.

The Interstellar Nation Army Become a Mercenary

Side Story 3

Cahaya Suram Di Ujung Lubang (Bagian 2)

.

.

.

Aemilie, yang sedari tadi menungguku di luar, kemudian bergegas menghampiriku begitu aku keluar dari kamar pribadi kaisar.

"Untuk apa Yang Mulia memanggilmu, Lady Piña?"

"Dia menyuruh kita untuk pergi ke wilayah timur dan utara untuk kunjungan inspeksi. Apakah kamu ingin menemaniku?"

"Tentu saja My Lady! Ehm... ta-tapi bagimana dengan para separatis Hermes itu?"

"Kaisar telah berjanji bahwa dia akan mengurus mereka untuk kita. Ditambah lagi, aku juga sudah mengirim seorang utusan ke Nona Bozes untuk memimpin sisa pasukan kita yang ada di sana. Jadi kamu tidak usah terlalu khawatir, Aemilie."

Setelah berhasil meyakinkan Aemilie, aku lalu mempersiap semua perbekalan yang akan kami butuhkan selama di perjalanan.

Ngomong-ngomong, aku baru saja berulang tahun beberapa hari yang lalu dan ini kali pertamanya aku pergi ke domain timur dan utara. Jika bukan karena tugas dari Ayahanda, aku mungkin tidak akan terpikir untuk pergi ke tempat itu.

...

Seperti yang sudah kujanjikan kepada kaisar, kami pun berangkat setelah menyiapkan perbekalan selama tiga hari. Tak lupa, aku juga mengucapkan selamat tinggal kepada Ayahanda, Pangeran Kedua, dan Ibunda.

Sebelum aku pergi, Ibunda terus saja menyuruhku untuk waspada selama di perjalanan. Meskipun dia agak cerewet, namun sebagai putrinya, aku mengerti bahwa dia sangat menyayangiku.

Sedangkan abangku, si Pangeran Kedua, dia berinisiatif untuk menemani rombongan kami hingga mencapai gerbang kota.

Berbeda dengan saudara-saudariku yang lain, dia jauh lebih baik dalam memperlakukanku sebagai sesama saudara. Meskipun kami berdua saling berbeda ibu, tetapi aku sudah menganggapnya seperti saudara kandungku sendiri.

"Berhati-hatilah selama di perjalanan, Piña. Lakukan tugasmu dengan baik dan jika seandainya muncul masalah serius, kamu taukan harus melapor ke mana?"

"Iya, iya, aku tau itu, saudaraku. Memangnya kamu pikir aku ini masih bocah?"

"Bagiku, kamu masihlah bocah bandel yang suka naik ke atas pohon seperti seekor monyet."

"Ja-jangan ungkit-ungkit masa laluku dong, abang. Aku malu sama mereka..." ucapku sambil berbisik kepada Pangeran Kedua.

"Yah, meski kamu menyuruhku untuk tutup mulut. Tapi hampir semua dari mereka sudah tau bagaimana kelakuan tomboy mu sewaktu kalian masih kecil, bukan?"

"Urghhh, abang... jangan terus menggodaku seperti itu."

"Hahaha... Iya, deh. Iya, deh. Maaf, abang gak akan ungkit masalah ini lagi."

"Janji, yah?"

"Iya janji."

Kami akhirnya meninggalkan ibukota kekaisaran, rumah bagi lebih dari setengah juta warga Saderan, dan memulai perjalanan kami menuju domain timur dan utara.

Butuh waktu setidaknya 28 hari untuk sampai ke domain timur dan sekitar 19 hari untuk sampai ke domain utara dengan cara berkuda.

Dikarenakan wilayah Kekaisaran kami yang begitu luas─lebih dari 29,7 juta lî* kurasa. Aku dan para prajurit kavaleri yang sudah terlatih sejak kecil, sudah terbiasa untuk menempuh jarak yang begitu jauh dalam waktu 1 hari: dengan asumsi setiap penunggangnya memiliki setidaknya 4 hingga 6 kuda cadangan yang dapat digunakan secara bergantian.

A/N: 1 lî setara dengan 576 meter.

Sesampai kami di sana, kami semua lalu disambut dengan baik oleh para penguasa feodal setempat. Tapi anehnya, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres setiap kali rombonganku singgah di beberapa perkotaan.

Delegasi kami memang disambut dengan hangat oleh bangsawan berpangkat tinggi, tapi para baron dan bangsawan peringkat bawah lainnya tampaknya bertingkah aneh terhadap kami. Mereka memang menerima kami dengan benar, tapi rasanya seperti mereka bertindak luar biasa tertutup untuk beberapa alasan.

Apakah sikap mereka hanya karena perbedaan status di antara kami? Aku bertanya kepada Aemilie tentang pandanganku, tetapi dia mengatakan kepadaku bahwa dia tidak memperhatikan hal semacam itu.

Inspeksi kami terus berlanjut seperti yang sudah direncanakan hingga mencapai tahap terakhir.

...

Tiga bulan telah berlalu sejak kami berangkat dari ibukota kekaisaran.

Setelah menempuh jarak yang begitu jauh, rombongan kami pun tiba di depan kediaman keluarga Volodinoff, tempat ibunda dulu menjadi bagian dari keluarga tersebut.

Kepala keluarga Volodinoff saat ini adalah kakak laki-laki ibunda. Kami tentu saja diterima dengan antusias oleh mereka. Dan sesudah menerima jamuan makan, kami pun diijinkan untuk beristirahat di dalam kastil sembari menghangatkan tubuh kami yang seakan ingin membeku.

...

Sehari setelah kedatangan kami ke kastil milik keluarga Volodinoff, pintu kamarku tiba-tiba diketuk agak keras dari arah luar. Aemilie, yang tinggal di ruang yang berdekatan denganku, dengan sigap bangkit dan langsung pergi ke sisiku.

"Siapa disana!?"

"I-ini Saya Ceres, Yang Mulia."

"Ceres? Kenapa kamu mendatangi kamar Yang Mulia selarut ini?"

"E-etoo... sa-salah seorang pelayan yang bekerja di rumah ini datang ke tempatku, dia mengatakan bahwa Count memintaku untuk bertemu dengan Yang Mulia secepatnya. A-aku sudah mencoba untuk menolaknya tadi, tapi dia tetap saja bersikeras dan tidak mau mendengarkanku."

Apakah ini serupa seperti yang dikisahkan oleh Ayahanda dan Pangeran Kedua? Mengapa perasaan tidak enak ini terus saja muncul di dalam dadaku? A-apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa aku tidak henti-hentinya berkeringat dingin?

Melihat ke arah Aemiliel yang ada di sampingku, aku kemudian mengangguk sebagai tanda setuju.

"Mohon tunggu sebentar," teriak Aemilie.

Aku lantas bergegas masuk ke dalam kamar, menganti gaun tidurku dengan pakaian formal, dan kemudian pergi keluar bersama Aemilie dan Ceres.

Setibanya kami di tempat yang sudah dijanjikan, aku lalu menemukan sosok Count yang sedang berbicara dengan seorang pria yang sepertinya merupakan ajudannya.

"Saya benar-benar minta maaf karena telah menganggu waktu tidurmu, Tuan Putri Piña."

"Tidak apa-apa, Paman. Lebih penting lagi, apa masalahnya?"

"Kami baru saja menerima kabar dari ibukota Kekaisaran. Pemberontakan telah pecah."

Aku tersentak kaget setelah mendengar kabar buruk yang tiba-tiba dan menahan keinginan untuk berteriak.

"Seberapa besar skalanya?"

"Saya tidak bisa mengatakan dengan pasti, tapi saya memperkirakan elemen pemberontak mencakup sekitar 70% dari keluarga bangsawan selatan dan barat, sekitar 60% dari bangsawan timur dan utara dan sekitar 80% dari militer."

Aku dengan cepat menghitung angka-angka yang disebutkan. Ja-jadi... lebih dari separuh bangsawan dan tentara telah memberontak kepada kami...?

"...di sisi mana Anda berpihak, Wahai Pamanku?" Tanyaku dengan napas yang agak tertahan.

Setelah mendengar pertanyaanku tadi, Aemilie dan Ceres memindahkan tangannya ke gagang pedang mereka, siap untuk menariknya, jika memang diperlukan.

"Yang Mulia… tidak, Wahai Keponakanku, Piña. Sampai kapan pun, kami, Keluarga Volodinoff, tetap akan mempertahankan sumpah mati kami kepada Keluarga Saderan. Bahkan jika keluarga ini menjadi satu-satunya sekutu anda yang tersisa, kami akan terus berjuang bersama anda sampai ujung napas kami."

"...Maafkan aku, Paman. A-aku terlalu kesal. Aku tidak bisa berpikir jernih dan malah meragukan kesetian Paman kepada keluargaku..."

Ya, itu tidak baik jika aku tidak dapat mengenali musuhku dengan tepat dan malah tidak mempercayai sekutuku sendiri. Jika dia memang bermaksud melawan kami, pamanku tidak akan memberi tauku soal pemberontakan ini sejak awal.

Aku kemudian bertanya kepada pamanku tentang detail pemberontakan itu.

Semuanya dimulai sekitar dua puluh hari yang lalu, ketika ayahanda memanggil menteri militernya, Kashim Astankoff, dengan dalih ingin mendiskusikan sesuatu dengannya, yang segera dia abaikan.

Mereka kemudian berusaha menghubungi para pejabat militer yang tinggal di dekat istana kekaisaran untuk menanyakan tentang masalah tersebut, tetapi ternyata mereka juga tidak dapat lagi menghubungi mereka.

Dua hari setelah pemanggilan, Kashim Astankoff mengumpulkan tentaranya dan mengibarkan bendera pemberontakan.

Sebagian besar bangsawan menyesuaikan waktu mereka dan juga berpartisipasi ke dalam pemberontakan tersebut. Ibukota pada akhirnya ditutup dan istana kekaisaran dikepung oleh tentara selama 3 hari.

"Ba-bagaimana dengan ayah dan Ibuku?! Da-dan bagaimana dengan Pangeran Kedua serta saudara-saudariku yang lain?!"

Pamanku menggelengkan kepalanya dengan geram.

Ayahku, ibuku, Pangeran Kedua, dan seluruh saudara laki-lakiku yang memiliki hak atas suksesi dieksekusi di lapangan di depan kastil kekaisaran. Sedangkan seluruh perempuan, baik saudari tiriku dan ibu mereka, mereka semua dilempar ke dalam rumah pelacuran: yang terlalu tua akan dibunuh dengan keji dan yang masih terlalu muda akan mati secara perlahan setelah diperkosa berulang kali oleh para bajingan itu.

Ba-bahkan ibuku juga tidak luput dari kebinatangan mereka?!

"Brengsek! Brengsek! Brengsek! Brengsek! Brengsek! Brengsek! Brengsek! Brengsek! BRENGSEK!"

"Tu-tuan Putri Piña, to-tolong tenanglah..."

"Tenang? Tenang katamu tadi...? BANGAIMANA MUNGKIN AKU BISA tenang setelah mendengar ini, HAh?! A-ayahku dan abangku dibunuh dengan sangat brutal oleh mereka, la-lalu ibuku... ibuku dibunuh setelah dikotori layaknya pelacur oleh para binatang itu! Da-dan saudari-saudariku... ba-bahkan banyak di antara mereka yang masih terlalu kecil untuk mengerti arti dari kebinatangan manusia..."

"Tu-tuan Putri Piña!"

"Tenanglah Tuan Putri, Tolong tenanglah!"

"Pa-panas, panas sekali..."

"Pi-Piña! Kendalikan kekuatanmu!"

Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin!

A-aku ingin mereka semua dibunuh! Aku ingin mereka semua mati! Aku ingin istri, anak dan keluarga mereka dibunuh dengan sama kejinya seperti mereka membunuh orangtuaku dan saudara-saudariku! Tidak akan ku ampuni! Tidak akan ku ampuni! Tidak akan ku ampuni!

"HUAAAAAHHHHHH! HUAAAAAAAAHHHH! HUUAAAAAAHHHHHH! HUUAAAAAAAAAAAAAHHHHHH!"

Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! Sakit! SAKIT!

"Kalian bertiga mundur! Biar aku yang menghentikannya!"

"Pa-Paman...?"

"Maafkan aku, Piña..."

Ketika Paman memukulku perutku dengan tenaga dalam, lonjakan emosi yang sempat memenuhi isi kepalaku langsung hilang tak berbekas. Meninggalkan kekosongan yang tidak mampu kulukiskan hanya dengan kata-kata belaka.

...