Rinkazura Presents
Disclaimer Masashi Kishimoto
ORANGE
"Air Mata"
Genre : Crime, Mystery, slight Romance
Rate : T
A MinaKushi Fanfiction
Warning : typo(s), OOC (maybe), etc.
SUMMARY : Kushina sangat terkejut dengan kenyataan bahwa Minato mengorbankan keselamatannya demi penawar racun untuknya. Ia sangat takut jika Minato takkan pernah membuka matanya lagi dan membuat Kushina ingin terus berada di sampingnya hingga Minato sadar. Kushina bertekad takkan menyembunyikan perasaannya lagi.
Cerita sebelumnya:
Kushina tak pernah seperti ini pada seorang pria. Minato-lah orang pertama yang membuat emosinya seperti roller coaster, membawanya pada kebahagiaan dan juga kesedihan yang luar biasa. Gadis itu hanya berharap bahwa mereka bisa bersama lagi – tidak, sebelum itu ia sangat berharap agar Minato segera membuka matanya dan kembali padanya.
Mengapa di saat ia mulai menemukan kebahagiaan, dengan cepat ia harus merasakan kesedihan? Padahal inilah pertama kalinya ia sangat memikirkan seorang pria, ia tidak tahu bagaimana namun sungguh...Minato-lah yang pertama.
enjoy reading :)
.
.
.
Mentari pagi menerobos bebas melalui jendela kaca kamar dimana Kushina dirawat. Cahanya itu berhasil membuat gadis berambut merah itu mulai terbangun dari tidurnya.
"Ah, kau sudah bangun? Kelihatannya efek obatmu cukup hebat,ya?" tutur Mikoto yang membuat Kushina membuka kedua matanya dengan sempurna.
"Kau datang pagi sekali, Miko-chan ?" tanya Kushina sambil bangun dan duduk bersandar pada bantalnya.
"Tentu, untuk sahabatku. Kau terlihat lebih baik, tapi kurasa matamu tidak," kata Mikoto yang memperhatikan wajah Kushina dengan seksama. Kushina pun refleks menutupi wajahnya karena jelas wajahnya tidak karuan. Ia memikirkan pria itu semalaman sebelum tertidur, dan..menangis. Hahaha...seorang Kushina Uzumaki menangisi seorang pria. Sebuah rekor baru saja terpecahkan.
"Ahh...entahlah..." ujar Kushina sekenanya. Mikoto hanya tersenyum singkat dan telah menebak apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
"Aku belum mendengar kabar baik soal Minato, tapi lupakan itu sejenak dan sebaiknya sekarang kau harus membersihkan dirimu. Mau kubantu atau kupanggilkan suster?" kata Mikoto mengingatkan.
"Tidak. Aku bisa ke kamar mandi sendiri."
"Hoo..apa jalanmu sudah tidak sempoyongan? Coba berdiri biar kulihat," perintah Mikoto dan Kushina pun melakukan apa yang ia katakan.
"Lihat, aku tidak selemah kemarin!" pungkas Kushina sedikit pamer. Mikoto hanya mengangguk-angguk.
"Memang penyembuhanmu luar biasa, ya...Aku bahkan sempat meragukanmu apa kau itu manusia atau jangan-jangan siluman rubah hmm..." ledek Mikoto.
"Hei! Teman macam apa kau ini Mikoto Uchiha?! Bisa-bisanya kau menyamakanku dengan siluman rubah!" seru Kushina yang merasa terejek. Mikoto tertawa lepas.
"Cepatlah mandi. Aku akan menyiapkan sarapanmu, tadi suster sempat mengantar sarapan tapi kau masih tidur," tambahnya.
"Baiklah, terima kasih banyak Miko-chan. Kau memang terbaik!"
Tsunade berjalan cepat melewati lorong dan berbelok ke kamar nomor 2 dan membukan pintu tanpa menahan kesal.
"Bagaimana organ vitalnya?" tanya Tsunade tanpa basa-basi pada kedua perawat yang berdiri di depan tempat tidur.
"Semua stabil. Kita hanya perlu menunggunya bangun, bukan?" jawab salah satu dari mereka. Tsunade menghela nafas pendek.
"Benar. Astaga aku tidak akan bisa tenang jika bocah ini belum sadar..." katanya seakan tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menunggu.
"Baiklah kalian boleh pergi," tambahnya lalu kedua perawat itu membungkuk dan meninggalkannya bersama pemuda berambut pirang yang terbarin di tempat tidur. Tsunade melepas jas putihnya dan melemparnya ke sofa di dekatnya.
"Aku benar-benar meninggalkan semua pekerjaanku untukmu kali ini... karena waktu itu aku bahkan tak sempat melihatmu.."
Tsunade duduk di samping ranjang dan mendekatkan dirinya lalu mengusap perlahan rambut pirang itu.
"Cepatlah bangun, Minato...Kau sudah seperti anakku sendiri. Jika sesuatu terjadi padamu tentu akan membuatku merasa sakit juga. Jadi kumohon..." bisiknya pada Minato yang tak bergeming di hadapannya.
CKLEK
"Ah..kau disini rupanya," kata Jiraiya yang tiba-tiba saja datang. Tsunade tak menjawab.
"Apa kau sudah makan?" tanya Jiraiya sambil mendekati istrinya itu. Ia tahu benar bagaimana perasaan Tsunade karena ia juga merasa demikian. Ia gagal melindungi adik iparnya dan sekarang ia merasa harus berhasil menyelamatkan keponakannya.
"Aku akan membeli makanan, tunggulah sebentar."
Jiraiya pun melenggang pergi meninggalkan Tsunade dan Minato di sana. Tsunade hanya tersenyum tipis mendengar suara pintu tertutup.
"Kalau sedang begini kau jadi perhatian haha.." ujarnya pelan.
.
.
Tak lama berselang, Jiraiya pun kembali masuk ke kamar Minato dan melihat Tsunade duduk di sofa. Ia pun menaruh dua kotak bento siap saji yang baru saja ia beli.
"Aku hanya menemukan ini di dekat sini," tutur Jiraiya sebelum istrinya memprotes apa yang ia bawa.
Tsunade pun membuka kedua kotak itu dan mulai memakan salah satunya.
"Apa kau punya perkiraan kapan ia bangun?" tanya Jiraiya.
"Aku ini dokter bukan Tuhan. Pengaruh obat biusnya seharusnya sudah berakhir, soal kapan dia bangun...aku juga ingin tahu," tutur Tsunade.
"...aku takut jika ia tak membuka matanya lagi..." tambah wanita bersurai pirang pucat itu.
"Tenang saja. Minato tidak selemah itu, ditambah lagi sekarang ada seseorang yang menunggunya," kata Jiraiya dengan sedikit tertawa.
Tsunade menatap Minato dalam-dalam. "Gadis itu juga pasti sangat khawatir," kata Tsunade sambil tersenyum simpul. Keduanya pun mulai memakan bento dengan tenang hingga tak bersisa.
"Aku ingin berada di sini seharian tapi urusan Madara tidak bisa ditinggalkan. Orang-orang ingin segera menyelesaikan ini," kata Jiraiya sedikit menyesal.
"Biar aku yang disini, kau kembalilah bekerja. Bagaimanapun juga Madara harus membayar perbuatannya. Jika aku disana, aku sudah pasti akan langsung membunuhnya.." tutur Tsunade.
Jiraiya agak bergidik mendengar ucapan Tsunade yang dengan tenangnya mengatakan itu.
Aku bersumpah tidak akan macam-macam..Kalaupun macam-macam aku akan menutupinya dari Tsunade dengan baik.
"Kau lebih baik menjadi dokter daripada agen rahasia. Baiklah aku pergi dulu. Kabari aku jika dia bangun," kata Jiraiya
Setelah menghabiskan sarapannya, Kushina duduk di sofa bersama Mikoto dan mengobrol ringan.
"Aku ingin melihatnya, Miko -chan..." ujar Kushina. Mikoto mengangguk.
"Baiklah. Apa perlu kuantar?" tanya Mikoto. Kushina menggeleng pelan dan tersenyum pada Mikoto.
"Aku...daripada memikirkannya sendirian disini, lebih baik aku melihatnya. Lebih sering melihatnya akan lebih baik."
"Baiklah kalau begitu aku pergi dulu. Telpon aku kalau kau membutuhkan sesuatu, oke?" kata Mikoto lalu melambaikan tangan dan pergi meninggalkan Kushina. Gadis bersurai merah itu pun mendorong tiang infusnya dan berjalan menuju lift ke lantai 4.
Kushina menghela nafas ketika berdiri di depan lift. Hatinya masih gusar. Tidak ada kabar dari siapapun itu berarti Minato belum sadar.
TING
Pintu lift terbuka dan ia pun segera melenggang masuk. Sesekali matanya melihat angka lantai yang terus naik hingga ke lantai 4. Tak lama kemudian pintu lift terbuka dan ia segera keluar. Ia berjalan santai menuju kamar dimana Minato dirawat. Kushina mengintip sedikit dari kaca pintu apakah ada orang lain atau tidak. Ia melihat orang yang familiar. Wanita berambut pirang pucat yang duduk di samping ranjang.
"Tsunade-sama?" tanya Kushina lirih lalu membuka pintu perlahan. Wanita di dalam kamar itu menoleh bersamaan dengan masuknya Kushina.
"Ah, Kushina kau kemari?" sapa Tsunade ramah. Kushina mengangguk dan berjalan mendekat.
"Apa anda sedang memeriksanya?" tanya Kushina. Namun ia agak ragu karena melihat jas putih Tsunade tergeletak di sofa begitu saja.
"Tidak. Hari ini aku jadi walinya hahaha. Duduklah," jawab Tsunade sambil menyodrkan kursi di samping ranjang.
Tsunade-sama menjadi lemah lembut karena Minato sakit?
Tsunade memandangi Minato yang masih belum sadar dengan pandangan sedih dan penuh harap. Bagaimanapun jika ia tak ingin kehilangan Minato untuk kedua kalinya. Begitu juga dengan Kushina yang berharap pemuda itu segera membuka matanya.
"Aku sungguh menyesal...seharusnya aku lebih waspada malam itu..." tutur Kushina sambil menunduk. Jari-jari tangannya saling menekan seakan ia menahan emosinya yang akan meledak.
Tsunade menghela nafas panjang, "pekerjaanmu memang selalu terlibat dalam bahaya. Biarkan yang kemarin jadi pelajaran bagimu, Shina. Padahal kau biasanya sangat waspada hahaha kenapa kau begitu malam itu ?" ujar Tsunade terlihat tenang, ia sama sekali tidak menyalahkan gadis itu tentang apa yang terjadi. Semua ini adalah resiko pekerjaan.
"Apapun yang terjadi, apa yang dilakukan Minato, ia jelas sudah tahu resikonya, Shina. Jika dia memilih untuk pergi sendirian malam itu maka ia sudah tahu benar apa yang akan terjadi dan kemungkinan terburuknya. Jadi ini semua bukan salahmu, kau tidak perlu merasa bersalah," tambah Tsunade menenangkan.
"Tapi Tsunade-sama..Madara mengincar Minato, tapi mengapa ia mengincarku juga? Maksudku aku tidak masalah dengan diincar oleh penjahat, tapi mengapa ketika ia menyerangku lebih dulu? Bukankah itu aneh?" tanya Kushina.
Ah..anak ini benar-benar tidak peka.
Tsunade tertawa kecil. "Kau benar-benar tidak bisa melihatnya? Apa tidak terbesit sedikit di kepalamu yang keras itu, Kushina?" tanya Tsunade.
Kushina menggeleng tak mengerti, "maksudku adalah biasanya mereka akan mengincar kelemahannya bukan? Jadi..apa..aku adalah..." ucapan Kushina terhenti ketika kabel-kabel saraf di otaknya mulai bekerja dengan baik.
"Aku sudah menduga sih sejak saat itu. Hanya saja aku tidak menyangka jika Madara benar-benar menggunakanmu untuk menggoyahkan Minato," kata Tsunade.
"Apa aku adalah kelemahannya Minato? Kenapa?" tanya Kushina heran.
"Kau sudah bisa menyimpulkannya. Mungkin itu adalah perasaan Minato dan jika benar ...Bagaimana denganmu, Shina?" tanya Tsunade. Wajah Tsunade sungguh menunjukkan jika ia sangat penasaran dengan jawaban Kushina sekarang ini.
Kushina terdiam sejenak.
"A-aku tidak bisa memastikannya tapi..aku sungguh ingin dia segera bangun," jawab Kushina agak canggung.
"Bagaimana..jika ia tidak bangun?"
DEG
Mendengar perkataan itu dari Tsunade membuat jantung Kushina seakan berhenti sejenak. Ia tidak bisa membayangkan apabila pria itu pergi untuk selamanya. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya namun perkataan itu sungguh membuatnya ingin menangis.
"Aku—tidak—maksudku—"
Tiba-tiba saja air matanya mengalir perlahan dan membuatnya terkejut. Segera saja ia menghapus air matanya yang turun tanpa aba-aba itu.
"Kushina..apa kau benar-benar mencintainya?" tanya Tsunade.
"Uhh..aku tidak tahu—tapi aku tidak mau kehilangannya—Tsunade-sama.. hiks.."
Tsunade menepuk-nepuk punggung Kushina dengan lembut. Kushina tertunduk di samping Minato dan air matanya sudah membasahi kain sprei—bahkan menetes ke tangan Minato. Kushina pun meraih tangan Minato dan menggenggamnya.
"Cepatlah bangun, Minato bodoh!" ujar Kushina sambil terisak. Ia sadar bahwa baru 2 hari Minato tidak sadarkan diri, tapi bagi Kushina waktu seakan terasa lebih lama. Mengapa waktu terasa sangat lambat baginya...Ia ingin ini semua segera berlalu dan berganti dengan kebahagiaan.
Kushina menundukkan kepalanya hingga dahinya dapat menyentuh punggung tangan Minato, sementara Tsunade menggosok-gosok punggung Kushina perlahan.
CKLEK
"Tsunade-sama!" seru Shizune yang tiba-tiba saja membuka pintu dan mengejutkan dua perempuan di dalam kamar itu.
"Ada apa Shizune? Bukankah aku sudah bilang cuti hari ini?" tanya Tsunade heran.
"Maaf, Tsunade-sama...Tapi Mikami-sensei sedang ada operasi lain dan ada pasien darurat yang harus segera ditangan, jadi saya meminta anda untuk menangani yang satu ini..." jelas Shizune.
"Bagaimana dengan Hana? Atau Agata?" tanya Tsunade. Shizune menggeleng, "tidak ada.."
"Ahh baiklah aku segera kesana," jawab Tsunade tak punya pilihan. Shizune pun mengangguk dan pergi mendahului Tsunade.
"Kushina maafkan aku, tapi bisakah kau menjaga Minato selama aku pergi?" pinta Tsunade.
"Jangan khawatir. Aku akan menjaganya, lagipula ada Mikoto juga jika aku butuh bantuan," jawab Kushina.
"Baiklah aku pergi dulu.." kata Tsunade kemudian menyambar jas putihnya dan berlari keluar.
Kushina pun kembali memandang Minato. Ia memandangi wajahnya yang masih agak pucat, rambut pirangnya. Entah mengapa ia membayangkan senyuman pria itu—dan entah kenapa ia merindukannya. Terakhir kali ia ingat wajah paniknya ketika melihatnya keracunan, itupun pandangan Kushina sangat kabur. Ia mendengar suaranya seakan sangat jauh saat itu—dan ia tak bisa memungkiri jika mimpinya waktu itu sungguh membuatnya sedih. Minato menyuruhnya untuk percaya padanya dan tidak menangis...tapi di situasi saat ini ia tak menyangka hal itu begitu sulit.
"Kalau kau bangun, aku akan membuatkanmu teh yang enak. Aku akan mentraktirmu ramen Ichiraku dan—pokoknya kau harus bangun dulu-ttebane!" ujar Kushina sekalipun ia tahu pria itu tak akan menjawabnya.
"Ahh...aku seperti orang bodoh saja-ttebane!" lanjut Kushina sambil menyandarkan kepalanya di tangan Minato.
"Minato...biarkan aku begini sebentar saja.. sebentar saja..."
Lambat laun gadis itu pun terlelap berbantalkan tangan Minato. Mungkin ia merasa terlalu nyaman berada di sisi pria itu—bahkan dengan merasakan kehangatan tangannya sudah bisa membuatnya jatuh ke dalam mimpi.
Langit senja kemerahan terlihat membentang. Warnanya begitu indah hingga siapapun akan terpana akan keindahannya. Pria bersurai pirang berdiri memandangi langit senja itu di atas bangunan apartemen sederhana. Pandangannya kosong entah kemana lamunannya terbang. Kemudian pikirannya teralihkan pada suara seorang gadis dari salah satu kamar apartemen itu. Minato mendekat dan melihat dirinya memeluk gadis itu dengan erat.
"Mi..Minato? Ada apa?" tanya Kushina bingung. Wajahnya memerah. Bagaimana tidak?
"Syukurlah..syukurlah..." ujar Minato lirih sambil masih memeluk erat gadis berambut merah itu seakan takkan pernah melepasnya.
"A..aku tidak bisa bernapas Minato.." eluh Kushina. Minato pun melepaskan pelukannya perlahan kemudian memegang kedua lengan Kushina sambil menunduk.
"Kau kelihatan lelah..duduklah. Aku barusaja akan membuatkan teh dan makan malam. Kau sudah makan?" tutur Kushina.
"Belum.. apa tak apa aku makan di sini?" tanya Minato canggung. Ia barusaja melakukan hal yang memalukan. Ia tak bisa mengendalikan perasaannya.
"Maafkan aku memelukmu seperti itu, Uzumaki-san. Aku..hanya khawatir."
.
Benar...waktu itu Minato sangat mengkhawatirkan gadis itu karena tiba-tiba saja ia diincar oleh Madara. Ia ingat perasaannya begitu kalut saat itu.
.
"Asal kau tahu saja aku ini kuat, lho!" tambah Kushina berbangga diri meyakinkan Minato bahwa semua akan baik-baik saja.
.
Gadis itu selalu bertingkah kuat, percaya diri dan sangat keras kepala sampai-sampai ia tak sadar bahwa sesuatu telah masuk pada dirinya. Kemudian gadis kuat itu tiba-tiba saja ambruk di hadapannya dan membuat perasaan Minato sangat kacau. Bahkan ketika gadis itu kesakitan, nafasnya terasa berhenti sejenak. Sesuatu yang besar seakan menghantamnya dan membuatnya sulit berpikir jernih. Ketika gadis itu terbaring lemah, sementara kenyataan bahwa Madara memegang kendali atas situasinya membuat darah Minato mendidih. Ia tak pernah semarah itu selain mengetahui kenyataan tentang kecelakaan tragis orang tuanya.
Entah bagaimana gadis bersurai merah itu telah menjadi sesuatu yang penting baginya.
Minato hanya berharap gadis itu selamat apapun resikonya—bahkan ia rela menukar nyawanya untuk gadis itu.
"Apa semua ingatan ini adalah tanda aku akan mati?" tanya Minato yang melihat segala kejadian yang ia alami bersama gadis itu terulang kembali. Bahkan ia melihat dirinya sendiri berjuang setengah mati hanya untuk mendapatkan penawar racun untuk Kushina Uzumaki.
Iya. Kushina Uzumaki. Sampai mati pun ia takkan melupakan namanya.
"Maafkan aku Uzumaki-san..Hahahah bahkan aku tak pernah memanggil nama depanmu sampai saat terakhirku," ujar Minato getir.
Ia masih ingin melihat senyum gadis itu.
Ia masih ingin melihat mata violet yang bersinar itu dan tekad di dalamnya.
Ia masih ingin menyentuh rambut merah indahnya.
Ia masih ingin memeluknya erat dan mengungkapkan perasaannya.
Dan ia ingin mengatakan jika ia telah jatuh cinta padanya.
Tiba-tiba saja air matanya mengalir tanpa permisi. Minato memejamkan matanya dan membiarkan segala kesedihan dan penyesalannya menenggelamkan dirinya.
"Maaf aku meninggalkanmu dengan cara seperti ini, Kushina..."
.
Sedetik kemudian ia merasa ada sebuah cahaya samar. Perlahan-lahan cahaya samar itu mendekatinya dan intensitasnya semakin besar. Cahaya itu semakin terang dan terang hingga menyelimuti seluruh tubuhnya seakan ia termakan olehnya.
"Apa ini sudah waktunya?"
Minato membiarkan cahaya itu menyelimutinya dan menenggelamkannya. Ia pasrah akan segalanya. Ia tahu ia sudah tak pantas lagi hidup karena telah merenggut banyak nyawa orang tak bersalah dan mungkin inilah balasannya. Satu-satunya hal yang ia sesalkan adalah ia tak sempat mengutarakan perasaannya pada gadis itu.
"Apa kau menungguku, Kushina?"
"Apa kau sedang menangis sekarang?"
"Apa kau kelak akan melupakanku?"
"...Apa aku—"
Cahaya itu seakan memutarnya dengan sangat kencang dan membuat tubuhnya lemas dan kepalanya berputar-putar tak karuan.
Lalu kemudian semuanya menjadi tenang dan hening. Detik berikutnya ia mendengar suara jarum jam yang berdetik sesuai irama. Ia juga merasakan angin perlahan yang sangat familiar dan bau aneh...seperti bau obat ?
Ia mencoba membuka kedua matanya perlahan dan membiarkan sinar masuk ke dalamnya. Minato merasa ada bulir-bulir yang menutupi pandangannya. Kemudian ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya dan menangkap langit-langit berwarna putih keabu-abuan.
"Apa yang—" tiba-tiba ia merasa berat di bagian tangan kirinya. Ia menolehkan kepalanya perlahan dan melihat rambut merah panjang yang sangat ia kenali tersandar pada tangan kirinya.
Kushina?
Minato masih belum mengerti apakan ini mimpi ataukah kenyataan. Ia tidak melihat gadis itu sejak tadi namun kenapa tiba-tiba ia melihat gadis yang sangat ia rindukan?
Apa ini mimpi?
Minato pun mencoba menggerakkan tangan kanannya yang bebas dan membelai kepala gadis itu dengan sangat lembut. Ia tersenyum ketika tangannya benar-benar dapat menyentuh rambut gadis itu.
Air matanya mengalir lagi.. Astaga mengapa ia merasa begitu cengeng sekarang. Ia akan malu jika gadis itu melihatnya seperti ini. Kau kacau sekali Minato Namikaze.
"Nggh...uhh..." Kushina mengerang perlahan dan mengangkat kepalanya. Pergerakannya terhenti tepat ketika ia merasakan sesuatu di kepalanya dan ia segera menyentuhnya. Betapa terkejutnya ketika ia melihat tangan pria yang berbaring di hadapannya berada di atas kepalanya ?
Mata Kushina terbelalak sempurna sementara Minato menyambutnya dengan senyuman tipis.
"Kau tidur sangat nyenyak, ya, Uzumaki-san ?" tanya Minato sedikit meledek. Tak ada yang tahu betapa bahagianya Minato kembali melihat ekspresi Kushina yang terkejut.
"Minato?!" seru Kushina kencang.
"Iya, Uzumaki-san ?" jawabnya dengan pelan.
"Astaga kau sudah sadar! Kau—kau... " tiba-tiba saja ucapan Kushina berhenti dan kedua tangannya menutup mulutnya. Ia sungguh tak percaya bahwa pria itu membuka matanya. Lalu gadis itu pun menenggelamkan wajahnya di dada Minato.
"Syukurlah..syukurlah..." ujar Kushina sambil terisak.
"Senang melihatmu kembali, Kushina..." kata Minato yang berhasil membuat Kushina tersipu karena untuk pertama kalinya pria itu memanggil nama depannya. Tangan kanan Minato memeluk Kushina yang menenggelamkan wajahnya.
"A—aku akan memanggil perawat dan Tsunade-sama!"
Minato mempererat pelukannya—meskipun ia merasakan nyeri yang menjalar di dadanya—dan berkata, "biarkan aku seperti ini dulu...sebentar saja, Kushina. Sebentar saja..."
Kushina pun tak melawan, ia merasa diselimuti kehangatan yang menenangkan.
"Terima kasih kau sudah kembali..."
.
THE END
Akhirnya semua cerita ini sudah berakhir yey. Terima kasih banyak pada kalian yang masih membaca cerita ini dan meninggalkan review. Terima kasih atas dukungannya selama ini dan maaf karena butuh waktu lama untuk menyelesaikan ini hehehe. Tidak banyak yang bisa diucapkan, intinya terima kasih banyak-banyak untuk para readers! Sampai jumpa di lain cerita dan lain kesempatan!
.
Salam, Rinkazura.
