Disclaimer: All characters of Naruto belongs to Masashi Kishimoto-sensei. And I'm just playing with it.


Karena tidak jadi dibuang sembarangan, Sakura akhirnya tetap dipulangkan ke habitat aslinya dengan selamat. Fugaku hanya menurunkan satwa liar tersebut dan kembali ke rumah sakit setelah Sakura mengucapkan terima kasih karena sudah diantar. Bagus, pertahankan etiket itu anak muda.

Namun yang jadi masalah saat ini, sidang langsung dimulai saat sang kakak langsung menarik Sakura ke meja hijau untuk diadili. Bahkan Sakura enggak diperbolehkan untuk mandi atau bersih-bersih barang sebentar. Seingat saya makan terakhirnya hanya pas jam istirahat sekolah. Itupun pada jam 9 pagi, yang mana belum termasuk waktu makan siang.

Sasori Haruno atau yang kerap akrab disapa si merah dari goa setan bersedekap dengan mata yang masih mengintimidasi. Saat ini mereka duduk berhadapan di sofa ruang keluarga Haruno.

Wah, kalau begitu permisi ... saya ingin lihat-lihat sebentar. Heee, tampaknya keluarga mereka ini pecinta hal-hal yang minimalis. Terlihat dari struktur bangunan juga penempatan perabotan rumah tangga yang simple serta tidak banyak ornamen rumit.

Pfft, foto apa itu di ruang tengah? Apa itu Sasori dan Sakura?

Keduanya terlihat masih kecil hanya memakai popok, bergaya seperti superhero danBAHAHAHAHA! Foto itu dicetak dengan ukuran 30R! Sangat besar untuk ukuran foto aib keluarga. Empat jempol untuk siapapun pencetus ide yang ingin menjatuhkan harga diri dan martabat keluarga Haruno.

"Tadi sudah bilang makasih?"

"Ke siapa?"

Mata Sasori menyipit, membuat Sakura semakin merundukkan kepala dan cemberut. "Pak Fugaku."

"Sudah."

"Bagus."

Duh, auranya masih enggak enak.

Sasori mulai menciptakan suasana yang sangat tidak disukai Sakura, sangat mengintimidasi. Terakhir kali Sakura merasakan suasana ini saat dia ketahuan mencuri resep Krabby Patty yang diletakkan di bawah kasur. Hmm, jangan bilang kau mencurinya bersama Plankton dan Karen.

"Loh, Sakura sudah pulang?"

"Kakek!" seru Sakura dan menghambur ke pelukan kakeknya, diam-diam meminta pertolongan. Eh, sejak kapan beliau masuk? Apa barusan menembus dinding?

Jiraiya yang baru saja pulang sedikit bingung dengan aura yang terjadi pada kedua cucunya sebelum beliau memanggil Sakura. Merasa ada yang tidak beres melihat ekspresi Sasori yang semakin jutek dan mengintimidasi sang adik, akhirnya Jiraiya menggiring Sakura juga dirinya untuk duduk di sofa.

Kakek tua yang giginya belum tinggal dua itu melepaskan beberapa kancing atas kemejanya yang agak sesak karena slim fit, maklum habis meeting bersama beberapa kolega penting. Buset, badan tuh aki-aki ternyata masih bagus ya. Cocok banget jadi papa gula. Ayo Kek, kalau begitu sini sama saya saja.

"Ada masalah apa, Sasori?" tanyanya.

Sasori berdecak, sedikit mengadu. "Sakura kembali buat ulah."

"Itu karena aku belum makan, Kek!" balas Sakura tidak nyambung.

"Jangan mengada-ngada!"

Jiraiya terkekeh pelan. Mengelus rambut cucunya, membuat Sakura menyender manja sembari cemberut.

"Aku sudah bilang tadi pagi ingin menjemputnya." Sasori menuding sang adik. Hei sialan, kau ini menuding adikmu yang mana?! "Tapi si bodoh ini malah keluyuran tidak jelas seperti cabe-cabean dan bahkan tidak mengabariku apa-apa."

"Lalu?"

"Aku panik kenapa dia enggak muncul-muncul waktu kujemput. Tidak beri kabar, telepon juga tidak diangkat kayak Bang Toyib. Kalaupun enggak ada orang yang mau menculik dia, aku tetap saja merasa khawatir," keluh Sasori, "waktu dia akhirnya berani meneleponku balik, saat ditanya adikku itu malah beralasan ini-itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu."

Sakura menyahut sembari melotot, "Kakak sendiri yang enggak mau dengar penjelasanku." Dia langsung menoleh ke kakeknya dan merengek manja, "Kakek, ayo makan. Sakura lapar~"

"Dasar anak nakal," decak Sasori.

"Padahal ujungnya aku tetap pulang dengan selamat diantar sama kepala suku."

"Iya, tapi kau belum jelasin ke Kakak kenapa bisa ada sama Pak Fugaku."

Sakura memukul-mukul sofa dengan gemas. "Dari tadi juga aku ingin ngejelasin, tapi Kakak sendiri yang malah mengintimidasi dan melotot terus. Sebenarnya pekerjaan Kakak ini pilot atau pengacara, sih?!"

"Tsk." Sang kakak mencari pembelaan. "Lihat kan, Kek?"

"Hei, jangan mencari pembelaan ke Kakek!"

"Yang cari pembelaan itu sebenarnya siapa?"

"Sudah, sudah." Jiraiya mengusap rambut Sakura lagi. Menghentikan kedua cucunya yang sedang adu pelototan.

"Sebentar, Kek. Sedikit lagi Kakak kalah karena bakal kedip duluan."

"Otakmu mulai sedikit terganggu, ya?!"

Jiraiya mendesah lelah, langsung menutup mata Sakura dengan sebelah tangan agar pertengkaran konyol ini cepat selesai.

Sakura memberontak. "HUAAAAAAA, KENAPA MATAKU DITUTUP KAKEK?!"

"Kau tidak akan pernah bisa menang dariku, akui saja itu." Dengus Sasori dengan kepongahan.

"Ini enggak adil! Kakek pilih kasih!"

"Sudah, jangan bertengkar!" dengan tegas, Jiraiya menghentikan semuanya sebelum jadi runyam. "Kalian berdua ini intinya saling menyayangi. Tapi tadi Sakura salah, Sasori benar-benar khawatir karena enggak dapat kabar darimu."

Sakura merundukkan kepala, menyatukan telunjuknya. "Yah, maaf ... aku enggak bermaksud buat Kakak jadi khawatir."

Sasori mendengus gemas dan tampak ingin mengomel lagi sebelum akhirnya dipotong oleh Jiraiya.

"Sasori juga salah, kau terlalu keras kepala dan enggak mau mendengarkan penjelasan adikmu."

Ah, adem sekali nasihat orang tua berambut uban panjang ini. Cocok sekali menjadi Biksu Tong untuk mencari kitab suci ke barat, meski dibayangan saya beliau lebih mirip dukun sih.

Sasori cemberut, sedikit tidak mau disalahkan. "Aku khawatir padanya."

"Khawatir boleh, tapi egomu jangan jadi batu." Terlihat Sasori ingin melayangkan protes. "Sudah, hentikan permasalahan sepele ini. Karena Kakek dan Sakura butuh asupan makanan untuk hidup, bagaimana kalau kita dengar penjelasan adikmu ini sembari makan malam, hm?" dan akhirnya terbujuk juga.