Disclaimer: Cerita ini dibuat demi kesenangan pribadi dengan meminjam nama-nama tokoh dalam "Naruto", karya Masashi Kishimoto.


THE RULES OF LOVE

Bab 8

Sabtu, oh, Sabtu! Duka jadi dokter, di akhir minggu pun masih harus di klinik sampai jam satu siang. Baru saja satu pasien pria keluar, sekarang ... .

"Nona Amano Shion!"

Pasien terakhir. Akhirnya. Tapi ... tunggu! Rasanya, Hinata kenal nama yang baru saja dipanggil oleh asisten laki-lakinya. Ia ingin tertawa miris begitu pasien masuk.

Benar, Ino pernah memperlihatkan foto si gadis yang diambil diam-diam. Waktu itu, Hinata protes, mengapa Shion agak mirip dengannya, apalagi jika rambutnya hitam. Bedanya lagi, gadis ini jauh lebih pendek dari Sasori. Ia jadi sulit membayangkan, bagaimana saat Shion berdiri di sebelah Sasuke yang tingginya hampir menyamai Madara. Apa tidak makin seperti paman dan keponakan yang masih PAUD?

Shion menyapa dokternya, lalu duduk di kursi empuk. Herannya, yang Hinata lihat, si pasien seperti duduk di semak belukar. Ini dia, pikirnya! Kalau sampai Sasuke ada hubungannya, akan ia halangi pria itu agar tidak mendekati Sakura!

Sesi anamnesa pun berlangsung. Hinata menanyai keluhan Shion. Dalam sekali kedipan mata, ia tahu gadis itu mencoba melawan malu ketika memberitahu apa yang ia alami.

"Berbau, ya ... kalau tekstur dan warnanya, bagaimana? tanya Hinata.

"Pekat dan ... hm ... maaf ... kuning kehijauan, Dok. Saya ... ."

Hinata tersenyum pada Shion, memberi jeda agar pasiennya bisa mengatasi rasa malu. Ia mengerti, tak semua perempuan berkehidupan "bebas" lantas tak memiliki rasa tersebut, terlebih di hadapan seorang dokter yang tak dikenal.

"Semua pembicaraan di sini konfidensial. Artinya, Anda percaya pada saya dan saya harus menjaganya," ujar Hinata.

Shion mengangguk-angguk.

"Kita lanjutkan, ya. Ada gatal atau panas di sekitar vagina?"

"Se ... sedikit ... ya, cuma sedikit."

Tergagapnya Shion membuat sang dokter langsung menyadari bahwa pasiennya itu tidak yakin atau bohong. Biasanya karena takut akan hasil diagnosisnya nanti.

"Mual? Demam?"

Shion menggeleng. Meski belum lama, rasanya bikin tak nyaman. Tak jarang ia enggan buang air kecil, bahkan merasa nyeri saat bersenggama. Pernah pula ia mencoba mengobatinya dengan cairan pembersih mahal, tetapi tidak mempan. Ramuan pun sama.

"Aktivitas yang Anda lakukan belakangan ini?" tanya Hinata.

"Ma ... masa Dokter tidak tahu ...," balas Shion.

Hinata berhenti menulis. Tentu ia paham ke mana arahnya. Ia hanya menjalankan prosedur awal pemeriksaan. Tetapi, tak apalah kalau ia harus disamakan dengan dukun. Mengatasi perasaan rendah diri memang tak selalu mudah.

"Asumsi saya, Anda berhubungan intim dengan pasangan. Pacar, misal," katanya.

Pasien tiba-tiba terdiam, pikirannya seolah berkelana. Hinata juga ingin mendengar jawabannya, apakah mereka benar-benar sudah berpisah. Sebagai pasien, gadis ini tak punya kepentingan menutupi sesuatu, bukan?

"Tidak, Dok," jawab Shion. "Dari tiga bulan sebelum putus, kadang saja kami ... tidur bersama, tapi tidak pernah ... melakukan 'itu'. Ma ... makeout juga tidak."

Wah, detail sekali, pikir Hinata. Tanpa si pasien sadari, dokter itu yang kini hilang dalam tumpukan ingatan. Pertamakali Sasuke ke klinik adalah tiga bulan yang lalu. Ternyata, pria itu benar-benar tidak pernah meniduri Shion setelah kejadian terpergoknya perselingkuhan panas itu.

"Hm ... aman, 'kan, Dok?" tanya Shion.

Hinata tersenyum kecil. "Ya, tergantung bagaimana gaya hidupnya dulu," ujarnya.

Bukan karena Sakura ia berkata begitu. Ia perlu mengetahui kemungkinan penyakit apa yang menyerang. Beberapa memang tidak lekas menunjukkan gejala, lalu tahu-tahu sudah parah.

"Dia tidak suka kehidupan 'bebas', kok. Pernah, sih, sekali tidur dengan wanita lain, tapi itu di luar kemauannya," jawab Shion.

Cukup menakjubkan, pikir Hinata. Rumor soal kebodohan Sasuke sepertinya benar. Pria itu ke diskotik cuma demi baju Shion, menyediakan jasa antar-jemput, dan jasa finansial. Kasihan, tapi menggelikan.

"Syukurlah," ujar Hinata, "dia cowok yang cukup baik, ya, sepertinya."

Shion tersenyum getir. Penyesalan besar tergambar di wajahnya, tetapi di sisi lain, ia tahu semuanya percuma. Terlambat.

"Benar," lirihnya, "sangat baik, kok."

"Kalau pasangan yang sekarang?" lanjut Hinata

"Entahlah ... saya tidak tahu pasti gaya hidup mereka," jawab Shion.

"Mereka?"

Shion menunjukkan empat jarinya. Kalau bukan Shion, Hinata akan merasa biasa-biasa saja. Ia terkejut sekaligus tak heran meski tak ditampakkan. Yang ia heran justru karena Sasuke jauh dari tuduhan kejamnya. Pantas Naruto rela membela pria itu dan mengatakan bahwa perasaan Sasuke sudah mati sejak lama.

"Saya terpaksa. Butuh uang," ujar Shion.

Oh, astaga! Shion memang bukan satu-satunya pasien yang menjalani kehidupan amburadul demi duit yang pernah Hinata jumpai. Tetapi, karena berkaitan dengan Sasuke, perasaannya jadi berbeda. Ia tak memungkiri bahwa ia lega karena pria itu tak tidur dengan Shion lagi.

"Terus, yang sekarang pakai kondom?" tanya sang dokter.

Shion menggeleng. Biadabnya beberapa lelaki hidung belang, mereka memikirkan kenikmatan semata tanpa memedulikan keselamatan orang lain. Masih bagus jika mereka saja yang rugi.

"Baik, mari ikuti saya!" ujar Hinata.

Sang dokter memanggil asistennya, tapi yang perempuan. Mereka pun masuk ke bilik pemeriksaan. Hinata meminta Shion untuk membuka baju. Tidak ada ruam di mana pun. Agar jelas, Hinata mengambil sampel cairan organ intim si pasien yang nanti akan dianalisis di laboratorium. Lalu, ia berikan pada asistennya tadi.

"Saya ... kenapa, Dok?"

"Tunggu, ya. Boleh di sini atau di luar. Lima belas menit saja," jawab Hinata.

Gadis itu memutuskan tinggal. Terkadang, pasien lebih memilih berada dekat dengan dokternya karena merasa nyaman, seakan penyakitnya pasti sembuh. Di sana, Shion duduk.

Beberapa menit kemudian, hasil keluar. Hinata kembali dari laboratorium, sementara Shion menatap penuh harap sang dokter yang kini sibuk menulis resep.

"Ini bisa ditebus di apotek klinik atau luar," kata Hinata.

"Baik, Dok, tapi sebenarnya saya kenapa?"

Hinata menatapnya. Ia tidak tega melihat Shion seperti mau menangis, tetapi ia pun harus terbuka, terlebih saat pasien sudah menuntut jawaban.

"Infeksi bakteri. Apa penjelasan saya bisa dipahami?" jawabnya.

Shion mengangguk, wajahnya memucat. Hinata sudah biasa melihat reaksi seperti itu. Hampir semua pasien, bahkan sampai ada yang memarahinya karena begitu tak sanggupnya menerima hasil. Hinata cuma tak mengungkapkan seterang-terangnya apa nama penyakit yang diderita gadis itu sebab ia tetap harus mempertimbangkan efek psikisnya. Bisa saja Shion syok saat mendengar kata chlamydia.

"Beryukurlah karena itu belum menyebar!" ujar sang dokter. "O, ya, kegiatan intimnya dihentikan dulu, ya, sampai sembuh. Jika masih ada gejala, silakan kembali dan ... lain kali pakai kontrasepsi!"

"Baik, Dok. Terima kasih," balas Shion.

Gadis itu keluar. Setelah beberapa saat, Hinata tertawa-tawa seperti orang tidak waras. Bukan, bukan penderitaan pasien yang ia tertawakan, melainkan takdir. Ini di luar dugaan. Dari sekian banyak dokter?

Usailah pekerjan hari ini. Akhirnya, ia bisa mengecek ponselnya yang dari tadi terus bergetar. Dibukalah satu pesan. Tak perlu membaca per kata. Sekilas sudah cukup membuat hatinya mencelus. Ini tak benar! Ia langsung menghubungi Naruto supaya secepatnya siap dijemput. Untung hari ini ia menggunakan mobilnya.

Dalam waktu lima belas menit, ia sampai di depan apartemen Naruto. Pria itu tidak banyak membahas soal kabar masuknya Ino ke rumah sakit. Sepertinya, ia paham, tetapi tetap saja ia khawatir sebab Hinata mengemudi seperti kesetanan.

"Aku tak tahu lagi ... astaga!" Hinata bicara sendiri.

"Tenang, Sayang! Sini, biar aku yang bawa mobilnya," ujar Naruto.

Hinata menggeleng. Kalau Naruto yang menyetir, dua bulan baru sampai tujuan. Yang ada ia malah semakin tak tenang.

"Fine," desah Naruto. "Lalu, Sakura bilang apa soal penyebabnya?"

"Aa ... intinya, kita jangan tanya-tanya dulu soal Sasori, apalagi soal kehamilan," balas sang dokter.

"Ino hamil?"

Hinata membuang napas. Ia juga belum bisa benar-benar percaya jika belum mendengarnya sendiri, entah dari Sakura maupun pacar Ino.

"Pacar lain Sasori," katanya.

Senyap. Mereka tahu Sasori sudah sering keterlaluan pada Ino. Mengatur ini-itu dan bahkan marah karena hal-hal remeh yang mungkin tak sepele baginya. Mereka pun cuma bisa mengerti. Tetapi, kekasih lain? Tunangan Madara. Bagaimana mungkin?

"Ini ... yang gila siapa, sih?" tanya Naruto.

"Right? Aku, kan, sudah bilang padamu, Sasori itu kurang beres setelah kupikir-pikir. Kau saja yang tidak percaya."

Naruto memang pernah menasihati sang tunangan agar tidak mudah menghakimi orang lain. Dulu Sasuke; tidak lama Sasori. Akan tetapi, terlalu sulit bagi bahkan bagi dirinya untuk tidak melakukannya kali ini. Salah memilih itu biasa; jenuh pun lumrah. Menduakanlah yang tak bisa dibenarkan. Maka, Sasori memang bersalah. Apa pun yang melatarbelakangi perbuatannya.

XxX

Mengobrol dengan Neji membuat Tenten sejenak lupa akan berbedaan mereka. Ia bahkan mulai terbuka soal kehidupannya waktu kecil. Pria itu akhirnya tahu bahwa ia jadi yatim piatu saat berumur sembilan tahun. Ayahnya asli Tionghoa. Itu kenapa, marganya berbeda.

Dulu, mereka hidup cukup nyaman. Sang ayah bekerja sebagai jurnalis dengan gaji layak. Sampai sebuah tragedi menimpa. Berawal dari kegigihannya saat berusaha menginvestigasi kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh anak sulung petinggi di kemiliteran, tak lama setelahnya sang ayah lenyap bagai ditelan bumi. Mencari pun tak membuahkan hasil hingga suatu hari, ayahnya resmi dinyatakan hilang. Ia makin hilang arah saat ibunya meninggal tiba-tiba saat tidur.

Neji tercekat. Rupanya, ada sesuatu yang mengakar lebih dalam di balik traumanya. Perisakan itu hanya memperjelas bahwa selama memiliki harta dan kuasa, mereka dapat dengan mudahnya menindas yang miskin. Tetapi, satu hal yang Neji kagumi. Tenten tidak pernah sudi menyerah pada ketakutannya, maka ia pun memutuskan untuk menjadi jurnalis.

"Terus, kenapa malah keluar?" tanya Neji.

"Sadar saja itu bukan minat saya. Ya, saya cocoknya jadi tukang kopi. Lagi pula, buat saya, pekerjaan harusnya menyenangkan," jawab Tenten, lalu terdiam sejenak. "Aa ... Bapak suka dengan pekerjaan Bapak?

Neji bergumam. Andai bisa memilih, ia ingin menjadi pilot. Itu cita-citanya sejak kecil. Dari gambar, cerita anak, majalah, sampai poster tentang pesawat pun ia punya. Sayang, ada kalanya orang tidak bisa meraih apa yang dimaui. Neji pun sama.

Ibunya meninggal sesaat setelah ia lahir, sedangkan sang ayah pergi tanpa pamit tidak lama kemudian. Neji sebatang kara pada usia enam bulan, lalu ia dibesarkan oleh keluarga Hinata. Ia sangat berutang budi pada mereka. Ia pun membayarnya dengan menjadi dirinya saat ini, terlebih karena Hinata ingin menjadi dokter. Adik Hinata dinilai kurang kompeten menjadi pengambil keputusan.

"Akhirnya, ya ... suka juga walau kadang-kadang saya masih ingat cita-cita saya," ujar Neji.

Tenten tercenung. Hujan deras di luar pun seakan menjatuhkan tiap tetes kesedihan mereka. Kini, ia mulai mengerti mengapa begitu mudahnya Neji berkelakar tentang salaryman waktu itu. Jabatannya dan apa yang ia miliki adalah titipan. Menjadi CEO juga karena kemahirannya, bukan berapa saham yang bapaknya punya. Bapaknya saja minggat sejak lama.

"Hm ... yang sabar, ya, Pak." Cuma itu yang mampu Tenten ucapkan.

"Kalau kamu kasihan, harusnya tiga bulan lagi kamu tidak menolak saya," balas Neji.

Tenten berdecak kesal sekaligus malu. Bisa-bisanya Neji bercanda di saat seperti ini. Seakan, semua dukanya sudah bukan apa-apa. Akan tetapi, bukankah kehidupan tidak pernah menunggu?

"Bapak biasa suka merusak suasana, ya? Lagi bagus-bagusnya, nih!" protes Tenten.

"Ya, jangan terbawa suasana, kecuali ... ."

"Jangan mulai!"

Pria itu pun mendengus geli. Sebenarnya, ia tak suka cerita masa lalunya diingat. Ia cuma merasa perlu terbuka pada Tenten kalau memang ingin serius.

"Eh, hujannya mulai reda. Kita lanjut," ujar Neji.

Mereka pun meninggalkan restoran cepat saji itu dan berlari kecil sampai ke mobil. Masih ada banyak tempat yang ingin Neji kunjungi dan selanjutnya ialah toko buku. Sekalian mencari tahu buku apa saja yang sekarang paling laku.

Tenten mengernyit manakala dilihatnya belasan panggilan terlewat dari Sakura. Ponselnya tertinggal di mobil, jadi ia tak tahu kalau ada yang menghubungi. Ada pula sebuah pesan super panjang yang bikin matanya terancam juling. Dan pesan itu kemudian membuatnya panik.

"Pak ... boleh kalau saya minta diantar ke St. Luke? Tapi, kalau ... ."

"Oke. Siapa yang sakit?" tanya Neji.

"Ino."

Tanpa pikir panjang, Neji langsung tancap gas. Kalau Ino sakit, pasti Hinata ke sana. Apalagi, menurut cerita Tenten, si pirang menghilang sejak Selasa malam karena permasalahan cinta.

"Sakit apa?" tanyanya.

"Infeksi lambung dan banyak pikiran," jawab Tenten.

"Stres?"

"Ya ... begitulah."

Benar-benar kombinasi sempurna, pikir Neji. Kedua penyakit itu ialah perwujudan lain dari cinta bertepuk sebelah tangan. Sakit lambung tak selalu dipengaruhi oleh kejiwaan. Sebaliknya, kejiwaan akan selalu memengaruhi fisik. Manusia yang sedang tegang saja bahkan bisa membuat asam lambung naik.

"Hm ... misal nanti Bapak ilfil sama saya dan mundur sebelum tiga ... ."

"Kenapa?" potong Neji.

"Kayaknya, saya bakal mukulin pacar Ino," jawab Tenten.

"Kok bisa?"

Tenten membuang napas. Entah tepat atau tidak, pada akhirnya Neji akan tahu juga dari Hinata. Lagi pula, pria ini bakal menjadi salah satu saksi mata.

"Dulu, mantan pacar Ino tunangan sama mantan pacar Sasori. Sekarang, mantan pacar Sasori hamil dengan Sasori. Terus, ya, mereka berempat ketemu," jelasnya.

"A ... I'm not sure if I understand," balas sang CEO.

Jangankan dia, Tenten saja masih tidak mengerti!

XxX

Madara enggan pergi dari sisi Ino. Sedari tadi, ia memandangi wajah sang kekasih hati. Ino tampak menderita dan ia sesali semua keegoisannya. Namun, ia masih ingin egois, bahkan lebih. Ia mau Inonya kembali ke dekapannya. Ia ingin mereka menggenggam mimpi. Tak usah banyak, tak muluk-muluk. Hanya, apa yang harus ia lakukan agar wanita ini menerimanya?

Sebenarnya, ia juga ingin menghajar Sasori, tetapi apa haknya? Ia pulalah yang menyebabkan Ino terbaring di sini. Andai dulu ia berani menentang kehendak sang ayah, Karin tak akan meninggalkan Sasori. Pria itu tak akan bertemu Ino. Ah, kadang hidup memang pandai melawak. Sebab, ia sudah dibuat tertawa getir ketika mengingat rumitnya simpul benang takdir yang menghubungkan mereka berempat.

Ino tiba-tiba melenguh, berusaha meraih kesadaran. Madara langsung menggeser kursinya untuk mendekat pada wanita itu. Lalu, Ino mengucapkan satu silabel kata. Mungkin nama. Tanpa sadar, Madara pun menahan napas, sepenuh hati memohon agar bukan nama Sasori yang terucap.

"Saku ...," lirih Ino.

Lega. Madara mengusap-usap punggung tangan Ino yang dipasangi selang. Di sisi lain, ia heran mengapa bukan Sasori yang dicari. Hingga ia mengerti sebabnya. Jiwa Ino sudah tahu siapa yang tidak boleh dan tidak pantas dicari lagi.

Pelan-pelan, mata Ino terbuka. Sesekali tertutup lagi sampai ia benar-benar bisa melihat benda-benda di sekitarnya. Ia di rumah sakit. Bersama Madara. Sesaat, ia memejam lagi agar kesadarannya benar-benar utuh. Pria itu memang di sini.

"Sakura?" tanyanya dengan suara parau.

"Di luar sama Sasuke. Tadi saya diberitahu kalau mereka sempat ditahan di pos."

"Hah? Kenapa?"

"Yakin, mau tahu?" tanya Madara ragu.

Ino mengangguk. Meski sakit, ia masih kuat untuk mengkhawatirkan sahabatnya itu. Dan lagi, mengapa bosnya juga ada?

"Sakura mukulin ... pacar kamu," jawab Madara.

Anehnya, perasaan Ino sama sekali tidak sakit. Seakan, lenyap begitu saja.

"Pacar," lirih Ino sebelum mendengkus.

Madara makin khawatir melihat reaksinya. Ia pikir, wanita ini akan menangis seperti orang patah hati pada umumnya. Namun, berkaca-kaca pun tidak.

"Saya tidak mau jadi simpanan orang ... soalnya sudah pernah sekali," katanya.

Madara meringis, hatinya dicengkeram rasa bersalah sekaligus tak terima. Lebih-lebih, karena Ino mengatakannya seakan itu hal biasa.

"Saya sudah jelaskan. Saya baru kenal dia sebulan setelah kita putus. Tunangan pun baru tiga bulan setelah ... ."

"Setidaknya, Bapak bikin saya merasa begitu dulu," sela Ino.

Akhirnya, Madara sadar. Bagaimana Ino tidak merasa demikian? Ia memutuskan wanita ini cuma dengan sebaris kalimat bahwa ia sudah punya tunangan. Bukan akan ditunangkan. Hanya, saat itu ia tak ada pilihan.

Ia kira, semua akan lebih mudah dengan membuat Ino berpikir begitu. Nyatanya, ia malah menyusahkan diri. Ia tersiksa tiap tidak sengaja berpapasan dengan Ino di kantor. Kadang menghindar agar tak satu lift. Untung mereka tidak bekerja di lantai yang sama.

"Kasih tahu saya, apa yang kamu rasakan waktu itu!" pintanya.

"Buat apa?" tanya Ino.

"Supaya saya tahu cara menebusnya ... karena saya yang menciptakan lukanya."

"Saya sudah ikhlas."

Pada saat Ino bilang bahwa ia ikhlas, ia jujur. Bukan karena ia berniat melepaskan semuanya, tetapi memang sudah lepas sendiri. Madara juga tak bisa mengubah kenyataan yang ada. Nyatanya, mereka pernah bersama, lalu selesai. Begitupun Karin dan Sasori.

Madara sedih Ino tak mau benci. Ia ingin dibenci, lalu dimaafkan, lalu diinginkan, lalu diterima. Yang penting, Ino memiliki rasa terhadapnya.

"Saya minta maaf ... maaf," ujar Madara.

"Ada ... ."

Tiba-tiba, Ino mual-mual. Ia sudah bosan dengan rasa itu. Madara pun cepat-cepat mengambil baskom alumunium dari laci. Tumpahlah cairan dari perut Ino. Madara mengusap-usap punggungnya. Khawatir. Dan karena muntahnya menjadi, pria itu menekan tombol pemanggil perawat.

Seorang perawat datang dan menanyai keluhan pasien. Tetapi, melihat Ino mulai kesulitan bernapas karena muntah yang intens, ia pun keluar. Ia kembali bersama seorang dokter, kemudian cairan obat itu disuntikkan ke selang infus.

"This shall be okay," ujar sang dokter asing itu.

"Thank you," jawab Madara.

Sang dokter mengangguk, lalu keluar dari ruang perawatan. Madara tidak bicara lagi dan menunggu sampai obat bereaksi. Ino mulai tenang setelah lima belas menit.

"Tadi itu jijik, tahu, Pak!" ujar Ino dengan suara parau.

"Iya ... mau minum?"

Ino mengangguk, lalu Madara mengambil segelas air hangat dari atas nakas. Pria itu membantunya minum pelan-pelan. Lidah Ino terasa pahit, tenggorokannya sangat perih hingga menelan air pun tersiksa.

"Jangan diulangi, ya ... jangan skip makan lama-lama!" ujar Madara.

Ino cuma mengedip sebagai tanda setuju karena saking letihnya. Tenaganya sudah terkuras setelah muntah-muntah.

"Bapak juga ... jangan temui saya. Bapak harus move on. Saya sudah," ujar Ino.

Rahang Madara mengeras. Jika tak begini keadaannya, tentu ia sudah berteriak. Ia sendiri heran, apa yang sudah wanita itu lakukan padanya. Ia pikir, perasaannya di awal hanya rasa cinta biasa. Dan semua baru disadarinya saat tiga bulan sebelum mereka putus, ayahnya berkata bahwa ia akan dijodohkan dengan Karin.

"Besok, saya bawakan pisau. Kalau kamu bisa belah dada saya, saya bakal tinggalin kamu," katanya.

Artinya, itu mustahil. Lagi ... tanpa sebab yang jelas, Ino tahu ia tidak akan pernah bisa melakukannya pada pria ini andaipun sekarang ia menggenggam pedang.

"Saya takut dipenjara saja," balas wanita itu sekenanya, "makanya saya tidak bisa."

"Kalau begitu, kenapa kamu menyuruh saya melakukan sesuatu yang tidak akan sanggup saya lakukan?" balas Madara.

Ino sudah tak tahu harus berkata apa lagi. Madara yang sekarang lebih keras kepala. Mungkin, ia harus membirakan pria itu melakukan apa yang dimau. Sampai nanti ia bosan sendiri. Dengan begitu, mungkin Madara bisa membuktikan sendiri bahwa ia hanya merasa bersalah.

"Saya ingin bertemu teman-teman saya," katanya.

"Oke. Saya panggilkan mereka."

Pria itu beranjak dan berjalan menuju pintu. Namun, sebelum membukanya, ia membalikkan badan. Ino menatapnya.

"Hang in there ... just for a little bit more," ucapnya sebelum benar-benar pergi.

Ino tak mengerti apa maksudnya.

XxX

Tenten, Hinata, Neji, dan Naruto di rumah sakit. Mereka segera menuju taman untuk menyusul Sakura dan Sasuke yang sudah menunggu. Akhirnya, ketiga wanita itu bertemu. Di situlah Sakura menceritakan kejadiannya, termasuk saat ia menghajar Sasori.

Saat mereka mulai tenang, datanglah dua manusia lain. Sepasang pelaku penyebab Ino menderita. Sakuralah yang memanggil Sasori agar semua mendengar penjelasan tentang mengapa ia mempermainkan Ino. Tenten dan Hinata tak dapat menahan diri begitu melihat tampangnya. Namun, Neji menggeleng pada Tenten. Ia iba, bukan karena hidung memar Sasori, melainkan karena Karin yang sedang mengandung.

Namun, lain Tenten, lain pula Hinata. Sang dokter menghampiri lelaki itu. Suara keras mengejutkan yang lain. Hinata menampar Sasori. Pria itu terhuyung ke samping, tapi tak berbuat apa-apa selain menerimanya. Karin terisak sebelum Sasuke datang dan menuntunnya duduk.

Itulah Hinata. Marahnya ia berbeda dari Sakura yang berapi-api. Wajahnya datar, tetapi dalam hatinya terdapat arus kuat. Seperti lautan tenang. Tangannya seakan terbuat dari logam terkeras. Dan dengan tangan seperti itu, ia menghantam sekali lagi tanpa segan.

"Manusia rendahan!" hina Hinata dengan intonasi yang senada ekspresinya.

Lagi, ia tampar pria itu. Pada tamparan ketiga, bibir Sasori robek. Akhirnya, Karin tak tega dan menghampirinya.

"Nona, tolong hentikan!" mohonnya.

"Baik," balas Hinata sambil tersenyum. Ia memang mengerikan.

"Kita bicara!" sela Sakura.

Sebenarnya ia masih ingin menghajar pria kampret itu. Masalahnya, ia sudah sangat malu pada Sasuke, maka ia lepaskan saja mantan Ino kali ini. Karin duduk di sebelah Naruto dan Neji, sementara yang lainnya berdiri.

"Satu hal. Kenapa kau tidak meninggalkan Ino dari dulu?" tanya Sakura, malas basa-basi.

"Karena dia masih mencintai mantannya," jawab Sasori.

"Lalu, kau dendam? Nalarnya, kan, begitu," ujar Tenten.

Sasori menggeleng. "Ini hanya ... dia tidak sadar kalau aku jadi pelariannya. Aku juga. Ini memang salah," balas Sasori.

Ia tak mengelak lagi. Ia akui itu. Kisah pun dimulai dengan keyakinan bahwa mereka akan benar-benar saling mencintai hingga sesuatu terjadi di saat hubungan mereka baru berjalan selama tiga bulan.

Konon, mimpi adalah gerak jiwa terjujur. Ia tidak dapat dimanipulasi seperti yang lain, bahkan air mata sekalipun. Dalam mimpi-mimpi itu, Ino memanggil-manggil nama Madara. Sasori masih meyakinkan diri bahwa luka dalam memang tidak akan mudah disembuhkan. Ia lantas mencoba menyembuhkannya dengan terus berada di sisi Ino tanpa menyadari kalau lukanya sendiri masih ada.

Tak lama, Karin kembali muncul. Dengan berulangnya igauan Ino, lama-lama ia pun goyah. Ia jengkel diberi perhatian, seakan ia pemilik segenap hati sang kekasih. Ino bahkan sering mencoba mengajak serius, tetapi ia terlanjur mamang. Hatinya mulai terbagi sampai benar-benar kembali pada Karin.

Mereka yang mendengarnya hanya diam. Benar, hubungan mereka dimulai dengan cara yang salah.

"Itu alasannya, bukan kartu memori Ino," pungkas Sasori.

"Oke, tapi situ juga bertahan," ujar Tenten.

Dan menjadi semakin salah karena tidak segera mengakhirinya saat Sasori gagal menjaga komitmen. Terlebih, kesetiaan.

"Aku tidak akan membela diri untuk itu, jadi ... maaf," balas Sasori.

"Aku juga minta maaf. Benar-benar maaf," sambung Karin.

Betapa peliknya cinta mereka. Satu sama lain terpaksa menceburkan diri ke dalam kubangan lumpur demi bertahan. Bahkan sampai detik ini, yang lain masih berpikir bahwa ini cuma kisah roman picisan yang biasa dinikmati orang-orang. Akan tetapi, ini memang kenyataan.

"Sudahlah!" sela Neji. "Nona ini sepertinya butuh istirahat. Anda antarkan saja dulu."

Sepasang manusia itu terpaksa menuruti usiran halus sang CEO. Mereka pun undur diri dan tinggallah yang lain. Masih sama-sama terbawa suasana.

"Ini akan merepotkan," ujar Neji.

Sasuke setuju. Selain ia, CEO Rashinban itu juga tahu pasti bagaimana arogannya Uchiha dari keluarga Madara. Mereka tak segan mencibir yang tak sederajat dalam hal memilih pasangan hidup. Kedua pria ini sangat yakin, dulu Madara pasti hanya berusaha melindungi perasaan Ino meski ironisnya ia tetap menyakiti.

Jika Neji tahu, tentu Hinata juga. Dari awal Ino didekati Madara, ia telah berulang kali memperingatkan si pirang. Namun, ia tak dapat memaksa sahabatnya agar segera pergi sebelum terlambat. Sampai yang ia takutkan akhirnya terjadi. Cinta itu kandas, menyisakan lara berkepanjangan. Lantas, apa yang akan Madara lakukan?

"Miss Ino akan baik-baik saja ... kurasa. Percayalah!" balas Sasuke.

XxX

Ruang perawatan ini begitu lengang sejak Madara pergi. Ino hanyut dalam damainya lamunan. Akhirnya, ia sendiri, tanpa hiruk-pikuk pergolakan batin karena kini semua sudah berakhir. Ia sudah melepaskannya. Ia tidak bisa menyebut nama perasaan ini, tetapi ia seakan bisa bernapas lagi. Tidak tercekik seperti kemarin.

Dan yang paling menyenangkan, sahabat-sahabatnya baru saja datang. Sebenarnya mereka tak berharap akan bertemu dalam situasi semacam ini. Terlalu menyedihkan memang. Biasanya, mereka berbagi keluh kesah di kedai kopi Tenten atau mana pun yang menyenangkan.

Mereka bertiga sedih melihatnya terkapar di brankar. Namun, ada sesuatu yang lain dari wanita itu. Sama sekali tidak ada jejak air mata di pipinya. Ia tidak terlihat seperti orang yang dilanda patah hati. Ino tampak seperti orang yang sakit karena ceroboh saja.

"Ulangi lagi, ya! Biar kubotaki kepalamu!" omel Sakura.

Ino terkekeh lemah. Lalu, ketiga wanita itu terdiam, seakan menahan keinginan akan sesuatu. Ino paham, pasti mereka sedang menghindari pembicaraan tentang Sasori.

"Maaf," katanya, "sudah membuat kalian cemas. Tapi, bagaimana kalian tahu aku dibawa ke sini?"

"Madara minta Pak Sasuke menjemputku karena dia tidak punya nomor ponselku," jawab Sakura.

Si pirang bergumam sambil mengangguk-angguk. Masuk akal juga. Kecuali, saat ia tiba-tiba ingat bahwa Sakura dan Sasuke harusnya tak sedekat itu.

"Kok bisa Pak Sasuke punya nomormu?" tanyanya.

"Ya, siapa lagi penyebabnya kalau bukan kau? Aku sempat mencarimu ke kantor. Malah ketemu dia," jawab Sakura.

Hinata mengulum senyum. Dari mereka berempat, cuma ia yang tahu perihal niat tersembunyi sang CMO. Mungkin ia perlu mencoba menerima kehadiran Sasuke dalam hidup sahabatnya, apalagi ia sudah bertemu Shion tadi siang. Ia sudah cukup paham, pasiennya itu secara tak langsung mengatakan bahwa Sasuke tidak seburuk yang ia kira. Tentu, ia belum sepenuhnya mendukung sebab semua itu tergantung pria itu. Selama belum jelas apa maunya, ia akan mengawasi mereka.

Tenten pun baru sadar, padahal sejak tadi mereka bersama. Ternyata, yang bernama Uchiha Sasuke itu tampan juga. Setara lah dengan Neji. Dan saat ia memikirkan CEO Rashinban itu, ia mendadak malu sendiri. Bisa-bisanya ia kepikiran begini.

"Hei," ujar Ino, "sebentar lagi Sasori akan jadi ayah ... anak tunangan Pak Madara."

Mereka pun membisu. Mereka pikir, topik yang satu ini adalah topik terlarang yang ditakutkan akan memperparah kondisi si pirang bila dibahas. Ternyata, Ino sendiri yang menyinggungnya.

"Hm, kami tahu," balas Hinata.

"Bukan tunangan, kali! Sudah end. Kelar! Madara sudah sendiri. Akui saja kenapa, sih, kalau Madara jomlo?" sambar Tenten.

Sontak, Ino memalingkan wajah. Ia sudah lupa, kapan terakhir kali jantungnya terasa mau meledak begini hanya karena sebuah nama.

Yang lain pun terkekeh. Biar mulut Tenten sering sembarangan, ucapannya sering benar. Dan karena mulut rombeng Tenten pula pengakuan Sasori terbukti. Buktinya, Ino menghindari tatapan mereka. Pipinya bahkan bersemu-semu merah jambu.

"Ne, Ino ... apa kau mau pindah ke apato lain?" tanya Sakura.

Tawaran itu ia sampaikan karena teringat akan kejadian yang dulu. Bedanya, Inolah yang waktu itu merengek ingin pindah ke apartemen lain. Sakura hanya merasa Ino yang sekarang pastilah lebih hancur kalau mau membandingkan penyebabnya. Kali ini, ia tak hanya dibohongi, tapi juga sudah dikhianati dengan cara yang bahkan sang redaktur tidak akan sanggup terima andai mengalaminya.

Reaksi Ino sangat mengherankan. Ajaib, bisa dibilang. Ia menggeleng dan hanya tersenyum. Ia malah memandangi para sahabatnya dengan tatapan bertanya.

"Kau yakin?" tanya Tenten.

"Kalian ini kenapa, sih? Berlebihan sekali," balas Ino.

Kontan, Sakura melirik Hinata sebelum mengisyaratkan agar mereka bicara di luar. Wanita berambut hitam itu paham.

"O, ya, aku dan Sakura harus mengurus sesuatu. Kalian tunggu, ya!" ujarnya.

Setelah Ino mengangguk, ia dan Sakura keluar. Keduanya berjalan di sepanjang lorong rumah sakit. Belum bicara. Sang redaktur masih memikirkan perilaku Ino yang menurutnya tak wajar. Normalnya, seseorang yang sedang patah hati akan menangis, bahkan kadang meraung jika sampai membuat jatuh sakit.

"Kau tidak merasa aneh?" tanya Sakura.

Sang dokter mengangkat alis.

"Masa dia tidak menangis!"

"Hm ... semoga perkiraanku benar," balas Hinata. "Kau pernah dengar soal mereka yang berubah drastis dalam semalam?"

Sakura mengangguk. Namun, perubahan yang Hinata maksud, lain dari apa yang ia ketahui. Pada dasarnya, jiwa manusia tak sama. Perilaku yang ditunjukkan setelah mendapat guncangan psikis pun berbeda. Ada yang merusak diri; ada yang berhasil bangkit. Mereka yang merasa bangkit, tapi sebenarnya hanya memaksakan diri untuk kuat pun ada. Akibatnya, tanpa sadar, jiwa mereka rusak sebab mereka melewatkan masa berduka. Ini kemungkinan pertama yang terjadi pada Ino.

Namun, di antara teori-teori tadi, ada satu yang cukup mengherankan. Mereka yang pernah sampai bunuh diri, tetapi selamat menampakan emosi yang berkebalikan. Yang tadinya cinta pada seseorang yang menyebabkan luka itu, begitu terbangun ia justru benci, seakan perasaan cintanya tidak pernah ada. Hinata meyakini bahwa ini kemungkinan keduanya.

"Logis. Lagian, sudah lama aku berpikir kalau sebenarnya dia sudah tidak cinta, tapi ... apa ya ...," ujar Sakura.

"Tidak mau jadi pihak yang paling disalahkan jika memutuskan hubungan terlebih dahulu," lanjut Hinata.

Sakura menjentikkan jari. Andai Ino mau jujur, sebenarnya ia sudah lama melihat hubungan mereka tidak lebih dari seutas tali rapuh yang menunggu waktu sampai benar-benar putus. Ia lantas mencari-cari alasan penguat meski harus sakit sendiri.

Namun, teori mana yang benar, itu akan terbukti seiringnya waktu. Mereka pun tak lupa bahwa masih ada satu kemungkinan, yaitu perasaan Ino pada Madara. Bisa saja sesuatu yang tidak disadari justru menjadi penyebab terkuatnya.

o

o

o

o

o

Bersambung.


Catatan Penulis

Seperti biasa, langsung lanjut aja ke bab 9 yang saya update dalam beberapa jam ke depan. Sekalian balasin review. Btw, maaf kalau perkembangan cecintaannya agak lama. Harus mikir empat pasangan kan ... hahahaha!