Chapter 8
.
.
Mamori menahan langkah kakinya kaget keluar dari pabriknya, saat melihat sejumlah wartawan sudah menunggu kedatangannya. Keigo yang berjalan di sebelah Mamori berusaha berjalan mendampingi. Kemarin memang Mariya sudah menghubungi salah satu wartawan kepercayaan mereka, dan sesuai rencana kabar itu sudah meluas ke wartawan yang lain.
"Desainer Anezaki, apa benar anda sudah bertunangan dengan Atlet Hiruma?" serbu seorang wartawan ke Mamori.
"Sejak kapan kalian bertunangan?" tanya wartawan yang lainnya.
"Apakah benar itu hanya rumor untuk menutupi kalau anda sedang hamil?"
Mamori mengerutkan kening mendengar pertanyaan itu. Sudah diperkirakannya kalau berita miring pasti akan mengincar mereka. Mamori lalu mengambil microfon kecil dari wartawan itu.
"Itu tidak benar," jawab Mamori sambil menyinggungkan senyumannya ke salah satu kamera. "Aku sudah berpacaran dengan Atlet Hiruma saat masih kuliah."
"Berarti benar kalau dulu anda manajer klub Saiyoudai Wizards?" tanya wartawan yang lainnya.
Mamori menjawab sambil jalan berlalu ke mobilnya. " Ya benar. Aku manajernya dulu. Aku bahkan sudah jadi manajernya sejak di klub Amefuto SMA."
"Deimon Devil Bats?"
Mamori menoleh ke wartawan yang menyahut barusan, lalu tersenyum mendengar ada yang kenal dengan tim kecil itu walau sudah beberapa tahun berlalu. "Benar. Kalian bisa cari tahu dari mantan pemain Saikyoudai atau pun Devil Bats pada waktu itu. Beberapa dari mereka mengetahui hubungan kami."
"Kalau Deimon Devil Bats, berarti tempat Eyeshield 21 dulu. Benar begitu Anezaki-san?"
Mamori membuka pintu mobil sebelum memberi jawaban terakhirnya. "Sena sudah kuanggap seperti adikku. Dia juga tahu tentang hubunganku dengan Hiruma Youichi," jawab Mamori, lalu tersenyum.
"Bukankah Atlet Hiruma sudah berpindah kewarganegaraan? Apakah dia menikahimu agar bisa kembali jadi warga negara Jepang?" sela watawan lain.
Mamori menoleh ke wartawan lelaki yang barusan. Mamori tidak bisa berkata apa-apa.
"Maaf semuanya. Kita sedang buru-buru," sela Keigo, memberi bantuan di saat yang tepat.
Mamori lalu masuk dan menutup pintunya. Diikuti dengan Keigo, di kursi pengemudi lalu melajukan mobilnya. Di perjalanan, Keigo menoleh ke Mamori.
"Ada apa?" tanya Mamori, merasa diperhatikan.
"Jangan pikirkan pertanyaan wartawan yang terakhir tadi."
"Aku tidak memikirkannya." Mamori melirik Keigo. "Ada apa lagii?" lanjut Mamori lalu menghela napasnya.
"Bukan apa-apa. Tapi aku sudah mengenalmu hampir tiga tahun, dan aku merasa seperti baru saja mengenalmu," jawab Keigo. "Jadi benar kalian bertunangan? Lalu bagaimana bisa kamu diam saja selama ini?"
"Itu bukan cerita yang menyenangkan," balas Mamori.
Keigo menoleh lagi melihat Mamori yang sudah memandang jauh ke jalan raya. Dia menyadari dari jawaban itu, kalau cerita mereka tidak sesingkat apa yang diberitakan, atau apa yang disampaikan Mamori pada wartawan tadi. Jauh lebih dalam lagi, itu adalah kenangan yang Keigo tahu akan menyakiti Mamori. Kenangan tahun menyakitkan bagi Mamori. Karena jika memang itu kenangan baik, maka Mamori tidak akan menyembunyikannya dari Keigo. Dan akhirnya Keigo tahu, arti dari senyuman pilu dan lamunan jauh saat Mamori sedang mengambar sketsa baju laki-laki selama ini.
"Aku tidak akan bertanya lebih jauh lagi," balas Keigo membuat Mamori tersadar dari lamunannya. "Jika sekarang hubungan kalian baik-baik saja dan kamu bahagia, maka bagiku cerita tidak menyenangkanmu dulu tidak perlu kamu ceritakan."
Mamori tersenyum mendengarnya. "Terima kasih Keigo-kun. Oh ya, bisa kita mampir dulu ke supermarket?"
.
.
Hiruma menghentikan mobilnya di kantor Perusahaan Agensi tempatnya bernaung. Hiruma jarang sekali kesini. Tetapi karena asistennya masih ada di Italia untuk mengurus kontraknya yang ternyata batal diputuskan. Maka jadilah dia yang menggantikannya ke kantor ini. Sebagai Atlet, Hiruma lebih memilih memakai Agensi, karena ketimbang dia harus sibuk mengurus urusan kesana kemari, lebih baik agensinya yang mengurusi itu semua. Ditambah ada asistennya yang menjadi penghubung mereka.
Hiruma masuk ke gedung dan menuju ke lantai empat. Ke tempat Sonoda, manajer agensi yang menanganinya. Hiruma masuk ke sebuah ruangan dan melihat Sonoda duduk di kursi mejanya.
"Kau sudah datang? Duduklah," ujar Sonoda sambil bangun dari kursinya dan mengambil dokumen di laci meja.
Hiruma duduk di sofa. Dia melihat Sodona menghampirinya dengan sejumlah dokumen di tangannya.
"Kau pasti sudah dengar dari asistenmu," ujar lelaki yang berusia awal empat puluhan itu.
"Ya." Tentu Hiruma tahu, karena itu dia kemari.
"Sebenarnya ada lima klub yang menginginkanmu," ujar Sonoda. "Tapi dua di antaranya aku singkirkan. Yaitu Bird Osaka tempatmu dulu dan salah satu klub yang menawarkan harga murah."
Hiruma memamerkan senyumnya. Dia tentu tahu tidak ada yang lebih cinta uang dibanding agensinya ini. "Lalu tiga lagi?"
"Kau pasti sudah dengar dari asistenmu kalau The Milano ingin memperpanjang kontrak. Mereka menaikan tiga puluh persen gajimu per musim," jawab Sonoda sambil membuka salah satu dokumen. "Kau sudah terbiasa dengan klub itu. Jadi mungkin kau bisa pertimbangkan."
"Lalu ada Tokyo Storm. Pemenang liga Amefuto dua musim berturut-turut. Mereka menawarkan harga yang fantastis. Bayaranmu bahkan lebih mahal dari tawaran Atlet Kobayakawa dan anggota lainnya."
"Lalu yang terakhir?"
"Kau pasti tidak percaya. D.C Tiger, Juara dua di Liga Amerika musim lalu. Mereka sedang naik daun dan mengincarmu sejak dua tahun lalu. Mereka menawarmu dengan harga paling tinggi dari klub lain, mereka bahkan meneleponku untuk negosiasi harga agar kau mau bergabung."
"Kau pasti akan senang kalau aku pilih D.C Tiger."
Sonoda mengembangkan senyumnya. "Kau benar," ujarnya sambil tertawa. "Liga Amerika sangat cocok untukmu."
Hiruma melihat ke dokumen yang disodorkannya. Berpikir sejenak.
"Musim transfer masih sepuluh hari lagi. Kau masih bisa mempertimbangkannya."
"Keh..."
"Oh ya... Tentang berita itu. Berarti pacarmu yang dulu kau tinggalkan itu, Desainer Anezaki?" tanya Sonoda sembari membersihkan dokumen tersebut di atas meja.
"Hm," jawab Hiruma mengiyakan.
"Dia cukup terkenal, Ya kan? Baru-baru ini dia mengadakan fashion show di Tokyo. Kudengar dari adikku, dia akan melanjutkan tour ke Kansai"
"Ya mungkin. Dia kelihatan sibuk belakangan ini."
"Jadi lima tahun lalu itu... Sebenarnya kalian tidak putus? Kupikir putus karena kau sama sekali tidak pulang ke Jepang untuk mengunjunginya."
Hiruma diam tidak membalas apa-apa.
"Aku sampai bingung saat adikku tanya kebenaran tentang hubungan kalian. Karena adikku bilang kalau Desainer Anezaki itu menjalin hubungan khusus dengan Asisten laki-lakinya. Katanya memang belum terkonfirmasi, tapi para penggemar yakin akan hal itu. Karena itu mereka kaget saat tiba-tiba kau muncul dan membuat kehebohan."
"Asisten?" tanya Hiruma.
Sonoda mengangguk. "Asisten muda yang selalu bersamanya. Adikku bilang para penggemar suka dengannya. Karena mereka berdua terlihat cocok," ujar Sonoda. "Yah... Tapi tidak usah dipikirkan. Karena kenyataannya, kau lah pacar Desainer Anezaki yang sebenarnya," ujarnya sambil tertawa.
.
.
Seperti yang dikatakan Mamori tadi sebelum dia pergi, Mamori meminta Hiruma untuk menunggunya di parkir basemen karena dia bilang akan bawa barang belanjaan yang banyak. Hiruma menunggu sebentar dan tak lama mobil putih datang dan parkir di sebelah mobilnya.
Hiruma keluar dari mobil dan menghampiri mobil putih itu bersamaan dengan Mamori keluar dari sana.
"Sudah menunggu dari tadi, Youichi?" tanya Mamori tersenyum senang saat melihat Hiruma.
"Wah...," sahut Keigo yang juga keluar dari mobil lalu menuju bagasi, diikuti dengan Hiruma dan Mamori. "Ternyata seorang Atlet Hiruma Youichi yang garang di lapangan masih menurut jika disuruh pacarnya."
"Diam kau bocah," balas Hiruma dan mendapat cengiran dari Keigo.
Hiruma terdiam melihat ke belanjaan Mamori di bagasi itu. "Apa saja yang kau beli, heh?" tanya Hiruma protes melihat lebih dari lima kantung belanjaan disana.
Keigo lalu mengeluarkan kantung-kantung itu dari dalam mobil. Setelah keluar semua, dia menutup bagasi mobilnya kembali.
"Terima kasih Keigo-kun," ujar Mamori. "Ayo Youichi, bantu aku bawa ini."
"Aku pulang dulu Mamori-san. Sampai nanti," ujar Keigo.
"Hati-hati."
Keigo lalu melajukan mobilnya. Hiruma masih memandangi kantung-kantung itu dan enggan untuk membawanya. "Kenapa kau tidak suruh bocah itu membawanya?"
"Jangan begitu. Dia sudah menemaniku tadi dan membawanya disana," balas Mamori. "Sebagai pacarku, sekarang giliran kamu yang bawa sampai atas."
Hiruma memandang ke Mamori. "Aku turun derajat, heh? Bukannya aku dulu tunanganmu?"
"Yah... Sama saja," balas Mamori. "Ayo bantu aku."
Mamori lalu mengambil satu kantung belanjaan berat di tangan kanannya dan dua kantung ringan di tangan kirinya. Sementara empat kantung berat lainnya, dibawa oleh Hiruma. Mereka lalu membawanya sampai ke apartemen.
Setibanya di dalam apartemen. Hiruma membantu Mamori membereskan barang belanjaan. Setelah selesai, mereka kemudian bersantai. Hiruma duduk di kursi meja konter dapur berhadapan dengan Mamori yang berdiri dan tengah memotong apel di seberang mejanya. Hiruma menunggu sembari memperhatikan Mamori memotong apel itu.
"Kenapa kau tidak belajar menyetir?" tanya Hiruma sambil mengambil potongan apel.
"Aku pernah," jawab Mamori. "Tapi aku masih belum berani. Lagi pula ada Keigo-kun. Dia selalu mengantarku kemana-mana."
Hiruma terdiam mendengarnya. Sedikit jengkel dengan pernyataan Mamori itu. Karena Mamori lebih mengandalkan lelaki lain dibanding dirinya.
"Jadi mobil putih itu punyamu?" tanya Hiruma lagi.
"Ya." Mamori melihat ke Hiruma seolah bisa membaca kekhawatirannya. Dia lalu menyuapi Hiruma potongan apel. "Kalau kamu masih cemburu dengan Keigo-kun, kamu salah besar. Anak itu sudah kuanggap adikku."
"Jadi sekarang kau punya dua adik, heh? Merepotkan saja," keluh Hiruma. "Dulu kau lebih perhatian pada si pendek itu. Sekarang kau menambah adik lagi yang lebih bisa diandalkan dari padaku. Apa aku harus jadi yang kedua terus di hidupmu?"
Mamori menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir bagaimana Hiruma bisa beranggap seperti itu. "Kau bahkan bukan yang kedua. Masih ada Ayahku," tambah Mamori jengkel.
"Tidak apa jadi yang ketiga. Asal itu posisi yang bisa membuatku terus bersamamu."
Mamori memandangi wajah Hiruma beberapa saat. "Apa kamu pernah merasa bosan padaku, Youichi?"
Hiruma membalas pandangan Mamori. "Entahlah. Aku tidak pernah terpikirkan pernah bosan atau tidak. Tapi jika bersamamu, semuanya terasa tepat. Seperti pulang ke rumah. Asal ada kamu, maka aku merasa semua baik-baik saja."
Mamori tersenyum terharu mendengarnya. "Kalau aku seperti rumahmu? Apa kamu menyesal dulu pernah meninggalkanku?"
Hiruma terdiam lagi. Mamori bisa melihat wajah pahit Hiruma yang terbayang kenangan selama lima tahun itu. Tanpa Hiruma harus menjawab, Mamori sudah mendapat jawabannya.
.
.
Hari itu... Empat tahun lalu
Hiruma kembali ke apartemennya. Setiap dua minggu sekali setelah latihan rutin di klubnya. Tapi kali ini berbeda. Dia akan menetap beberapa minggu disini karena musim pertandingan sudah usai. Walau sudah sepuluh bulan lebih dia menetap di apartemen ini, tempat ini masih tampak kosong walau dengan perabotan lengkap.
Hiruma melempar tasnya ke atas sofa dan dia melempar diri ke kasurnya. Masih dengan sepatu, Hiruma tidur tengkurap tanpa berniat untuk membersihkan dirinya. Dia terlalu malas dan lelah. Dia hanya butuh istirahat.
Sinar pagi menerangi wajah Hiruma dari celah gorden yang sedikit terbuka. Hiruma membuka matanya. Sudah pagi. Dia lalu duduk di atas tempat tidur. Berpikir apa yang terjadi. Terbangun dalam keadaan linglung bukan hal yang baru untuk Hiruma akhir-akhir ini. Itu biasa terjadi. Di kala pikirannya ingin berada di suatu tempat, tapi kenyataannya dia berada di tempat lain yang jauh dari tempat itu.
Hiruma bangun dan mencuci wajahnya. Masih dengan setelan kemarin, Hiruma keluar apartemen untuk mencari kopi dan roti untuknya sarapan. Selanjutnya dia akan minta Takagi untuk membeli bahan makanan.
"Kau tampak buruk seperti biasanya?" ujar lelaki tua gemuk saat mengantarkan pesanan Hiruma di atas meja.
Pemilik kedai kopi itu bernama Sandrio. Biasa mengobrol dengan Hiruma karena memang tempat ini sepi saat lewat jam berangkat kerja. Dan Sandrio yang harus membuatkan kopi untuk Hiruma sesuai keinginannya, karena buatan pelayan lain tidak ada yang seenak buatannya.
"Cuma kopimu yang bisa membuatku ingat rumah," ujar Hiruma dalam bahasa Inggris. Selain kopinya enak, salah satu alasan Hiruma suka kesini karena Sandrio bisa berbahasa Inggris.
"Kalau begitu kenapa kau tidak pulang ke Jepang. Musim pertandingan sudah berakhir, kan?" balas Sandrio.
"Pacarku tidak mengizinkanku pulang," ujar Hiruma.
"Aneh sekali," balas Sandrio. "Dia mungkin sudah bosan denganmu. Kenapa tidak cari yang lain saja? Bukannya gadis-gadis Italia sama cantiknya."
Hiruma menyeringai. "Mereka memang cantik. Tapi tidak secantik pacarku," balas Hiruma.
"Dasar kau si brengsek yang setia," ujar Sandrio sambil berdecak. Dia lalu berdiri dan melayani tamu lain.
.
.
Takagi membuka pintu apartemen Hiruma. Dia melihat Hiruma yang terbaring malas di sofa sambil menonton televisi. Dia terdiam berdiri melihat Hiruma lalu mendapati pandangan Hiruma ke arahnya.
"Itu setelan baju kemarin kan? Kamu belum mandi Hiruma-san?" keluh Takagi.
"Malas," jawab Hiruma. Dia lalu melihat Takagi berjalan ke dapur. "Sekalian masukkan barang-barang itu ke kulkas dan rak."
"Ya," balas Takagi. Tanpa diminta pun dia pasti akan melakukannya. Karena Tuan Besar ini pasti tidak akan melakukannya sendiri dan kalau itu terjadi, beberapa bahan makanan ini hanya akan jadi sia-sia jika tidak dimasukkan ke kulkas.
Takagi merapikan bahan makanan itu sambil berpikir sendiri. Dia tahu keadaan awal apartemen ini saat pertama kali karena dialah yang mencarikannya. Dan setelah ditempati lebih dari sepuluh bulan, tidak ada yang Berbeda. Masih tampak kosong dan terasa hampa. Isi rak dan kulkasnya pun begitu, masih tampak seperti baru. Tidak pernah terisi. Perabotan juga masih pada posisi awal. Tidak ada yang digeser atau pun ditambahkan. Takagi sungguh heran kenapa bosnya ini bisa bertahan dengan kehampaan ini.
"kamu yakin, Hiruma-san, tidak ingin ikut aku pulang ke Jepang?" tanya Takagi.
"Jangan membuatku menjawab berkali-kali, bodoh."
"Aku berharap kamu bisa bertahan dua minggu saat aku tidak ada disini," balas Takagi polos sambil tersenyum-senyum walau dapat pelototan dari Hiruma.
"Kalau kau mengoceh yang tidak-tidak, kupotong gajimu!" balas Hiruma.
Takagi menyengir. "Maaf Hiruma-san," balasnya. "Oh ya, ada yang mau kamu titip dari sana?"
Hiruma berpikir sesaat sambil melihat Takagi. "Bawakan aku sampo merk xx yang warna hijau. Lalu parfume xx yang warna ungu."
Takagi balas melihat ke Hiruma. "Bukannya itu barang-barang untuk perempuan? Kamu ingin memakainya Hiruma-san?"
"Tidak usah banyak tanya bodoh. Belikan saja."
"Oke," balas Takagi tersenyum.
Dia tidak perlu menanyakan lebih lanjut. Karena apa pun alasan Hiruma tidak ingin kembali ke Jepang, Takagi tidak berhak menanyakannya. Begitu pun tentang permintaan Hiruma barusan. Karena walau hanya sedikit, Takagi bisa mengerti. Entah apa yang terjadi, tapi dia tahu, walau Hiruma sangat mencintai kekasihnya, tapi dia tidak bisa menemuinya. Itulah alasan dari semua hal yang tidak ditanyakan Takagi. Dia tidak berani bertanya tanpa harus menggoreskan luka.
Ya. Takagi akan melakukan apa saja asal Hiruma bisa betah dan berkonsentrasi bekerja selama lima tahun disini. Walau dia harus mengabulkan permintaan konyol Hiruma itu. Dia akan melakukannya.
.
.
To Be Continue
.
.
Side Note :
maunya menulis panjang-panjang di side note. Tapi lagi-lagi sudah 2.2k lebih. Hehehe... Cuma saya ga mau kalau jadi tambah panjang karena ocehan saya.
Oke.. Tulis kesan kalian tentang chapter kali ini. Ditunggu ya. Jangan lupa..
Salam : De
