.

The Interstellar Nation Army Become a Mercenary

Chapter 11

Nyanyian Cinta dari Dunia yang Telah Hancur Berulang Kali

.

.

.

—Merah

Halus, lembut, namun membakar.

Menyebar dengan gelisah di antara akar pohon keramat.

Hitam, hitam, hitam, dan masih saja hitam.

Seakan putih tidak lagi sesuci dulu.

Seakan dunia tidak lagi memiliki warna.

Oh, Wahai Engkau yang berpijak pada kehampaan.

Mengapa cinta melahirkan sakit?

Mengapa sayang melahirkan duka?

Mengapa rindu melahirkan perang?

'Ayah... ibu... abang... saudara-saudari...'

Diceraikan oleh dunia ini...

Dicampakkan oleh semesta ini...

Dan kemudian dibuang di antara ruang dan waktu.

Tidak adakah yang ingin mendengar luka laranya?

Tidak adakah yang ingin menghilangkan kesedihannya?

—Jika memang seperti itu.

Lalu, kepada siapakah raga ini harus bersandar?

Kepada siapakah badan ini harus meragu?

Kepada siapakah jiwa ini harus merayu?

.

[Sebuah takdir yang dilemparkan ke dunia yang kacau—]

[Kobaran dari kehidupan yang menyala, di dunia yang telah sekarat—]

'Si-siapa itu?'

[Sangat besar, sangat kecil, sangat berharga…]

[Sebuah kisah cinta dari seorang gadis yang merindukan kekasihnya—]

[Sebuah kisah yang menghancurkan pembatas; tentang keberanian di depan kesulitan dan tentang kesetiaan di depan kesukaran—]

.

'Huh? Pu-puisi? Ta-tapi kenapa ini terdengar begitu familiar?'

Perlahan, namun pasti. Gambaran-gambaran yang 'dulu' menjadi bagian dirinya, seakan memenuhi setiap miryaran sel yang ada di dalam otaknya. Memutar dan terus memutar kembali memori-memori asing yang terasa dekat, namun juga terasa begitu sangat jauh.

Kilas balik dari kehidupan yang menjembatani dunia antar kuantum.

Kemustahilan yang dipaksa masuk ke dalam ruang antar bintang.

Kesetiaan dan kerinduan yang di bawa dari dunia yang telah hancur berulang kali: tidak mengenal batas, tidak mengenal ujung, dan tidak mengenal akhir.

'Tu-tuan Osbern...?'

Tetes demi tetes air jatuh di ke bawah. Merefleksikan pantuan cahaya yang dibiaskan oleh air dan menyapu bersih kekusaman dari dunia yang tidak memiliki ujung ini.

'Aku... tidak akan pernah meninggalkanmu lagi—'

.

.

.

Piña POV

Kedua mataku terbuka setelah terjaga selama lebih dari sepertiga hari.

'...Apakah aku tadi sedang bermimpi?'

Aku tidak mampu mengingat semua yang ada di dalam mimpiku. Aku juga tidak memiliki gambaran jelas tentang apa yang sudah aku mimpikan.

'Mimpi ini lagi...?'

Sejak aku berusia 5 tahun, aku selalu memimpikan hal yang sama setiap beberapa hari sekali. Isi mimpi itu selalu tidak sama: terkadang aku akan duduk di sebuah kursi sambil memandang ke arah tembok-tembok yang menjulang tinggi ke angkasa, melihat pemandangan dari tempat yang sangat jauh, hingga penampakan reruntuhan serta kobaran api yang dipenuhi oleh mayat monster dan golem besi.

Apakah ini semua tidak lebih dari sekedar mimpi? Tapi mengapa aku selalu memimpikan hal yang sama? Alih-alih mimpi, itu terasa seperti sebuah ingatan yang tidak saling terurutan.

Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh siapapun.

Sesuatu yang tidak seharusnya berada di tempatnya

Sesuatu yang terasa acak, namun saling terikat bagikan seutas tali.

Dan itu selalu membuatku bertanya-tanya: kenapa aku selalu memimpikan ini? Apakah ini merupakan ingatanku dari kehidupanku yang sebelumnya? Sesuatu yang mirip seperti reinkarnasi, tapi di saat yang sama juga bukan merupakan reinkarnasi.

Urghh...

Aku tidak bisa mengingatnya, terlalu kabur. Apakah tidak ada cara bagiku agar bisa mengingatnya?

'...bahkan jika aku bisa mengingatnya lagi. Itu tidak ada hubungannya dengan kehidupanku yang sekarang.'

Perlahan, aku dapat mengingat kembali tentang apa saja yang sudah aku lakukan sebelum berakhir di tempat ini.

Hari ini merupakan hari ke-25 sejak aku bertemu dengan Tuan Osbern. Pada hari itu pula, baik tangan kiri maupun kaki kananku, keduanya telah pulih seperti sedia kala.

Pada momen yang membahagiakan itu, aku tidak henti-hentinya mengucapkan rasa syukurku kepada Dewi karena telah dipertemukan dengan seseorang sebaik Tuan Osbern.

Dan tidak lupa, aku juga mengucapkan rasa berterima kasihku secara langsung kepada sang dermawanku karena telah memberiku kesempatan kedua. Jika bukan karena dia, aku mungkin sudah berakhir di tanah yang sama seperti teman-temanku yang telah gugur.

Embun putih mengepul di antara kedua bibirku ketika kami sedang membereskan barang-barang yang akan kami bawa ke perbatasan negara.

Entah kenapa, ada perasaan nostagia yang cukup mendalam sesaat sebelum kami meninggalkan sepetak tanah yang telah menjadi rumah kedua bagi kami ini.

"Terasa berat meninggalkan tempat ini, yah?" Ucapku kepada Tuan Osbern.

"Bagaimanapun, ini adalah pijakan awal kita untuk memulai hidup yang baru. Di masa depan, kita mungkin akan menemukan sebuah tempat yang lebih baik daripada ini. Jadi kamu tidak perlu terlalu memikirkannya, oke?"

Untuk sesaat, aku membalikan wajahku ke arah belakang. Ini agak mengingatkanku pada saat-saat di mana aku dan saudari-saudariku yang tergabung ke dalam battalion Ksatria Order Mawar yang masih tersisa: kami memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran kami setelah kalah di pertempuran terakhir. Tak sedikit dari mereka yang kehilangan orangtua, saudara-saudari, maupun sanak saudara mereka akibat perang saudara yang meletus di negara kami.

'Ayahanda... ibunda... abang... saudara-saudariku... semuanya... tolong beri aku kekuatan agar aku bisa membalas dendam kalian.'

"Piña, ayo cepat. Nanti keburu malam."

Dengan langkah yang berat, kami lalu meninggalkan tempat yang menyimpan sejuta kenangan bagiku. Meski begitu, aku sadar bahwa hidup ini sangatlah singkat dan yang namanya perpisahan itu adalah hal yang sangat wajar.

Tidak peduli di dunia maupun itu, semuanya pada dasarnya tetaplah sama. Begitu juga dengan sisa umurku yang masih tersisa di dunia ini.

"Kenapa kamu belum tidur, Piña?" Tanya sebuah suara berat yang terdengar tidak jauh dariku.

Penglihatanku beralih kepada sosok pria yang telah menemaniku selama kurang dari sebulan ini.

Dia menyisihkan semua barang bawaan kami ke samping, sambil memikul sebuah logam berbentuk aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Saya sedang tidak ingin tidur, Sir Naruto."

"Apakah kamu tadi sedang bermimpi buruk?"

Sambil menggelengkan kepalaku—tidak setuju, aku lalu berkata kepadanya bahwa itu bukanlah mimpi buruk.

Jika aku tidak salah ingat, pria yang memelukku di dalam mimpiku itu memiliki kemiripan dengan Tuan Osbern. Tidak... meski aku menyebutnya mirip, wajah dari pria itu ditutupi oleh sebuah mosaik. Tinggi badan mereka pun tidak sama, Tuan Osbern memiliki tubuh yang agak tinggi. Sedangkan pria itu hanya sedikit lebih tinggi dariku.

Lalu, kenapa aku merasa bahwa pria itu adalah Tuan Osbern? Apakah aku salah mengenalinya karena memilih aura yang sama seperti Tuan Osbern?

Namun, kehangatan yang dia miliki sewaktu kami saling bersentuhan itu terasa sangat nyata. Meski itu hanya terjadi di alam mimpi, namun aku dapat merasakan dekapannya di dalam jiwaku.

'Mungkinkah dia adalah kekasihku dari kehidupanku yang sebelumnya?'

Aku kemudian menggelengkan kepalaku agak keras.

Bagaimana mungkin aku menyamakan antara realita dunia nyata dengan sesuatu seperti bunga tidur? Jika Tuan Osbern mendengar ini, kedua alisnya mungkin akan terangkat dan lalu menganggap diriku sebagai orang yang aneh.

Tanpa sedikitpun niat untuk menurunkan logam aneh yang ada di tangannya, Tuan Osbern lalu menceritakan masa lalunya tanpa sedikit pun kehilangan kewaspadaan.

"Ketika aku masih kecil, aku pernah tersesat di dalam hutan dan seekor monster besar kemudian mengejarku."

Mo-monster? Monster macam apa itu?

Sambil menyandarkan dirinya pada sebuah pohon. Tuan Osbern lalu kembali menceritakan pengalamannya sambil tetap waspada terhadap lingkungan yang ada sekitarnya.

"Di tempatku asalku, itu disebuh 'Beiyan'. Itu adalah monster yang memiliki fisik seperti ular, namun memiliki sepasang lengan kurus dengan kuku tajam yang sanggup merobek daging manusia. Bahkan, seorang pemburu profesional pun biasanya tidak akan memburu makhluk ini jika tidak ditawari dengan harga yang tinggi."

Sepertinya makhluk yang disebut sebagai 'Beiyan' ini memiliki sepasang tangan layaknya manusia dan itu bisa digunakan sebagai senjata untuk melemahkan lawan.

"Aku agak penasaran dengan makhluk besar yang sedari tadi mengerjar kita ini. Jika itu menyerupai 'Beiyan', aku khawatir kita mungkin tidak akan bisa selamat dari kejaran makhluk itu." Ucap Tuan Osbern selagi meminum sisa air yang ada dalam botol kaca yang sedang dia genggam.

Setelah puas membasahi tenggorokannya dengan air, Tuan Osbern lalu terus menyampaikan hasil analisanya kepadaku.

"Orang terakhir yang berhasil lolos dari sergapan kita sebelumnya mungkin sudah mati ditelan oleh monster itu. Jika dilihat dari perilakunya, monster ini mungkin memiliki semacam kecerdasan yang cukup tinggi. Terbukti dari cara dia menjaga jarak dari kita, dia sepertinya sadar bahwa aku punya sesuatu yang dapat membunuhnya. Sehingga dia memilih untuk menunggu sampai kita berdua benar-benar lengah."

Aku berkeringan dingin setelah mendengar analisa singkat yang dijabarkan oleh Tuan Osbern.

Tidak ada yang lebih mengerikan dari seekor monster yang tidak berperilaku seperti selayaknya monster pada umumnya.

Monster pada umumnya akan bergerak berdasarkan insting binatang mereka untuk mempertahankan diri serangan predator atau sebaliknya. Namun, hal ini tidak begitu berlaku pada monster yang telah mengalami 'Pertumbuhan'. Mereka yang telah mencapai tahap yang lebih tinggi akan mengalami peningkatan fisik dan kecerdasan yang lebih mencolok dari makhluk lain.

Setiap negara yang ada di benua ini akan secara teratur memburu populasi-populasi monster yang telah mengalami 'Pertumbuhan' di wilayah mereka. Negara-negara itu juga membentuk organisasi tentara bayaran mereka sendiri dengan karakteristik serta tradisi berburu yang berbeda di setiap negara.

Dulu, aku sempat mendapatkan pelatihan berburu monster dari masterku sewaktu aku masih tinggal di istana. Dia memang tidak banyak mengajariku tentang apa saja yang diperlukan untuk menjadi seorang pemburu monster. Namun semua pengetahuan yang pernah dia diajarkan kepadaku saat itu ternyata cukup berguna ketika berhadapan dengan musuh yang memiliki kemampuan tempur yang jauh lebih baik dariku.

"Berbicara soal monster, sangat menakutkan bahwa kita tidak mengatahui secara pasti tentang monster apa yang sedang kita lawan." Ucapku sambil menatap lurus ke arah bawah.

"Namun bukan berarti kita tidak bisa mengalahkannya. Kita hanya kekurangan informasi untuk memahami pihak lawan. Oleh sebab itu, kita perlu menyusun beberapa rencana agar bisa meningkatkan peluang kita untuk dapat memenangkan pertaruhan ini."

Kami berdua lalu kembali terdiam dalam waktu yang cukup lama. Setelah kami dibuntuti oleh kelompok pembunuh yang sepertinya segaja ditugaskan untuk membunuhku. Namun, justru itu berubah menjadi pembantaian sepihak oleh kami berdua.

Yah, meski aku menyebutkan "kami berdua", namun hampir semua perencanaan yang digunakan untuk melawan mereka itu justru berasal dari Tuan Osbern. Aku memang tidak banyak membantu dia sewaktu penyergapan itu.

Tapi bekat ilmu pedang yang diajarkan olehnya, aku mampu menjatuhkan lebih dari 5 orang dengan cara menyergap lawan dari belakang dan kemudian bersembunyi kembali setelah membunuh mereka dengan sekali serangan.

"Sir Naruto, sebaiknya anda istirahat dulu dan biarkan saya mengantikan tugas anda."

"Tidak apa-apa, Piña. Aku masih sanggup, kok. Kamu istirahat aja dulu."

"Tidak boleh! Anda sudah membatu saya begitu banyak, jadi tolong jangan menjadi terlalu egois dan biarkan saya membantu anda juga!"

Tuan Osbern terteguh setelah mendengar penyataanku tadi.

Aku mengerti bahwa dia ingin aku lebih banyak beristirahat karena memikirkan kondisiku. Namun, aku bukanlah seorang wanita lemah yang harus selalu dilindungi olehnya. Setidaknya, aku tidak akan terbunuh dengan mudah bahkan jika harus berhadapan dengan kawanan monster yang dulu pernah mengoyak tangan dan kakiku.

"...aku mengerti. Jika itu memang keinginanmu. Tapi kamu juga harus segera membangunkanku jika bertemu dengan sesuatu yang tidak dapat kau tangani seorang diri."

Tuan Osbern lalu mempercayaikan tempat ini kepadaku dan kemudian mengambil waktu untuk beristirahat.

'Sepertinya dia lebih lelah dari yang aku kira.' Ucapku dalam hati.

Sedetik kemudian, dia lalu mengeluarkan suara halus dari kedua bibirnya dan kemudian terlelap ke alam mimpi.

...