"Aku mulai menyerah untuk mengaturmu, Sasuke,"

"Kalau begitu jangan atur aku lagi,"

"Sialan! Harus berapa kali kubilang, berhenti bertindak bodoh! Kau mau semakin membuat Tou-san dan Kaa-san kecewa disana?!"

"Begitu juga denganmu! Berhenti mengaturku! Kau tidak pernah tahu bagaimana perasaanku karena kau adalah anak kesayangn Tou-san!"

"Sasuke!"

"Pergi dari tempatku! Kau membuang waktuku saja!"

"Cukup Sasuke!"

"Urusi saja pekerjaanmu dan jangan menggangguku! Aku menolak tawaranmu! Aku menolak belas kasihanmu yang tak perlu!"

"SASUKEEEE!"

Itachi meledak. Berteriak murka untuk pertama kalinya kepada sang adik. Semenjak kematian orang tua mereka, sikap Sasuke yang membangkang dan sering membahayakan membuatnya bekerja ekstra keras agar bisa membuatnya kembali ke 'jalan' yang benar. Kedatangannya kali ini hanya ingin mengajaknya mulai turut serta ke perusahaan keluarga mereka. Berbicara dengannya lewat telepon sama sekali tak berhasil karena selalu berakhir dengan pertengkaran. Sampai adiknya itu terus menolak panggilannya selama beberapa hari. Dan menemuinya jauh-jauh dari Oto di tengah kepadatan aktifitasnya, nyatanya juga sama sekali tak bisa memberi Itachi jalan keluar. Sasuke masih keras kepala.

"Tch!" Sasuke berdecak.

"Aku akan membekukan rekeningmu," setelah lama berdiam untuk menenangkan pikiran, Itachi mulai bersuara.

"Jangan berani-beraninya..." Sasuke menggeram.

"Aku hanya akan memberimu uang untuk kebutuhan sehari-hari dan akan meminta Kakashi-sensei melaporkan padaku apa yang kau perlukan di sekolah. Kau tak butuh rekeningmu lagi,"

"Itu hakku, Itachi. Kau tak bisa melakukannya," suara rendah Sasuke.

"Aku bisa. Karena aku adalah walimu," Itachi mulai beranjak.

"Jangan membuatku semakin membencimu, Itachi! Henti-"

"Berhenti kekanakan, Sasuke!" Itachi menoleh cepat kembali pada sang adik.

"Kau sudah dewasa! Sebentar lagi kau akan masuk perguruan tinggi, berhentilah bersikap seperti ini!"

Sasuke semakin merasa murka.

"Ini adalah hidupku! Kau tak berhak atas-"

"Aku yang bertanggung jawab, brengsek!" Itachi juga meledak. Mencengkeram kerah Sasuke kuat.

"Sampai saatnya tiba, sampai kau bisa berubah, secuil pun hakmu di Uchiha tak akan pernah kuberikan!" ia mencoba mengancam, tapi raut Sasuke berubah menggelap setelahnya.

Sasuke menepis kasar tangan kakaknya.

"Terserahmu saja." Ucapnya dingin.

Itachi mengartikannya sebagai bentuk kepasrahan, namun sesungguhnya Sasuke mengartikannya sebagai bentuk final akan ketidakpedulian Itachi terhadapnya. Dalam hati ia bertekad, akan membuat kakak lelakinya itu menderita, membuatnya kesusahan, membuat sosok sempurnanya merasa malu dan terhina karena perbuatan Sasuke padanya. Setelah Itachi hengkang, Sasuke pun menelpon Suigetsu untuk menyuruhnya menunjukkan markas sebuah geng ternama yang menjadi awal rencana Sasuke untuk 'menghancurkan' kakaknya.

.

.

.

.

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Pair: Gaara x Hinata [4ever ever after *?*]

Rated: T

Genre: Romance, drama, family, (udah gak) fluffy and humor [maybe]

Warning: OOC tingkat akut, AU, typo, gaje, abal, ide pasaran, humor garing, diksi seenak jidat, PLUS BAHASA KASAR, dan sederet warning lainnya

DON'T LIKE DON'T READ

CHAPTER 8: Say NO!

...

Hinata masih memejamkan mata ketika ia merasa motor yang ditumpanginya direm mendadak.

Ckiiiiitttt!

"Ak!"

Hinata terantuk. Gadis itu memberanikan membuka mata dan melihat bahwa di depannya kini ada sebuah mobil hitam yang menghadang jalannya dan Sasuke.

Ggrrmm...

Lalu suara halus mobil lain juga muncul dari arah belakang mereka.

"Sial!"

Hinata merinding mendapati umpatan kasar itu keluar dari Sasuke.

"S-senpai..." Hinata melonggarkan pegangannya tapi malah mendapat bentakan Sasuke.

"Jangan dilepas!" yang seketika membuat Hinata meremat seragam senpainya itu dengan tubuh kaku tak berani bergerak. Seorang pria berjas keluar dari mobil depan dan mencoba menghampiri mereka.

"Tuan muda..."

Brrrrrmmmm!

Namun belum sempat pria itu meneruskan ucapannya, Sasuke telah menyiapkan gas motornya dan segera memacunya dengan menggila menuju ke arah depan yang membuat Hinata menjerit ketakutan.

"Kyyyyaaaaaa...!"

Motor pun melaju dan membuat panik orang-orang yang mencegat mereka. Namun begitu motor Sasuke sudah berada di depan mata, mereka hanya bisa jantungan karena ternyata motor itu melesat ke samping, ke atas trotoar dan dengan gesit menghindari tiang-tiang pembatas lalu kembali melesat ke aspal dan menghilang dari pandangan orang-orang suruhan Itachi. Oh tidak... mereka kehilangan jejak tuan mudanya lagi.

"Hiks..."

Hinata sudah menangis sambil memeluk erat perut Sasuke. Ia sangat ketakutan. Laju motor senpainya itu lebih menggila dari sebelum-sebelumnya. Apalagi tahu bahwa ada orang-orang tak dikenal yang mencoba mengejar mereka. apakah orang-orang tadi adalah penjahat? Penculik? Yakuza? Hinata benar-benar ketakutan, Ia yang sedikit mengintip untuk melihat keadaan menjadi urung karena hanya akan mendapat pemandangan menyeramkan yang membuatnya sampai mewek seperti ini. Jantungnya terus berdebar kencang, dan doa sedari tadi terus ia gumamkan. Sampai tanpa sadar, Hinata mendapat sebuah sapuan hangat di punggung tangannya. Refleks, gadis itu membuka mata dan menyadari bahwa motor sudah berhenti dan kini mereka ada di sebuah daerah sepi. Jalanan lengang dekat sebuah jembatan dan di bawah pohon sakura rindang yang tengah menggugurkan mahkotanya.

Hinata mendongak. Ia masih terisak. Namun bisa dengan jelas melihat senpai di depannya itu bergeming diam tanpa menoleh atau berbicara padanya. Meski begitu, Hinata yakin bahwa sapuan hangat di punggung tangannya itu berasal dari usapan tangan besar Sasuke. Hinata terbelalak dan segera menarik tangannya menjauh.

Sasuke yang terpaku semenjak menghentikan motornya, seolah kehilangan suatu hal yang sempat ia kira bisa menjadi penenangnya saat ini. Batinnya marah karena pencegatan barusan yang terjadi. Kakaknya tidak memberitahu akan mengirim orang-orang itu untuk mengawasinya. Sialan! Sudah membekukan uangnya, dan kini pria sialan itu berniat benar-benar mengekangnya. Mentang-mentang dia yang punya kuasa. Bisa seenaknya terus 'menindas' dan mengaturnya.

Membuat Sasuke semakin ingin cepat menjadikan dirinya berkuasa agar bisa mengalahkannya. Sial! -lagi-. Tapi ia ingat dirinya kini yang tak bisa apa-apa. Dan kediamannya sekarang, merupakan bukti bahwa ia tengah berpikir kalut untuk bisa keluar dari masalahnya sekarang.

Hinata yang sudah 'menjauhkan diri' dari Sasuke beralih melepas helmnya, dan menilik sekitar. Ia seperti familiar akan tempat ini, tapi dimana?

Ting!

Ini adalah daerah pinggiran kota yang pernah ia kunjungi saat karyawisata klub berkebunnya! Kenapa Sasuke membawanya ke tempat sejauh ini?

"Ano... S-senpai?"

"Hn,"

"Ke-kenapa kita a-ada disini? K-kenapa tidak ke s-sekolah?"

"..."

Hinata menunggu jawaban Sasuke yang begitu lama. Tapi nihil. Pemuda itu masih bergeming bahkan matahari yang semakin beranjak tinggi tak membuatnya terusik sama seperti Hinata.

Gadis itu gusar, mencoba menilik jam tangannya. Sudah hampir jam 8! Hinata panik dan hampir menangis lagi padahal air matanya tadi saja belum ia seka. Hinata bingung. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia tak mau membolos hanya gara-gara dibawa kabur seorang senpai yang tak jelas asal-usulnya. *ditampar Sasuke.

Dalam kekalutan itu ia merutuki dirinya yang tak mendengarkan nasihat Hanabi. Merutuki dirinya yang tak mampu menolak ajakan senpai yang termasuk asing baginya. Merutuki diri yang begitu lemah karena cepat panik dan cengeng hingga sulit menemukan jalan keluar sekarang. Sedikit pun ia tak berpikiran untuk menyalahkan Sasuke yang dengan seenak jidatnya membawa ia kabur sampai ke tempat ini.

Sembari menggigit bibir, Hinata akhirnya memiliki suatu inisiatif untuk keadaannya. Dengan tubuh sedikit bergetar ia turun dari motor Sasuke yang membuat si empu akhirnya menolehkan kepalanya yang masih terbungkus helm.

"S-senpai..." Hinata sedikit takut mengatakannya, tapi ia harus kalau tidak mau terlambat ke sekolah.

"S-sumimasen, ta-tapi aku akan duluan ya... Mm... e- etto, a-aku takut terlambat,"

"Kau menangis?"

"Ya?" Hinata menyadari sesuatu dan segera menghapus air mata yang ternyata membasahi pipinya cukup banyak. Ia blushing dan begitu malu kedapatan masih cengeng seperti ini oleh orang lain –selain keluarganya-.

"M-maaf... itu ka-karena aku ketakut-"

"Takut kenapa?" Sasuke menaikkan kaca helmnya.

Hinata meringis mendengarnya. Ia seolah sedang diinterogasi polisi saja. Antara ingin mengatakan atau tidak, tapi pertanyaan Sasuke jelas menuntut sebuah jawaban darinya.

"B-bukan apa-apa... a-aku hanya tidak menyukai k-kebut-kebutan..." cicitnya.

"Hah?"

"B-bukan! A-aku tidak menyalahkan senpai, ha-hanya sa-"

"Kau tidak bisa berbicara normal ya?"

"Eh?" Hinata merasa tertohok. Itu adalah ucapan yang paling ia takutkan saat berbicara dengan orang lain. Membuatnya kini hanya bisa menunduk murung dengan menggigit bibir bawahnya.

Lama tak menjawab, Sasuke pun menghela napas lelah.

"Hyuuga,"

"Y-ya?" Hinata mendongak cepat. Melewatkan pemikiran akan pertanyaan untuk Sasuke yang sudah mengetahui namanya padahal mereka belum pernah berkenalan. Atau mungkin Hinata tak merasa heran karena Sasuke pernah mengantarnya sampai rumah? Disana kan ada papan nama keluarganya yang terpampang nyata.

"Hari minggu nanti, kosongkan waktumu. Kenakan pakaian yang kasual dan aku akan menjemputmu jam 4 sore."

"Eh?" Hinata tak mengerti. Ia ingin bertanya tapi pemuda itu sudah menurunkan kaca helmnya kembali dan bersiap menyalakan motornya.

"Naik,"

"E-eh?" sekali lagi Hinata dibuat cengo. Matanya bergerak ke sekitar karena ragu.

"Naiklah! Kau mau terlambat ke sekolah?"

"Ah, t-tidak bukan begitu..."

"Kalau begitu naik,"

"Emm... s-sepertinya tidak perlu, senpai. A-aku akan n-naik bus saja,"

"Kenapa?"

"G-gomen... ta-tapi aku tak mau m-merepotkan senpai,"

"Kalau begitu Sasuke-kun harus menikahi seseorang yang tidak merepotkan..."

Jantung Sasuke berdesir aneh. Entah kenapa sepenggal percakapan masa kecilnya dengan sang ibu melintasi kepalanya saat mendengar ucapan Hinata barusan. Membuatnya termangu beberapa detik untuk mencerna semua yang seolah menjadi berjalan lambat di sekitarnya.

"S-senpai?" Hinata yang tak kunjung mendapat suara dari Sasuke merasa semakin cemas. Ia tak mau membuang waktu lagi karena bisa terlambat betulan.

"S-senpai... go-gomen, aku duluan... j-jaa-"

Grep!

Hinata yang telah meletakkan helm di sisi depan motor gede Sasuke mendapat cekalan ketika tangannya hendak beralih untuk beranjak dari sana.

"Naiklah." Itu adalah sebuah titah yang terdengar tak terbantahkan. Sasuke sudah mulai bisa menguasai dirinya lagi. Menepis jauh-jauh bayangan masa lalu yang membuat otaknya semakin kacau saja.

Hinata meneguk ludahnya takut-takut. Wajahnya kembali blushing karena Sasuke menggenggam tangannya cukup erat.

"T-tak apa senpai...a-aku-"

"Naiklah." Nadanya semakin dingin saja. Tangannya sedikit ditarik hingga Hinata gelagapan dibuatnya.

"D-demo... a-aku takut kebut-k-kebutan, s-senp-"

"Justru harus ngebut kalau tidak mau terlambat! Apa kau bodoh?"

Benar juga...

"Naiklah!" ucap Sasuke final yang langsung dituruti Hinata. Gadis itu kembali menaiki motor gede Sasuke dengan susah payah.

"Kau bisa menggunakan pundakku sebagai tumpuan kalau kesulitan naik," sembari menyerahkan helm yang membuat Hinata memerah -lagi- karena ucapannya.

"G-gomen..."

Brrrrmmmmm...

"Pegangan yang erat," entah perasaan Hinata saja atau apa, kali ini ia merasa senpainya itu bersikap lebih gentle ketika membawanya di atas motor. Dan setelah Hinata melingkarkan pegangannya, motor itu pun melaju kencang -namun cukup halus dan tidak sekencang tadi- membelah jalan menuju sekolah mereka. Kali ini Hinata pun tak merasa takut atau sampai harus memejamkan matanya.

Motor pun dengan selamat memasuki gerbang yang sudah hampir tertutup dengan beberapa murid yang terburu-buru memasuki sekolah. Kedatangan motor Sasuke yang menjadi salah satu favorit siswi Konoha Gakuen tentu mencuri perhatian, bahkan para siswa pun terheran-heran dibuatnya. Bagaiaman tidak, kini di boncengan motor sangar berwarna hitam itu terduduk seorang gadis berambut indigo panjang, tengah memegang erat -ehem- perut Sasuke sebagai pegangan.

Jangan-jangan...

Jangan-jangan...

Jangan-jangan...

Hampir semua spekulasi yang mampir dalam benak para siswa-siswi itu hampir sama.

Hinata tentu menyadarinya, tapi beruntung karena wajahnya yang tertutupi helm, membuatnya bisa sedikit bernapas lega bahwa ia tak dikenali siapapun yang melihatnya. Motor pun terparkir di antara kendaraan bermotor lain yang hanya ada sedikit disana. Rata-rata murid tentu lebih memilih sepeda daripada kendaraan seperti itu. Hanya kalangan tertentu saja yang membawa kendaraan bermotor, termasuk beberapa guru dan dewan sekolah.

Setelah terparkir, Hinata segera turun dari motor dan menyerahkan helm pada Sasuke yang juga tengah melepas helmnya. Sedikit mengibaskan rambut ravennya agar terlihat lebih rapi yang membuat Hinata blushing –lagi-. Hei, melihat seorang pemuda yang sangat tampan tengah mengibaskan rambutnya itu adalah salah satu pemandangan yang seksi lho... *plak!

"A-arigatou, senpai..." Sasuke menoleh. Ketika telah menerima helm dari Hinata, gadis itu langsung membungkuk dan mengucapkan terima kasih lagi.

Suit suit~~

"Oi oi... sejak kapan kau punya seorang gadis Sasuke?"

Hinata berjengit dan menoleh ke arah segerombol siswa yang menjadi senpainya di sekolah. Mungkin itu teman sekelas Sasuke? Dan kenapa mereka berkata kalau...

Blush...

"Kalau iya memangnya kenapa?" Hinata menoleh cepat ke arah Sasuke yang menanggapinya begitu santai –dan tak serius-.

"Jangan lama-lama, Anko-sensei itu menyeramkan lho..." dan gerombolan siswa itu pun pergi setelah Sasuke menjawabnya dengan, "Aa..."

Hinata menggigit bibirnya. Ia tak memperkirakan bahwa wajahnya yang tak tertutup helm bisa menjamin ia tidak dikenali! Ia juga tak memperkirakan bahwa ada orang lain yang melihatnya berdua saja dengan senpainya seperti ini! Apalagi senpainya itu adalah murid paling populer di sekolah! Ah, tapi siapa ya namanya...

Hinata menggeleng kuat dan mengenyahkan pikirannya yang berkecamuk. Tak boleh terus merasa salting, ia harus segera menuju kelas.

"K-kalau begitu a-aku pamit dulu, senpai. A-arigatou," namun ketika ia baru beberapa langkah, tiba-tiba namanya terpanggil.

"Hinata," ia pun menoleh.

"Jangan lupa minggu nanti jam 4 sore,"

Hinata pun menganggukkan kepalanya.

"Hai'," sembari tersenyum lembut ke arah Sasuke.

"Kali ini kenapa lagi, Sasuke-kun?"

"Aku digoda lagi," ujarnya cemberut yang hanya mendapat balasan tawa dari sang ibu.

"Ne, Sasuke-kun boleh merasa kesal, tapi jangan sekali-sekali sampai menyakiti mereka, ya..."

"Tapi mereka sangat menyebalkan!"

"Jangan bilang Sasuke-kun membuat mereka menangis lagi,"

Sasuke diam saja.

"Mou... Sasuke-kun kan sudah besar, sudah mau junior high, jangan seperti itu. Nanti kalau Sasuke-kun gak bisa menikah gimana?"

"Aku tidak akan menikah!" ujarnya cuek yang membuat Mikoto menaikkan kedua sisi alisnya.

"Dame yo... nanti Kaa-san sedih kalau Sasuke-kun tidak menikah,"

"Memangnya menikah itu harus?"

"Menikah itu bisa membuat orang menjadi bahagia, Sasuke-kun... menikah bisa membuat orang tidak pernah kesepian. Menikah juga bisa membuat orang bisa memiliki keluarga,"

"Tapi siapa yang bisa kunikahi? Gadis-gadis itu terlalu merepotkan!" Sasuke menggembungkan pipinya kesal dan sekali lagi hanya ditanggapi senyum Mikoto.

"Kalau begitu Sasuke-kun harus menikahi seseorang yang tidak merepotkan. Seorang gadis yang cantik, baik, pintar memasak, dan lemah lembut,"

"Seperti Kaa-san?" Sasuke mulai berbinar.

"Ya, mungkin bisa seperti Kaa-san,"

Dan senyum yang mengakhiri percakapan mereka kala itu entah kenapa dapat Sasuke lihat kini tercetak jelas membayangi wajah manis yang tengah tersenyum lembut ke arahnya sebelum ia berlalu pergi.

"Shit..." dan desiran aneh itu kembali menyerangnya lagi.

Hinata yang mulai berjalan kembali sudah sampai menuju rak sepatu dimana murid mengganti sepatu mereka dengan sepasang uwabaki disana. Namun ketika akan mengambil uwabakinya, sebuah pikiran melintas di otaknya.

'Dari mana senpai itu tahu namaku?'

Hinata baru menyadarinya.

Namun saat melihat Sarutobi-sensei melintas di depannya, membuat Hinata panik dan cepat-cepat mengganti sepatunya. Tanpa tahu bahwa sepasang jade yang telah memperhatikannya semenjak tadi, saat ia mulai memasuki sekolah, saat ia menuju tempat parkir, saat ia berinteraksi dengan Sasuke, hingga saat ia terburu-buru mengejar gurunya ke kelas. Jade itu telah memperhatikan, mengawasinya, semenjak deru motor Sasuke mengusik pendengarannya untuk menoleh, mendapati 'kekasihnya' yang ternyata ada disana, dan 'kekasihnya' yang berinteraksi akrab dengan pemuda yang notabene adalah 'teman' sekelasnya. Dada Gaara terasa teremat. Ia merasakan nyeri yang tak nyaman dalam hatinya.

Cemburu kah?

Marah kah?

Tak suka kah?

Apakah ia pantas?

Ia dan Hinata hanyalah sepasang kekasih palsu.

Apakah ia benar-benar menyukai Hinata?

Tapi kini ia dihadapi kenyataan bahwa gadisnya itu tengah berboncengan dengan seorang pemuda paling tampan se-Konoha Gakuen. Hell! Gaara tak tahu jika Hinata juga penyuka pria tampan. Itu wajar sih... Tapi ia tak rela! Ia tak terima! Ia juga tak suka! Hinata itu miliknya!

Tunggu...

"Hah..." Gaara hanya mendesah lelah. Ia tak memiliki hak. Ia tak bisa secara terang-terangan mencak-mencak tak jelas di depan mereka. Jadilah ia hanya bisa mengendap diam-diam memperhatikan. Dan ketika mendapati interaksi mereka, semakin membuat dadanya tak nyaman. Perasaannya tak rela. Gaara tak mau diam saja. Sampai gadis Hyuuga itu lenyap dari pandangannya, Gaara pun juga mulai melenggang menuju kelas dengan Sasuke yang berjalan agak jauh di belakangnya. Merasa sedikit heran melihat tingkah 'teman' sekelasnya yang berambut maroon itu, namun dia acuh atau malas hanya untuk sekedar menyapanya saja. Yaa... karena mereka tidak pernah terlihat akrab.

~~~~~0~~~~~

Hinata merasa aneh. Semua orang di kelasnya seolah menatap aneh dan -errrr- curiga? Mereka seakan baru saja heboh dan berisik jika saja Sarutobi-sensei belum memasuki kelas. Dan yang terparah, Matsuri mengabaikannya!

"O-ohayou, Matsuri-chan..."

"..."

Hinata menelan ludahnya. Oh tidak... apakah kekhawatirannya akan sesuatu yang berkaitan dengan senpainya yang seenak jidat itu sudah terjadi? Hinata menjadi murung dan tak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Ia ingin waktu berhenti saja saat itu. Tapi, God... justru ketika pikiran seperti itu muncul, yang ada dan terasa malah sebaliknya. Hinata merasa waktu berjalan begitu cepat. Dan ketika bel waktu istirahat berbunyi...

Kriiiiinggg...!

"Baik anak-anak, pelajaran hari ini cukup sampai bab 9 saja. Sensei tutup!"

"Berdiri...!"

"Arigatou gozaimasu, Sarutobi-sensei!"

Sreekkk...

Begitu pintu kelas tertutup oleh Sarutobi-sensei, para murid berbondong-bondong segera menghampiri meja terpencil Hinata yang sebelumnya tak pernah ramai dikunjungi seperti itu. Sebagian besar adalah teman-teman perempuannya, tapi beberapa teman laki-lakinya juga ikut menggerombolinya.

"Hyuuga-san!"

"Hinata-san!"

"E-eh?" Hinata kebingungan. Ia tak menyangka bahwa akan menjadi semenghebohkan dan secepat ini ia 'diadili'.

"Apa kau benar-benar bersama Sasuke-senpai tadi?"

"Apa kau berpacaran dengannya?"

"Ne, sejak kapan kau dekat-dekat dengannya, hah?!"

"Berani sekali kau mendekati pangeran kami!"

"Sejak kapan kalian menjadi dekat?"

"Hinata-san, apakah benar aku sudah tidak memiliki kesempatan? Hiks!"

"Hinata-san..."

"Hinata-san..."

"Hyuuga-san..."

Brak!

Matsuri yang menggebrak meja seketika menghentikan ocehan para murid itu terhadap Hinata yang sudah dirundung kebingungan sampai mau menangis. Dengan wajah menggelap, Matsuri menarik kuat tangan Hinata untuk keluar kelas.

"M-matsuri-c-chan..."

Brakk!

"Huaaaa...!"

"Hinata-san..."

"Hinata-san..."

"Hyuuga-san..."

"Hyuuga Hinata-san!"

"Hyuuga Hinataa!"

Dan ada lebih banyak murid lagi yang kini berjubel mencoba memaksa masuk ke kelas XI-2 yang menjadi kelas Hinata dan Matsuri sekarang. Hinata yang panik dan bingung sudah tak kuat, ia menangis sejak Matsuri masih menarik kuat tangannya untuk keluar sembari mencoba mendorong para manusia yang kebanyakan FG Sasuke itu dari jalan mereka.

"Hiks... hiks..." Hinata yang notabenenya lemah dalam pelajaran olah raga entah kenapa menjadi bisa kuat lari mengimbangi kecepatan Matsuri di lorong sekolah. Mungkin karena mereka masih dikejar, atau mungkin juga karena berbagai macam pandangan yang tak pernah Hinata dapatkan sebelumnya membuatnya bisa terus berlari. Bagaimana tidak, dirinya yang kuper, pendiam, dan tipis hawa keberadaan tiba-tiba menjadi pusat perhatian seperti ini?! Heck! Hinata serasa ingin pingsan saja. Tapi untungnya kelitan Matsuri dan mereka yang sesekali bersembunyi, bisa membuat keduanya aman dan tiba di suatu tempat tujuan yang sepi dan jarang dikunjungi penghuni sekolah. Atap. Tempat dimana Hinata dan Gaara dulu membuat sebuah perjanjian.

"Hosh... hosh... hosh..." Matsuri keawalahan.

"Hiks... hhh... hhhh...hiks..." apalagi Hinata. Ia sudah tak kuat berdiri lagi dan membiarkan tubuh bagian bawahnya kotor karena bersimpuh begitu saja saat mereka sudah menutup pintu atap.

"Hah... hah..." sembari mengatur napas, Matsuri menoleh ke arah sahabatnya yang tampak begitu menyedihkan. Ia tak tega. Tapi kini ia merasa marah, kesal, dan arrrgh tak rela! Ia tak menyangka Hinata akan... apa ya istilahnya? Akan... akan mengkhianati! Hinata yang mengkhianati Gaara! Hell! Matsuri benar-benar tak menyangka! Tapi melihat keadaan sahabatnya saat ini, ia merasa menjadi urung untuk terus curiga. Mau tak mau dirinya pun ikut bersimpuh dan menenangkan gadis Hyuuga tersebut. Mengelusnya dan memberikan pelukan yang juga dibalas Hinata.

"M-matsuri-chan... hiks..."

"Kau sudah merasa tenang?" Matsuri melepas pelukannya untuk melihat Hinata yang sudah mendingan.

Hinata mengangguk.

"Sekarang ceritakan padaku. Apa benar kau bersama Sasuke-senpai tadi pagi? Kau berboncengan padanya? Apa alasanmu yang ada sedikit urusan sampai tak jadi berangkat denganku itu bohong?" cerocos Matsuri. Ia tak sabar untuk mendengarkan penjelasan Hinata saat itu juga.

"Hiks..." Hinata mencoba menghentikan isakannya agar bisa menatap Matsuri yang menaruh penuh perhatian padanya. Hanya kepada dia, Hinata merasa percaya dan tenang untuk menceritakan semuanya. Ia harus menceritakannya. Ia tak mau kesalahpahaman ini terus berlarut.

"Se-semua itu benar, Matsuri-chan..."

"Apa?!"

Tapi Hinata tak menyangka akan mendapat reaksi Matsuri yang sekarang. Terlihat marah, benci, dan tak suka.

"Kau mengkhianati Gaara-niichan, Hinata?!"

Hinata terhenyak.

Tidak!

"B-bukan seperti itu, M-mat-"

"Lalu kenapa? Katakan alasannya, Hinata!"

Hinata bahkan bukan siapa-siapanya Gaara. Jadi gadis itu tak pernah berpikiran bahwa persepsi sahabatnya akan menjadi buruk jika mendapatinya yang berboncengan dengan senpai yang bernama Sasuke itu. Ya... dari serentetan pertanyaan murid yang mengerubunginya tadi, ditambah pertanyaan dari Matsuri, Hinata jadi ingat namanya. Senpai baru itu, Sasuke. Uchiha Sasuke.

Heck! Hinata saja baru ingat namanya sekarang, tapi kenapa semua sudah berspekulasi yang tidak-tidak?

"Hinata?!" Hinata yang masih dilema, bingung untuk menjawab, semakin sakit melihat raut kekecewaan Matsuri.

"A-aku bukannya m-mengkhianati G-gaara-san, Matsuri-chan..." ah, mungkin ia harus terus meneruskan sandiwaranya.

"...T-tapi senpai itu yang t-tiba-tiba datang, hiks dan m-memintaku berangkat sekolah dengannya t-tadi pa-"

"Dan kau menerimanya begitu saja?!" Matsuri sedikit tercerahkan.

"I-itu-"

"Tunggu! Apa Sasuke-senpai sudah mengenalmu? Kalian sudah saling mengenal?!"

Dan Hinata pun menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Awal ia bertemu ketika sehabis piket, dan akhir ketika mereka membuat kehebohan seisi sekolah saat ini karena datang ke sekolah secara bersama dengan berboncengan motor.

"... B-begitulah, sampai menjadi s-seperti sekarang hiks,"

"Baka!"

Hinata tersentak. Hampir saja ia terjengkang ke belakang karena kaget.

"Kau harusnya bisa menolak, Hinata! Aku kan juga sudah memperingatkanmu. Jauhi senpai itu, dia bukan seorang pemuda baik-baik! Aku mendengar desas-desus tak menyenangkan dari beberapa orang. Memang dia tampan, bisa membuat setiap gadis meleleh, tapi jangan sampai dekat-dekat dengannya!" muka Matsuri sampai memerah mengucapkannya. Ia lega, dugaan buruknya salah. Matsuri tahu Hinata itu gadis baik-baik. Tapi ia tak habis pikir kenapa gadis itu terlalu baik?

"A-aku tidak menyukainya, Matsuri-chan..." Hinata membela diri. Itu adalah fakta, tak sedikit pun ia merasa tertarik dengan senpainya yang bernama Sasuke itu.

"Benarkah?" Matsuri sedikit tak yakin, tapi setelah itu ia melunakkan wajahnya.

"Ah, souka... kau kan punya Gaara-niichan,"

"!" wajah Hinata memerah sempurna.

"Yang terpenting..." Matsuri memegang kedua pundak Hinata erat. Wajahnya serius.

"... Hinata, kau harus merubah sikapmu itu. Kau harus bisa tegas! Kau harus bisa membela diri! Jangan biarkan orang lain berbuat seenaknya dan menginjakmu sesuka hati! Kau juga harus bisa bersikap egois!"

"E-eh?"

"Jangan terlalu bersikap baik, kalau kau tidak ingin terus dimanfaatkan orang lain!"

"T-tapi bukankah bersikap baik itu ha-harus?" Hinata selalu teringat nasihat ibunya yang menyuruhnya selalu bersikap baik. Meskipun semakin kesini nasihat itu berubah menjadi ia yang harus menjadi lebih berani.

"Baik itu perlu. Bersikap baik itu bagus, tapi sesekali kau juga harus mementingkan dirimu sendiri. Kau harus memikirkan perasaanmu. Kau tidak boleh sampai sakit hanya demi orang lain. Hidupmu sendiri itu berharga, Hinata!"

Hinata menatap Matsuri dengan mata lebar. Sahabatnya itu benar. Semua yang ia katakan itu benar. Bahkan sebenarnya keluarganya sendiri sering menasehatinya dengan hal-hal seperti itu. Hanya saja penyampaian Matsuri yang lebih tegas dan keras mau tak mau membuatnya bangkit dari rasa 'harus bersikap baik' pada semua orangnya.

"Apa kau mengerti?!"

"Mm!" Hinata mengangguk cepat.

"Yosh... tidak ada masalah jika begitu," Matsuri melepaskan pundak Hinata dan tersenyum lebar ke arahnya. Sahabatnya yang malang. Secara tak langsung selama ini sering jadi bahan bullyan. Ia merasa kesal Hinata masih mau saja jika dilimpahi tugas piket seorang diri oleh mereka. Dan dengan seenaknya menghakimi gadis Hyuuga itu yang bisa berinteraksi dengan senpai favorit mereka, padahal yang membuka jalan Hinata bisa bertemu Sasuke itu ya mereka sendiri.

"Daijoubu?"

Hinata mengangguk.

"Kau tidak marah padaku kan? Aku juga seperti ini juga demi kebaikanmu," Hinata malah tersenyum lebar.

"J-justru aku harus berterima kasih, M-matsuri-chan. Sudah memberiku n-nasihat. Semua yang Matsuri-chan katakan itu benar, a-aku harus berubah. Aku harus lebih berani, p-percaya diri, dan mencoba tidak gagap," ujarnya.

"Yup! Kau benar sekali... ah, leganya ternyata kecurigaanku salah," Matsuri terkikik. Calon kakak ipar kesayangannya terselamatkan.

"S-sepertinya aku akan membuatkan M-matsuri-chan kue untuk ucapa terima kasih..." senyum Hinata. Membuat gadis bersurai coklat sebahu di depannya kegirangan.

"Kyaaa... Hinata-chan ku adalah gadis pintar yang manis! Kau tidak perlu repot-repot sih, tapi aku akan dengan senang hati menerimanya," Hinata tertawa kecil.

Matsuri mencubit dua pipi Hinata gemas.

"M-matsuri-chan i-ittai..."

"Ne, mau ke kantin? Aku sangat lapar, waktu istirahat juga tinggal sebentar lagi,"

"Boleh... a-aku juga sudah l-lapar,"

"Yosha...! Kutraktir roti isi dan yakisoba untuk menghiburmu, Hinata-chan,"

"Mm-hm..." Hinata menggeleng pelan.

"Aku membawa bekal. A-aku temani saja ya..."

"Baiklah... nanti kalau masih dikerubuti, abaikan saja mereka ya, Hinata. Khusus hari ini aku akan selalu berada di dekatmu,"

"H-hontou? Waaaa... arigatou, Matsuri-chan,"

"Tak masalah! Lagi pula kau kan calon kakak iparku," Matsuri mengedipkan salah satu matanya. Ah... itu membuat Hinata kembali layu. Ia belum bisa mengatakan yang sebenarnya pada sahabatnya itu. Padahal Matsuri sudah begitu baik padanya.

"J-jangan diumbar dulu ya, Matsuri-chan," Matsuri yang sudah mulai berdiri dan membersihkan roknya mengernyit heran.

"Hm? Apanya?" Hinata juga ikut berdiri.

"T-terkait aku dan G-gaara-san..."

"Hah? Memangnya kenapa?" Hinata menggeleng cepat-cepat ketika mendapati raut curiga sahabatnya itu.

"T-tidak, bukan apa-apa! H-hanya saja, a-aku belum terbiasa..."
Hinata menunduk takut. Namun setelah beberapa lama, akhirnya Matsuri hanya menjawab,

"Souka... wakatta!"

Dan mereka pun berjalan bersama kembali ke kelas untuk mengambil bekal dan uang lalu melesat ke kantin dengan Matsuri yang berteriak layaknya preman agar murid yang menggeromboli mereka itu menyingkir. Berteriak lantang hingga membuat Hinata merasa sangat malu karena lagi-lagi dirinya menjadi pusat perhatian, dan lagi, saat ini ia menjadi terkenal! Walau begitu, Matsuri yang sudah layaknya pengeras suara itu melantangkan bahwa Hinata tak ada hubungan apa-apa dengan senpai populer mereka. Mengatakan bahwa sahabatnya itu sudah punya seorang kekasih yang lebih baik, lebih tampan, dan lebih seksi dari Uchiha Sasuke. Membuat wajah Hinata sangat panas dan merah, tapi itu berhasil! Gerombolan perlahan memudar, tak sebanyak tadi. Meski harus membuat Hinata hampir pingsan oleh pernyataan Matsuri yang diucapkan keras-keras. Juga, membuat seorang pemuda di salah satu sudut meja kantin hampir mati tersedak makanan ketika mendengar suara bodoh adiknya.

"Uhuk uhuk..."

'Apa-apaan anak itu...'

"Gaara, kau tak apa?" Lee mengangsurkan segelas air pada Gaara.

Gaara mengangkat tangannya yang menginstruksikan bahwa ia baik-baik saja.

Suasana kelas Gaara yang dihuni oleh Sasuke pula di dalamnya, tak jauh beda dengan Hinata. Untuk pertama kalinya, Gaara merasa diabaikan. Tapi ia tak peduli, dan justru merasa lega. Ia pun melenggang pergi tanpa harus mendengar teriakan para gadis lagi karena saat itu mereka sedang sibuk mengerubuti Sasuke layaknya semut menemukan gula. Pemuda itu tak mau mendegar lagi ucapan yang keluar dari bibir Sasuke karena hanya akan membuat hatinya panas. Gaara terus mencoba berpikir positif. Hinata tak akan mungkin dan tak akan mau menjalin hubungan dengan pria macam Uchiha Sasuke. Hell! Dia juga masih dalam status 'kekasih' nya sekarang. Setampan dan sekaya apapun seorang pemuda, Hinata pasti tak akan memilih tipe bajingan dan bobrok macam Sasuke. Ya, tak mungkin! Sangat tak mungkin!

Gaara harus berpikir positif, mencoba tak acuh dan menganggap semua pernyataan pria berambut pantat ayam itu ngasal saja. Benar, Sasuke itu orangnya kan gak bisa dipercaya. Gaara akan mencoba mengajak bicara Hinata nanti untuk mengulik informasi. Ia lebih mempercayainya. Semoga saja gadis itu tak lagi menghindari. Dan sepulang sekolah, rencananya Gaara akan langsung menghampiri. Tapi apa-apaan!

Sedang nikmat-nikmatnya menyantap makanan di tengah kepala stresnya ia mendengar suara TOA Matsuri yang menjengkelkan. Untung saja kekhawatirannya akan sesuatu hal tak sampai disebut. Akan sangat merepotkan Hinata jika adiknya itu ikut pula menyeret-nyeret namanya dalam teriakan bak kampanyenya yang bisa terdengar hampir seluruh penjuru sekolah. Cukup Gaara yang membuat gadis itu tersiksa karena ia yang mengajaknya memiliki hubungan palsa, Gaara tak mau lagi menyusakan Hinata.

"Hah..." setelah selesai dari rasa tersedaknya, Gaara melirik kedua gadis yang duduk cukup jauh dari tempatnya sekarang. Masih ada beberapa murid yang mencoba mengerubuti atau bertanya padanya, tapi Matsuri yang 'menyalak' bak anjing galak membuat mereka urung lebih mendekat. Sedang Hinata, hanya bisa menganguk-anggukkan kepala seperti meminta maaf dan menjelaskan singkat atas pertanyaan yang para siswa ajukan padanya. Gadis itu terlihat lelah dan... tertekan. Gaara jadi tak tega melihatnya.

Sialan sekali si Uchiha itu! Kenapa harus menyeret gadis polos dan tak tahu apa-apa macam Hinata bersamanya? Membuat gadis itu kini kesusahan. Terlibat bersama si Uchiha itu, hanya akan membuat Hinata kesusahan!

Gaara mengepalkan tangannya erat.

Hinata tak akan pernah susah jika bersamanya.

1 detik...

2 detik...

5 detik...

10 detik...

'Eh?'

.

.

.

Pada akhirnya Gaara mengalah akan perasaan yang melandanya.

Pemuda itu benar-benar menyukainya.

Pemuda benar-benar sadar akan perasaannya.

Pemuda itu ingin memilikinya.

Gaara ingin memiliki Hinata.

TBC

Huft... udah berapa tahun nih?

Hahahaha akhirnya lanjut lagi, walau gatau ada yang minat ngebaca atau gak wkwkwk

See you!^^