap Ero Sannin akan berubah setelah kau mengetahui sifatnya itu yang sebenarnya, Shizu."

Dia hanya memutar matanya bosan saat mendengar balasan Naruto. "Kesampingkan masalah itu, kau sendiri sedang apa di sini?"

"Aku tadi berencana untuk berlatih," jawabnya santai.

Muncul sebuah perempatan di pelipis Shizukesa, sementara tangan kanannya terkepal erat. "Bukankah itu tidak sesuai dengan apa yang kau katakan sebelumnya, hah?!"

Naruto hanya nyengir gaje. "Hehe …."

"Ya ampun."

Laki-laki berwajah cantik itu memasang wajah lelah sambil menggeleng beberapa kali. Dia tidak habis pikir, kenapa juga dia harus memiliki teman seperti ini, sih?

Naruto menatap tenang aliran sungai itu. Senyum kecil segera ia buat entah untuk siapa. "Aku … punya alasan tersendiri, mengapa aku harus selalu giat berlatih, Shizukesa."

Shizu sedikit melirik bocah berambut merah jabrik di sampingnya. Di dalam pandangannya, ia seolah dapat menangkap arti dari ekspresi Naruto saat ini.

"Aku memiliki sesuatu yang berharga di hidupku ini, Shizu, dan aku akan melindunginya. Karena itulah, aku harus menjadi kuat!" Kedua safirnya bersinar terang ketika mengatakan itu. Shizu bahkan dapat merasakan gejolak di dalam dirinya; dia bisa mengerti tekad besar milik Naruto. Bocah berambut coklat keemasan itu diam sesaat.

Dia tersenyum kecil, kemudian berucap, "Kalau begitu kita sama."

"Eh?" Dengan cepat Naruto menoleh ke samping.

"Aku juga memiliki tujuanku sendiri, Naruto." Shizu mengangkat kepalan tangan kanannya setinggi dada. "Dengan berlatih bersama Jiraiya-sama, aku ingin menjadi kuat …, sekuat kedua orang tuaku!"

Naruto tersenyum lebar setelah mendengar itu. "Kita semua pasti memiliki tujuan hidup, ya. Tidak peduli apapun itu, kita harus bisa mencapainya, bukan?"

Shizu tersenyum simpul. "Heh, tentu saja."

Keduanya saling melemparkan senyuman masing-masing. Selama beberapa saat, mereka hanya duduk sambil menikmati pemandangan matahari di pagi hari.

"Ngomong-ngomong …" Shizu berujar, membuat Naruto sedikit meliriknya, "… jujur saja, aku masih terkejut, kalau ternyata kau ini adalah anaknya Minato-sama, Naruto."

—Seperti itulah, setelah beberapa hari dari pertemuan keduanya, Shizu akhirnya tahu jikalau Naruto itu adalah anak dari Namikaze Minato, seseorang yang pernah satu tim dengan kedua orang tuanya dulu. Dan tentu saja, Jiraiya-lah guru pembimbing mereka bertiga pada saat itu.

"Begitu, kah?" Naruto tertawa canggung. "Aku terlihat tidak pantas menjadi anaknya, ya?"

Dia menggeleng, membuat rambut sebahunya ikut bergoyang pelan. "Bukan begitu. Maksudku, aku tak menyangka saja, kalau aku bisa bertemu dengan anak dari teman seperjuangan kedua orang tuaku."

"Ah, benar juga. Kau pernah bilang, kalau ayahku dulu satu tim dengan orang tuamu, ya." Naruto mengatakan itu sambil menggosok dagunya. Dia baru ingat dengan cerita Shizu yang tidak lama itu.

"Wah, wah, apa ini?"

Suara itu mengejutkan Naruto dan Shizukesa. Kedua bocah laki-laki berbeda warna rambut itu sama-sama menoleh ke belakang setelah mendengar hal tadi.

Mereka berdua bisa melihat, disana berdiri seorang laki-laki berambut hitam pendek. Sebuah garis kerutan di masing-masing bawah matanya membuat orang tadi terlihat sudah tua, meskipun sebenarnya dia sendiri belum melebihi umur 30-an. Ya, semua orang pasti mengenal siapa laki-laki itu sebenarnya.

"Oh, Shisui-Nii? Apa yang kau lalukan di sini?" Naruto berujar dimikian setelah mengenali orang itu.

—Benar, namanya adalah Uchiha Shisui. Dialah salah satu pemuda yang termasuk ke dalam jajaran Jenius Klan Uchiha, seseorang yang sangat ditakuti karena kehebatan Genjutsu miliknya! Ya, nama Genjutsu-nya adalah Kotoamatsukami!

Laki-laki bernama Shisui itu tersenyum mendengar sapaan Naruto. Dia menatap Naruto, lalu berganti pada seseorang disana yang memiliki wajah cantik. Shisui tidak kenal sama sekali dengannya. Selama beberapa saat, Shisui terus melakukan itu—menatap secara bergantian pada kedua bocah di depannya, hingga akhirnya wajahnya berubah kaget ketika pikirannya berhenti pada satu kesimpulan. 'A-Apa?! Itu … tidak mungkin!'

Dia berjalan cepat ke arah Naruto, membuat si bocah itu menatapnya aneh.

"Ada ap—"

Perkataan Naruto terputus ketika Shisui mengunci lehernya menggunakan lengannya, membuat si bocah jadi sesak napas.

"Aku tak percaya ini!" geramnya. Naruto sendiri hanya meronta-ronta, berharap agar pemuda itu melepaskan lehernya.

"Le-Lepaskan aku, Shi-Shisui-Nii! Aku tak bi-bisa ber-napas!"

"Kau penghianat!"

"Aku tak m-mengerti mak-sudmu!"

"Kalau begitu jelaskan, siapa gadis itu, heh? Jangan bilang dia itu pacarmu, Naruto!"

"Eh?"

Wajah kesakitan Naruto langsung hilang begitu saja setelah ia mendengar perkataan terakhir Shisui. Dia mengedipkan matanya dua kali secara bingung. Selama beberapa saat, dia hanya memasang ekspresi bodohnya.

Setelah paham kalau yang dimaksud Shisui adalah Shizukesa, Naruto pun menghela napas berat. Sementara orang yang sedang dijadikan bahan pembicaraan hanya diam. Jujur, Shizu sendiri tidak terlalu mengerti dengan apa yang sedang terjadi sekarang, tapi ia yakin kalau pemuda berambut hitam itu adalah kenalan Naruto. Ia tak merasakan adanya ancaman sedikitpun dari perbuatannya berusan terhadap si Namikaze kecil.

Shisui melepaskan kunciannya pada leher Naruto ketika menyadari perubahan ekspresinya; paham maksud perkataannya. Shisui menyilangkan kedua tangannya di depan dada, memberi isyarat yang sudah sangat jelas bagi Naruto.

"—Jadi …?"

"Namanya adalah Shizukesa," jawab Naruto sambil menunjuk ke arah belakang menggunakan ibu jarinya, tempat berdirinya si Midoru kecil.

Shisui mengangguk-angguk beberapa kali dengan kedua matanya yang tertutup. "Hm, hm, terus …?"

"Dia temanku."

"Hanya … teman, benar?"

"Memangnya, apa yang kau harapkan, Shisui-Nii?! Aku masih normal, tahu!" kata Naruto dengan kesal. "Aku masih suka dengan lawan jenisku sendiri, kau harus ingat itu!"

"Eh?"

Kedua mata pemuda itu terbuka secara cepat. Dia memperhatikan wajah Shizu secara seksama, dan hal itu pun membuat orang yang bersangkutan menjadi risih. Mau dilihat berapa kalipun, wajah miliknya memang terlihat manis bagi Shisui. Tapi, kenapa Naruto berkata demikian? Jangan bilang …?!

Dia segera menatap horor Naruto. "Naruto, mak-maksudmu dia ini …?" Tangannya bergetar menunjuk Shizu. Naruto pun hanya mengangguk sekilas sebagai jawabannya.

Shizu memringkan kepalanya saat melihat interaksi aneh kedua laki-laki di depannya. Tapi, saat mulai memahami apa maksud dari Shisui, Shizukesa langsung mengembungkan pipinya dan memalingkan wajahnya kesamping. "A-Aku ini laki-laki, tahu!"

Splaaasshh!

Dan Shisui pun langsung tepar dengan banyak darah menyembur keluar dari kedua lubang hidungnya. 'Ka-Kawaaiii~' batinnya benar-benar nista.

"Pffftt!"

Naruto bahkan harus berusaha menahan tawanya akibat melihat itu. Dia tak menyangka akan seperti ini reaksi dari Shisui setelah salah mengira jika Shizu adalah perempuan.

..

.

..

—Baiklah, kita lupakan saja kejadian memalukan Shisui sebelumnya. Mari kembali ke dalam cerita.

"Kau sudah mau pergi, Shisui-Nii?" Naruto memandang heran si Uchiha itu setelah mereka berbincang-bincang sebentar tadi.

"Yah, begitulah, aku tadi dipanggil Sandaime-sama karena ada sebuah misi. Kebetulan saja aku melihatmu di sini, jadi aku berniat menyapamu sebentar sebelum pergi untuk menjalankan misiku."

Naruto mengangguk mengerti untuk menanggapi itu. "Oh, iya, di mana Itachi-Nii? Terasa aneh jika kau sendirian, Shisui-Nii, karena biasanya kalian berdua kan selalu terlihat bersama …."

"Jangan berbicara seolah aku dan Itachi itu sepasang homo, dasar Bodoh!" teriak Shisui tidak terima. Sementara Naruto hanya nyengir gaje.

"Kau sendiri yang barusan mengatakannya loh, Shisui-Nii. Aku tidak ikut-ikut pokoknya," kata Naruto sambil bersiul-siul, tidak merasa bersalah sedikitpun setelah berhasil mengerjai Shisui.

Shisui terjatuh dengan aura suram mengelilingi tubuhnya. "Sial. Kenapa hariku ini harus diawali dengan kejadian seperti ini?" Naruto kembali tertawa melihat itu.

Setelah beberapa saat meratapi keadaan menyedihkannya, Shisui kembali berdiri. "Ehem! Kalau kau mencari Itachi, aku tadi melihatnya sedang jalan bersama pacarnya. Kau pasti paham, 'kan?"

"Ah, Izumi-Neechan, kah?" Shisui mengangguk sebagai jawabannya.

"Ya sudah kalau tak ada yang ingin kau bicarakan lagi. Aku pergi dulu." Dia berjalan menjauhi area sungai itu.

"Ya, hati-hati, Shisui-Nii!"

Dia berbalik sebentar, menatap Shizukesa yang sedari tadi hanya diam tanpa ikut percakapan mereka berdua. "Oh, iya, aku senang karena kau mau menjadi temannya Naruto, Shizu!"

Shizukesa melebarkan sedikit matanya. Dia tak menyangka, ada juga orang yang merasa senang akan keberadaannya di desa ini selain Hiruzen dan Naruto. Shizu tersenyum simpul saat melihat Shisui melambaikan tangannya kepadanya serta Naruto.

"Tolong jaga dia ya, Shizu, karena Naruto itu sangat ceroboh! Aku mengandalkanmu!"

"Baik, serahkan saja padaku!" Shizu melambaikan tangannya kepada Shisui.

"Siapa yang ceroboh, coba?" gerutu Naruto setelah Shisui tidak kelihatan lagi di pandangannya.

Shizu tertawa kecil sambil bergumam, "Ternyata …, ada juga orang yang meng-khawatirkan-mu, ya, Naruto." Pandangannya menerawang jauh ke depan.

"Hm? Maksudmu?" Dia melirik Shizukesa melalui ekor matanya. Sebelah alisnya terangkat karena bocah yang diajaknya bicara malah diam saja. "Shizukesa? Kau tak apa?"

Shizukesa tersadar dari lamunannya saat Naruto menepuk pundaknya. Dia memberi satu kali anggukan, isyarat agar Naruto tak perlu cemas. "Ya, aku hanya sempat kepikiran, jika kau itu tak disukai oleh warga desa ini, Naruto. Dan ternyata, dugaanku ini salah, ahaha."

Naruto tersentak. "Ke-Kenapa kau berpikiran seperti itu?" tanyanya gugup.

"Maaf kalau aku hanya diam saja tanpa membantumu, sebenarnya … aku beberapa kali sempat melihatmu yang mendapat perlakuan buruk dari warga desa—entah itu dari anak seumuran kita ataupun orang dewasa."

Naruto menundukkan wajahnya saat mendengar perkataan Shizukesa. 'Jadi, dia melihatnya, ya?' batinnya sedih. Padahal, Naruto tak ingin Shizu mengetahui aib-nya ini.

"Jadi karena itulah, aku sempat berpikir seperti tadi, meskipun aku sendiri tak tahu apa alasan mereka bersikap begitu padamu." Shizu tersenyum kecil, "—Tapi, setelah melihat orang yang bernama Shisui tadi sangat dekat denganmu, jadi dapat kupastikan kalau pemikiranku sebelumnya itu salah, 'kan, Naruto?"

"Sebenarnya … tidak semua perkiraanmu itu salah, Shizu."

"Eh?"

Dia menoleh cepat ke samping, menatap penuh tanda tanya pada Naruto yang masih menunduk.

"Aku juga minta maaf, karena menyembunyikan ini darimu. Aku … hanya tidak ingin kau berhenti menjadi temanku hanya karena kau tahu rahasiaku, Shizukesa." Sebelah tangan Naruto terkepal erat, merasa kesal saja pada dirinya sendiri. Terserah bagaimana pandangan Shizu terhadap dirinya nanti, tapi Naruto memang harus memberitahunya. Ya, tak ada lagi rahasia di antara seorang teman. Ini akan menjadi keputusan Shizukesa nanti, apakah dia masih ingin menjadi temannya … atau menjauhinya.

"Rahasia? Apa maksudmu?"

Dia benar-benar tidak mengerti dengan perkataan Naruto. Memangnya, rahasia apa yang Naruto miliki, hingga bisa membuat Shizu menjauhinya ketika dia mengetahuinya?

Si Midoru masih mentap intens Naruto yang tetap diam. Tapi, kedua matanya pun langsung melebar ketika bibir si Namikaze itu terbuka, mengucapkan satu baris kalimat yang sangat mengejutkannya;

"Aku tidak memiliki chakra, Shizu, jadi tidak mengherankan kalau warga desa ini tidak menyukaiku …."

.

.

Shinobi with Magic—

.

.

"Haaah~"

Entah sudah keberapa kalinya Naruto menghela napas lelah. Ia kembali mengingat beberapa orang yang mengatakan, "Hei, itu kan ." atau "Cih, dia lagi ." juga "Ada apa lagi dia lewat sini ?" dengan pandangan benci ke arahnya, saat Naruto berada di jalanan perumahan tadi. Giginya saling bergemelutukkan karena ingatan itu benar-benar mengganggu pikirannya terus.

Dia saat ini berjalan dengan tubuh lesu. Hari ini benar-benar berat baginya jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Juga karena Shirou yang tadi menambah porsi latihannya secara berlebihan, itu bahkan bukanlah bagian terburuknya ….

Naruto melirik ke samping, lalu berjalan ke sana, menuju taman Desa Konoha. Hari memang sudah sore, dan ia tahu jika dia harus segera pulang kalau tidak ingin kena marah oleh ibunya, Kushina. Tapi, istirahat sebentar di sini sepertinya tidak apa-apa, lagipula Naruto sudah sangat kelelahan sekarang. Dia kemudian duduk di salah satu ayunan yang ada.

"Hari ini sungguh melelahkan," gumamnya sambil meregangkan kedua tangannya.

Tap tap tap .

Perhatian Naruto sedikit teralihkan saat melihat bayangan seseorang mendekatinya. Ia mengangkat kepalanya, dan di dalam pandangannya saat ini, terlihat wajah seorang kakek yang tersenyum padanya. Ya, dia adalah Hiruzen, sang Sandaime Hokage.

"Oh, Sandaime-Jiji," gumamnya pelan.

"Boleh aku duduk di sini?" Hiruzen memandang teduh Naruto. Ia bisa melihat ekspresi suram bocah itu; seakan memiliki banyak pikiran sekarang ini.

Naruto mengangguk sekilas. "Tentu saja."

Hiruzen duduk di ayunan sebelah Naruto. Ia mengambil cerutunya, menghidupkannya, dan mulai menghisap asap itu. Rasa hangat segera memenuhi paru-parunya.

Naruto sedikit memaju-mundurkan tubuhnya, membuat ayunan yang ia tempati ikut bergoyang pelan. Dia menoleh ke samping saat mendengar suara dari orang tua itu ….

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku baik-baik saja, Sandaime-Jiji."

Hiruzen kembali menghirup asap cerutunya, kemudian mengeluarkannya lewat mulutnya. "Aku sudah mendengar laporan hari ini dari Itachi dan Shisui. Aku minta maaf karena tak bisa berbuat banyak untukmu, Naruto."

Sepertinya, Naruto paham apa yang dimaksud oleh Hiruzen. Ekspresinya berubah saat itu juga. "Tak apa, aku mengerti, kok."

Hiruzen tersenyum pahit saat mendengar cara bicara Naruto yang sedikit berbeda dari biasanya. Entah kenapa, nada bicaranya sangat dingin kali ini.

"Sungguh, aku minta maaf atas perlakuan Danzo selama ini terhadapmu, Naruto. Jujur saja, aku merasa telah gagal sebagai pemimpin desa ini karena membuatmu selalu berada dalam bahaya, apalagi bahaya itu berasal dari desa ini sendiri."

"…" Naruto hanya diam tanpa berniat membalasnya.

Hiruzen melanjutkan, "Aku tadi sudah membicarakan ini dengan Danzo, dan aku yakin kalau ia tak 'kan berani mencoba melakukan pembunuhan terhadapmu lagi."

"Eh? Benarkah itu?"

Hiruzen tersenyum simpul. Ia senang karena melihat wajah bocah itu kembali cerah, tidak seperti tadi. "Alasan kenapa Danzo sangat ingin membunuhmu adalah, karena ia tak ingin Desa Konoha dianggap lemah oleh desa-desa lainnnya. Apalagi keinginanmu yang ingin menjadi ninja, hal itu menambah alasan Danzo untuk menyingkirkanmu."

Naruto menangguk, tentu dia paham maksudnya. Tanpa adanya chakra, hal itu pasti akan membuat seorang ninja kesulitan dalam menjalankan misi. Dan jika misi yang dijalankan tidak bisa memenuhi keinginan klien, sudah pasti itu akan membuat penilaian desa lain terhadap Desa Konoha menjadi buruk. Hal itulah yang tidak diingankan Danzo bisa sampai terjadi.

"Karena itulah, Naruto, jika kau bisa membuktikan kepadanya bahwa kau layak untuk menjadi ninja, maka Danzo akan membiarkanmu." Hiruzen melirik Naruto yang sedang memikirkan sesuatu. "Syarat yang diingankan Danzo adalah, kau harus bisa lulus menjadi Genin, dan aku menyetujui itu."

"Kau tadi mengatakan padaku, jika kau tak berbuat banyak untukku. Justru, ini bahkan sudah lebih dari cukup yang kubutuhkan, Sandaime-Jiji," kata Naruto tersenyum lebar.

"Jadi, bagaimana?"

"Tentu saja, aku menerimanya!" Naruto menatap perban di tangan kanannya. Ya, itu luka baru yang dia dapat siang ini dari Anbu Ne. "Aku pasti bisa … menjadi seorang ninja!"

Sang Sandaime tersenyum simpul melihat itu. Selama beberapa saat, keduanya menatap matahari sore yang hampir tenggelam.

"Oh, iya, kenapa kau tak coba saja untuk menjadi Hokage di masa depan, Naruto?" ujar Hiruzen setelah mengembuskan asap cerutunya.

"Untuk apa aku melakukan itu?"

"Kau kan ingin seluruh warga desa ini mengakuimu, Naruto, tentu saja menjadi Hokage adalah pilihan yang paling tepat."

"Tapi, pasti tak akan ada warga yang setuju juga, jika orang tanpa chakra sepertiku menjadi Hokage, Jiji," balas Naruto acuh tak acuh.

Hiruzen tersenyum maklum. Dia mengelus lembut kepala merah itu, dan kedua mata Naruto bergetar pelan karenanya. Terkejut.

"Tekad Api."

"Eh?" Naruto tak mengerti maksudnya.

"Itulah syarat yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi Hokage, Naruto. Ya, dan aku yakin, kalau kau pasti bisa menjadi Hokage jika kau tetap memegang Tekad Api itu di dalam hatimu."

Naruto terkejut. Tekad Api …? Benarkah dia bisa menjadi Hokage juga jika dirinya memiliki yang namanya Tekad Api? Naruto menggeleng keras, mengenyahkan pikiran itu. "Tidak, Kakek Hokage. Aku memang akan membuat semua orang mengakuiku, tapi aku tak membutuhkan gelar semacam itu untuk mencapai keinginanku. Aku tidak menyukai gelar itu."

Hokage Ketiga memasang ekspresi kahawatir. "Kenapa?"

"Yah, karena Menma-lah yang sudah bercita-cita untuk menjadi Hokage, jadi aku tak akan merebut cita-cita adikku," jawab Naruto jujur.

"Tidak, maksudku … kenapa kau tak menyukai gelar Hokage? Apa kau membencinya?"

Ekspresi Naruto berubah datar, dan Hiruzen menyadari itu. Kekhawatiran kakek tua itu semakin jelas sekarang.

"—Aku sudah pernah bilang, Kakek Hokage, kalau aku tidak menyukai yang namanya para pemimpin."

Ini pasti karena Naruto yang melihat cara Danzo dalam memerintah anggota Anbu Ne, dan bocah itu sangat tidak menyukai cara yang digunakan oleh Danzo. Hiruzen paham jika itulah alasan kenapa Naruto mulai membenci gelar pemimpin, jadi ia tak akan bertanya lebih lanjut.

Hiruzen menghirup cerutunya. "Naruto, aku harap … kau tak akan jatuh dalam kebencian hanya karena ini—"

"Hanya karena ini, ha? Jangan bercanda, Kakek Hokage! Setiap hari aku selalu berusaha bertahan hidup dari serangan anak buah si Tua Danzo itu, dan aku juga selalu berusaha menahan diri saat mendengar cacian dari warga desa ini!"

Hiruzen menelan ludahnya. Pancaran mata Naruto …, dia bisa merasakan bahaya hanya dengan melihat matanya. "Naruto, rasa benci itu bukanlah sesuatu yang harusnya kau miliki …."

"Aku tahu bahaya yang menantiku jika aku terjatuh ke dalam kebencian, tapi aku juga tak bisa membuat kebencian di dalam hatiku ini hilang begitu saja, Sandaime-Jiji." Naruto menggeleng menyesal, "Aku tak bisa melakukannya …."

Naruto mengepalkan tangan kanannya, mencoba menguatkan keyakinan di dalam dirinya. "Akan kubuat mereka semua yang menghinaku … merasakan balasannya …, aku jamin itu!"

"Naruto …." Hiruzen menggeleng lemah.

"Maaf, Kakek Hokage, aku tak akan pernah bisa melupakan semua perlakuan buruk yang kuterima dari desa ini," Naruto bangkit berdiri. Dia mulai berjalan meninggalkan daerah taman itu.

Hokage Ketiga bisa merasakan bahaya dari bocah itu. Rasa dendam yang dimiliki Naruto, sepertinya sudah di luar perkiraan Hiruzen, dan ia tahu jika itu pasti tak akan mudah untuk dihilangkan darinya.

"Aku akan tetap membawa Tekad Api yang kau wariskan itu, Kakek Hokage …."

Hiruzen menahan napasnya. Aura kebencian bocah itu semakin besar terasa, dan Naruto siap meledakkan kebenciannya …, kapanpun itu!

"—Tapi di saat yang bersamaan, kebencian di dalam hatiku ini … juga akan ikut tumbuh semakin besar!"

Bersambung


[Author Note:

Halo, halo! Selamat sore, bagi mereka yang membaca ini di sore hari, wkwkwk.

Oke, kayaknya kemarin banyak yang nanyain fic ini kapan di-UP-nya. Yah, jujur aku seneng banget, kupikir fandom Naruto sudah sepi dikarenakan kebanyakan mereka sekarang baca di bagian fic crossover, jadinya aku gak terlalu berharap fic ini bakal ada yang minta lanjut. Yah, aku hanya nulis fic ini jika aku lagi pingin kembali nostalgia sama Naruto, wkwk.

Yah, gak banyak yang pingin kubahas di chap ini (karena lagi males, wkwk). Semuanya kayaknya sudah jelas kutulis di dalam cerita, jadi jika ada yang membuat kalian bingung, silakan tinggalkan aja coretan kalian di kotak review.

Dan untuk yang bertanya, kapan Shion muncul di fic ini? Itu nanti pas di Misi Genin bagian kedua, setelah Tim 7 kembali dari misi di Nami no Kuni.

Oh, iya, berhubung Bulan Ramadhan sebentar lagi akan selesai, aku ingin mengucapkan:

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI YANG KE-1442 H!

Aku minta maaf kepada kalian, jika selama ini aku pernah berbuat kesalahan kepada kalian selama aku menulis cerita fiksi, entah itu kusengaja ataupun enggak. Di hari yang suci, marilah kita saling memaafkan.

Baiklah, sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Tertanda. [Abidin Ren]. (11/Mei/2021).