[Antagonist]
NCT belongs to themselves
"Antagonist" belongs to Lexa Alexander
Inspired by: Caste Heaven by Chise Ogawa
Main Pair: TaeTen
Other Pair: JaeDo, JohnIl
Suasana mencekam itu masih terus berlanjut hingga keesokan harinya. Sejak sebelum ketiga orang dari Royal Class itu datang, kelas sudah hening karena penghuni di dalamnya masih ketakutan, masih terbayang kejadian kemarin saat para Royal Class mengeluarkan aura membunuh ke seluruh penjuru ruang kelas karena marah. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani mengangkat kepala, bahkan untuk membela diri bahwa mereka bukanlah pelaku yang bermain-main dengan Joker pun mereka tidak memiliki keberanian untuk itu.
Saat ini, semuanya sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi Royal Class—sekaligus mengutuk siapapun itu yang bermain dengan Joker secara berlebihan hingga membuatnya terluka parah dan para Royal Class marah besar.
Kira-kira satu menit sebelum bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi, tiga orang yang mereka takutkan datang. Masuk melalui pintu depan, dimulai dari Ten, Jaehyun, kemudian Taeyong. Beberapa anak mencuri pandang ke arah ketiganya sebelum kembali menundukkan kepala karena tatapan tajam yang dilayangkan balik kepada mereka.
Satu hari yang parah setelah kemarin hari mereka di sekolah diakhiri dengan buruk oleh amarah dari tiga orang Royal Class yang ternyata begitu menyeramkan.
"Taeyong."
Park Serim adalah orang pertama yang berani menyapa salah satu dari tiga orang Royal Class setelah dua hari penuh tidak ada seorang pun yang berani mengajak mereka bicara. Kelas sudah kosong, menyisakan dirinya dan Taeyong di sana.
Taeyong menghenghentikan kegiatan membereskan tasnya sejenak hanya untuk menoleh ke arah Serim dan bertanya, "Ya?"
Ekspresi Taeyong masih datar, dengan kantung matanya yang menghitam membuat wajahnya menjadi sedikit lebih menyeramkan dari biasanya. Namun tidak ada lagi aura kemarahan di sekelilingnya, sehingga Serim dapat bernafas lega.
"... bagaimana kabar Doyoung?" tanya Serim pelan, sedikit ragu untuk bertanya kabar seseorang yang membuat tiga orang Royal Class itu marah besar. Ketiganya pasti masih sensitif jika ada yang menanyakan kabar Doyoung—mungkin Taeyong tidak lebih sensitif dari Jaehyun perihal ini, tetapi tetap saja, Serim harus berhati-hati.
"Jauh lebih baik," jawab Taeyong singkat, kemudian melangkahkan kakinya keluar kelas setelah memberi gestur mengajak pada Serim untuk berjalan bersama.
Merasa bahwa emosi Taeyong telah reda dan tidak seperti kemarin-kemarin, gadis itu mengikuti Taeyong, berjalan di sampingnya tanpa rasa takut seperti yang dirasakannya beberapa saat yang lalu. "Teman-teman ingin menjenguk Doyoung, sebenarnya." Serim membuka obrolan, melirik Taeyong sekilas untuk mengetahui bagaimana reaksinya. Namun lawan bicaranya hanya diam mendengarkan, memasang ekspresi datarnya. Tahu Taeyong tidak akan kesal dengan topik yang diangkatnya, Serim melanjutkan, "Tapi semuanya merasa tidak enak dengan kalian."
Respon Taeyong hanya, "Begitu, ya."
Canggung sekali, seperti yang Serim perkirakan. Dia sudah menduganya dan tidak terkejut akan hal ini. Menanggapi Taeyong, Serim mengangguk dan bergumam, kemudian bertanya, "Kalau begitu, boleh kami titip salam dan ucapan 'semoga cepat sembuh'?"
Taeyong menolehkan kepalanya ke arah Serim, menatap gadis itu masih dengan wajah tanpa ekspresinya. Sementara Serim menatap balik Taeyong dengan wajahnya yang dihiasi senyuman lembut.
Ada sesuatu yang mengusiknya ketika melihat gadis itu tersenyum.
Senyum yang ditunjukkan Serim adalah sebuah senyum lembut yang menenangkan. Taeyong bisa merasakannya—sebuah perasaan tenang dan hangat ketika melihat senyumnya. Namun di saat yang bersamaan, dia merasa tidak nyaman.
Seorang gadis yang cantik, dengan sifat yang lembut dan ramah sehingga semua orang dapat menyukainya.
Sempurna. Seperti seorang tokoh utama dalam sebuah cerita.
Tokoh utama—?
Rasanya tidak asing, seolah Taeyong melupakan sesuatu.
Menghela nafas, "Baiklah," kata Taeyong, mengiyakan permintaan Serim, "akan kusampaikan padanya."
Senyum di wajah Serim semakin lebar, "Terima kasih banyak."
"Tidak masalah."
Keduanya berpisah ketika mata Serim menangkap sosok Yeonmin yang sedang menunggunya di depan gerbang sekolah seperti biasa. Setelah saling bertukar 'sampai jumpa' dan melambaikan tangan, Serim meninggalkan Taeyong seorang diri.
Taeyong melanjutkan langkahnya, menghampiri sebuah mobil hitam yang terparkir sedikit jauh dari gerbang sekolah. Seorang pelayan telah menunggu, berdiri di samping pintu mobil dengan tegap. Segera setelah menerima tas sekolah Taeyong, dia membuka pintu, mempersilakan sang Tuan Muda untuk masuk ke dalam mobil. Taeyong duduk dengan nyaman di tempatnya, kemudian mobil itu bergerak meninggalkan area sekolah.
Sedikit membosankan.
Ini sudah kesekian kalinya Ten tidak pulang bersamanya dan seharusnya Taeyong sudah mulai terbiasa, namun dia masih sedikit tidak terima karena waktu Ten untuknya menjadi berkurang. Jika hari ini Ten tidak ada acara dengan pacarnya—yang entah-Taeyong-lupa-siapa-namanya—, Taeyong berencana mengajak Ten menghabiskan sore berkeliling sungai Han atau ke Ikseon-dong.
Tapi tidak masalah. Setelah selesai dengan kencannya, Ten akan menjenguk Doyoung di rumah sakit—itu kesepakatan, sih. Mereka semua sudah berjanji untuk menjenguk Doyoung setiap hari. Jadi, setelah mampir ke beberapa toko untuk membeli camilan, buah-buahan, roti, dan beberapa minuman, Taeyong segera ke rumah sakit.
Di sana sudah ada Jaehyun dan Taeil—juga Johnny, meskipun Taeyong hanya melihat tas dan jaketnya yang diletakkan sembarangan di sofa. Entah ke mana perginya si jangkung satu itu, Taeyong tidak terlalu peduli. Paling-paling sedang ke suatu tempat untuk beli makanan atau minuman.
"Aku bawakan camilan," kata Taeyong begitu masuk ke kamar rawat Doyoung. Dia meletakkan barang bawaannya di meja yang ada di dekat sofa, mengambil beberapa buah-buahan, roti dan sekotak susu untuk diberikan pada Doyoung yang sedang sibuk dengan buku catatannya; sepertinya menyalin catatan hari ini.
Melihat Taeyong meletakkan makanan itu di sampingnya, Doyoung menghentikan kegiatannya dan berterimakasih pada Taeyong. "Aku tidak sanggup menghabiskan semuanya, sungguh," katanya. Meskipun begitu dia tetap meminum susu kotaknya dan memakan sedikit rotinya. "Kalian selalu membawa terlalu banyak. Bahkan yang kemarin saja masih ada."
"Berat badanmu turun banyak, tahu," komentar Taeyong, "kau lihat tidak, pergelangan tanganmu sekarang terlihat seperti tidak ada daging dan lemaknya."
Mendengar itu, Doyoung mendengus. Apa yang dikatakan Taeyong memang benar.
Di sana, Taeil terkekeh. "Setidaknya sekarang dia terlihat lebih baik daripada kemarin-kemarin, Tae," katanya pada Taeyong. Ucapannya diangguki dengan semangat oleh Doyoung yang kemudian melempar tatapan sombong pada Taeyong karena Taeil membelanya.
Taeyong hanya menanggapi dengan hela nafas malas, sedang tidak ingin berdebat dengan siapapun. Dia memilih untuk menyimpan sebagian makanan yang dibawanya di lemari pendingin dan sebagian lagi di dapur, kemudian dengan sekaleng kopi hitam di tangan, dia mendudukkan dirinya di samping Jaehyun. "Ngomong-ngomong, Doyoung," panggilnya, yang direspon dengan tatapan bertanya oleh si pemilik nama. Taeyong terdiam sejenak, menyusun kata-kata sebelum bertanya, "Kau benar-benar bisa pulang sebelum hari ujian?"
Doyoung menjawab pertanyaan Taeyong dengan sebuah anggukan yakin.
Setelahnya, Taeyong tidak bertanya apapun. Memperhatikan cairan pekat di kaleng kopinya, pikiran Taeyong melayang ke percakapannya dengan Serim tadi sore. Sejenak Taeyong mengalihkan pandangannya ke arah Doyoung yang sedang mengobrol dengan Jaehyun sebelum kembali memperhatikan kopinya, tenggelam dalam pemikirannya.
Entah mengapa dia tidak ingin menyampaikan apa yang Serim minta padanya.
Jelas ada pengkhianat di kelas Spade, sehingga Taeyong memilih untuk tidak menyampaikan pesan titipan Serim padanya. Rasanya Taeyong akan menjadi seperti orang bermuka dua jika dia menyampaikan pesan itu.
Mengatakan "teman-teman bilang, 'cepat sembuh,'" pada Doyoung dengan senyum hangat menghiasi wajahnya seolah dia tidak mengetahui siapa yang membuat Doyoung terluka seperti sekarang ini, Taeyong akan mengecap dirinya sama seperti pengkhianat itu—menyembunyikan sisi busuknya di balik wajah tanpa dosa yang dia tunjukkan di depan orang-orang.
Sejak Doyoung tersadar hingga detik ini, anak itu sama sekali tidak pernah membicarakan tentang siapa yang menindasnya atau mengangkat topik seputar itu. Mereka juga tidak bertanya; mengerti bahwa Doyoung tidak ingin membahasnya sama sekali. Taeyong gatal ingin bertanya dan memaksa Doyoung untuk mengatakan semuanya, namun dia merasa Doyoung memiliki alasan tersendiri untuk tidak menceritakan apapun pada mereka.
"Doyoung ..."
Panggilan lain dari Taeyong membuat tiga orang yang ada di sana mengalihkan perhatian mereka padanya. Gerakan tangan Jaehyun yang sedang mengupas apel untuk Doyoung pun terhenti, memilih untuk menjeda kegiatannya sejenak karena sepertinya Taeyong akan mengatakan sesuatu yang cukup penting.
"Ya?"
Tanpa basa-basi, Taeyong bertanya, "Kau merencanakan sesuatu?"
Taeil batal menggigit kue keringnya sementara Jaehyun sebisa mungkin menjaga ekspresi wajahnya agar tidak tidak menunjukkan wajah bodoh dengan mata terbelalak dan mulut yang terbuka lebar.
Keduanya menatap Taeyong dengan pandangan tidak percaya.Berhari-hari mereka semua menahan diri untuk tidak bertanya atau mengangkat topik pembicaraan tentang apa yang membuat Doyoung terluka dan alasan mengapa Doyoung menerima semua perlakuan si pengkhianat hingga dia terluka, tapi Taeyong dengan sikap masa bodoh langsung bertanya pada Doyoung—tanpa basa-basi, pula.
Sementara itu Doyoung sedang memahami apa maksud dari pertanyaan Taeyong. Matanya berkedip beberapa kali, wajahnya menunjukkan raut kebingungan dengan dahi yang mengernyit sebelum berganti menjadi seperti wajah yang selalu ditunjukkan Jaehyun sehari-harinya—tanpa ekspresi.
Sepertinya Taeyong mengetahui alasanmengapa dirinya tidak mengadu pada teman-temannya yang berada di Royal Class atau mengapa dirinya memilih untuk bungkam hingga detik ini.
Doyoung tersenyum tipis dengan matanya yang kini berubah gelap, "Tentu saja."
Jawaban Doyoung membuat Taeyong terkekeh.
Tentu saja.Orang itu adalah Doyoung. Tidak mungkin Doyoung yang dikenalnya menerima semua perlakuan kejam dari seseorang begitu saja tanpa merasa kesal atau dendam dan tidak merencanakan apapun untuk membalasnya. Seharusnya Taeyong menyadari ini sejak kemarin.
"Aku serahkan semuanya padamu, kalau begitu."
"Baiklah~"
Merasa Taeyong puas dengan jawabannya, Doyoung menyuruh Jaehyun untuk melanjutkan kegiatan mengupas apelnya, mengabaikan Taeil yang terlihat kebingungan—tidak mengerti apa yang kedua temannya bicarakan.
Sementara itu, setelahnya Jaehyun memilih diam; bahkan hingga Johnny kembali dan Ten datang, lalu semuanya pamit pulang ketika malam semakin larut, Jaehyun masih tidak banyak bicara. Dia memang tidak banyak bicara, namun kali ini keterdiamannya itu berbeda.
"Jaehyun." Taeyong membalikkan tubuhnya menghadap Jaehyun setelah berkata pada Ten bahwa dia akan menyusul setelah bicara dengan Jaehyun. Dilihatnya ekspresi Jaehyun yang masih sama seperti beberapa hari yang lalu—nyaris tidak ada perubahan, menurut Taeyong. Jika bukan karena keadaan Doyoung yang jauh lebih baik, mungkin Jaehyun akan jauh lebih suram dari ini.
"Ya?"
Taeyong mendekat selangkah menuju Jaehyun, kemudian membisikkan sesuatu di telinganya yang membuat Jaehyun terkejut untuk beberapa saat sebelum raut wajahnya kembali tenang. Selesai dengan bisikannya, Taeyong langsung pergi dari sana tanpa berkata apapun lagi, meninggalkan Jaehyun yang terdiam di tempatnya selama beberapa lama; bisikan Taeyong seolah masih terngiang di telinganya, memenuhi kepalanya dan membuatnya tidak dapat berpikir jernih untuk beberapa saat.
Masuk ke kamar rawat Doyoung, tanpa berkata apapun Jaehyun duduk di kursi yang ada di samping ranjang; menatap lekat Doyoung dalam diam. Lama-kelamaan kelakuan Jaehyun membuat Doyoung risih juga. Tangan Doyoung gatal ingin menyingkirkan wajah Jaehyun dari sana, namun mati-matian dia tahan—tidak ingin mendengar rengekan Jaehyun yang jauh lebih menyebalkan dari kelakuan absurdnya saat ini.
"Hyung," panggil Jaehyun, yang hanya dijawab dengan gumam Doyoung.
Tetapi Jaehyun tidak berkata apapun setelahnya; justru menumpu dagunya di atas lipatan tangannya yang berada di sisi ranjang Doyoung dan kembali terdiam, tenggelam dalam pikirannya yang kehilangan fokusnya lagi. Ada banyak hal yang ingin Jaehyun tanyakan pada Doyoung dan dia ingin Doyoung menjawab semuanya, menjelaskan segala hal yang tidak diketahuinya.
Lama Jaehyun terdiam, Doyoung yang menunggu Jaehyun berbicara akhirnya menyerah. Buku pelajaran yang ada di tangannya dia tutup, lalu tangannya dia gunakan untuk menepuk lembut kepala Jaehyun, membuat yang lebih muda menatapnya dengan pandangan bertanya yang terlihat lucu. Doyoung tertawa geli, merasa dia baru saja membujuk seorang bocah yang sedang merajuk. "Apa yang kau pikirkan, Jae?" tanyanya.
Yang ditanya tidak langsung menjawab. Mengangkat kepalanya, Jaehyun kini dapat melihat Doyoung memberikan seulas senyum lembut yang begitu menenangkan kepadanya. Kemudian, dengan suara lirih, Jaehyun menjawab, "Kau."
Jawaban Jaehyun membuatDoyoung tertawa kecil. "Apa yang kau pikirkan tentangku?" tanyanya lagi.
"Semuanya," jawab Jaehyun tanpa melepaskan tatapannya yang masih melekat pada sosok di hadapannya. Matanya seolah tidak berkedip—terus tertuju pada Doyoung seakan dia akan kehilangan Doyoung jika dia mengalihkan pandangannya barang sedetik saja. Ada jeda yang cukup lama sebelum Jaehyun melanjutkan, "Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan, hyung. Padahal kau bisa mengatakan semuanya padaku, tapi kau memilih untuk diam dan berakhir seperti ini. Aku merasa tidak berguna karena tidak bisa melindungimu."
Tepat setelah Jaehyun selesai dengan ucapannya, Doyoung memberi sebuah jitakan keras di kepala Jaehyun, menghasilkan sebuah rintihan dari si empunya kepala.
"Kenapa kau malah memukulku, hyung?!" protes Jaehyun sembari mengelus bagian yang berdenyut nyeri.
"Dengar, Jae." Doyoung menyingkirkan tangan Jaehyun yang sedang mengelus kepalanya, menyentuh sisi wajah Jaehyun dan membuatnya sedikit mendongak sehingga matanya dapat menatap lurus tepat ke mata Jaehyun. "Aku mempunyai rencana sendiri. Aku diam bukan berarti aku menerima semua perlakuannya padaku begitu saja, kau tahu. Aku ingin membalasnya suatu hari nanti dengan kedua tanganku sendiri; kalau aku mengadu padamu dan kau menghabisinya begitu saja, itu tidak akan seru."
Benar—dia adalah Doyoung.
Mana mungkin Doyoung tidak menyimpan dendam pada orang yang berlaku semena-mena terhadapnya?
Sekarang Jaehyun mengerti. Doyoung akan baik-baik saja karena dia telah mempunyai rencananya sendiri dan Jaehyun tidak perlu mengkhawatirkannya. Meskipun begitu, Jaehyun tidak akan menarik perintahnya pada anak-anak kelas. Dia tidak ingin Doyoung terluka lagi.
"Begitu, ya." Jaehyun tersenyum, kali ini tersenyum cerah. Dia benar-benar lega; setidaknya Doyoung tidak mengalami trauma seperti Taeyong. Bagi Jaehyun, sudah cukup Taeyong yang menderita—tidak dengan Doyoung. Jaehyun tidak ingin dua orang yang berharga dalam hidupnya menderita hal yang sama.
Melihat senyum yang jarang Jaehyun perlihatkan, Doyoung terkekeh dengan wajahnya yang diwarnai merah samar. "Apa ini? Kenapa kau tersenyum seperti itu, Jae?" tanyanya sembari menarik gemas pipi Jaehyun.
"Tidak apa-apa," jawab Jaehyun setelah melepaskan diri dari Doyoung, menjauhkan tangan Doyoung dari pipinya, "Aku hanya senang karena kau baik-baik saja."
Doyoung kembali tertawa setelah mendengar jawaban Jaehyun. "Tentu saja. Kau kira aku ini siapa?"
Yang ingin Jaehyun lihat adalah wajah bahagia Doyoung dan bagaimana Doyoung dapat menjalani hari-harinya tanpa masalah. Perasaan lega yang dirasakannya saat ini bukan berarti Jaehyun telah memaafkan perbuatan siapapun itu yang melukai Doyoung; Jaehyun akan terus mengingatnya—dia tidak akan memaafkannya sampai dia puas memberi balasan atas apa yang orang itu lakukan pada Doyoung. []
