Racing to Konoha Mountain

Chapter 25 : Pure Love Story

.

.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Racing to Konoha Mountain by nawanawachan

Main Character : Naruto. U.

Pairings : (Naruto x Hinata), (Sasuke x Sakura), (Sai x Ino)

Rate : M (bahasa, situasi kehidupan jalanan)

.

WARNING !

FIC INI DIPERUNTUKAN UNTUK READERS YANG BERUSIA 18+. Untuk pembaca yang masih di bawah umur, disarankan untuk tidak melanjutkan membaca.

Setting Dunia Malam dan Dunia Balap Jalanan,

Mengandung Unsur Dewasa dan Kekerasan.

.

.

Terdengar suara langkah mendekat di belakangnya. Hinata yakin orang itu berjalan ke arahnya. Pasti itu Kiba, fikirnya. Hinata tersenyum lebar.

"Hinata," panggil orang itu lirih.

Dengan senyuman sumringah, Hinata berbalik.

"Kau terlambat Kiba – ,"

Mata Hinata terbelalak mendapati orang itu di sana. Suaranya hampir tak terdengar.

" – kun?"

.

.

Di hari yang super dingin seperti hari itu, memakan ramen panas adalah hal yang benar-benar nikmat. Itulah yang dilakukan pemuda itu. Dia menghabiskan waktu liburan musim dinginnya untuk menyantap ramen di warung langganannya sejak dulu saat dia masih kecil. Sudah lama sejak ia pulang ke desanya dan warung ramen itu sedikit berubah menjadi agak sedikit besar dan rapih. Meski begitu, rasa ramennya tidak pernah berubah, masih tetap enak dan bisa membuat hati senang. Dia benar-benar sangat menyukai ramen.

"Paman, aku pesan ramen pedasnya satu. Jangan lupa sayurannya yang banyak,"

"Baiklah! Segera siap!"

Terdengar pesanan dari seorang perempuan yang tampaknya adalah seorang pembeli. Pemuda itu tidak menghiraukannya, dia benar-benar tengah fokus dengan mangkuk ramennya. Perempuan sang pembeli itu menoleh melihat seseorang yang berisik sekali menyeruput kuah ramen. Dirinya sedikit terkejut kala mendapati pemuda yang tampaknya dia kenali di sana. Namun dia tidak yakin hingga akhirnya dia miringkan kepalanya untuk bisa melihat wajah si pemuda.

"Kiba!" teriaknya.

Pemuda itu hampir tersedak kuah ramen saat mendengar teriakan tepat di telinganya. Dia pun langsung menoleh dan tiba-tiba perempuan itu menyeruak langsung memeluknya. Pemuda yang tidak lain adalah Inuzuka Kiba itu sampai terbelalak karena mendapat pelukan mendadak tersebut.

.

.

"Kau?"

Hinata tidak bisa berkata-kata. Dia hampir tak mempercayai matanya. Seharusnya yang ada di hadapannya adalah Kiba, tapi mengapa Naruto-lah yang berdiri sana.

Pemuda itu terlihat lebih kurus dari sebelum liburan musim dingin dimulai. Rambut cerahnya yang waktu itu sempat sedikit memanjang, kini sudah kembali dipotong rapih. Pakaian yang ia kenakan hari itu, jaket hoodie hitam yang dibalut mantel cokelat panjang serta celana jeans hitam miliknya terlihat sangat rapih. Tampaknya pemuda itu menyetrikanya dengan sangat hati-hati.

"Kenapa Naruto-kun ada di sini?" tanyanya.

Kepala Hinata menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Kiba.

"Di mana Kiba-kun?" tanyanya lagi.

Naruto tersenyum kecut, dirinya merasa bahwa ia tidak diharapkan kehadirannya. Walaupun begitu Naruto melangkah maju mendekat pada Hinata. Refleks kaki gadis itu mundur selangkah. Melihat hal tersebut membuat Naruto menghentikan langkahnya. Dia mengangkat wajahnya memberanikan diri menatap Hinata.

"Kiba tidak bisa datang. Dia harus pulang ke rumahnya di desa. Ibunya rindu ingin bertemu dengannya. Dia tinggalkan dua tiket ini dan memintaku menggantikannya untuk datang ke taman hiburan ini denganmu," kata Naruto menjelaskan.

Hinata terlihat kecewa, tapi dia bisa mengerti kalau Kiba memang memiliki keperluan lain.

"Oh, begitu …," ucapnya pelan.

Naruto melihat Hinata dan dia benar-benar terharu. Dirinya merasa mimpi melihat wanitanya yang selalu mengahantui tidurnya itu kini berdiri di sana dengan begitu manis. Saat tatapan mereka tak sengaja bertemu, Hinata tiba-tiba langsung berojigi membuat Naruto sedikit terkejut.

"Maafkan aku," ucapnya.

Naruto tidak mengerti kenapa Hinata minta maaf, dialah yang harus minta maaf pada gadis itu berkali-kali.

"Aku sudah merepotkanmu. Kau jadi harus susah-susah datang kemari," lanjutnya.

Gadis itu kembali menegakkan dirinya.

"Kalau tahu begini, harusnya dia bilang saja langsung padaku dan aku tidak perlu datang ke sini. Naruto-kun juga jadi tidak perlu repot-repot memberitahuku. Dasar Kiba," Hinata tertawa lirih.

"Kalau begitu, sebaiknya kita pulang saja," ujarnya yang membuat Naruto terkejut.

Hinata melangkah siap untuk pulang, tapi tiba-tiba Naruto mencekalnya. Pemuda itu menarik lengan Hinata membuat gadis itu menoleh padanya. Wajah mereka begitu dekat dan itu baru terjadi lagi setelah sekian lama mereka putus.

"Pulang?" ujar Naruto tidak percaya. "Tapi kenapa?" tanyanya.

"Aku tidak mau merepotkan Naruto-kun. Aku tidak ingin Naruto-kun memaksakan diri untuk menggantikan Kiba-kun menemaniku. Lagipula aku masih bisa jalan-jalan dengan Kiba-kun di lain waktu," jelas Hinata.

Naruto mendengus. Bagian mana dari dirinya yang merasa terpaksa, sebaliknya dia sangat merasa senang.

"Aku tidak memaksakan diri dan aku tidak merasa direpotkan. Lagipula kita sudah sampai di sini dan aku juga sudah memegang tiketnya. Kenapa kita tidak masuk saja dan jalan-jalan sebentar," kata Naruto.

"Tapi –,"

"Kita belum pernah melakukan ini sebelumnya, bukan?"

Ucapan Naruto selanjutnya membuat Hinata tidak mengerti. 'Melakukan apa?' fikirnya.

Manik biru Naruto menatap lurus amethyst Hinata, membuat pipi gadis itu sedikit memerah.

"Kencan," ungkapnya.

Hinata terpaku mendengar kata-kata itu meluncur dari bibir pemuda tersebut. Hinata mengerjapkan matanya beberapa kali untuk meyakinkan dia tidak bermimpi atau terlalu banyak melamun hingga menimbulkan delusi. Tapi Naruto tersenyum padanya dan itu membuatnya yakin bahwa semuanya nyata.

Akhirnya kedua muda-mudi itu memasuki taman hiburan. Benar saja tempat itu begitu ramai. Banyak sekali wahana permainan yang menarik dan ternyata taman itu sangat luas. Banyak juga bangunan-bangunan dengan macam-macam fungsinya di sana. Naruto terkagum-kagum seolah dia memasuki dunia ajaib.

"Uwaaaaah! Taman ini sangat besaaaaaar …!" teriaknya sambil merentangkan kedua tangannya.

Hinata melihat Naruto, gadis itu tersenyum. Ekspresi pemuda itu kembali seperti dulu, seperti saat mereka pertama kali bertemu di KMS. Masih ia ingat wajah kagum Naruto melihat sirkuit KMS waktu itu.

"Aku belum pernah ke tempat seperti ini sebelumnya," ucap Naruto semangat.

"Oya?" respon Hinata.

"Uhm! Di desa ku tidak ada taman hiburan seperti ini. Kami harus ke kota untuk mendapati tempat menyenangkan begini. Dan Ibuku tidak memiliki uang untuk membawaku ke sana," cerita pemuda itu.

"Ohh …,"

Mata Hinata terarah ke kejauhan di mana tampak kincir raksasa di sana. Naruto menoleh padanya dan ia menyadari sesuatu.

"Kau ingin naik kincir?" tanya Naruto.

"Eh?!"

Hinata terkejut karena Naruto mengetahui apa yang dia fikirkan. Padahal pemuda itu hanya ingat pembicaraan Hinata dan Kiba sebelumnya di perpustakaan.

"Kita akan naik itu nanti," katanya. "Sekarang, ayo kita nikmati wahana yang lain,"

"Tu-tunggu Naruto-kun …!"

Dengan semangat Naruto menarik tangan Hinata mengajaknya berlari untuk segera menikmati semua wahana. Pemuda itu terlihat amat gembira. Hinata fikir mungkin itu karena Naruto baru pertama kali ke tempat seperti itu mangkanya dia sangat senang. Gadis Hyuga itu hanya bisa tersenyum melihat Naruto yang sudah tidak lagi sendu.

.

.

Pertemuan dengan gadis itu di warung ramen Teuchi memang tidak ia sangka-sangka. Gadis itu adalah Tamaki, teman Kiba sejak kecil. Sejak taman kanak-kakak hingga SMP, mereka selalu satu sekolah. Tapi saat SMA, Tamaki berhenti sekolah sejak kedua orang tuanya meninggal. Dia pun harus bekerja untuk membantu neneknya. Semenjak itu dia jarang bertemu Tamaki. Apalagi sejak kepergiannya ke Konoha, Kiba fikir gadis itu sudah menikah dan punya keluarga, ternyata si gadis enerjik itu masih suka berpetualang sendiri. Tamaki sangat cerewet, sepanjang mereka makan ramen gadis itu terus saja berbicara. Meski begitu Kiba senang dekat dengan Tamaki, dia senang ada gadis sesupel itu.

Setelah makan ramen, niatnya Kiba ingin langsung pulang, tapi Tamaki mengajaknya mampir ke rumah gadis itu. Nenek Tamaki sedang berwisata bersama para tetangga sehingga di rumah itu hanya ada Tamaki dan kucing-kucingnya.

Di dalam rumah itu ada sebuah kolam air panas yang terhubung langsung dengan sumber air panas di bukit. Kiba mencoba menghangatkan diri di sana. Ia rendam kakinya dan itu sudah cukup memberikan kehangatan.

"Ini teh hangatnya, minumlah,"

Tamaki menyodorkan segelas teh hangat pada Kiba.

"Terima kasih," ucap Kiba seraya meminumnya sedikit.

Tamaki duduk di samping Kiba. Ia ikut merendam kakinya di dalam kolam air panas.

"Kau tahu, aku terkejut saat mendengar dari nenek bahwa kau dan Naruto pergi ke Konoha. Kalian mendadak pergi bahkan aku tak sempat mengantar kalian," ujar Tamaki.

"Yah, aku juga minta maaf karena tidak berpamitan. Sejak kita lulus dari sekolah menengah pertama kau kan sangat sibuk bekerja di ladang sampai-sampai sangat sulit untuk bertemu denganmu," kata Kiba.

"Hehehe … Begitulah. Bekerja sebagai buruh tani ternyata tidak mudah," sahut Tamaki.

"Hmmm … ngomong-ngomong bagaimana kabar si Tuan Muda Utakata-mu itu?" tanya Kiba dengan nada meledek.

Wajah Tamaki memerah saat nama Utakata disebut. Tamaki memang bekerja sebagai buruh tani di perkebunan sayur milik keluarga Utakata. Keluarga itu memang sangat terkenal dan kaya raya di desa itu. Ayah Utakata adalah seorang juragan yang memiliki banyak sekali perkebunan. Dan Tamaki, gadis itu sejak pertama kali bekerja untuk keluarga tersebut dan kemudian bertemu sang tuan muda, dia langsung jatuh cinta.

"Kau tahu, aku fikir saat aku sudah lama tidak bertemu denganmu, kau sudah menikah dengan Utakata dan menjadi Nyonya besar sekarang. Lalu kau melupakan teman kecilmu ini," ujar Kiba sok memelas.

Tamaki tertawa kecil.

"Jangan bodoh!" ucapnya. "Kau tahu, Utakata itu sekarang sudah semakin sombong,"

"Eh? Kenapa?" tanya Kiba.

"Karena Naruto tidak ada," jawab Tamaki.

"Oh! Pasti soal balapan ya?" kata Kiba.

"Benar. Dulu saja dia sudah sombong karena kaya. Sekarang dia jadi tambah sombong karena tidak ada yang mampu mengalahkannya dalam balapan. Utakata itu jadi menganggap dirinya seperti … apa itu … penguasa jalanan. Ditambah lagi sekarang banyak sekali wanita yang menggandrunginya. Salah satunya wanita bernama Hotaru itu yang selalu menempel padanya. Tidak, tidak, lupakan saja orang itu yang sudah sebegitu bangganya hanya karena menang dari pembalap kampung," ujar Tamaki.

Kiba tertawa terbahak. Bila tentang balapan jalanan, dia jadi ingat para pembalap hebat di Konoha dan termasuk gadis itu.

"Dia hanya tidak tahu saja di luar sana masih banyak pembalap-pembalap tangguh. Naruto saja sampai kewalahan," kata Kiba.

"Benarkah? Wah … Konoha memang hebat," kagum Tamaki.

"Yaaah … seperti yang diharapkan dari kota besar," Kiba menanggapi.

Tamaki memiringkan kepalanya dan melihat wajah Kiba dari samping.

"Hmmm … di kota besar itu pasti juga banyak orang yang menarik, kan? Apa di sana ada orang yang kau sukai?" tanya Tamaki sedikit penasaran.

Refleks Kiba menoleh pada gadis yang duduk di sampingnya itu. Tamaki menaik-turunkan alisnya sambil tersenyum menggoda. Gadis itu sebenarnya hanya iseng menanyakan hal tersebut. Tanpa disangka pertanyaannya sangat tepat sasaran.

Kiba terkekeh. Ia alihkan pandangannya dari tatapan penasaran Tamaki dan menengadah menatap atap terbuka ruangan tersebut, tampak langit musim dingin yang lebih cerah hari itu.

"Ya, aku jatuh cinta pada seseorang," ucap Kiba sambil tersenyum pada langit.

Tamaki langsung menegakkan dirinya, matanya berbinar senang mendengar kabar menyenangkan dari sahabatnya itu. Kiba jatuh cinta. Kiba yang dulunya dikenal usil dan rusuh itu ternyata bisa jatuh cinta dan itu menjadi informasi yang begitu menarik untuk Tamaki.

"Oh ya?! Wah... aku terkejut. Gadis seperti apa yang membuatmu jatuh cinta?" tanya Tamaki.

Kiba meredam senyumannya dan kembali menatap Tamaki. Mata gadis itu masih berbinar, seolah dia begitu penasaran.

"HAHAHA ..."

Kiba tertawa sambil mengacak rambut cokelat gadis itu.

"Kau tahu, aku cuma bercanda. Aku sedang mengerjaimu. Hahaha ...," ucap Kiba mengelak.

Tamaki cemberut. Bukan, bukan karena rambut panjangnya yang jadi berantakan atau karena dia merasa dikerjai Kiba, dia cemberut karena dia tahu Kiba menyembunyikan sesuatu darinya.

Manik cokelat Kiba kembali melihat langit, bibirnya masih tersenyum. Namun Tamaki tahu ada suatu hal dibalik senyuman pemuda itu. Gadis yang menyukai kucing itu menghela nafas panjang sebelum kemudian dia berucap pada Kiba.

"Kau tahu saat remaja laki-laki berkata kalau dia jatuh cinta, maka artinya dia sedang jujur,"

Kiba refleks menoleh. Ia kernyitkan dahinya karena tidak mengerti mengapa Tamaki tiba-tiba berucap seperti itu.

"Maksudmu?"

Tamaki mengerling pada Kiba.

"Jujur, karena memang yang dirasakannya hanya cinta bukan yang lain. Berbeda dengan laki-laki dewasa,"

Kiba semakin tak mengerti, dia mengangkat sebelah alisnya.

"Bedanya?" tanyanya.

"Ketika laki-laki dewasa berkata dia jatuh cinta, maka ada hal lain yang dia pikirkan," jawab Tamaki.

"Seperti?" tanya Kiba lagi.

Tamaki menarik nafas.

"Seperti tuntutan kehidupan karena dia harus segera menikah dan memiliki keturunan atau mungkin hal-hal yang berhubungan dengan sex,"

Kiba terdiam.

"Jadi, saat kau tadi berkata kau jatuh cinta, aku tahu bahwa itu perasaan yang jujur,"

Pemuda Inuzuka itu tersenyum membuat Tamaki semakin pensaran akan arti dibalik senyuman itu.

"Ya kau benar, aku jujur pada diriku," kata Kiba membuat ekspresi Tamaki kembali cerah. "Tapi ...,"

Kiba menjeda ucapannya. Gadis itu kembali melihat si pemuda di sampingnya dengan serius.

"Tapi aku tidak bisa jujur kepadanya," lanjut Kiba.

"Kenapa? Kenapa kau tidak ungkapkan perasaanmu padanya?" tanya Tamaki.

Kiba kembali menoleh pada gadis itu. Ia tersenyum, senyuman penyesalan.

"Terlambat," ucapnya. "Dia lebih memilih sahabatku,"

Tamaki tersentak, dirinya merasa mengerti sesuatu.

"Sahabat? Jangan-jangan ...,"

Senyuman Kiba sudah mengatakan semuanya. Gadis itu tidak mampu meneruskan kalimatnya. Dia mengerti kesulitan yang dirasakan Kiba.

Pemuda Inuzuka itu merebahkan dirinya di lantai kayu pinggiran kolam. Manik cokelat Tamaki mengikuti setiap pergerakan Kiba sebelum kemudian ikut berbaring di sampingnya. Mereka tengadahkan pandangan ke atas. Sejak dulu mereka suka melakukan hal seperti itu, melihat langit membuat hati terasa lebih tenang.

.

.

Kaki kecilnya yang dibalut sepatu boot hitam itu berlari. Ia terus mencoba membuka semua pintu yang ada. Nafasnya sudah memburu. Dibukanya lagi satu pintu, tapi lagi-lagi yang tampak hanyalah pantulan dirinya. Ruangan kaca itu sudah menyesatkannya. Dirinya tidak tahu kemana lagi harus melangkah. Ia kehilangan arah.

"Naruto-kun!" teriaknya.

Dia yang tidak lain adalah Hinata itu terlihat panik. Dirinya mencoba terus berlari mencari jalan keluar dari labirin kaca. Namun tak satu pun jalan keluar ia temui. Sekitar ia lihat yang dia dapati hanyalah cerminan dirinya. Ini mengingatkannya tentang film ninja di mana seseorang bisa membuat bayangan dirinya sampai seribu, itulah yang terlihat dalam labirin kaca ini. Sementara dia terpisah dari Naruto karena mereka memang masuk ke dalam labirin tersebut dari dua pintu masuk berbeda. Mereka mendapat peta labirin, tapi Naruto membawanya. Dirinya merasa bodoh karena sempat sangat percaya diri bahwa dia bisa menemukan jalan keluar tanpa peta. Sekarang dia malah terjebak.

Lagi-lagi Hinata berlari sambil menyebut nama pemuda itu.

"Naruto-kun!" teriaknya lagi.

Sementara itu sang pemuda pun tengah kebingungan. Dia berkali-kali melihat pada peta dan mencoba memahaminya. Tapi dia bukan orang yang suka bersusah payah menganalisa. Berkali-kali dia putar petanya karena merasa tetap tidak bisa mengerti. Meski begitu dia tetap mencoba semua pintu. Dia buka lagi dan lagi meski sama seperti Hinata yang dia dapati hanya cerminan dirinya.

Jantungnya berdebar, entah karena apa. Dirinya bisa saja kembali ke pintu masuk tadi untuk bisa sampai di jalan keluar, tapi bukan itu yang jadi masalahnya. Bukan itu yang dia inginkan. Ada perasaan di mana ia mendambakan sesuatu. Darahnya berdesir kencang, ia ingin mencapainya. Hingga tanpa ia sadari kakinya tiba-tiba berlari. Dengan cepat ia buka semua pintu. Naruto sudah tak lagi memperdulikan arahnya. Dia remas petanya karena dia memang tidak butuh itu. Bukan jalan keluar yang ia cari sekarang melainkan ...

'CKLEK!'

Dua pintu kaca terbuka bersamaan menampilkan dua orang yang berbeda. Kali ini bukan lagi cerminan diri masing-masing yang mereka lihat namun tampilan diri orang lain. Seseorang dengan dua manik berbeda warna itu yang ingin sekali mereka lihat. Tanpa aba-aba, tanpa diperintah, kaki keduanya melangkah menghampiri satu sama lain. Melangkah pelan-pelan berharap itu bukan ilusi. Namun kelamaan langkah itu semakin cepat dan tanpa sadar keduanya berlari. Hingga sampai di tengah ruangan, tangan Naruto sudah terentang siap memeluk Hinata, tapi gadis itu mengerem langkahnya sehingga berhenti di waktu yang tepat. Naruto pun berhenti kala dirinya sadar bahwa tak seharusnya ia seagresif itu. Ia turunkan kembali tangannya ke sisi-sisi tubuhnya.

Kini keduanya tenggelam dalam kecanggungan. Hinata menundukkan kepalanya menutupi semua rona merah yang sudah menghiasi wajah putih itu. Bukan hanya Naruto, sesungguhnya sempat terbersit juga dalam pikiran gadis itu bahwa ia begitu ingin memeluk Naruto. Untunglah bisa ia tahan perasaan membuncah tersebut.

Labirin kaca telah menyadarkan mereka akan sesuatu tentang betapa mengerikannya perasaan kehilangan itu. Dan kala dua manik berbeda warna itu bertemu, mereka pun mengerti bahwa seseorang yang kini ada di hadapan masing-masing begitu amat berharga untuk mereka.

"Maaf,"

Suara kecil gadis Hyuga itu terdengar dan membuat Naruto jadi menatapnya.

Tubuh gadis itu sedikit bergetar.

"Aku fikir, aku tidak akan pernah menemukanmu, Naruto-kun," katanya dengan suara menahan tangis.

Naruto terkejut. Dirinya tidak menyangka kalau itu yang Hinata rasakan.

"Aku juga sama," ucap Naruto. "Aku takut,"

Hinata melihat pemuda di depannya.

Naruto terkekeh. Pandangannya ia alihkan, tidak sanggup melihat lurus gadis itu.

"Hehehe ... Bodohnya aku. Aku memang pengecut. Aku merasa sangat ketakutan. Aku takut kalau aku kehilanganmu,"

Hinata membelalakan matanya, dirinya berfikir apakah itu ungkapan perasaan terdalam Naruto atau hanya perasaannya saat dia merasa tersesat di labirin itu. Namun Naruto beralih melihatnya. Pemuda itu tersenyum padanya.

"Aku rasa sebaiknya begini," kata Naruto.

Hinata memiringkan wajahnya saat mendapati ekspresi serius di wajah pemuda Uzumaki tersebut.

"Jangan ke mana-mana. Tetaplah seperti ini," kata Naruto lagi sambil menyorotkan pandangan sendunya.

Gadis itu tidak bisa lagi berbuat apa-apa, dia juga berfikiran sama. Akan lebih menyenangkan bila mereka tetap bersama. Hinata pun mengangguk setuju sambil menampilkan senyuman manisnya.

Pandangan Naruto kini beralih pada peta di satu tangannya.

"Lalu, bagaimana caranya kita keluar?" ucapnya.

"Hah?"

"Aku tidak mengerti cara membaca peta ini, Hehehe ...," ujar Naruto jujur.

Hinata menepuk dahinya.

"Haaaah... Naruto kuuuuun...," keluhnya.

Naruto malah tertawa melihat Hinata yang berbeda dari biasanya.

"Baiklah, kemarikan petanya, biar aku yang membacanya,"

Hinata pun mengambil alih peta dan mencoba menganalisanya. Naruto tersenyum senang medapati hubungan mereka yang kembali akrab.

Dengan analisa terbaik dari Hinata mereka akhirnya bisa keluar dari labirin kaca. Kini mereka mencoba tempat lainnya. Tempat yang mereka pilih adalah 'Rumah Hantu'. Tanpa disangka, ternyata Hinata sangat ketakutan. Sebenarnya Naruto juga tidak bisa dibilang berani bila soal hantu-hantu seperti itu, tapi melihat Hinata yang ketakutan dia pun mencoba memberanikan diri untuk melindungi gadis itu. Keluarnya dari sana, wajah keduanya begitu pucat.

"Sebaiknya, kita tidak masuk ke sana lagi," ucap Hinata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Hahaha ... iya, sebaiknya jangan," kata Naruto menanggapi.

Selanjutnya mereka masih di bagian 'Tanah Misteri'. Bagian itu memang benar-benar seru. Selain labirin kaca dan rumah hantu, mereka menaiki wahana air lava. Air lava adalah wahana air hangat yang tidak membeku di musim dingin. Mereka menaiki perahu khusus yang bisa mengapung di air hangat. Selama menaiki perahu itu, mereka akan melewati hutan-hutan buatan yang mana di pinggirannya dipasangi boneka-boneka Dinosaurus dan hewan-hewan mitos yang bisa bergerak. Ada naga air yang tiba-tiba keluar dari dalam air dan melompat ke atas. Ada juga naga yang bisa terbang yang melintas di atas kepala mereka. Ada boneka Dinosaurus yang menyemburkan air saat perahu yang mereka naiki melintas membuat mereka sedikit basah karenanya.

Setelah selesai dengan wahana air lava, mereka menaiki beberapa wahana permainan lain seperti Rollercoaster, Kora-kora, Tornado, dan masih banyak lagi. Mereka juga mencoba menaiki Cangkir Berputar dan itu membuat kepala mereka sangat pusing.

Mereka pun keluar dari bagian 'Tanah Misteri' setelah menaiki hampir semua wahana dan tidak lupa mereka mengambil beberapa foto. Sekarang mereka berjalan menuju bagian lainnya. Naruto melihat sebuah gedung besar yang letaknya di luar pagar taman hiburan tersebut.

"Gedung besar apa ini?" tanyanya.

"Itu gedung konser. Tidak termasuk bagian dari Konoha Park, jadi pintu masuknya ada di arah berlawanan," jelas Hinata.

"Berarti kita tidak bisa masuk dari sini?" tanya Naruto lagi.

"Tidak bisa,"

"Hmmm ... besar juga gedungnya," kagum Naruto.

"Aku dengar hari ini sedang ada konser," kata Hinata

"Benarkah?"

Naruto terlihat antusias. Hinata mengangguk.

"Ya, ada BoyBand Korea yang sedang konser di sana," jawab Hinata.

"Haaah... BoyBand, aku tidak suka,"

Naruto kehilangan keantusiasannya begitu tahu yang konser adalah BoyBand Korea. Dia kan bukan K-Popers.

"Aku juga tidak suka," ungkap Hinata.

"Eh? Benarkah? Aku fikir semua perempuan suka K-Pop," ucap Naruto sedikit terkejut.

"Tidak semua," kata Hinata.

Seingat Naruto Sakura sangat menyukai K-Pop dan dia begitu memuja para BoyBand itu. Dirinya jadi penasaran, apa yang disukai Hinata.

"Lalu, genre musik apa yang kau suka, Hinata?" tanyanya.

Hinata tersenyum malu-malu.

"Rock," jawabnya.

"Benarkah? Kau suka musik Rock?"

Naruto menggeleng dan dia tersenyum lebar. Hinata memang berbeda, fikirnya.

"Kalau Naruto-kun?" tanya Hinata balik.

"Hmmm, aku juga suka Rock. Tapi akhir-akhir ini aku sedang suka EDM dan Hip hop," jawab Naruto.

Hinata menyipitkan matanya seolah menyelidik.

"Kau suka EDM, apa itu karena akhir-akhir ini kau suka ke klub malam?" tanya Hinata penuh selidik.

"Eh?!"

Naruto sedikit tersentak. Dia langsung menoleh dan mendapati tatapan penasaran gadis itu. Naruto benar-benar tidak mengerti kenapa Hinata selalu bisa menebak dengan tepat. Apa gadis itu bisa meramal atau mungkin punya kemampuan melihat jauh.

"Tidak, tidak, Hinata. Aku tidak suka ke klub malam. Aku hanya sedikit tertarik saja pada EDM," bohongnya.

Hinata masih memberikan tatapan menyelidiknya. Tapi kemudian gadis itu tersenyum dan membuat Naruto ikut memaksakan diri tersenyum. Dia kembali bernafas lega saat Hinata mulai beralih melihat peta taman hiburan tersebut.

"Ne, ne, Naruto-kun, ayo kita ke aquarium raksasa," ajak Hinata semangat.

Gadis itu berlari riang menunjuk-nunjuk gedung aquarium yang ada di kejauhan.

"Ayo!"

Naruto tersenyum dan dia pun ikut berlari mengikuti Hinata dengan penuh semangat.

.

.

Dalam gedung konser besar yang letaknya di samping Konoha Park, sekelompok BoyBand asal negeri gingseng itu tengah melakukan perjalanan konser mereka dan salah satunya di kota Konoha. Banyak para penggemar mereka yang begitu antusias dan menikmati lagu-lagu yang mereka bawakan. Kebanyakan para penggemar itu adalah wanita. Tapi masih bisa didapati juga para pria di dalam gedung konser tesebut. Salah satunya pemuda Uchiha itu. Bukan karena dia juga K-Popers atau penggemar Boyband, dia hanya terpaksa berada di tengah kerumunan penggila musik itu yang didominasi perempuan. Ya, dia terpaksa di sana, itu terlihat jelas di wajahnya, dia harus menemani gadis itu.

Sakura melonjak-lonjak gembira. Bibirnya tak henti ikut menyanyikan lagu yang dibawakan Boyband tersebut. Tangannya dengan semangat menggoyang-goyangkan lightstick yang diangkatnya tinggi bersama semua penggemar yang lain.

Sasuke hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya atau sesekali memijat pangkal hidungnya. Dia tidak habis fikir Sakura begitu tergila-gila dengan K-Pop.

"Kenapa pula aku bisa ada di sini?" gumamnya kesal sambil melirik sebal pada gadis yang tengah tenggelam dalam kemeriahan konser.

"HOI! Kenapa kau ajak aku ke sini?!" tanya Sasuke lagi sekarang dia mengeraskan suaranya agar terdengar di tengah riuhnya acara tersebut.

Sakura berhenti melonjak-lonjak dan kini menoleh pada pemuda di sampingnya yang sudah menampilkan ekspresi kesalnya. Sejujurnya ekspresi Sasuke membuat Sakura ingin tertawa, tapi ditahannya.

"Tidak ada yang lain," jawab Sakura sambil mengeraskan volum suaranya agar terdengar. "Ino dan Hinata sedang ada urusan, Choji sedang liburan dengan keluarganya, Kiba sedang pulang kampung, Naruto dan Shikamaru tidak bisa dihubungi. Yang tersisa cuma kau,"

Sasuke semakin memberengut kesal. Jadi dia adalah pilihan terakhir begitu. Dan kenapa pula dia harus setuju saat Sakura tiba-tiba mengajaknya pergi. Sebenarnya Sasuke juga tidak mengerti perasaannya. Saat tadi Sakura menelepon dan minta ditemani, entah mengapa tiba-tiba dia langsung merasa senang. Tanpa pikir panjang dia langsung datang menjemput gadis itu. Dia pun tidak memikirkan ke mana gadis itu membawanya. Rasanya dia akan ikut ke manapun gadis itu melangkah. Dirinya seakan terhipnotis dan begitu saja menurut.

"Kyaaaaaaa ...! Dia tampaaaaaaan...," teriak Sakura saat salah satu dari mereka melakukan gerakan dance yang keren.

Sasuke tercengang, bagaimana bisa Sakura berteriak laki-laki lain tampan sedangkan dia ada di sampingnya. Refleks mata onyx Sasuke melihat gadis di sampingnya itu.

"Kau suka dia?" tanyanya sambil berteriak karena suaranya teredam bunyi musik.

"Ya, aku suka," jawab Sakura sambil berteriak juga.

Sasuke semakin tidak habis fikir.

"Kau benar-benar suka dia?!" Sasuke berteriak lebih keras lagi.

"Iya, aku suka," jawab Sakura lagi.

Gadis itu berteriak lagi, meneriakan satu nama anggota Boyband yang dia suka sambil meloncat-loncat melambaikan lightstick nya.

Sasuke menghela nafas kesal.

"Hah, menyebalkan," gumamnya.

"Apa kau bilang? Menyebalkan?" kata Sakura balik.

Sasuke membuang wajahnya. Dia tidak ingin gadis itu melihatnya.

"Kalau kau tidak suka kenapa kau memaksakan diri menemaniku?" tanya Sakura dengan suara keras.

Sasuke berdecak kesal, dia sendiri tidak tahu kenapa. Tapi melihat Sakura yang memuja-muja laki-laki lain seperti itu, rasanya timbul begitu saja perasaan aneh dalam dirinya.

"Karena aku khawatir!" ucap Sasuke tanpa berpikir.

Setelah terucap, barulah ia sadar harusnya dia tidak mengatakannya.

"Apa?! Kau bilang apa?!" tanya Sakura yang tidak mendengar apa yang Sasuke ucapkan.

Sasuke membuang nafas lega, untunglah tempat itu bising sehingga Sakura tidak mendengar jelas.

"Tidak," katanya.

"Hah?! Apa?!" tanya Sakura lagi.

"Tidak! Bukan apa-apa!" teriak Sasuke.

Sakura mengedikkan bahunya tidak perduli. Dia kembali melonjak-lonjak lagi.

Sasuke mengusap wajahnya, dia tidak mengerti apa yang sebenarnya ada di pikirannya. Untuk apa pula dia khawatir dan khawatir untuk apa? Sakura begitu menyukai anggota Boyband yang kata gadis itu tampan dan entah mengapa Sasuke takut kalau mereka akan membawa pergi Sakura dari sisinya. Itu adalah kekhawatiran yang tak beralasan. Padahal anggota Boyband itu saja tidak kenal Sakura, mana mungkin mereka akan jatuh cinta pada gadis itu. Sasuke benar-benar jadi merasa bodoh.

Pemuda itu melirik gadis di sampingnya dan senyuman tipis terlukis di bibirnya. Gadis musim semi itu seolah telah kembali, Sakuranya yang ceria kembali. Yah, lebih baik begitu. Sakura lebih cocok saat tersenyum. Tanpa sadar tangan kirinya terangkat dan dengan gemas ia mengacak-acak rambut berwarna pink tersebut membuat sang empunya rambut kelabakan.

"Aduuuuuh ... ada apa sih Sasuke-kun?" keluhnya.

Sasuke tersadar dan langsung menarik tangannya.

"Tidak, tadi ada sesuatu di rambutmu," ujarnya bohong.

"Aduuuuh ... rambutku jadi berantakan," keluh Sakura lagi.

Sasuke tetap stay cool meski diam-diam dia tersenyum melihat Sakura yang kesulitan merapihkan kembali rambutnya. Ya, sekali-sekali menemani Sakura nonton konser tidak buruk juga.

.

.

Aquarium raksasa itu benar-benar besar dengan lorong kaca bening yang menampilkan banyak jenis ikan-ikan. Lorong kaca itu juga melingkari bagian atap sehingga orang-orang merasa seolah mereka ada di bawah lautan dan ikan-ikan itu melayang terbang di atas kepala mereka. Hinata tahu sekarang ini sedang musim dingin dan di dalam air itu pasti akan sangat dingin, tapi ikan-ikan itu berenang dengan cerianya. Gadis Hyuga itu pun jadi ikut merasa senang. Hinata berputar di tengah ruangan aquarium sambil merentangkan tangannya. Kepalanya ia tengadahkan melihat atap kaca yang menampilkan ikan yang berenang ke sana kemari. Gadis itu bisa merasakannya, perasaan bebas seperti ikan dalam lautan. Mata Naruto tidak pernah bisa lepas dari semua tingkah lucu yang Hinata tunjukkan padanya hari itu.

Banyak sekali jenis ikan di dalam aquarium mulai dari ikan besar seperti ikan pari yang menari-nari dengan tubuh tipisnya sampai ikan kecil-kecil yang lucu seperti ikan nemo. Di bagian terpisah aquarium, ada ikan hiu dengan gigi-gigi runcingnya. Hinata sampai bergidik ngeri melihat ikan hiu. Ada juga hewan-hewan laut lainnya seperti kuda laut, bintang laut, cumi-cumi, dan udang kecil-kecil. Hinata benar-benar menikmati melihat itu semua. Sedang Naruto, pemuda itu begitu menikmati melihat semua ekspresi kagum Hinata pada semua hewan laut tersebut.

"Naruto-kun, sini...sini... Ada hewan-hewan salju," panggil gadis itu dengan semangat.

Naruto tersenyum dan bergegas menghampiri gadis manis tersebut.

Hewan-hewan salju sengaja dikeluarkan saat musim dingin. Ada beruang kutub di dalam ruangan kaca. Beruang itu memiliki anak-anak beruang yang masih bayi dan lucu-lucu. Ada juga kelinci salju yang bulunya berwarna putih mulus. Dan yang paling Hinata suka adalah pinguin-pinguin kecil yang begitu lucu. Gadis itu begitu terkagum melihat mereka dari balik kaca.

"Woaaaah ...," kagumnya.

Naruto semakin tersenyum lebar melihat gadis itu.

'Kruyuuuuuuk...!'

"Eh?"

Hinata terkejut mendengar suara perut yang berbunyi. Gadis itu menoleh pada orang di sampingnya. Wajah Naruto memerah dan pemuda itu hanya bisa tertawa garing mendapati perutnya berbunyi karena lapar.

"Hehehe ... sepertinya kita sampai lupa makan siang," ucap Naruto sambil melihat jam tangannya.

Hinata terkejut melihat jam tangan yang dipakai pemuda itu. Sejak tadi dia tidak menyadarinya bahwa jam tangan yang dipakai pemuda itu adalah jam hadiah ulang tahun darinya. Lalu kemana jam tangan yang diberikan Sakura padanya.

"Bagaimana kalau kita makan dulu? Meskipun ini sudah lewat jam makan siang sih," usul Naruto.

"Eh?! Ah... baiklah,"

Hinata sedikit gugup karena dirinya sempat melamun. Akirnya gadis itu tersenyum dan menyetujui usul pemuda itu karena dia juga merasa sedikit lapar.

Gadis berambut indigo itu mengambil tas berisi bekal makanannya yang ia titipkan di tempat penitipan sedang Naruto mencari tempat duduk. Dalam aquarium raksasa itu ada sebuah taman indoor lengkap dengan bangku tamannya, tempat untuk duduk-duduk. Hinata menghampiri Naruto yang sudah mengambil tempat duduk untuk mereka. Gadis itu duduk di samping Naruto dan membuka kotak bekalnya.

"Kau membuat keduanya, Tonkatsu dan Yakisoba?"

Naruto berucap tanpa pikir panjang saat melihat dua menu yang diminta Kiba hari itu. Hinata menyadari kejanggalan. Gadis itu menatap Naruto curiga sambil mengerjapkan beberapa kali matanya. Pemuda Uzumaki itu langsung tersadar dan ia gelagapan mencoba mencari alasan.

"Ah, maksudku ... kau sampai membuat dua menu yang berbeda. Aku fikir itu pasti sangat repot," ujar Naruto mencoba menutupi.

Hinata masih tidak yakin, gadis itu terus menatap Naruto penuh selidik. Pemuda itu langsung buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Sepertinya Tonkatsu-nya enak, boleh aku coba?" tanya Naruto.

Hinata mengangguk dan menyodorkan bekal itu pada Naruto.

"Ini, silahkan," ucapnya.

"Aaaaaaaa ...,"

"Eh?!"

Hinata terkejut, Naruto membuka mulutnya, isyarat dia minta disuapi. Wajah gadis Hyuga itu memerah.

"Aaaaaaa ...,"

Lagi Naruto memberikan isyarat. Hinata menghela nafas, dia pun mengambil sumpit dan menyodorkan Tonkatsu tersebut langsung ke mulut Naruto.

Naruto pun menyantap makanannya, tapi manik biru itu mengerling menggoda pada Hinata membuat gadis itu menunduk malu.

"Ah! Aku juga membuat Kroket. Aku membuatnya dari kentang dan isinya adalah daging dan sayuran. Kau bisa memakannya dengan mayonaise pedas buatanku ini,"

Hinata menunjukkan hasil karyanya yang benar-benar menggoda selera itu.

"Wah, sepertinya enak. Boleh aku coba?" tanya Naruto.

"Tentu saja boleh. Silah~kaaan ...,"

Suara antusias Hinata langsung melirih saat lagi-lagi Naruto membuka mulutnya minta disuapi. Gadis itu menunduk lagi, wajahnya sudah benar-benar memerah. Namun pemuda berambut cerah itu benar-benar membuatnya terdesak. Akhirnya dengan ragu-ragu ia ambil Kroket daging tersebut dengan tangannya. Ia lumuri gorengan itu dengan mayonaise pedas hasil karyanya kemudian ia sodorkan makanan tersebut ke mulut Naruto. Tangan Hinata bergetar dan sangat ragu tapi Naruto memajukan dirinya dan dengan satu suapan dia santap habis kroket tersebut. Hinata sempat terkejut saat Naruto menyantap makanan itu cepat, tapi kejutannya belum berakhir ketika dilihatnya jari-jari gadis itu berlumur mayonaise, lidah Naruto terjulur untuk menjilanya. Hinata terbelalak. Dengan cepat ia menarik tangannya namun terlambat saat tangan pemuda itu menahan lengannya. Manik amethyst Hinata semakin melebar kala Naruto bukan hanya menjilat tapi juga mengemut jari-jari lentik milik sang putri Hyuga.

"Hmm, mayonaise ini benar-benar enak," ucap Naruto sambil lagi-lagi mengemut jemari Hinata yang sebenarnya sudah bersih dari mayonaise.

Semua yang dilakukan pemuda itu begitu sensual. Tampak di wajah Naruto bahwa dia begitu menikmati menggoda Hinata.

Sang gadis Hyuga sudah tak mampu lagi menahan malunya. Ia palingkan wajahnya untuk menutupi rona merah padam itu. Dengan sekali sentakan Hinata melepas cengkeraman tangan Naruto di lengannya. Meski begitu, pemuda Uzumaki itu tidak kecewa, sebaliknya dia malah tersenyum miring merasa puas karena berhasil membuat Hinata kembali seperti dulu yang selalu malu-malu di hadapannya.

"Kalau begitu boleh aku juga coba Yakisobanya?" pinta Naruto menunjuk kotak yang berisi Yakisoba.

Tanpa melihat pemuda itu Hinata menyodorkan kotak itu. Naruto sedikit tersentak, tapi dia melebarkan senyumannya. Dirinya mengerti kalau Hinata sedang malu setengah mati dan ia tidak ingin membuat Hinata marah. Akhirnya diambilnya kotak berisi mie goreng itu dan mulai memakannya sendiri.

Hinata tidak habis fikir, bagaimana Naruto bisa bersikap begitu padanya. Bukankah mereka sudah putus meski mereka memang masih berteman. Tapi teman tidak seharusnya bersikap seperti itu. Bahkan saat dulu mereka pacaran, Naruto memperlakukannya benar-benar seperti teman. Lalu mengapa sekarang saat status mereka sudah kembali jadi teman, Naruto malah menunjukkan sikap aneh padanya.

Saat-saat itu terisi dengan keheningan. Mereka menyantap makanan dalam diam. Meski begitu Naruto tidak bisa berhenti tersenyum sungguh menyenangkan bisa makan berdampingan dengan gadis yang begitu ia cintai.

"Aaaaaahh...! Ini benar-benar mengenyangkan. Dan ocha ini benar-benar menyegarkan. Kau membuatnya tetap hangat dan itu benar-benar menolong di saat udara sedingin ini," ucap Naruto puas setelah makan makanan enak buatan Hinata dan meminum segelas ocha hangat.

"Uhm, aku membawa termos yang bisa membuat minuman tetap hangat," kata Hinata menunjukkan termos spesial miliknya.

"Kau benar-benar pintar memasak Hinata. Calon istri masa depan,"

"EH?!"

'Ups!' Naruto mengucapkannya. Dia kelepasan bicara.

"Ah tidak, aku tidak bilang apa pun," katanya mengelak.

Naruto melihat ke sekeliling aquarium raksasa itu. Selain ada aquarium dan taman indoor, di tempat itu juga banyak kios penjual pernak-pernik. Mata biru itu melihat di kejauhan dan sepertinya dia menemukan sesuatu.

"Oh Hinata, aku mau membeli sesuatu dulu. Kau tunggu di sini ya ...," ucap Naruto seraya berdiri.

"Eh? Beli apa?" tanya Hinata penasaran.

"Kau tunggu saja di sini. Aku akan segera kembali," kata Naruto dan dia buru-buru berlari menjauh menuju sebuah kios.

Hinata mengernyitkan keningnya, karena tidak mengerti akan sikap pemuda itu. Mata ungunya lagi-lagi tertuju pada tangan kiri Naruto yang memakai jam pemberian darinya. Gadis itu penasaran kenapa Naruto akhirnya memakai jam itu dan tidak lagi memakai jam pemberian Sakura. Ingin sekali dia menanyakannya tapi gadis itu tidak siap mendengar jawaban yang mungkin akan kembali membuat dia kecewa.

Hinata mengendikkan bahunya. Ia tidak ingin terlalu memikirkannya. Mengingat mereka yang bisa kembali akrab sebagai teman mungkin itu sudah cukup baik untuknya. Meski dirinya masih menyimpan perasaan cinta pada sang pemuda tapi ia tak ingin lagi berharap. Lebih baik begini di mana mereka bisa terus berteman sementara fikiran mereka fokus pada kehidupan masing-masing. Begitulah pikir gadis berambut indigo tersebut.

Amethyst Hinata melihat Naruto yang kembali dari sebuah kios pernak-pernik. Pemuda itu berjalan dengan semangat ke arahnya. Tangan kanannya dia masukkan ke dalam saku jaket miliknya sambil menyunggingkan senyuman penuh arti. Hinata memiringkan kepalanya, penasaran dengan apa yang dibeli pemuda itu.

Sesampainya di tempat Hinata duduk, Naruto tidak langsung mendudukan dirinya di kursi taman indoor. Apa yang dilakukan sang pemuda mentari itu membuat amethyst Hinata melebar. Dia berlutut di depan Hinata sambil tersenyum padanya. Hinata menoleh ke sekeliling karena merasa aneh dengan posisi mereka kini. Untunglah tempat mereka duduk tidak terlalu ramai dibandingkan sisi lainnya. Kembali gadis itu menatap pemuda yang masih berlutut di hadapannya.

"Naruto-kun apa yang kau lakukan?" tanya Hinata.

"Ulurkan tanganmu Hinata," pinta Naruto.

"Eh?!"

"Ulurkan tanganmu. Aku ingin memberimu sesuatu,"

Dengan rasa penasaran, gadis itu mengulurkan tangan kanannya yang langsung disambut tangan kiri pemuda itu. Naruto mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Hinata terus memperhatikan pergerakan Naruto sampai dia terkejut saat Naruto memakaikan sesuatu ke tangan kanannya. Itu sebuah gelang perak dengan bandul lumba-lumba menggelantung di ujungnya. Sangat indah dan berkilau.

"I-ini ...?"

Naruto tersenyum.

"Kau pernah menginginkan gelang seperti ini saat kita jalan-jalan setelah menonton film. Kau ingat?" ucap Naruto.

Hinata membelalakan matanya. Benar, waktu dia dan Naruto berjalan-jalan di pusat perbelanjaan dirinya sempat menunjuk sepasang gelang perak dengan bandul yang indah dan berkilau. Tapi karena itu gelang untuk pasangan, Naruto bilang dia tidak mau mengenakan benda seperti itu dan Hinata sempat merasa kecewa namun ia bisa memakluminya. Setelah itu Hinata tidak terlalu mempermasalahkannya karena sejujurnya Hinata tidak terlalu menginginkan sebuah gelang atau aksesoris apapun karena itu sedikit mengganggu saat dia menyetir. Hanya saja waktu itu dia ingin seperti wanita lain yang dimanja sang kekasih. Namun ia tak mendapatkan yang dia inginkan.

"Memang tidak persis sama, yang kita lihat hari itu berbandul bulan dan bintang. Sedangkan ini hanya sepasang lumba-lumba yang satu berwarna ungu dan satu lagi berwarna orange,"

Naruto menunjuk bandul lumba-lumba ungu di gelang yang dikenakan Hinata dan kemudian ia mengeluarkan satu gelang lagi dari saku jaketnya dengan bandul lumba-lumba orange. Hinata kembali terkejut saat Naruto menunjukkan satu gelang lagi yang artinya itu sepasang.

"Gelang ini ... sepasang?" tanya Hinata.

"Uhm! Bisa kau pasangkan di tanganku?" pinta Naruto sambil menjulurkan tangan kanannya.

"Eh? Tapi gelang seperti ini dipakai perempuan, bukankan Naruto-kun akan merasa malu saat memakainya?" ucap Hinata.

Naruto menunduk sebentar. Terlihat dari raut wajahnya ia menyesali perkataan dia sebelumnya. Namun kemudian pemuda itu mengangkat wajahnya dan tersenyum.

"Aku tidak malu. Coba pakaikan!" pintanya lagi.

Hinata sedikit ragu saat mengambil gelang tersebut dan memakaikannya di tangan Naruto. Merasakan kulit lembut telapak tangan Hinata yang menyentuh langsung pergelangan tangannya, membuat Naruto merasakan desiran aneh di hatinya. Dia tersenyum.

"Lagipula ...,"

Gelang itu berhasil melingkar di pergelangan tangannya.

"Saat sepasang gelang ini dipakai seperti ini ...,"

Naruto menarik tangan kanan Hinata dengan tangan kanannya yang dipakaikan gelang. Dan saat itu kedua bandul lumba-lumba yang tampak melompat itu tiba-tiba menyatu akibat gaya magnet yang menempel pada tiap ujungnya.

"... akan berbentuk seperti ini,"

Moncong lumba-lumba dan siripnya saling menempel, menyisakan lubang di tengahnya yang membentuk simbol hati. Naruto mengangkat tangan mereka hingga manik shappire miliknya dan amethyst Hinata menelisik di tengah simbol hati itu. Hinata sampai terbelalak terkejut. Kemudian Naruto menarik tangan kanan sang gadis dan membawanya tepat ke depan wajahnya dan kemudian mengecupnya. Untuk beberapa saat Naruto menutup mata, menghayati saat bibirnya menyentuh langsung kulit mulus itu. Hinata semakin tidak dapat menutupi rasa terkejutnya. Gadis itu sempat memekik kecil kala tiba-tiba pemuda yang kini menjadi mantan kekasihnya itu mengecup tangannya. Wajah gadis itu memerah.

"Otanjoobi Omedetoo, Hinata. Selamat Ulang Tahun!" ucap Naruto dengan tersenyum lembut.

Hinata tidak percaya Naruto tahu hari itu adalah ulang tahunnya. Sang pemilik rambut biru indigo itu tidak mampu menutupi perasaannya yang penuh dengan suka dan duka kala itu.

"Ini hadiahku untukmu. Maaf karena harganya tidak seberapa," kata Naruto sambil menunjuk gelang sepasang itu sebagai hadiah ulang tahun yang dia berikan pada Hinata.

Mata Hinata berkaca-kaca. Dia mengharagai hadiah seperti apapun dari siapapun. Namun kalau boleh jujur, hadiah yang dia terima kali ini benar-benar istimewa.

"Terima kasih, Naruto-kun. Aku akan menjaganya dengan seluruh hatiku," ucapnya sambil menampilkan senyuman paling bahagianya.

Naruto menangguk dan kemudian melepaskan genggaman tangannya pada tangan gadis itu. Dia pun mendudukan dirinya di samping Hinata. Entah mengapa pemuda itu kembali merubah ekspresinya, seperti ada hal yang membuatnya tidak puas. Hinata menoleh penasaran.

"Sebenarnya, aku tahu ulang tahunmu dari Kiba," ucapnya.

Hinata memiringkan kepalanya, penasaran mengapa Kiba juga bisa tahu.

Terlihat di wajah Naruto kalau dia sangat berat hati untuk menceritakan semuanya pada gadis itu. Hatinya takut kalau Hinata menyadari perasaan Kiba, mungkin dia akan jatuh cinta pada pemuda Inuzuka itu. Bagaimanapun, seperti yang dikatakan Sasuke, Kiba adalah pemuda yang baik bahkan lebih baik dari Naruto. Kiba tahu semua tentang Hinata. Perasaan Kiba tidak pernah berubah sejak pertama kali dia bertemu Hinata. Mungkin cinta Kiba lebih dalam pada gadis itu. Dan yang membuatnya lebih buruk, Naruto sudah berbeda. Dirinya tidak lagi bersih seperti dulu. Naruto yang sekarang sudah benar-benar berantakan. Dia tidak yakin kalau dirinya masih pantas bersanding dengan gadis sebaik Hinata.

"Kiba berencana memberimu hadiah dengan mengajakmu ke taman hiburan ini," kata Naruto.

"Hmmm, pantas saja dia begitu ingin pergi ke sini tepat tanggal ini. Ternyata dia merencanakan sesuatu. Huh dasar Kiba-kun. Tapi apa boleh buat karena dia harus pulang dan menengok ibunya kan?"

Hinata menanggapi dengan riang, tapi Naruto malah terlihat terbebani akan sesuatu. Wajahnya menunjukkan perasaan bersalah.

"Sebenarnya, alasan Kiba pulang ke desa mungkin itu karena kami bertengkar,"

"Eh?! Kalian bertengkar? Kenapa?" tanya Hinata terkejut.

"Huh?! Eeee ... eto ... Eummm, hanya masalah biasa," kata Naruto gelagapan.

Pemuda itu sangat tidak ingin mengungkap fakta bahwa alasan mereka bertengkar adalah gadis yang kini duduk di sampingnya. Dia benar-benar tidak ingin sampai perasaan Kiba terhadap Hinata terungkap. Gadis itu terlihat khawatir. Mungkin pilihan Naruto menutupi fakta tersebut memang benar karena Hinata akan semakin khawatir dan akan merasa bersalah bila mengetahui alasan dua orang sahabat bertengkar itu karena dirinya.

"Yang pasti malam itu aku tidak kembali ke apartemen. Dan saat aku kembali Kiba tidak ada di sana. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat dan dua tiket masuk taman hiburan ini. Di surat itu dia mengatakan kalau dia pulang sebentar ke desa untuk melihat ibunya dan dua tiket masuk taman hiburan itu adalah hadiah ulang tahun untukmu," jelas Naruto.

Ekspresi khawatir Hinata menghilang. Gadis itu tersipu.

"Kiba-kun sangat baik,"

Hanya satu kalimat itu saja sudah sanggup mematahkan hati Naruto. Jantungnya berdebar kencang, menyisakan perasaan tidak nyaman di dadanya.

"Dia tahu ulang tahunku dan menyiapkan kejutan sedemekian rupa. Kalau bisa, aku ingin membalas semua kebaikannya," kata Hinata lagi.

Naruto meneguk ludahnya dengan susah payah seolah kerongkongannya menjadi sangat sempit. Perasaan takut kehilangan Hinata semakin besar. Dia tidak masalah bersaing dengan siapa pun, tapi bila dengan Kiba, dia khawatir tidak akan bisa menang.

"Mungkin aku akan membuatkannya bekal lagi saat kita kembali ke sekolah nanti,"

Lagi, kata-kata Hinata semakin menyesakkan perasaan Naruto. Meski begitu dia mencoba menjaga sikapnya agar Hinata tidak mengetahui isi pikiran dan hatinya.

"Ya, mungkin kau bisa membuatkannya bekal yang dia pesan untuk hari ini," usul Naruto sambil mencoba tersenyum tenang.

Hinata mengangguk dan membalas senyuman pemuda itu.

"Uhm! Benar. Dia pasti senang," kata Hinata.

Keduanya tertawa bersama. Untuk saat ini Naruto ingin menikmati kedekatan mereka berdua. Dia akan mencobanya, meski kemungkinannya sangat kecil, untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah diperbuatnya dan membuat hari-hari yang akan dia lewati dengan Hinata menjadi menyenangkan. Walaupun entah sampai kapan status teman itu akan tetap bertahan di antara mereka berdua.

"Ne, Naruto-kun, apa kita bisa naik kincir sekarang?" tanya Hinata.

Naruto ingat bahwa Hinata ingin naik kincir raksasa dan waktu sudah menunjukkan sore hari. Matahari hampir terbenam. Mungkin akan sangat indah bila melihatnya dari atas ketinggian.

"Kau mau melihat matahari terbenam dari sana?" tanya Naruto.

Hinata mengangguk antusias.

"Baiklah ayo!"

Keduanya beranjak dari duduk mereka dan segera keluar meninggalkan aquarium raksasa.

Wahana kincir terletak di area tengah taman bermain. Kincir raksasa itu benar-benar besar dengan dua roda raksasa di kedua sisi. Kursi kincir terbalut dengan kapsul bening transparan seperti kaca sehingga kita bisa dengan jelas melihat pemandangan di luar. Roda kincir dihiasi lampu kelap kelip dan tengahnya menampilkan tulisan-tulisan iklan 'Konoha Park'. Ditambah lagi air mancur yang mengitari di bawahnya, sesekali menyembur dengan efek warna-warni pelangi terpantul darinya. Wahana itu benar-benar menarik banyak pengunjung dari mulai anak-anak hingga orang dewasa.

Untuk sampai ke area tengah dari aquarium raksasa, mereka harus berjalan sedikit jauh. Mereka pun melewati Konoha Park Hotel yang sangat mewah dengan gedung tinggi berbentuk seperti kastil dan memiliki banyak lantai. Hotel tersebut memang bagian dari Konoha Park sebagai salah satu fasilitas untuk para wisatawan baik asing maupun lokal untuk menginap. Hotel tersebut akan sangat ramai di musim liburan dan saat-saat ada acara parade yang berlangsung hingga malam. Di lantai bawah hotel adalah kafe yang menyediakan berbagai macam kopi dan kue. Sedangkan di lantai dua hotel adalah restoran keluarga. Untuk restoran khusus reservasi yang mahal dan elit, itu terdapat di lantai tengah dan lantai atas hotel.

Naruto menatap kagum bangunan itu. Arsitektur yang benar-benar mengagumkan. Sangkin kagumnya dia tertinggal oleh Hinata yang sudah belari di depannya. Hinata menoleh dan tidak mendapati sang pemuda di belakangnya. Dilihatnya Naruto yang masih berdiri di depan hotel. Sementara pemuda itu tenggelam dalam pikiran liarnya yang entah begitu saja melintas. Bila saja dia punya banyak uang sekarang, mungkin dia akan mengajak Hinata menginap di hotel ini dan apa yang akan terjadi bila mereka menginap berdua di sana. Naruto mulai membayangkan yang tidak-tidak. Dengan segera ia hapus pikiran kotor itu dari kepalanya.

"Naruto-kun!"

Teriakan manis dari seorang gadis menyadarkannya. Ia pun menoleh dan melihat Hinata yang melambai di kejauhan. Dia terkejut karena dirinya tertinggal jauh dari gadis itu. Tidak berlama-lama, Naruto pun segera berlari menghampiri sang gadis. Kini keduanya melanjutkan langkah dengan berdampingan. Keduanya berceloteh ria dan kembali tertawa bahagia. Semua masalah yang pernah terjadi antara keduanya terlupakan begitu saja seperti uap. Andai mereka bisa selalu seperti ini sejak dulu.

.

.

"Heh, apa itu? Mereka kembali pacaran?"

Seorang pemuda dengan rambut hitamnya yang dia ikat tinggi seperti nanas memangku dagunya pada tangan kanannya. Manik cokelatnya menatap sedikit tertarik saat tanpa sengaja melihat teman berambut kuningnya yang ada di Konoha Park bahkan sempat berhenti dan melihat hotel yang juga tempat kafe di mana dia sedang menikmati sorenya dengan meminum kopi.

"Siapa yang kau maksud?" tanya perempuan yang duduk tepat di hadapannya.

Pemuda yang tidak lain adalah Shikamaru, melirik sebentar pada perempuan yang memiliki rambut kuning sebahu. Tidak seperti biasanya di mana dia mengikat rambutnya itu menjadi tiga atau empat bagian, kali ini dia gerai rambut kuningnya yang basah setelah mandi.

"Itu, Naruto dan Hinata," jawab Shikamaru sambil menunjuk dua orang yang kini berjalan berdampingan di luar sana.

Perempuan itu, Temari, melihat dari kaca kafe dengan jelas dua muda-mudi yang ditunjuk Shikamaru berjalan sambil berbincang sangat akrab. Dirinya sedikit terkejut.

"Heh? Jadi temanmu, Naruto berpacaran dengan Pangeran Byaku... Ah! maksudku gadis Hyuga itu?"

Dirinya baru mengerti mengapa saat pertandingannya terakhir kali melawan sang Pangeran Byakugan, pemuda Uzumaki itu mencium sang gadis saat gadis itu menang. Temari pikir mereka hanya teman sex atau semacamnya.

"Mereka memang sempat pacaran, tapi kemudian beberapa waktu yang lalu mereka putus. Tapi melihat sekarang mereka berjalan sangat akrab seperti itu, sepertinya mereka sudah berbaikan dan kembali pacaran. Yah, semoga saja. Aku malas melihat Naruto yang merajuk. Merepotkan,"

Mendengar cerita tersebut, entah mengapa ada yang menyentil hati sang Kamaitachi.

"Pacaran ya ...," ucapnya dengan nada sendu.

Shikamaru yang menyesap kopinya, tiba-tiba berhenti dan melirik pada perempuan di depannya yang menundukan wajahnya.

"Hoi, hoi, kenapa?" tanya Shikamaru.

Temari mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis.

"Tidak, aku hanya pikir sangat menyenangkan menjadi anak muda," katanya.

"Apa itu? Kau berucap seperti orang tua saja," kata Shikamaru.

"Yah, usiaku tidak semuda kalian," jawab Temari yang kemudian menyesap capucinonya.

"Hah? Kau hanya empat tahun lebih tua dari pada kami. Usiamu baru sekitar dua puluhan," ucap Shikamaru tidak mengerti.

"Ya, tapi aku perempuan,"

Pemuda nanas itu mendesah malas.

"Haaaah, aku tidak paham maksudmu. Asal kau tahu saja ya, meskipun mereka berdua pacaran, tetapi tidak ada hal yang menarik dari hubungan mereka. Membosankan,"

"Hoo, jadi apa itu hal 'menarik' yang kau maksud?" tanya Temari.

"Tentu saja sex, kau tahu. Meski mereka pacaran, mereka tidak pernah melakukannya. Benar-benar tidak menyenangkan kan? Berbeda dengan kita ...,"

Shikamaru menampilkan senyuman penuh rayuan. Tangannya mengusap tangan Temari yang bertengger di atas meja.

"Malam dan hari-hari kita jadi menyenangkan karena melakukan 'itu' kan. Dan beruntungnya kita mendapat voucher menginap di hotel ini, jadi kita bisa menikmati melakukannya di tempat mewah bukan hanya di Love Hotel murah seperti biasa,"

Temari menatap datar pemuda di depannya. Meski Shikamaru orang yang pintar dan jenius, tapi pemuda itu juga punya modal menjadi playboy. Tampangnya yang cukup menawan dan gayanya yang nakal dengan piercing di kedua telinganya. Sungguh tidak ada tanda-tanda anak seorang tentara di sana. Yah, mungkin semua itu adalah pengaruh yang dia terima sejak terlibat dunia balap jalanan.

Shikamaru memajukan dirinya dan berbisik nakal pada Temari.

"Hei, bagaimana kalau kita kembali ke kamar saja dan melanjutkan kegiatan kita tadi. Aku ingin mencoba beberapa hal dan mungkin ...,"

Tiba-tiba perempuan Sabaku itu menarik tangannya yang sejak tadi disentuh Shikamaru membuat sang pemuda terkejut dan menghentikan kalimatnya.

"Maaf, sepertinya aku pulang saja,"

Temari mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet untuk membayar kopi mereka berdua. Dengan cepat dia mengambil tas tangannya dan beranjak pergi keluar kafe.

Shikamaru gelagapan. Pemuda itu bingung dengan apa yang tiba-tiba terjadi. Dia tidak mengerti mengapa Temari tiba-tiba ingin pulang. Dengan segera ia mengejar perempuan itu.

"Hoi Temari, tunggu!" panggilnya.

Temari yang sudah keluar kafe menoleh ke belakang. Melihat sang pemuda Nara yang terlihat bingung dan panik.

"Kenapa kau buru-buru pulang? Kita masih punya waktu satu malam lagi untuk menginap di hotel ini," tanya Shikamaru.

"Maaf, aku sudah tidak ingin di sini," jawab Temari.

"Oh baiklah, kalau kau tidak mau di sini, bagaimana kalau kita cari tempat lain? Bagaimana kalau vila di puncak bukit?"

Temari memejamkan mata sejenak dan menghela nafas berat. Dia berbalik menghadap Shikamaru. Wajahnya berubah tegas dengan sorot manik jade yang begitu menusuk tajam. Shikamaru terdiam dari ocehannya begitu mendapati perubahan ekspresi di wajah Temari.

"Baiklah Shikamaru, dengarkan ini ...,"

.

.

Sinar matahari terbenam yang melebur bersama langit musim dingin yang kelabu. Pemandangan yang indah saat kau menyaksikannya dari atas ketinggian kincir yang berputar pelan. Roda besar dengan ketinggian 125 meter tersebut memakan waktu 18 menit dalam sekali putaran yang artinya kincir tersebut bergerak dengan kecepatan 30 cm/secon. Perlahan kapsul besar yang membawa dua muda-mudi itu bergerak menuju puncak tertinggi bianglala. Pemandangan kota Konoha pun semakin terlihat jelas dari ketinggian. Keindahan liak-liuk kota tersebut yang dikelilingi banyak bukit membuatnya terlihat begitu artistik. Julukan Konoha sebagai kota sembunyian daun pun tidak dapat disangkal lagi. Dari atas bisa dipastikan jelas bahwa Konoha tampak begitu hijau dan asri. Pemandangan yang sungguh dapat menyejukkan mata.

Namun keindahan itu tak ada apa-apanya bagi Naruto dibanding wajah cantik gadis yang kini duduk di hadapannya. Atensinya tak dapat dicuri dari memandang sosok perempuan di depannya yang tengah menatap takjub pemandangan sore Konoha dari atas ketinggian. Merah mentari senja memberikan efek merona yang indah pada wajah gadis tersebut. Bibir mungilnya tersenyum, membuat Naruto meneguk ludah saat memandang bibir itu.

Desiran aneh kembali merambati setiap denyut nadinya. Jantungnya tak berhenti berdegup keras. Hingga dirinya khawatir di dalam kesunyian kapsul bianglala yang perlahan berputar itu detak jantungnya akan dapat didengar gadis di depannya. Naruto tak mampu menahan hasrat dirinya begitu menyaksikan manik bulan Hinata yang begitu cemerlang memantulkan cahaya indah mentari yang kian meluncur turun. Tanpa komando atau aba-aba apapun, tubuhnya turun dari bangku kincir dan berlutut di hadapan sang gadis. Hinata, gadis itu, sedikit terkejut akan apan yang dilakukan sang pemuda di hadapannya. Lekas dia menoleh dan tak menyangka dengan apa yang terjadi selanjutnya.

Naruto pun tak memikirkan apapun. Otaknya kosong. Sama seperti malam setelah Hinata balapan melawan Kamitachi, seakan matanya ditutupi kabut nafsu, dalam sekali gerakan Naruto membawa wajahnya mendekat hingga tak ada jarak lagi antara keduanya. Begitu saja dia menyatukan bibirnya dengan bibir pink Hinata.

Sang gadis Hyuga yang terkejut tak mampu memberikan respon apapun apalagi untuk membalas ciuman itu. Naruto menyadarinya, tapi dia tak menuntut untuk dibalas. Dia hanya mengecup lembut, namun dalam dan cukup lama. Sengaja dia biarkan detik-detik berlalu dan meresapi sentuhan lembut yang dihasilkan dari bibir mereka yang menyatu. Dia nikmati setiap waktu yang berlalu dengan perasaan mendebarkan saat menyentuh wajah mulus gadis di hadapannya. Ingin rasanya melakukan lebih namun tiba-tiba akal sehat menyadarkannya bahwa lagi-lagi apa yang dia lakukan itu diluar kehendak sang gadis. Dengan cepat dia mengakhiri ciuman tersebut dan memundurkan dirinya.

Dilihatnya Hinata masih terpaku di tempat. Manik amethystnya melebar seolah tak percaya akan perlakuan Naruto. Seketika wajah seputih susu itu memerah. Langsung ditangkup bibirnya dengan punggung tangannya. Manik ungu itu menyendu dan mulai berkaca-kaca. Naruto langsung melemas. Ia sadar bahwa Hinata tidak terima akan perlakuannya tadi. Gadis itu sekuat tenaga menahan agar air matanya agar tidak jatuh dan begitu saja dia palingkan wajahnya dari Naruto. Pandangannya kembali dibawanya melihat ke luar kaca kapsul yang masih menampilkan pemandangan Konoha meski kincir tersebut mulai bergerak turun.

Mendapati semua sikap Hinata itu membuat Naruto tak mampu mengeluarkan kata-kata. Jangankan kata-kata alasan, kata maaf pun tak mampu dia ucapkan. Dia hanya bisa tertunduk di depan gadis itu, menyadari bahwa lagi-lagi yang dilakukannya hanyalah kesalahan.

.

.

Suara riuh parade musim dingin yang berlangsung selama dua minggu berturut-turut sejak malam natal memeriahkan taman hiburan tersebut. Dengan atraksi Membuat banyak pengunjung rela berdesakan. Seperti pesta kostum, mereka menunjukkan banyak kostum dari karakter-karakter unik. Mulai dari karakter bersejarah hingga karakter kartun. Ada pula pameran hasil karya serta promosi iklan perusahaan-perusahaan mainan dan makanan. Tidak lupa para penari yang diangkut mobil iring-iringan parade menunjukkan aksinya. Ada beberapa kereta kuda yang dihiasi lampu warna-warni yang mengangkut orang-orang berkostum kerajaan. Sungguh parade yang meriah.

Meski begitu, tampaknya dua orang itu sama sekali tak berminat menonton parade. Bisa dilihat dari tatapan kosong mereka yang hanya menatap lurus ke depan. Canggung rasanya bagi keduanya untuk kembali tertawa dan menikmati tamasya mereka yang harusnya memang ditutup dengan menyaksikan parade musim dingin tersebut. Tapi semuanya jadi berantakan karena kejadian yang terjadi di kincir raksasa barusan.

Naruto bingung harus berkata apa. Sejak tadi otaknya sibuk menyusun kata-kata, namun tidak ada yang pas untuk diucapkan. Sementara Hinata sejak mereka turun dari kincir gadis itu tetap diam dan berjalan lurus tanpa mengatakan apapun. Naruto mengikuti langkah Hinata hingga langkah itu berhenti di tempat parade diadakan. Memang hanya asumsi, namun Naruto yakin bahwa Hinata tetap ingin menyelesaikan acara jalan-jalan mereka sesuai rencana. Sangat disayangkan bila acara menyenangkan mereka yang sudah susah payah terwujud jadi berakhir berantakan karena ulahnya. Naruto kembali merutuki dirinya sendiri.

Saat parade telah lewat dan berjalan menjauh, banyak orang-orang yang mengejar dan mengikuti parade tersebut. Namun Hinata berbalik dan dia mulai berjalan ke arah pintu keluar taman bermain. Naruto kembali mengikuti langkah kecil gadis itu. Masih sama Hinata tidak mengatakan apapun dan Naruto masih tak mendapatkan kata-kata yang tepat untuk diucapkannya.

Keduanya keluar dari taman bermain dan kini berdiri di depan gerbangnya. Mereka berdiri berdampingan. Naruto memberanikan diri melihat ke samping di mana gadis Hyuga itu berdiri. Betapa terkejutnya kala mendapati wajah Hinata yang tersenyum dengan manik amethystnya yang menatap langit malam. Saat angin musim dingin menerbangkan surai biru tua itu, Naruto kalah untuk tidak terpesona. Dia memejamkan mata sebentar sebelum bersiap mengeluarkan kalimat permintaan maafnya.

"Hinata...," panggil sang pemuda Uzumaki.

Yang dipanggil pun menoleh dan masih dengan senyuman tenangnya membuat Naruto bertanya-tanya sendiri akan apa yang dipikirkan gadis itu. Mengapa tiba-tiba Hinata bisa kembali tersenyum bahkan saat di kincir dia hampir menangis. Apa gadis itu mencoba melupakan yang terjadi? Entah kenapa perasaan sesak kembali merambat di hati Naruto.

"Soal yang di kincir tadi... aku...,"

Belum lengkap kalimatnya, tiba-tiba cahaya lampu mobil yang datang mendekat menyilaukan pandangan sang pemuda. Naruto dan Hinata langsung melihat pada mobil yang datang dan berhenti tepat di depan mereka. Naruto sedikit terkejut mendapati mobil AE86 Pangeran Byakugan yang dipakainya balapan di bukit Tsuki kini ada di hadapannya. Sang pengemudi mobil tersebut keluar dan Kou, asisten keluarga Hyuga-lah yang kini berdiri di sana.

"Nona Hinata, waktunya pulang," ucapnya pada Hinata.

Ternyata Kou datang untuk menjemput gadis itu. Naruto langsung menoleh pada Hinata. Gadis itu mengangguk.

"Terima kasih Kou. Maaf merepotkanmu karena harus menjemputku," ucapnya pada Kou.

"Tidak apa. Ini sudah tugasku. Lagipula Neji-san sedang sibuk belajar untuk ujian akhirnya," jawab Kou.

Hinata berbalik menghadap Naruto dengan mempertahankan senyuman di bibirnya.

"Naruto-kun terima kasih sudah menemaniku jalan-jalan. Hari ini sangat menyenangkan," katanya.

Entah kenapa ucapan terima kasih Hinata membuat hati Naruto malah sakit. Harusnya dirinyalah yang berterima kasih pada Hinata. Keberadaan gadis itulah yang membuat semuanya menyenangkan. Sedang dirinya hanya bisa mengacaukan semua hal menyenangkan itu dan berakhir dengan kembali menyakiti gadis tersebut.

Dia tidak ingin seperti ini. Naruto tak mau semua kembali berakhir seperti ini. Tujuannya adalah membawa semuanya kembali membaik. Dia ingin hubungannya dengan Hinata kembali. Dirinya tak ingin lagi melepaskan gadis itu, tidak lagi.

"Hinata!" panggil Naruto ketika Hinata sudah hendak memasuki mobil.

Sang gadis bisa melihatnya dari manik shappire pemuda tersebut bahwa dia ingin menyampaikan sesuatu padanya. Sesungguhnya kurang lebih dirinya bisa mengetahui apa yang mau dikatakan sang pemuda Uzumaki tersebut. Naruto terlihat memelas dan bisa ditangkapnya bahwa dia tak ingin mengakhiri hari itu begitu saja. Bibir Hinata pun kembali tersenyum.

"Mau ikut berkendara denganku?" ajak Hinata tiba-tiba.

Naruto sempat terdiam, dirinya terkejut menangkap sorot mata berbeda dari manik bulan Hinata. Sorot itu kembali mengingatkannya akan pertama kali dirinya mengungkap bahwa Hinatalah Pangeran Byakugan. Seperti layaknya pangeran yang titahnya absolut. Ajakan yang diucapkannya pun bukan seperti perminataan namun perintah yang mengisyaratkan Naruto tak memiliki pilihan apapun selain ikut.

"I-ya... Ya!" jawab Naruto sedikit gugup.

"Tunggu Nona Hinata! Ini sudah malam dan sudah waktunya Anda pulang,"

Kou tampaknya tak setuju dengan rencana sang nona yang tiba-tiba ingin berkendara.

Hinata melirik pada Kou.

"Hanya sebentar Kou, ini tidak akan lama," jawabnya.

"Tapi...," Kou ingin menyanggah, namun tampaknya dia sadar bahwa dia tak akan menang.

"Hah! Baiklah, kalau begitu kau naiklah ke mobil dan Nona, ke mana kita akan pergi?"

"Tidak Kou...,"

Hinata berjalan mendekati Kou yang masih berdiri di samping pintu kursi kemudi.

"Aku akan membawa mobilku sendiri," ujarnya.

Kou membulatkan matanya. Dirinya semakin tidak setuju akan niatan tersebut.

"Tapi Nona ––,"

"Kou, pulanglah dengan taxi. Aku bisa membawa mobil ini sendiri. Dan aku berjanji akan sampai di rumah sebelum tengah malam. Jadi kau tak perlu khawatir,"

Begitu saja tubuh mungil Hinata memasuki mobil dan duduk di belakang kemudi.

"Tunggu Nona Hinata ––,"

"Kou! Lakukan saja!" perintah finalnya dan Kou pun menyerah.

Dia menghela nafas lelah tak bisa menang dari nona kecil yang dilayaninya itu. Mata Kou kini tertuju pada Naruto yang masih berdiri tidak jauh dari mobil tersebut berhenti.

"Hey kau!" panggilnya. "Jangan macam-macam dan pastikan Nona Hinata aman!"

Naruto tidak menjawab dan melangkah memasuki mobil. Dirinya tahu apa tugasnya. Yang dia tak mengerti adalah maksud dari ajakan berkendara ini. Mengapa Hinata mengajaknya ikut naik mobilnya dan ke mana tujuan gadis itu membawanya. Meskipun penasaran, namun Naruto tak ingin mempertanyakan. Di sisi lain, dirinya merasa antusias karena dapat menyaksikan langsung sang Pangeran Byakugan duduk di balik kemudi. Mobil putih itu pun melaju dan melesat di jalanan Konoha.

.

.

Seperti yang selama ini selalu dibayangkannya tentang bagaimana Hinata mengendalikan mobilnya dari belakang kemudi. Benar-benar tak ada satu pun pergerakan yang sia-sia. Bagaimana gadis itu memindahkan gigi, memutar kemudi, hingga sampai bagaimana dia menginjak pedal rem dan gas, semua dilakukan dengan tepat dan tidak berlebihan. Naruto sampai terheran bagaimana Hinata bisa melakukan semua itu dengan begitu lembut, namun menghasilkan efek yang luar biasa. Dirinya sadar selama ini kala ia meniru teknik Hinata, semua pergerakan itu dilakukannya dengan cara yang jauh dari kata natural. Sebaliknya, dia selalu melakukannya dengan berlebihan bahkan terbilang kasar dan hasil yang didapatinya malah jauh di bawah standar pengemudi aslinya.

Sekarang ini mobil Trueno tersebut melaju cukup cepat mulai menaiki jalur perbukitan. Mungkin tidak seratus persen sama seperti kecepatan saat gadis pengendara itu ketika sedang balapan, tapi bisa dipastikan apa yang tengah ia lakukan di belakang kemudi kini tidak jauh berbeda dengan yang biasa dia lakukan saat tengah balapan sungguhan.

Naruto memperhatikan terus setiap detail yang dilakukan sang gadis Hyuga. Bisa dilihatnya betapa Hinata begitu menikmati ketika sedang menyetir. Bibir gadis itu terus menyunggingkan senyum dan mata bulannya memancarkan kegembiraan yang luar biasa. Seolah hanya dengan memacu mobilnya sudah dapat melepaskan segala beban.

Dialihkan pandangannya ke depan. Jalur yang kini dilalui benar-benar jalur perbukitan. Meskipun tidak seperti jalur bukit Tsuki ataupun Jalur Rahasia yang sepi, jalanan tersebut terbilang ramai meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bisa ia simpulkan bahwa jalur tersebut adalah jalur yang biasa dipakai umum. Tepi lereng bukitnya memang terdapat tebing, tapi di kejauhan masih dapat ditangkap oleh matanya cahaya lampu dari bangunan-bangunan seperti rumah, penginapan atau fasilitas umum lainnya.

Naruto belum pernah mengeksploitasi jalur itu sebelumnya karena letaknya yang cukup jauh dari distrik tempat tinggalnya. Jadi baru kali ini dia tahu kalau ada lagi jalur bukit lainnya. Atensinya dia bawa untuk melihat ke samping, yang disebut gunung Konoha tampak begitu dekat dari sana. Gunung itu menjulang tinggi bahkan lebih tinggi dari bukit yang sekarang tengah mereka telusuri. Walaupun dekat, namun jaraknya masih berkilo-kilo meter jauhnya. Dengan kegelapan yang menyelimuti gunug dan puncaknya yang berkabut tebal menyulitkan untuk bisa melihat gunung itu dengan jelas.

Sang pemda Uzumaki melirik gadis di sampingnya. Sejak tadi tak ada kata-kata yang terucap dari bibir yang terus tersenyum itu. Naruto penasaran, sebenarnya apa tujuan Hinata membawanya berkendara ke tempat itu. Tak mampu menahan keterdiaman tersebut lebih lama lagi. Dia pun berinisiatif memulai percakapan.

"Hinata, sebenarnya kau mau membawaku ke mana?"

Sang gadis mengerling sebentar sebelum kembali fokus ke depan.

"Kita sedang menaiki bukit Senju," jawabnya.

Naruto mengernyitkan kening.

"Bukit Senju?" ulangnya.

"Uhm! Ini jalur bukit lainnya yang ada di Konoha. Naruto-kun pasti belum pernah ke sini kan? Di puncaknya ada sebuah danau bernama Danau Emas. Kita akan ke sana,"

Naruto masih belum mendapati apa tujuan Hinata membawanya serta untuk ikut berkendara.

"Lalu... apa tujuanmu membawaku ke sini?" tanya Naruto.

Hinata menoleh sebentar dengan tetap mempertahankan senyumannya.

"Bukankah menyenangkan mengakhiri hari ini dengan berkendara?" ucapnya yang semakin tak dimengerti Naruto.

Pemuda itu sejujurnya senang-senang saja bisa menghabiskan lebih banyak waktu berdua dengan Hinata. Tapi, ada yang mengganjal di hatinya saat ini. Kenapa Hinata bisa secepat itu merubah sikapnya. Saat sejak di atas kincir hingga saat menonton parade, gadis itu terlihat masih terganggu akan apa yang dilakukan Naruto padanya. Namun tiba-tiba saja dia kembali biasa dan terlihat tidak lagi memikirkan masalah tersebut. Sungguh Naruto sedikit merasa kesal sekarang. Bukannya dia ingin Hinata marah padanya atau kembali membenci dirinya. Hanya saja dengan Hinata begitu mudahnya melupakan kejadian tadi, ini seolah menandakan bahwa bagi gadis tersebut Naruto bukan apa-apa. Dan si pemuda Uzumaki tak menginginkan itu. Dia ingin menjadi seseorang yang berarti bagi gadis itu. Dia ingin menjadi seseorang yang mengisi pikiran dan hati Hinata. Dia ingin Hinata terus memikirkannya setiap menit dan detiknya.

Manik ungu Hinata melirik pemuda di sampingnya yang terlihat tidak puas. Sebenarnya memang ada tujuan tersendiri membawa Naruto menaiki bukit Senju. Namun apakah tepat membawa Naruto saat itu, mengingat kejadian terakhir membuat keduanya menjadi canggung. Penolakan yang jelas ditunjukkan olehnya saat dikincir tampaknya begitu menyinggung sang pemuda. Bukannya Hinata tidak suka akan apa yang diperbuat Naruto, hanya saja gadis itu bingung kenapa Naruto tiba-tiba saja merubah sikap terhadapnya.

Naruto yang menjadi kekasihnya dulu tidak akan mau berlama-lama berdua dengan dirinya, apalagi menghabiskan satu harian bersamanya. Belum lagi semua sentuhan dan sikap yang dia tunjukkan hari ini, sangat berlawanan dengan Naruto sebelumnya. Hinata sangat senang. Sangkin senangnya dirinya yakin dia bisa saja kembali tenggelam dalam kefanaan. Sungguh dirinya ingin kembali berharap, tapi dia takut tersakiti lagi. Bagi Hinata, tentang Naruto dan dirinya memang sudah berakhir sejak tujuan awal pemuda itu menerima perasaannya akhirnya tercapai. Ya, Naruto menerima pernyataan cintanya dulu hanya untuk membuat ayah Hinata, Hyuga Hiashi, buka mulut atas masa lalunya dan ayah Naruto. Serta untuk menjauhkan Sasuke dari Hinata. Semua itu akhirnya terjadi. Sekarang sudah tak ada lagi alasan bagi pemuda itu untuk kembali bersamanya. Dan Hinata tak ingin berharap berlebihan. Karena dia tahu, sejak dulu setiap kali akhirnya dia melihat sebuah harapan, maka saat itu juga harapan itu akan lenyap.

'Ckiiiiiiiiiitt...!'

Naruto tersentak tat kala mobil yang ditumpanginya menggelincir ke samping, menyentak, lalu berhenti. Dia menoleh pada sang pengendara yang tersenyum.

"Kita sudah sampai," ucapnya.

Buru-buru Naruto keluar dari mobil tersebut. Dirinya tak percaya kini mereka sudah ada di puncak bukit. Rasanya tadi baru setengah jalan dan hanya sebentar mereka sudah ada di ketinggian. Terbukti begitu dilihatnya lampu-lampu kota Konoha yang terlihat kecil seperti bintang-bintang yang bertebaran di bawah. Dia memang kini berada jauh di atas puncak bukit. Lagi-lagi matanya menangkap gunung Konoha yang menjulang jauh di depan. Gunung itu tetaplah lebih tinggi dari puncak bukit yang kini dia jajaki.

Mobil AE86 putih itu sudah terparkir rapih di tepi jalan menghadap ke arah mereka akan kembali nanti. Hinata sudah berdiri di depan pembatas jalan matanya menatap jutaan lampu-lampu kecil yang menyebar di kota di bawah lereng bukit. Naruto melangkah mendekati sang gadis.

"Aku tidak tahu kita bisa sampai di puncak secepat ini. Ku perhatikan bukit ini cukup tinggi dan tikungannya banyak. Kau juga menyetir tidak secepat saat balapan. Apa power mobilmu bertambah?" tanya Naruto penasaran.

Hinata berbalik melihat ke tempat di mana mobilnya terparkir.

"Hanya sedikit melakukan tune up," kata Hinata santai sambil menatap mobil lamanya itu dengan bangga.

Naruto mengernyitkan dahi penasaran.

"Aku ganti turbonya dengan supercharger," jelas Hinata.

Manik biru Naruto membulat.

"Supercharger?" ulangnya yang dibalas anggukan semangat Hinata.

"Menarik kan? Rasanya seperti memiliki mesin ber-cc besar,"

Naruto sampai menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya akan kegilaan Hinata terhadap mobil.

"Tapi bukankah menambah HP malah akan memberikan beban juga pada kerangka mobilnya? Bisa-bisa suspensinya juga jadi tidak bekerja dengan baik," tanya Naruto.

Dia pun sedikit heran meski secara teorinya seperti itu, tapi kenyataannya melihat Hinata tadi mengendarai mobil tersebut tanpa ada kesulitan.

"Tenang saja, aku juga mengganti pistonnya. Jadi meskipun kecepatan mobil ini bertambah, aku masih bisa melakukan handling dengan baik dan masih bisa menekan gas dalam-dalam saat berbelok,"

Gadis itu tersenyum senang. Naruto pun tak mampu menahan dirinya untuk ikut tersenyum.

"Yah, meskipun kunci untuk menjadi cepat bukan hanya dengan bertambahnya power ataupun menginjak gas dalam-dalam saat berbelok," kata Hinata lagi yang membuat Naruto tersentak.

"Maksudmu?" tanya Naruto ingin tahu.

Hinata hanya tersenyum tanpa menanggapi pertanyaan pemuda berambut cerah itu. Gadis itu berbalik menghadap pembatas jalan dan membelakangi mobilnya.

"Gunung itu tinggi ya...," ucapnya menunjuk bukit Konoha yang memang pantas disebut gunung karena ketinggiannya.

Pandangan Naruto pun ikut mengarah ke tempat yang disebut Hinata. Sesungguhnya dia masih tidak mengerti maksud Hinata membawanya ke tempat itu. Apakah tujuannya hanya untuk menunjukkan gunung Konoha dari jarak yang lebih dekat? Ataukah dia ingin menunjukkan jalur bukit yang lain yang belum pernah Naruto jelajahi? Ataukah gadis ini hanya ingin pamer settingan mobilnya yang baru? Atau memang ada sesuatu yang lain?

Hembusan angin musim dingin menyapa kulit membuat Naruto merapatkan mantelnya. Atensinya lagi-lagi melirik gadis di sampingnya yang masih belum lepas dari menatap gunung puncak Konoha. Ada perasaan mengganjal dalam hatinya kala kembali melihat wajah ayu itu. Dirinya kembali bertanya-tanya akan sikap Hinata yang tampaknya bisa semudah itu melupakan kejadian yang bahkan baru terjadi beberapa jam lalu. Seolah menandakan bahwa memang sudah tak ada lagi harapan untuknya dapat kembali bersama dengan gadis itu lagi.

"Hinata,"

Mendengar namanya disebut dengan suara yang begitu dalam, manik keunguan itu pelan-pelan bergulir melirik pemuda di sampingnya. Manik tersebut pun membulat kala mendapati sang pemuda yang sudah berdiri menghadapnya dengan menunjukkan ekspresi yang begitu serius. Ingin cepat-cepat ia alihkan pandangannya, namun sorot mata biru Naruto mengunci pergerakannya. Hingga tak mampu lagi ia mengelak dan memberanikan diri menatapnya balik.

"Aku tak bisa mengerti apa yang kau pikirkan,"

Hinata diam di tempat menghadap Naruto yang menantap lurus padanya.

"Kau mungkin berpikir aku ini laki-laki brengsek yang sudah memanfaatkan dan mempermainkanmu. Aku tidak memungkirinya,"

Hinata hendak menyanggah, namun Naruto tak memberikannya ruang untuk itu karena dia kembali melanjutkan ucapannya.

"Aku memang brengsek. Aku sudah membohongimu, menyakitimu, mengkhianati perasaan tulusmu. Aku juga memanfaatkanmu untuk kepentinganku sendiri. Aku mengakuinya bahwa aku pantas untuk kau benci,"

Kepala berambut indigo pendek itu menggeleng kuat. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Tidak... itu tidak ––,"

"Dan hari ini sekali lagi aku membuktikan bahwa aku hanya bisa membuatmu menangis,"

Kepala Hinata kembali menggeleng.

"Apa yang aku lakukan hari ini dan apa yang aku lakukan sebelumnya, semua hanya berakhir dengan air matamu,"

Hinata menunduk. Ia tak mampu lagi menatap lurus manik biru langit Naruto.

"Semua memang berawal dari kesalahan. Aku yang merasa bersalah padamu, keegoisanku, kebodohanku... Kenyataan kalau aku tidak tulus menjalin hubungan denganmu, itu memang benar. Tapi sedikit demi sedikit perasaan itu berubah, Hinata,"

Gadis itu tersentak dan perlahan dia kembali mengangkat wajahnya.

"Hanya karena aku bodoh tak mampu menyadarinya lebih awal. Hanya karena aku pengecut tak mampu mengatakannya lebih cepat. Dan saat semuanya jelas bagiku, semuanya sudah terlambat. Perasaanku sudah berubah, Hinata,"

Perlahan manik keunguan itu bergulir untuk kembali mendapati warna biru sang pemuda hingga akhirnya mereka saling menatap. Saat itulah dia mendapatinya, keseriusan, kesungguhan, ketulusan yang membuat jantung sang gadis berdebar keras.

"Aku mencintaimu, Hinata,"

Begitu saja angin berhembus kencang seakan membawa kabar yang baru saja didengarnya. Hinata terpaku di tempat. Tak ada kata yang bisa terucap bahkan bibir malah merapat seolah beku akan dinginnya musim dingin.

"Aku mencintaimu," ulang Naruto.

Pemuda itu berharap mendapatkan respon dari sang gadis. Namun Hinata malah mengalihkan pandangan darinya. Dia berbalik membelakangi Naruto. Terlihat bagaimana sang gadis Hyuga itu tampak bimbang, ragu dan tak percaya.

"Apa maksudmu berpaling dariku? Kau menolakku? Apa ini artinya kita tidak bisa lagi kembali?"

Hinata kembali menoleh. Kali ini ekspresinya menunjukkan dia tidak terima Naruto menyimpulkan seenaknya.

Tiba-tiba Naruto mengangkat tangan kirinya menunjuk pada sesuatu. Hinata sedikit terkejut, tapi matanya mengikuti ke arah mana tangan itu menunjuk, Puncak Konoha.

"Kau membawaku ke sini untuk mengingatkanku lagi akan tujuanku, bukan? Puncak Konoha. Aku tidak pernah lupa tujuanku. Dan ya, gunung itu sangat tinggi,"

Naruto menurunkan kembali tangannya. Mata Hinata pun kembali melihat pada pemuda itu. Kepala berambut kuning itu menunduk.

"Aku tak memintamu menjawab sekarang. Kau benar, aku harus fokus pada tujuanku. Tapi ...,"

Naruto mengangkat wajahnya dan manik biru itu menyorot tajam pada Hinata. Kembali dia tak mampu mengontrol debar jantungnya.

Kaki Naruto melangkah maju mendekat berhasil membuat Hinata melangkah mundur. Namun langkah Naruto lebih cepat membawanya untuk berdiri tepat di depan gadis itu.

"Tapi, maukan kau berjanji padaku?" tanya Naruto.

"Ja-Janji?" ulang Hinata tidak mengerti.

"Ya. Berjanjilah padaku saat aku berhasil menuruni Puncak Konoha itu kau akan memberikanku jawabannya,"

Lagi-lagi angin musim dingin berhembus kuat menerbangkan surai berbeda warna tersebut. Hinata kembali membawa pandangannya melihat gunung Konoha yang sangat gelap dan berkabut. Bukan hanya tinggi, bukan hanya misterius, tapi tempat itu benar-benar menyimpan horor yang tak mampu disentuh tangan manusia biasa.

"Dan kau akan terima apapun jawabanku?" tanya Hinata tiba-tiba.

Naruto terdiam. Menerima apapun jawaban gadis itu, artinya jawabannya tidak pasti 'Ya' bahkan kesempatan jawaban 'Tidak' malah terlihat lebih besar. Namun Naruto tidak ingin membuatnya semakin rumit. Dia harus bisa bersikap berani dengan menanggung resiko dari semua kesalahan yang sudah diperbuatnya. Kepala berambut kuning cerah itu pun mengangguk.

"Ya, aku akan terima," jawabnya.

Hinata menngangguk beberapa kali pertanda dia mengerti dan setuju.

"Baiklah," Hinata menjawab, dia kembali menatap Naruto. "Tapi kau juga harus janji kalau kau akan kembali dengan selamat,"

Ucapan Hinata membuat Naruto terhenyak. Dirinya sadar akan suatu hal bahwa yang menjadi tujuannya bukan hal yang mudah yang bisa ia taklukan. Matanya terpejam. Dirinya sudah bertekad. Sejak ia datang ke Konoha, sejak ia memutuskannya, dirinya sudah tak memiliki jalan untuk mundur lagi. Dan janjinya hari ini dengan Hinata akan semakin menguatkan tekad itu.

"Aku janji," jawab Naruto sungguh-sungguh.

Keduanya kembali saling menatap. Dalam jarak sedekat itu, timbul hasrat dari dalam diri Naruto untuk merengkuh tubuh mungil tersebut membawanya dalam pelukannya. Tapi dia menahan diri untuk tidak menyentuh gadis itu lagi. Tidak, sampai janji keduanya terpenuhi.

Seberkas cahaya menyorot tajam ke arah mereka berdiri. Keduanya mencoba menghalau cahaya menyilaukan itu dengan telapak tangan mereka. Mata Naruto menyipit untuk bisa melihat ke arah datangnya cahaya yang ternyata adalah lampu dari tiga mobil yang berhenti tepat di depan mereka berdiri.

Ketiga mobil Skyline bertipe R 32, 34 dan 35 itu berjajar sombong di hadapan Trueno tua milik Hinata. Sang pengemudi pun keluar dari mobil-mobil tersebut dengan menampilkan senyuman mengejek mereka. Ketiga pengemudi itu adalah laki-laki berusia sekitar 20 tahunan yang sepertinya seorang mahasiswa. Sekali lihat saja sudah langsung bisa memastikan bahwa mereka adalah pembalap amatir yang mengendarai mobil ber-cc besar hanya untuk pamer kecepatan.

"Waaah apa ini? Aku tidak percaya! Jarang sekali bisa menemukan Trueno tua di sini," ucap si pengendara R35 sambil maju mendekati mobil Trueno Hinata.

"Jadi ini yang disebut Hachi-Roku. Hahaha...! Hoi! Bagaimana dengan kalian?" ucapnya pada teman-temannya yang masih berdiri di belakang.

"Yah aku juga tidak menyangka bisa menemukan mobil tua rongsokan di sini," kata pengendara R32.

Hinata menaikkan sebelah alisnya, tampak kesal karena mobil kesukaannya disebut rongsokan.

"Hahahaha...! benar sekali. Dan coba kita lihat siapa si pengendara rongsokan ini?"

Si pengendara R35 melihat pada Naruto dan Hinata.

"Waaaah ternyata pengendaranya hanya remaja yang sedang kencan. Hahaha...!" tawanya yang disambut kekehan teman-temannya.

"Kasian sekali kau gadis manis. Mau-maunya kau diajak kencan naik mobil tua rongsokan ini olehnya," ucapnya lagi mengejek Naruto.

Hinata semakin menunjukkan kekesalannya. Tampaknya mereka salah paham, mereka pikir mobil Trueno tersebut adalah milik Naruto. Sementara sang pemuda yang jadi bahan ejekan orang-orang tersebut, takut-takut melirik gadis di sampingnya yang sudah mengeluarkan aura kemarahan.

"Jadi, mobil mana yang kau sebut rongsokan?" Hinata maju sambil melipat tangannya di dada.

Orang tadi beralih melihat pada gadis itu.

"Tentu saja mobil Hachi-Roku milik kekasihmu ini," jawab pemilik R35 sambil menepuk keras kap mobil putih Trueno tersebut.

Bisa Naruto lihat, Hinata semakin tak mampu menahan kekesalannya melihat mobilnya ditepuk kasar.

"Dan kau pikir R35 mu bisa menang bila melawan mobil ini?" ujar Hinata.

"Hah?! Apa kau bilang?! Hey Nona... kau itu tidak tahu mobil. Baiklah akan ku beri tahu. R35 ku itu sangat cepat. Hanya dengan berakselerasi saja sudah mampu meninggalkan mobil rongsokan ini di belakang. Hahaha...!"

Orang itu begitu membanggakan mobil miliknya tanpa dia ketahui apa yang ada di balik kap mobil milik Hinata.

"Dari pada banyak bicara, kenapa tidak langsung dibuktikan saja kalau mobilmu bisa mengalahkan mobil ini," tantang Hinata yang sukses membuat Naruto dan tiga orang pengendara Skyline itu terperangah kaget.

"Heeeh... apa ini? Kau menantangku?" kata pemilik R35 terlihat kesal.

Hinata mengangkat bahunya sambil mencibir meremehkan.

"Yaaah, itu sih kalau kau memang bukan pengecut yang takut kalah," katanya berani.

Naruto ternganga mendapati Hinata yang sangat berani memberi tantangan seperti itu. Sedang orang tersebut, wajahnya sudah terlihat memerah hampir meledak.

"Brengsek kau gadis sialan! Berani-beraninya kau menantangku!"

Orang itu sudah maju ingin memukul Hinata sebelum dengan cepat Naruto menangkap tangan orang tersebut.

"Jauhkan tangan kotormu itu darinya, brengsek! Jangan berani-berani menyentuhnya!" tegas Naruto.

Hinata melebarkan senyumnya, siap melancarkan provokasi yang telak.

"Aaaah jadi begitu, kau memang pengecut yang hanya berani memukul dan tidak berani balapan. Sayang sekali...,"

"APAAAAA?!" geram orang itu marah.

Dan Hinata tidak mengubah ekspresinya, dia tetap menunjukkan senyuman remeh yang membuat orang itu tidak tahan.

"Cih, kurang ajar! Baiklah, ayo kita buktikan! Aku terima tantanganmu,"

Orang tersebut pun kembali ke mobil R35nya dan mengajak teman-temannya untuk segera bersiap ikut balapan. Jadi saja Hachi-Roku akan melawan ketiga Skyline tipe R itu sekaligus.

"Ayo Naruto-kun!" panggil Hinata dengan nada riang sambil berjalan santai menuju pintu mobil sebelah kursi penumpang.

Naruto yang melihat Hinata sudah duduk di kursi penumpang hanya bisa terbengong heran.

"Naruto-kun ayo naik!" panggilnya lagi dari dalam mobil.

"Tunggu! Kenapa kau duduk di sana?" tanya Naruto bingung.

"Tentu saja, kau yang balapan," jawab Hinata ringan.

Naruto masih tidak menangkap ucapan Hinata sehingga dia terdiam untuk sepersekian detik. Namun senyuman di bibir Hinata mengembalikannya ke alam sadar.

"Eh?! Aku?!" pekiknya sambil menunjuk dirinya.

Hinata mengangguk-anggukan kepalanya antusias.

Dengan segera Naruto masuk ke mobil dan duduk di kursi pengemudi.

"Kenapa aku Hinata? Ini kan mobilmu dan kau yang menantang mereka?"

Naruto benar-benar tidak percaya.

"Sudahlah tenang saja. Dengan mobilku dan kau yang mengendarai, kita akan menang mudah," jawab sang gadis Hyuga penuh percaya diri.

"Kenapa kau begitu yakin?" Naruto masih tak mengerti.

"Tentu saja, mereka hanya orang-orang bodoh," jawab Hinata sambil tatapannya memicing remeh pada ketiga mobil yang sudah lebih dulu melaju ke arena.

Naruto sedikit terkejut mendengar kata-kata itu. Bagaimana pun Hinata selalu mengatakan kata-kata yang lembut dan sopan. Tapi setelah mobilnya dihina sepertinya sang gadis konglomerat itu benar-benar kehabisan kesabarannya.

"Jadi Pangeran Byakugan tidak level melawan orang-orang bodoh itu, huh?" ucap Naruto sarkastik.

Hinata melirikkan matanya dan dia pun terkikik lirih.

"Tidak juga," ucapnya. "Hanya saja aku tak mau buang-buang waktu,"

Naruto menaikkan sebelah alisnya. Jadi sekarang apa, Hinata mau menguji kemampuan dirinya atau apa. Namun si pemuda Uzumaki langsung memakai sabuk pengaman dan mulai menjalankan mobil 86 tersebut.

"Jadi, apa yang harus ku lakukan untuk menang?" tanya Naruto karena dia yakin Hinata punya tujuan tertentu dengan menyuruhnya balapan.

"Tidak ada. Hanya ikuti saja alur jalurnya dan terus melaju. Kau akan melewati mereka dalam sekejap," jawab Hinata.

Naruto tidak puas dengan jawaban itu. Dia sangat yakin Hinata tengah memikirkan sesuatu.

"Kau tidak mau memberiku suatu trik?" tanya Naruto lagi.

Segera Hinata berbalik menghadap Naruto yang tengah mengemudi di sampingnya. Mata bulan gadis itu melihat lurus wajah Naruto yang balik meliriknya kemudian tatapan mata ungu itu beralih ke kaki sang pengemudi yang tepat berada di pedal gas dan rem.

"Baiklah, sekarang dengarkan aku," ujar Hinata tiba-tiba. "Pertama-tama lakukan saja dengan caramu dan aku ingin mendengar pendapatmu tentang jalur ini,"

Naruto sempat berpikir sejenak, namun kemudian dia mengangguk. Hachi-Roku itu pun mulai melesat menuruni jalur bukit Senju. Mengendalikan mobil dengan power besar supercharger memang bukanlah hal yang mudah, tapi tampaknya Hinata telah melakukan tunning yang sempurna sehingga tidak memberikan banyak beban pada mobil tersebut. Naruto pun merasakannya bagaimana tenaga mesin mobil itu menjadi lebih kuat dan mobil bisa melaju lebih cepat. Hanya saja kemampuan power Skyline tidak dapat dipungkiri terutama begitu menapaki jalur lurus dalam sekejap mata jarak yang diberikan begitu besar. Belum lagi ...

"Cih!"

Naruto berdecih kesal ketika mulai merasakan keanehan. Hal itu tidak luput dari pandangan Hinata yang sejak tadi tak melepaskan atensinya dari sang pengemudi di sampingnya. Naruto melirik ke samping dan mendapati gadis itu yang masih memperhatikannya sambil memiringkan kepalanya dan menyunggingkan senyuman.

"Bagaimana?" tanyanya tiba-tiba.

Naruto kembali berdecih.

"Tidak menyenangkan," jawab Naruto yang membuat Hinata mengangkat sebelah alisnya.

"Jalurnya sangat tidak menyenangkan," jelas Naruto.

Hinata terkikik lirih. Manik biru pemuda itu melirik tidak mengerti pada gadis di sampingnya itu.

"Aku senang karena Naruto-kun tidak mengatakan kalau jalurnya sulit. Itu artinya kau bisa mengatasinya kan,"

Naruto semakin tidak mengerti.

"Ya, jalurnya memang sangat tidak menyenangkan. Jadi apa yang Naruto-kun pikirkan?" tanya Hinata lagi.

"Lintasannya sangat parah. Aspalnya banyak yang retak dan bergelombang. Lengah sedikit saja bisa membuat bodi mobil bergesekan dan memercikan bunga api. Lagipula dengan permukaan jalan yang buruk ini, memiliki supercharger juga jadi tidak ada artinya karena putaran mesin pun jadi terbatas,"

"Kalau begitu mengandalkan besar tenaga mesin saja tidak cukup, kan?"

"Eh?!"

Naruto menoleh mendengar ucapan Hinata yang lagi-lagi sarat akan makna. Benar saja lawan mereka kali ini begitu membanggakan besar mesin dan power mobil mereka. Tapi sekali lagi gadis itu mengingatkan bukan masalah besar cc ataupun tenaga kuda yang dimiliki sebuah mobil yang membuat seseorang menjadi pemenang, melainkan siapa yang duduk di belakang kemudi mobil tersebut.

"Aspal yang retak dan permukaan jalan yang bergelombang, hal itu dikarenakan jalur ini adalah jalur umum. Berbeda dari jalur bukit Tsuki atau jalur rahasia yang permukaan jalannya mulus karena tidak banyak kendaraan yang melintas. Jalur bukit Senju selalu dilewati berbagai macam kendaraan mulai dari kendaraan kecil hingga truk dan container yang terus-terusan memberikan beban pada jalan dan aspal. Tapi itulah yang menjadi tantangan bagi para pembalap saat melakukan balapan di jalur bukit Senju. Dengan lintasan yang tidak rata seperti ini saat kau menikung dengan kecepatan penuh, hasilnya mobil jadi tidak stabil saat keluar tikungan. Dan menekan gas dalam-dalam hanya akan memberikan banyak beban pada roda,"

"Lalu aku harus bagaimana?"

Naruto benar-benar penasaran. Lagi-lagi Hinata tersenyum.

"Ini jalur yang tepat untuk melatih teknik akselerasi," ucapnya riang.

"Hah?!"

Naruto benar-benar tidak mengerti. Memang dia menyadari dengan permukaan jalur yang tidak rata itu mau tidak mau dia harus menyesuaikan timing saat mengerem dan saat kembali menginjak pedal gas. Dan jujur saja hal itu sangat tidak menyenangkan.

"Jadi maksudmu bagaimana? Apa aku harus menunda timing saat menginjak pedal gas?" tanya Naruto.

Hinata menggeleng.

"Bukan timingnya yang harus kau rubah, tapi kedalaman kau menginjak pedal gas-lah yang harus diperhatikan,"

Pemuda Uzumaki itu terhenyak. Kedalaman menginjak pedal gas, dia tidak pernah memperhatikan hal sedetail itu sebelumnya.

"Sekarang ini kau menginjak pedal gas sedalam sekitar dua centimeter. Coba kau kurangi jadi satu centimeter,"

Pemuda itu ragu apa dia bisa melakukannya persis seperti yang diinginkan gadis itu, tapi dia berusaha untuk mengurangi kedalamannya dalam menginjak pedal gas.

'Ckiiiiiiiitt!'

Mobil keluar tikungan sedikit lebih mulus dari yang sudah-sudah. Meski begitu kepala berambut indigo itu masih menggeleng.

"Coba kurangi sedikit lagi," perintah Hinata.

Naruto meneguhkan hati dan berusaha untuk mengurangi kedalamannya lagi. Meski begitu rasanya sangat kaku ketika kau harus menggerakan anggota tubuhmu sesuai aturan. Rasanya bisa saja meleset dan malah menjadi sebuah kesalahan fatal. Hal itu pun tidak luput dari mata ungu Hinata.

"Tidak perlu kaku begitu, santai saja. Naruto-kun tidak perlu terlalu memikirkannya. Bila kau bisa menginjak pedal gas dengan lebih lembut, semua akan mudah," nasehat sang gadis.

"Bagaimana bisa aku tidak memikirkannya. Ini adalah hal yang sangat kecil tapi bukan hal biasa yang dilakukan," ujar Naruto.

"Itulah kenapa kau harus terus melatihnya hingga terbiasa. Lagipula mengemudi sambil berpikir itu sangat tidak cocok untuk Naruto-kun,"

Pemuda itu menoleh dan menampilkan ekspresi tidak terima. Memang dia tidak pintar dan selama ini mengemudi hanya mengandalkan insting. Tapi kenapa Hinata berkata kalau dia tidak cocok berpikir sambil mengemudi.

"Lihat!" ucap Hinata tiba-tiba sambil menunjuk spion tengah.

Manik biru Naruto pun mengikuti arah yang ditunjuk gadis itu.

"Tanpa kau memikirkan apapun kau sudah melewati dua," sambung Hinata.

Naruto mengernyitkan dahi dan menyipitkan matanya. Apa maksud gadis itu dengan melewati dua? Saat pantulan cahaya mobil yang tertinggal jauh di belakang semakin menghilang dari kaca spion tengah, pemuda itu menyadarinya. Dia sudah melewati begitu saja dua mobil Skyline yang tadi melaju lebih dulu di depannya. Lagi Naruto menoleh pada gadis di sampingnya. Hinata tersenyum dan kini tatapannya lurus ke depan.

"Sekarang ayo kita habisi yang satu lagi!" kata sang gadis Hyuga semangat.

Naruto tak mampu lagi menahan keantusiasannya. Senyuman merekah di bibirnya. Sudah lama rasanya dia tidak sesemangat ini di balik kemudi. Ya, sejak kehilangan mobil kesayangannya dan berbagai macam kejadian tak menyenangkan menimpanya, Naruto hampir lupa bagaimana mendebarkannya saat balapan. Bahkan tidak akan ada hal yang paling menyenangkan dibandingkan melesat secepat mungkin di lintasan hingga tak ada batas antara hidup dan mati. Dan Naruto pun menyadari, pemikiran yang sama tengah terlintas di benak gadis yang kini duduk di sampingnya dengan manik ungu yang berbinar kala merasakan mobil mereka meluncur bagai terbang.

Si pengendara R35 itu tampaknya tak mau menerima dirinya dipermalukan oleh mobil tua rongsokan yang tadi dihinanya. Apalagi dia tahu pengendaranya hanya seorang remaja tanggung. Dengan segenap kekuatan dia mencoba menghalangi Hachi-Roku yang dikendarai Naruto menyalip.

"Cih! Bocah itu bisa melewati R32 dan R34 ternyata. Dan sekarang dia mencoba menyalipku. Jangan harap. Lihat saja ini teknikku yang tak tertandingi," ujar sang pengendara R35.

Dia pun dengan lihai menutup setiap jalur yang terbuka yang menjadi celah bagi Naruto untuk menyalip.

"Waaah... tampaknya dia tak ingin membiarkan Naruto-kun menyalip dengan mudah," ujar Hinata.

"Heh! Dan dia tidak tahu siapa yang sedang dia hadapi," kata Naruto yang tiba-tiba jadi percaya diri.

Hinata melirik pada sang pengemudi dan bibir gadis itu kembali tersenyum.

"Boleh ku pinjam teknik itu?" tanya Naruto.

Hinata terperangah. Dirinya sedikit bingung apa yang dimaksud Naruto, tapi sejenak kemudian dia akhirnya mengerti.

"Ya, lakukan saja," jawab Hinata.

Naruto kembali melebarkan senyuman mentarinya.

"Maaf kalau aku melakukannya tidak sempurna, ya...," ucapnya sebelum kemudian dia melancarkan aksinya.

R35 itu berkali-kali menutup jalur luar di mana Naruto berkali-kali menekannya dari titik itu. Mobil lama berwarna putih itu seolah sangat memaksa ingin menyalip dari sana sehingga sang pengemudi Skyline tersebut mati-matian berusaha menghalangi.

"Begitu inginnya ya kau menyalip dari sisi luar? Huh, bocah bodoh! Tidak akan ku biarkan kau melakukannya semudah itu," ucap sang pengemudi R35.

Setiap keluar tikungan Naruto lagi-lagi sengaja membawa mobilnya untuk menyalip dari sisi luar dan dengan cepat celah itu ditutup oleh mobil di depannya. Sedikit demi sedikit juga dia tambah kecepatannya hingga tidak menyisakan jarak antara keduanya. Mendapati itu sang lawan pun tidak tinggal diam, dia juga ikut menambah kecepatannya agar bisa kembali memberikan jarak yang jauh.

Naruto menyeringai lebar karena tampaknya sang lawan sudah memakan begitu saja umpan yang dia berikan. Benar, apa yang sejak tadi Naruto lakukan adalah trik. Trik yang sama yang Hinata lakukan saat pertandingannya melawan Kamaitachi. Wanita Sabaku itu termakan tipuan Hinata yang seolah-olah memaksa ingin menyalip dari sisi luar hingga dia terus fokus menutup jalur itu dan menyisakan celah di sisi dalam. Tanpa ia sadari ia sudah jatuh dalam perangkap sehingga dengan mudah dia disalip di sana.

Begitupun yang tengah dilakukan Naruto. Dia mencoba menanamkan di pikiran lawannya bahwa dia hanya akan menyalip dari sisi luar. Benar saja sang lawan begitu saja mengikuti alur permainannya. Namun berbeda dari Kamaitachi yang sebenarnya sudah sangat sempurna menutup sisi luar dan dalam jalur, hanya saja Hinata yang terlalu lihai membuatnya dapat dengan mudah terlewati. Sedang pengemudi yang kini Naruto hadapi sebenarnya cukup bodoh karena dia menutup sisi luar dengan menyisakan celah yang cukup lebar di sisi dalam. Belum lagi dia yang termakan provokasi Naruto sehingga menambahkan kecepatan mobilnya tanpa mempertimbangkan lintasannya. Benar kata Hinata, memacu mobil dengan kecepatan penuh di lintasan yang tidak mulus hanya akan membuat mobil tidak stabil begitu keluar tikungan. Itulah yang terjadi pada R35 yang ada di depannya. Begitu keluar tikungan, mobil tersebut terlihat goyah dan fokus sang pengemudi yang ingin menutup sisi luar jalur membuka begitu saja sisi dalam. Hanya dalam sekejap 86 yang dikendarai Naruto menyalipnya begitu saja.

"Bye...bye...! Kami duluan..." sapa Hinata sambil melambai riang pada pengemudi R35 yang hanya bisa menganga tidak elit dari dalam mobilnya.

Tidak makan waktu lama untuk menyaksikan lampu mobil R35 menghilang dari kaca spion menandakan bahwa Trueno putih tersebut sudah melesat meninggalkan mobil itu tertinggal jauh di belakang.

"Lihat! Naruto-kun melewatinya dengan mudah. Kau memenangkannya," ucap Hinata senang.

"Ya, semua berkat Pangeran Byakugan. Terima kasih," ujar Naruto.

Hinata tersenyum sambil menunduk malu, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Atensi Naruto menangkap itu. Melihat Hinata yang kembali bersikap malu-malu entah kenapa malah membuat jantungnya jadi berdebar tak karuan. Gadis Hyuga itu terlihat sangat imut. Naruto berusaha menahan diri agar tidak melakukan ataupun memikirkan yang tidak-tidak. Sehingga segera dia merubah topik pembicaraan.

"Menurutmu apakah aku bisa menguasai teknik akselerasi dan semua hal yang kau sarankan tadi?" tanya Naruto.

Hinata mengangkat wajahnya dan melihat pada pemuda itu.

"Tentu saja," jawabnya pasti. "Kau hanya perlu sering melatihnya dan membuat dirimu terbiasa. Apalagi dengan kemampuan mengcopy saja Naruto-kun bisa meniru trik yang aku lakukan hanya dengan sekali lihat. Dan dengan kemampuan belajar cepatmu, pasti Naruto-kun bisa segera menguasainya,"

Mendengar jawaban penuh dengan dukungan dan semangat dari seorang gadis yang begitu disukai, Naruto tak mampu untuk menahan senyumannya.

"Ya, aku pasti bisa," jawabnya yakin. "Sekali lagi terima kasih, Hinata,"

Naruto tersenyum cerah padanya. Hinata tertegun melihat kembali senyuman mentari pemuda itu yang selalu bisa memberikan hangat di hatinya. Entah sudah berapa lama ia tidak melihatnya, senyuman itu. Hatinya begitu terenyuh merasakan haru mendapati kembali sosok pemuda yang ceria yang setengah tahun lalu ditemuinya di KMS. Inilah Naruto yang Hinata cintai. Bukan Naruto yang sok dewasa, bukan Naruto yang serius, bukan Naruto yang terlihat terbebani, tapi Naruto yang penuh semangat dan ceria. Begitulah sosok Naruto yang begitu Hinata sukai.

Gadis itu sedikit tersenyum sedih. Dirinya menyadari bahwa alasan Naruto berubah adalah dia. Naruto yang terbebani dan selalu terlihat sedih, semua itu juga karena dirinya. Hinata tak ingin melihat Naruto seperti itu lagi. Dirinya ingin memastikan senyuman itu akan terus ada. Maka dia akan mencoba untuk kembali berdiri di sana, di tempatnya yang dulu. Cukup melihatnya dari jauh sebagai pengagumnya.

.

.

Matahari terbit di pagi yang baru menghantarkan kehangatan pada udara musim dingin yang membeku. Warna kuning keemasan yang cerah terpantul indah di hamparan putih salju yang menebal di permukaan tanah. Kota Konoha di pagi tahun baru begitu sepi tanpa adanya aktivitas penduduk yang seperti biasa. Setelah menghabiskan satu malam di festival yang meriah, banyak penduduk yang memilih untuk berdiam di rumah. Hanya segelintir orang yang berjalan di jalanan kosong Konoha setelah kembali dari kuil untuk berdoa.

Pemuda berambut kuning cerah itu salah satu yang melangkahkan kaki di pagi awal tahun yang indah. Dia tidak dari kuil ataupun pulang dari festival. Semalaman dia hanya menghabiskan berlalunya tahun di dalam apartemen kecilnya bersama temannya, Shikamaru, yang tampaknya sedang dirundung masalah sehingga tak henti-hentinya minum sampai mabuk dan tak sadarkan diri. Naruto, pemuda itu, memilih untuk keluar apartemen dan jalan-jalan menyusuri kota yang sepi meninggalkan Shikamaru yang masih tidur dan belum sadar dari mabuknya.

Naruto menyadari sesuatu bahwa Konoha adalah kota yang begitu asri. Setiap sudut tempat itu dipenuhi warna hijau pepohonan dan bukit. Meski tak bisa dipungkiri juga bahwa ada banyak gedung-gedung tinggi yang ikut menjulang. Para penduduknya pun tinggal dengan damai dan aman. Sama sekali tak tampak kalau kota tersebut menyimpan begitu banyak misteri. Adanya hal mengerikan yang disebut balapan maut dan Puncak Konoha tampaknya tidak sedikit pun mempengaruhi para penduduk sipilnya.

Naruto menduga-duga apakah pemerintah Konoha juga tidak tahu menahu akan adanya teror yang mengancam para pembalap. Lalu keberadaan Yakuza sepertinya bukanlah ancaman bagi para penduduk ataupun pemerintah. Sebaliknya sedikit banyak yang Naruto tahu, para penduduk begitu memuja-muja Yakuza. Meski terkadang ada yang menyebabkan kerusuhan, tapi nyatanya keberadaan Yakuza di Konoha malah membuat para warga merasa aman. Seolah kekuasaan tertinggi di kota itu bukan lagi pemerintah melainkan Yakuza.

Kepalanya menggeleng beberapa kali. Dirinya tak mampu menganalisis lebih jauh karena dia bukan seseorang yang jeli dan cerdas seperti Shikamaru, Sasuke, ataupun Hinata. Ah Hinata, gadis itu, Naruto jadi mengingat terakhir kali mereka bertemu saat kencan mereka di hari ulang tahun gadis itu. Dirinya tidak bisa berhenti tersenyum mengingat lagi bagaimana Hinata yang begitu kesal karena mobilnya dihina. Gadis Hyuga itu benar-benar istimewa. Meski dirinya sudah berjanji tidak akan lagi menanyakan tentang perasaan gadis itu sampai semua misinya berakhir, tapi hatinya tak bisa berbohong kalau rasa cintanya pada Hinata setiap hari semakin membesar. Tidak bisa ia pungkiri setiap malam dirinya tak bisa tidur nyenyak karena terus-terusan memimpikan gadis itu. Dan apa yang dimimpikannya bukanlah hal yang normal melainkan hal yang gila dan nista.

Naruto menghela nafas dan mengacak rambutnya berulang kali. Beberapa pejalan kaki yang sepertinya baru pulang setelah festival, melihatnya dengan tatapan aneh. Naruto menyadari tatapan itu, dia pun mencoba kembali tenang dan melanjutkan berjalan. Dia harus bisa menahan diri agar tidak lagi melakukan hal-hal bodoh seperti sebelumnya. Lagipula Hinata sudah mempercayainya hingga dia mau berjanji pada Naruto. Naruto tidak boleh menghianati kepercayaan gadis itu lagi. Serta dengan kebaikan hati Hinata, dia mau membantu Naruto untuk memperbaiki teknik mengemudinya. Semua saran gadis itu sangat membantu. Mungkin Naruto akan segera berlatih dan mencobanya.

Pemikiran penuh semangat itu lagi-lagi buyar ketika dia ingat kalau mobilnya masih belum siap. Lagi-lagi dia harus menghela nafas kasar. Dirinya benar-benar lupa kalau mekanik andalannya tidak ada lagi di sisinya. Langkahnya berhenti dan pandangannya menatap langit yang lebih cerah dibanding langit-langit musim dingin selama ini. Dia sudah menyakiti hati sahabatnya dan kehilangannya. Sungguh ingin sekali ia mengutuk dirinya sendiri atas semua perilaku buruknya pada Kiba. Tidak seharusnya Naruto membuat Kiba pergi karena dia sahabatnya dan mereka belum pernah berpisah selama ini sebelumnya. Sejak kecil mereka selalu bersama-sama dalam keadaan seperti apapun, saat tertawa maupun saat bersedih. Meski sekarang dia memiliki teman-teman yang lain, Sasuke, Shikamaru, Choji, dan Sakura, tapi Kiba istimewa. Hanya Kiba yang mengerti perasaan Naruto tanpa perlu Naruto mengatakannya. Sayangnya Naruto malah tidak pernah bisa mengerti perasaan Kiba dan dengan seenaknya menghancurkan hati serta kebahagiaannya. Mungkin dirinya tidak pantas untuk dimaafkan sampai kapanpun.

Langkah membawanya pada tempat itu, basecamp tim mereka. Dirinya bertekad hari itu akan mencoba memperbaiki mobilnya sendiri. Bisa saja dia minta tolong teman-temannya yang lain, tapi paling tidak dia ingin memperbaiki beberapa hal sendiri. Itu adalah mobilnya, tepatnya mobil ayahnya. Dia ingin mengenal sedikit banyak mobil yang akan dikendarainya dalam balapan.

Dibuka pintu basecamp yang tidak terkunci. Naruto sedikit terkejut mendapati pintu yang sudah setengah terbuka. Dirinya bertanya-tanya siapa kiranya anggota timnya yang pagi-pagi sudah datang karena yang memiliki kunci basecamp hanya anggota tim Naruto. Lalu saat dia membuka pintunya lebih lebar sehingga sinar matahari mampu menerobos masuk ke dalam ruangan, seseorang yang berdiri di depan mobil Rx7 FD Naruto itu mengangkat satu tangannya untuk menghalau sinar yang menyilaukan matanya.

Rambut jabrik cokelat yang begitu familiar bagi Naruto. Saat orang itu menurunkan tangannya tampak jelas wajah dan manik cokelat yang memantulkan sinar mentari meyakinkan si pemuda Uzumaki bahwa apa yang dilihatnya tidak salah. Sahabatnya berdiri di sana, Kiba.

"Kenapa... Kenapa kau... ada di sini?"

Kiba menaikan sebelah alisnya menanggapi pertanyaan Naruto. Dia pun berpaling dan mulai menghadapi mesin yang ada di bawah kap mobil FD itu.

"Apa maksudmu? Liburan musim dingin hampir usai. Tentu saja aku kembali," jawabnya tanpa melihat langsung Naruto.

Pemuda Uzumaki tersebut berjalan masuk mendekat ke tempat di mana Kiba berdiri.

"Tidak, bukan begitu... Maksudku...,"

Naruto menjeda ucapannya. Dia menunduk sendu. Ada perasaan tidak enak di hatinya.

"Maksudku... Aku pikir kau...,"

Naruto kembali terdiam. Kiba menoleh, melihat sahabatnya yang tampak sekali merasa bersalah pada dirinya.

"Aku pikir kalau kau... tidak akan pernah kembali lagi," ucap Naruto pada akhirnya.

Kiba menegakkan dirinya dan menghadap Naruto. Sementara sang pemuda Uzumaki masih tidak siap menatap balik sahabatnya.

"Aku pikir kau benar-benar pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Sejak awal akulah yang membuatmu ikut datang ke Konoha. Akulah yang punya urusan di sini dan aku sendiri yang harus menyelesaikannya. Kau dengan senang hati ikut datang untuk menemani dan membantuku. Tapi setelah aku mengecewakanmu, aku pikir kau...,"

"Jangan salah paham!"

Kiba memotong ucapan Naruto. Kini keduanya saling berhadapan.

"Aku memang sangat kecewa pada sikapmu, Naruto. Sangat kecewa. Tapi...,"

Kiba meletakkan kunci minus yang dipegangnya dan melangkah menghampiri Naruto. Ditepuk ringan dada kiri Naruto dengan tinjunya.

"Sudah ku katakan sebelumnya kan, tak mungkin aku meninggalkan sahabatku sendiri. Dan lagi jangan terlalu percaya diri dengan berpikir kalau kau bisa menang tanpa aku," ucapnya membanggakan diri sambil menampilkan senyuman lebarnya.

"Kiba...,"

Naruto masih terlihat bersalah dan terbebani. Pemuda Inuzuka itu pun langsung mengerti.

"Lagipula...," ucap Kiba selanjutnya. "Rasa cintaku pada mesin sangat besar hingga melebihi rasa cinta dan sukaku pada apapun. Jadi untuk sekarang, mungkin begini memang lebih baik," lagi-lagi dia tersenyum meyakinkan.

Naruto kembali menunduk sendu.

"Dan lagi aku jadi punya kerjaan tambahan karena seseorang yang memaksakan mobil ini untuk balapan saat perbaikannya belum sempurna. Jadi ada banyak hal yang harus diperbaiki ulang," keluh Kiba setengah menggoda sang pemilik mobil agar bisa kembali semangat.

"Maaf,"

"Hey! Bukankah dalam keadaan seperti ini lebih baik kau berkata 'Terima Kasih' daripada 'Maaf'?" ucap Kiba yang berhasil membuat Naruto mengangkat wajahnya.

Pemuda Uzumaki itu pun akhirnya tersenyum.

"Ya, kau benar. Terima kasih, Kiba," ucap Naruto.

"Nah! Begitu lebih baik," balas Kiba tersenyum senang.

"Terima kasih karena kau sudah mau kembali," sambung Naruto yang kembali membuat Kiba tertegun.

"Iiish! Sekali saja bilang 'Terima Kasih'-nya. Lama-lama jadi menjijikan," kata Kiba sambil begidik.

Naruto tertawa lirih. Hatinya benar-benar terasa ringan sekarang.

"Tidak Kiba, aku serius," ujarnya.

"Ah sudahlah hentikan! Kalau kau terus melakukannya aku jadi salah tingkah,"

Naruto semakin tidak mampu menutupi perasaannya. Melihat Kiba di sini dan mereka berbincang dan bercanda seperti dulu lagi. Baginya itu adalah hal yang paling membahagiakan.

"Dan kau tahu, untunglah aku pulang ke rumah," ujar Kiba selanjutnya.

Dia berjalan ke sisi lain basecamp dekat mobil Pagani Zonda miliknya bertengger apik.

"Aku membawa beberapa suku cadang dari bengkel Ayahku," lanjutnya.

"Benarkah?!" sahut Naruto antusias sambil mengikuti langkah Kiba.

"Aku tidak tahu apa kau menyadarinya saat tinggal di bengkelku dulu. Soalnya tempatnya agak tersembunyi. Aku pun baru menemukannya setelah membereskan tempat itu. Ternyata Ayahku menyimpan banyak suku cadang FD,"

Naruto membulatkan mata tak percaya melihat banyak barang yang dibawa Kiba di mobilnya.

"Ini ada di bengkel Ayahmu?" tanya Naruto.

"Ya, aku membawanya karena ditinggal di sana pun tidak akan ada yang menggunakan," jawab Kiba.

"Waaah...! Ini keren...," ujar Naruto dengan mata berbinar melihat semua suku cadang yang masih berkilau.

"Sepertinya sudah lama Ayahku menyimpannya. Tapi entah mengapa aku merasa sedikit aneh,"

"Eh? Aneh kenapa?" tanya Naruto melihat kebingungan Kiba. "Bukankah wajar untuk Ayahmu yang dulu seorang montir untuk menyimpan suku cadang mobil?"

"Iya sih kau benar. Hanya saja pada saat itu jarang sekali orang yang mengendarai Rx7 karena mesin rotarinya. Tapi kalaupun memang ada, pastilah orang itu pelanggan tetap Ayahku dulu melihat banyak suku cadang yang tersimpan semuanya cocok untuk mesin satu mobil yang sama,"

Pemuda Inuzuka itu masih merasakan sesuatu mengganjal di pikirannya. Mata cokelatnya melirik Naruto.

"Atau jangan-jangan...," ucapnya ragu-ragu.

Naruto menaikkan alisnya, melihat Kiba dengan perasaan ingin tahu.

"Jangan-jangan apa?" tanyanya.

Kiba terdiam sebentar sebelum kemudian menggeleng.

"Ah tidak, lupakan saja," jawabnya.

Berhasil membuat Naruto semakin penasaran.

"Sudahlah. Yang penting sekarang dengan ini kita bisa memperbaiki mobilmu," ujar Kiba sambil menyengir lebar.

Naruto ikut tersenyum sebelum dia mengingat sesuatu.

"Oh ya Kiba, saat kau nanti melakukan tune up pada mobilku, bolehkah aku meminta kau melakukan sesuatu. Ada beberapa hal yang ingin kuubah,"

"Ya boleh saja sih. Tapi memangnya apa yang ingin kau ubah?"

Sekarang berbalik Kiba-lah yang dibuat penasaran.

"Tidak sih, aku hanya ingin mencoba sesuatu," jawab Naruto seadanya, tampak dia tak menemukan kata-kata yang bagus.

Kiba menatap Naruto dengan tatapan menelisik. Dirinya mengerti pastilah ada sesuatu yang terjadi.

"Apa terjadi sesuatu saat kencan kalian?" ucapnya tiba-tiba yang berhasil membuat Naruto terlonjak dan tak mampu menutupi keterkejutannya.

Pikirnya, apa Kiba itu esper.

"Apa maksudmu?" tanya Naruto mencoba mengelak.

"Yaaah mengingat kau pergi kencan seharian dengan seorang gadis yang sangat suka mobil. Pastilah dia mengatakan sesuatu yang membuatmu jadi ingin mencoba sesuatu pada mobilmu," jelas Kiba.

Mata biru itu mengerjap beberapa kali tidak habis pikir bagaimana Kiba selalu bisa menebak dengan tepat. Kalau orang-orang bilang Shikamaru-lah yang jenius, bagi Naruto Kiba pastilah lebih dari sekedar jenius.

Naruto menghela nafas. Dia sandarkan punggungnya di mobil Kiba.

"Dia mengajakku berkendara di jalur lereng bukit Senju dan sempat terjadi beberapa insiden juga yang terpaksa membuatku harus balapan,"

"Eh balapan?! Kau balapan naik apa?" tanya Kiba bingung.

"Hachi-Roku milik Hinata," jawab Naruto.

Manik cokelat Kiba membulat.

"Serius? Kau serius balapan dengan Hachi-Roku?" Kiba tampak amat antusias.

"Ya, dan dia sudah meng-upgrade lagi mobilnya itu dengan supercharger,"

Tubuh Naruto sedikit terdorong ke belakang begitu kedua tangan Kiba mencengkeram pundaknya.

"Supercharger?"

Mata Kiba semakin berbinar terang.

"Dia memasang supercharger untuk mobil Hachi-Rokunya?"

Wajah pemuda Inzuka itu memerah senang. Naruto menghela nafas kasar. Dia sudah terbayang sebelumnya bagaimana reaksi Kiba mendengar ceritanya ini. Tapi reaksi yang didapatinya itu sangat berlebihan.

"Bagaimana rasanya?" tanya Kiba masih dengan keantusiasan yang berlebih.

Naruto terdiam sebentar sambil mengingat bagaimana rasanya.

"Aku tidak bisa merasakan keistimewaannya disebabkan jalurnya yang tidak rata dan bergelombang," jawab Naruto apa adanya.

Kiba menurunkan kedua tangannya dari pundak Naruto, terlihat sedikit kecewa. Tapi kemudian seolah dia mengingat-ingat sesuatu.

"Jalur bukit Senju ya... Kalau tidak salah Shikamaru pernah sekali membertitahuku. Katanya itu jalur umum kan?"

Naruto mengangguk.

"Ya, itu jalur umum tapi juga sering jadi arena balapan. Lintasannya sangat tidak menyenangkan. Dengan permukaan yang tidak rata jangankan memaksimalkan kekuatan supercharger, menggeber mesin di kecepatan tinggi pun tidak bisa. Tapi di situlah Hinata mulai membahas tentang teknik akselerasi, pengereman, bahkan tentang kedalaman menginjak pedal gas. Membuat aku menyadari kalau teknik balapanku masih belum ada apa-apanya,"

Kiba terbelalak tidak percaya tentang apa yang diceritakan Naruto. Apalagi masalah soal kedalaman menginjak pedal gas. Pemuda Inuzuka itu sampai tak habis pikir dengan semua ide itu.

"Aku sendiri tidak tahu apa yang bisa aku lakukan pada mobilku. Tapi sejujurnya aku ingin mobilku segera selesai dan bisa dikendarai. Banyak hal yang ingin aku coba dan aku latih. Tapi kalau keadaannya seperti ini, aku khawatir sesi balapan selanjutnya akan segera dimulai tanpa aku berkembang sedikit pun. Itulah kenapa aku bersyukur kau kembali ke sini, Kiba,"

Ucapan tulus Naruto membuat Kiba terpaku. Dirinya pun sejujurnya merasa bersalah karena sempat egois dan meninggalkan Naruto begitu saja. Padahal waktu itu matanya bisa melihat dengan jelas bagaimana Naruto tengah hancur dan tersesat. Tapi sahabatnya Kiba malah pergi. Dia pun tersenyum dan menepuk pundak Naruto meyakinkan bahwa dia akan terus berada di sana untuk sahabat sejak kecilnya itu.

Keduanya kini tengah berpikir serius bagaimana caranya agar Naruto bisa berlatih. Bagaimanapun teknik mengemudi itu bukanlah hal yang bisa begitu saja dimiliki setelah diajari. Semuanya butuh proses dan waktu. Meskipun selama ini Naruto selalu bisa berhasil memenangkan balapan hanya dengan insting dan karena dia memiliki kemampuan untuk mempelajari serta mengkopi teknik pengendara lain, tapi bukan serta merta semua itu akan otomatis begitu saja jadi miliknya. Untuk membuat tekniknya sempurna, dia butuh melatihnya. Paling tidak dengan berkendara setiap hari dan mengasahnya sedikit demi sedikit.

Dua pemuda itu terlalu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing hingga tak menyadari sosok seseorang yang sudah berdiri di pintu masuk basecamp.

"Tampaknya ada yang sedang kesulitan,"

Suara itu menyentak keduanya. Naruto dan Kiba membawa atensi mereka ke tempat di mana orang itu berdiri. Mata keduanya membelalak sempurna, tidak percaya akan keberadaan orang itu di sana.

"Butuh bantuan?" lanjut suara maskulin orang tersebut.

"Ka-Kakashi sensei? Kenapa Anda di sini?" tanya Naruto tidak percaya sang sensei kini tengan bersandar santai di pintu basecamp.

"Aku membawa seseorang yang ingin bertemu dengan kalian. Aku yakin kalian mengenalnya karena sudah pernah bertemu sebelumnya," jawab Kakashi.

"Seseorang? Siapa?" tanya Naruto dan Kiba bersamaan.

Kakashi mengendikkan kepalanya menunjuk seseorang yang mulai melangkah mendekat. Manik shappire biru Naruto mengawasi ke tempat di mana orang tersebut akan segera menampakkan dirinya. Pintu basecamp dibuka semakin lebar menampilkan sosok pria bertubuh tinggi besar dengan rambut putih panjangnya. Mata dua pemuda itu membulat terkejut. Mereka tahu orang itu.

"Jiraiya-san!" sebut keduanya bersamaan.

"YO!"

.

.

"SAKURAAAAA BANGUN ...! MAU SAMPAI KAPAN KAU TIDUR TERUS?!"

"Aaargh ... berisik!" keluh gadis musim semi itu menanggapi teriakan ibunya.

Musim liburan belum berakhir dan dia ingin menikmati waktunya bermalas-malasan di tempat tidur. Tapi ibunya selalu mengganggu paginya dengan teriakan-teriakan yang membuat telinganya sakit. Ia ulurkan tangannya mencoba menggapai-gapai meja nakas mengambil ponsel miliknya. Dengan mata mengantuk dilihatnya layar ponsel yang berkedip-kedip menunjukkan dia mendapatkan beberapa pesan masuk. Dilihatnya kotak pesan dan ia melihat beberapa nama di sana. Ada dari Shikamaru, Choji, bahkan Sasuke. Bibir Sakura tersenyum mengingat wajah Sasuke di hari sebelumnya saat pemuda itu menemaninya menonton konser.

Ia geser layarnya ke atas dan tertera email yang dia terima tepat tengah malam. Pesan itu dari Ino. Dengan segera ia bergegas duduk di tempat tidurnya. Jarang sekali Ino mengiriminya pesan dan selama liburan musim dingin Sakura tidak mendengar kabar apa pun dari temannya itu.

Tidak beda halnya dengan Sakura, pagi itu Hinata baru selesai dengan latihan Aikidonya di Dojo. Setelah membersihkan diri, Hinata memasuki kamarnya. Diambilnya hairdryer untuk mengeringkan rambutnya yang basah sambil kemudian duduk di depan meja komputer miliknya. Ia hidupkan komputer itu. Sudah menjadi kegiatannya di hari liburan untuk membuat rancangan modifikasi baru untuk beberapa mobilnya. Design rancangannya ia buat dan simpan di komputer itu.

Saat dirinya bersiap membuka file design miliknya, atensi amethyst-nya menangkap notifikasi pesan masuk di kotak emailnya. Gadis Hyuga itu sedikit penasaran siapa kiranya yang mengiriminya email, biasanya hanya Kou atau ayahnya yang suka mengirim email padanya. Namun mereka hanya mengirim email bila ada suatu hal yang berhubungan dengan bisnis. Dibukanya segera email itu dan Hinata sedikit terkejut karena ternyata pengirimnya adalah Ino Yamanaka. Sedikit merasa aneh mengapa temannya itu tiba-tiba mengiriminya email. Dilihatnya sebuah pesan panjang yang tertulis di sana.

Jantung Hinata berdebar keras, perasaannya tidak enak saat melihat deretan kalimat yang tertera di sana. Meski begitu dia merasa bahwa ada suatu hal yang ingin disampaikan Ino dalam email tersebut. Mungkin hal itu adalah curahan dari keresahan Ino selama ini atau ...

Hinata terkesiap. Benar, mungkin ini jawaban atas pertanyaannya pada Ino selama ini. Pertanyaan mengapa Ino bisa terlibat semua ini, mengapa Ino bisa berhubungan dengan Yakuza, dan mengapa Ino bisa terjebak dengan Sai. Selama ini Ino hanya mengatakan bahwa suatu hari ia akan menceritakannya dan Hinata merasa mungkin email itu berisi ceritanya. Dengan meneguhkan hatinya, gadis Hyuga tersebut pun mulai membaca pesan yang dikirimkan sahabatnya itu, pesan email yang berisikan kisah masa lalu Ino.

.

(Untuk kedua sahabatku, Sakura dan Hinata)

(Aku menulis ini untuk kalian yang selalu setia berdiri di sampingku. Aku ucapkan banyak kata maaf karena selama ini selalu merepotkan kalian. Setiap kali ada masalah, aku akan langsung berlari dan menangis pada kalian. Meski begitu tak pernah sekali pun aku menceritakan masalahku ataupun tentang hidupku. Aku hanya memendamnya sendiri segala rasa sakit dan kecemasan yang aku rasakan.

Bukan karena aku sengaja merahasiakannya, aku hanya takut bila kalian tahu semua tentang apa yang terjadi padaku kalian akan pergi dariku, kalian akan jijik, dan tak lagi mau berteman denganku. Walau aku yakin kalian juga sudah memandangku sebagai wanita murahan karena telah menjadi peliharaan seorang Yakuza, tapi apa yang ada di balik itu semua akan semakin membuat kalian muak padaku.

Kali ini akan aku ceritakan semua kisah tentang hidupku yang secara tidak sengaja terjebak dalam semua ini. Kisah yang belum pernah aku ceritakan kepada siapa pun. Bahkan Shikamaru dan Choji mungkin tidak pernah tahu detailnya. Kisah yang hanya aku sendiri yang tahu. Mengapa aku terlibat dalam dunia hitam? Mengapa aku bisa masuk ke lingkaran Yakuza? Serta mengapa aku bisa begitu patuh pada Sai? Akan coba aku ceritakan semua dengan baik meski artinya aku harus menggali kembali ingatan masa lalu. Tapi inilah kisahnya, tentang Ino, gadis lemah yang tak berdaya yang rela lakukan apapun demi satu hal, Cinta.

Sakura pasti sudah tahu waktu kecil aku begitu menyukai Sasuke. Itu terjadi saat kami di sekolah dasar. Saat itu aku melihat Sasuke begitu keren, tampan, dan pintar. Dia anak laki-laki yang sempurna dan aku fikir aku akan jadi anak perempuan yang paling terkenal di sekolah kalau aku bisa jadi pacar Sasuke. Yah, itu hanya cerita anak-anak meski begitu aku benar-benar bersaing sungguh-sungguh denganmu Sakura. Walau pada akhirnya aku mengerti bahwa apa yang aku lakukan tidak berarti apa-apa. Bila dibandingkan denganmu yang begitu tulus menyayangi Sasuke. Sejujurnya aku merasa sangat kesal dengannya, dengan semua sikap sombong dan dinginnya. Tapi Sakura tidak hanya menerima semua kelebihan Sasuke melainkan juga kekurangannya. Dari situ aku pun mengerti bahwa perasaanku hanyalah sebatas suka dan bukan cinta.

Ingatanku tentang Sasuke pun lama-kelamaan memudar bersamaan dengan hilangnya Sasuke dari sekolah yang menurut cerita Sakura sebelumnya anak itu harus homeschooling karena tuntutan keluarga. Yang tersisa dari apa yang aku kenang tentang Sasuke hanyalah wajahnya yang tampan dan betapa kerennya anak itu. Hingga saat aku duduk di bangku SMP, itu pertama kalinya aku bertemu seseorang yang mengingatkanku akan sosoknya. Dia adalah Indra-senpai.

.

To be Continued...

.

.

.

.

Terima kasih untuk yang sudah menunggu kelanjutan ceritanya.

Ini lanjutannya semoga bisa mengobati rindu.

Oh iya, hari ini, 14 Mei, nawa ulang tahun. Mohon doanya semua...

Sekali lagi terima kasih untuk para pembaca yang masih setia menunggu meskipun lama ga update.

Sampai ketemu di chapter selanjutnya.