FINAL FANTASY VERSUS
083
EX-BUSTER menyerang duluan ketika berhadapan dengan Noctis. Dari sepuluh jari lengan besarnya melesat tembakan laser merah. Noctis tidak mengantisipasi tembakan laser itu hingga mengenai tubuhnya. Rasanya bagaikan ditusuk oleh ratusan lebah sekaligus sampai otot-otot dan persendiannya mati rasa. Pandangannya menjadi ganda. Ia terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
"Noctis! Apa yang dia lakukan padamu?" seru Prompto dari belakang.
"Aku… tidak… bisa… bergerak…" Bahkan untuk berbicara pun lidahnya kebas.
"Sial! Melawan musuh yang merepotkan begini berarti aku harus mengunakan senjata yang lebih besar." Prompto mengganti senapannya menjadi machinery: Drillbreaker, yang besarnya tiga perempat dari tinggi Prompto. "Makan serangan balasan ini!" Drillbreaker menembakkan gelombang kejut amat kuat yang mengenai tubuh EX-BUSTER. Gelombang kejut itu melukai EX-BUSTER berulang kali seperti gigi bor yang berputar kencang untuk melubangi lapisan besi si robot. Robot itu berhenti melayang dan terjatuh ke lantai hingga menimbulkan suara bam nyaring.
Prompto berlari mendekati Noctis. Dia mematerialisasikan sebuah botol penawar dan meremasnya menjadi kepingan-kepingan cahaya biru ke jantung Noctis. Sekejap efek kelumpuhan di sekujur tubuh Noctis redup. Ia bisa bergerak bebas lagi.
"Terima kasih," Noctis meregangkan persendian tubuhnya. "Kau harus berhati-hati dengan serangan laser itu atau kau akan menderita kelumpuhan sesaat sepertiku."
"Serangan laser itu pasti yang mereka sebut sebagai unit pengejut. Aku ingat komputer itu bilang unit pengejut bisa melumpuhkan lawan."
"Dan komponen itu tersedia dua dari tiga. Dia hanya bisa menggunakannya sekali lagi. Untunglah kita berhasil menyetel tingkat operasional EX-BUSTER di 66%."
"Ternyata semua usaha kita mencari-cari kartu untuk meretas sistem tidak sia-sia."
"Masih ada dua komponen lainnya yang bisa menjadi senjata andalan dia: inti pemrograman kecerdasan artifisial dan cangkang pengebom besar."
"Aku mengkhawatirkan yang terakhir. Dari namanya saja, aku tahu bahwa itu merupakan senjata yang bisa membunuh kita."
"Cukup basa-basinya. Ayo kita hantam robot itu di saat dia lengah seperti sekarang. Aku akan memberi jarak cukup panjang untukmu menggunakan machinery. Sepertinya senjatamu itu efektif untuk melawan EX-BUSTER. Robot itu lemah akan elemen petir atau listrik."
Menggunakan Force Stealer, Noctis melakukan warp-strike ke dada EX-BUSTER. Mahapedang itu menggores tubuh besi si robot hingga meninggalkan codetan panjang diagonal. Selama EX-BUSTER masih bergeming di lantai, Noctis terus menghantamkan mahapedangnya ke seluruh bagian tubuh si robot: dada, tangan, kepala, atau rok jet terbangnya.
Dua kali Prompto menembakkan gelombang kejut dari machinery-nya. Machinery memang mampu menghasilkan kerusakan besar, tetapi senjata itu amat berat untuk dipikul sehingga memperlambat pergerakan dan membutuhkan waktu pengisian ulang daya yang cukup lama. Noctis mengetahui fakta ini, jadi ia harus menjadikan tubuhnya sebagai benteng agar lawannya tidak bisa mengusik Prompto─alasan serupa mengapa ia sampai sekarang tidak pernah menggunakan machinery karena tidak ingin merepotkan teman-temannya.
Tiba-tiba EX-BUSTER itu berputar, punggungnya kini menghadap Noctis. Dia memunculkan sebuah pelontar. Sebuah bola meriam mengenai bilah mahapedang Noctis. Seketika timbul ledakan besar yang menghempaskan Noctis sepuluh meter ke belakang hingga menabrak Prompto.
"Aduh bokongku!" Prompto meringis. Beruntung dia sempat menangkap Noctis. Kalau tidak, mungkin kepala Noctis akan membentur tembok dan ia akan menderita gegar otak ringan.
"Maaf aku menabrakmu," rintih Noctis.
"Astaga, lihat mukamu. Banyak kotoran hitam di sana. Beberapa helai ponimu juga terbakar." Prompto sibuk memeriksa temannya yang bersandar di dekatnya. "Serangan tadi pasti berasal dari unit cangkang pengebom besar."
Noctis luput dari maut. Ia bisa membayangkan tubuhnya terbakar atau hancur berkeping-keping kalau ia tidak sigap menangkal bom itu dengan Hyperion.
Kini si robot sudah menggunakan satu unit pengejut dan pengebom. Tersisa masing-masing satu unit lagi. Noctis bertanya-tanya apa fungsi dari inti pemrograman kecerdasan artifisial.
Melihat EX-BUSTER yang kini sudah bergerak menjauhi pintu keluar membuat Noctis berpikir mengapa mereka harus repot-repot melawan si robot. Ia bisa mencapai pintu keluar yang hanya berjarak tiga puluh meter jika si robot tidak memperhatikannya.
"Bisakah kau buat si robot sibuk denganmu untuk sementara waktu?" tanya Noctis.
"Yeah, serahkan saja padaku," jawab Prompto.
Noctis melempar mahapedang ke sebatang pilar di samping pintu keluar dan sekejap dia berteleportasi ke sana. Melepas pegangannya dari gagang mahapedang, ia menjatuhkan diri dan mendarat dengan aman, lalu berlari ke arah pintu keluar. Sepertinya praduga ia benar karena si robot masih sibuk berurusan dengan Prompto─
"Awas, Noct!" seru Prompto tiba-tiba ketika dua lengan EX-BUSTER melesat kencang menuju Noctis.
Dalam momen yang singkat, Noctis mengelak dengan teleportasi. Tanpa disangka, EX-BUSTER dapat melepas kedua tangan dari tubuhnya. Dan kedua tangan itu mampu melayang di udara berkat dorongan jet yang menimbulkan cahaya merah panas di pangkalnya. Lebih gawat lagi, ternyata kedua tangan itu mampu bergerak mandiri dari sisa tubuhnya seolah mereka memiliki otak tersendiri…
… yang mengingatkan Noctis akan unit pemrograman kecerdasan artifisial. Ya, dua unit kecerdasan artifisial pasti terpasang di dalam sepasang lengan itu. Kalau ia tidak melepas unit ketiga, barangkali EX-BUSTER bisa melepas bagian tubuh lainnya untuk beroperasi mandiri─kemungkinan besar rok jetnya untuk terpisah dari torso.
Kalau begini caranya, seolah-olah kami sedang bertempur dengan tiga lawan, bukan satu.
Noctis menoleh ke belakang untuk melihat Prompto yang masih sibuk menembaki bagian tubuh utama EX-BUSTER. Sedangkan kini entah bagaimana caranya ia harus menghancurkan kedua lengan si robot yang menghalangi pintu keluar.
Ia memunculkan lagi Hyperion di tangan kanannya, lalu menggunakan warp-strike ke lengan kiri si robot. Lengan itu mengepal erat─serangan Noctis tidak berdampak apa-apa, bahkan tidak meninggalkan satu goresan pun. Kepalan telapak tangan itu membuka dan dari lubang berdiameter lima sentimeter di sana tersembur bara api superpanas.
Cepat-cepat Noctis berlindung di balik bola sihir sebelum terbakar. Pola kaca heksagonal berkilat ketika lidah api menjilat permukaan bola sihir pelindung. Ia kira dirinya aman, tetapi mendadak punggungnya ditinju begitu keras sampai ia terpental seperti boneka dan bola sihir pelindung itu pecah. Punggungnya berdenyut-denyut dan ia yakin akan menyisakan memar kebiruan. Pelakunya adalah lengan kanan si robot. Noctis lengah karena melupakan keberadaan tangan satunya.
Ini pertarungan yang amat menjengkelkan.
Lengan kiri dan kanan itu melayang berdampingan, lalu melancarkan serangan tinju kombo kepada Noctis. Noctis berguling untuk menghindar dan memunculkan lagi bola pelindung─ia tidak diberi kesempatan untuk melawan balik rentetan serangan itu. Satu per satu kaca heksagonal pada bola pelindung remuk, kepingan-kepingannya berjatuhan ke lantai sebelum terburai menjadi ratusan partikel cahaya biru.
Ketika rentetan serangan itu usai, Noctis menembakkan sihir Thundaga. Bunyi geledek mengguncang ruangan itu, jaring-jaring petir timbul dalam radius sepuluh meter. Noctis tidak terpengaruh oleh sihirnya sendiri. Kedua tangan robot itu bergerak tak beraturan ketika terkena dampak Thundaga lalu terjatuh ke lantai.
Pemandangan itu semakin menguatkan teorinya bahwa elemen petir memang efektif melawan EX-BUSTER.
Noctis menghantamkan mahapedangnya ke tangan kiri si robot, membelahnya menjadi dua seperti membelah semangka dengan tongkat kayu. Ia berhasil menghancurkan satu targetnya ketika tangan kiri itu meledak. Potongan-potongan jari dengan kabel yang melilit beserta komponen mesin lainnya berserakan di dekat sepatu bot Noctis.
Satu tangan lagi dan pertempuranku melawan tangan setan ini akan berakhir.
Telunjuk tangan kanan si robot mengetuk-ketuk lantai. Lalu diikuti dengan jari tengah, jari manis hingga kelingking. Tak lama berselang, jet di pangkal lengan itu aktif kembali.
Aku tidak akan membiarkanmu merepotkanku lagi.
Tangan kiri si robot terbang ke langit-langit dengan perlahan karena efek korsleting yang mengacaukan sistem di dalamnya. Noctis kembali menembakkan Thundaga, tepat ke sasarannya. Tangan kiri itu meledak menjadi bongkahan bunga api warna-warni di langit bagaikan petasan.
Ia bernapas lega melihat kedua lengan itu tak lagi lebih dari onggokan sampah besi. Tak ada lagi yang bisa mencegahnya keluar melewati pintu.
"Noct, aku butuh sedikit bantuan di sini!" Seruan Prompto menyadarkan Noctis bahwa pertempuran belum benar-benar usai.
Rasanya sulit sekali bergerak menjauhi pintu keluar yang terpampang tepat di depan matanya. Namun ia tidak bisa meninggalkan temannya yang sedang mempertaruhkan nyawa ketika bertarung dengan bagian tubuh EX-BUSTER yang tersisa. Ia pun berbalik, menyaksikan Prompto berlarian luntang-lantung sambil membopong Drillbreaker. EX-BUSTER menembakkan laser merah dari lubang yang menganga di torsonya. Tembakan laser itu mengingatkan Noctis akan jurus kamehameha dari manga yang dibacanya bersama Prompto ketika dia SD.
EX-BUSTER bergerak mengikuti langkah Prompto sambil terus meluncurkan tembakan laser. Ketika Prompto berlindung di balik satu truk, laser itu membelah dua kendaraan besar itu. Prompto mendematerialisasikan Drillbreaker, lalu berlari kencang untuk berlindung di balik kendaraan pengebor.
"Bertahanlah sebentar lagi, Prompto!"
Noctis menunggu sampai tembakan laser itu padam. Setelah kehilangan dua lengannya, kini EX-BUSTER tidak akan bisa menggunakan serangan listrik pengejut lagi untuk melumpuhkan mereka. Dua unit kecerdasan artifisial pun sudah ia musnahkan. Yang tersisa hanyalah satu unit bom di punggung si robot. Juga tembakan laser dari torsonya─yang sekarang sudah reda seluruhnya.
EX-BUSTER tidak lagi tampak semenakutkan ketika pertempuran dimulai. Bahkan sekarang dia tampak loyo setelah menghabiskan daya untuk menembakkan deretan serangan laser masif tadi.
Noctis menggunakan warp-strike ke torso si robot. Robot itu bergeming pasrah menerima belasan tebasan mahapedang Noctis. Goresan demi goresan terpatri di tubuh si robot. Ditambah dengan lubang-lubang bekas tembakan peluru senapan Prompto dari kejauhan.
"Hah! Pertarungan ini jadi terlalu mudah!" seru Prompto.
"Jangan berbesar hati dulu sebelum dia benar-benar mati," Noctis memperingatkan ketika menebas mahapedangnya secara horisontal ke gir penghubung tubuh bagian atas dan bawah si robot yang terus berputar, berharap bisa merusaknya sehingga si robot tidak bisa lagi terbang.
Seolah terbangun dari hibernasi, tiba-tiba EX-BUSTER menyemburkan api dari empat lubang jet di rok bawahnya. Noctis mengelak dengan berteleportasi sepuluh meter ke belakang untuk menjaga jarak aman.
EX-BUSTER kini terbang begitu tinggi hingga mencapai langit-langit ruangan dan bergerak lincah seperti nyamuk. Robot itu terbang ke sana kemari sambil menembakkan laser merah dari torsonya. Tembakan itu lebih singkat dan berantakan dari sebelumnya. Satu traktor di kiri meledak terkena tembakan tersebut. Lalu pengebor di kanan menjadi korban berikutnya.
Prompto berlari menghampiri Noctis yang sedang berlindung di balik sebatang pilar.
"Aku dapat merasakan bahwa kita telah memasuki fase terakhir pertempuran."
"Kita tunggu sebentar lagi sampai robot itu menghentikan tembakan lasernya. Dia akan mati sendiri begitu kehabisan daya─"
DUAR!
Pilar di dekat mereka hancur terkena ledakan bom besar. Dengan begini EX-BUSTER telah menghabiskan seluruh unit cangkang pengebom besar. Satu-satunya serangan yang bisa dia luncurkan hanya tembakan laser dari lubang di torsonya.
Beruntung Noctis berhasil menghindar dengan berteleportasi ke pilar di seberang. Ia meremas tangan kanan Prompto hingga temannya itu ikut berpindah bersamanya dan luput dari ledakan besar itu.
"Apa… apa aku baru saja berteleportasi?" tanya Prompto, matanya melebar tak percaya. Kedua lututnya bergetar dan dia pun tumbang dengan kedua tangannya menahan tubuhnya sebelum mendarat di lantai. "Astaga. Kepalaku pusing sekali. Rasanya aku mau muntah… ueeeggghhh!"
Spontan Noctis melompat untuk menghindari cairan kehijauan yang dimuntahkan Prompto dari lambungnya.
Prompto menatap Noctis dengan muka pucat. "Ternyata begini rasanya berteleportasi. Selama ini aku iri akan kemampuan teleportasimu, Noct. Tapi sekarang aku bersyukur tidak dikaruniai sihir itu. Kau hebat sekali bisa menahan efek samping yang ditimbulkannya setiap kali kau berteleportasi."
Noctis menyodorkan sarung tangan hitam kepada temannya. "Percayalah. Pertama kali aku melakukannya, aku juga muntah sepertimu, tapi sekarang aku sudah terbiasa."
Prompto menyeka bekas muntahan di bibirnya dengan sapu tangan Noctis. Setelahnya, dia mengembalikan sapu tangan itu kepada sang empunya, tetapi Noctis langsung menolak dengan raut wajah jijik dan berkata bahwa sapu tangan itu untuk Prompto saja karena toh ia jarang menggunakannya.
Sekarang semua bunyi ledakan mereda dan satu-satunya suara yang terdengar di ruangan itu hanyalah suara gir EX-BUSTER yang terus berputar. Melirik dari tepi pilar, Noctis melihat robot itu telah kembali jatuh bergeming ke lantai.
"Sepertinya EX-BUSTER telah kehabisan seluruh energinya," simpul Noctis. "Walaupun dia sudah tidak bergerak lagi, menurutku akan lebih baik kalau kita hancukan saja sekaligus daripada menghadapi kemungkinan dia bangkit kembali dan mengejar kita ke luar EXINERIS. Ini juga untuk mencegah dia melukai warga Lestallum."
"Aku setuju. Ayo kita hancurkan dia dengan gaya!" seru Prompto, telah berdiri tegap.
Noctis memunculkan jaring-jaring Thundaga di telapak tangan kanannya. "Ini adalah gayaku. Bagaimana denganmu?"
Prompto terkekeh dan mematerialisasikan Drillbreaker lagi. "Dan ini adalah gayaku."
Mereka meninggalkan pilar, melangkah bersama hingga terbentang jarak sepuluh meter dari EX-BUSTER. Secara serempak, Noctis menembakkan Thundaga dan Prompto meluncurkan gelombang kejut kepada si robot. Serta merta gabungan kedua serangan listrik itu membungkus seluruh tubuh si robot, menyebabkannya korsleting dan berselang lima detik disusul ledakan besar yang menghancurkannya berkeping-keping menjadi puluhan bongkahan besi beraneka ukuran.
Kepala kecil mayat EX-BUSTER menggelinding di lantai hingga mendarat di samping sepatu bot Prompto. Sang penembak menginjak kepala berulang kali dengan membabi buta.
"Mati kau! Mati kau! Mati kau!" Prompto berseru seperti orang kesetanan.
"Hentikan, Prompto. Dia sudah mati," komentar Noctis. "Tak ada gunanya kau terus-menerus menginjaknya."
"Anggap saja ini pembalasan dendam kesumatku yang terakhir karena dia telah amat merepotkan kita." Prompto mengangkat kaki kanannya dan dengan kekuatan penuh dia menginjak kepala itu hingga tak berbentuk lagi. "Nah, begini aku baru puas. Selamat tinggal, EX-BUSTER. Aku tidak akan merindukanmu."
Ruangan itu telah berubah dari ruang pameran purwarupa berbagai kendaraan berat menjadi kapal pecah. EXINERIS akan kewalahan membersihkan puing-puing bekas pertempuran mereka. Bahkan EXINERIS pun kehilangan satu EX-BUSTER mereka yang berharga. Namun apa yang bisa dilakukan Noctis ketika ia sedang dikejar waktu untuk menghentikan musibah yang akan terjadi? Jika ada pihak yang patut disalahkan, maka kekaisaranlah yang berhak menanggung konsekuensinya.
Usainya pertempuran dengan EX-BUSTER berarti tak ada lagi penghalang bagi mereka untuk keluar dari EXINERIS. Menatap pintu yang seolah memikatnya, Noctis mengajak Prompto untuk segera bergerak. Mereka melewati pintu keluar, melewati jembatan panjang, lalu sebuah gerbang dan akhirnya menginjakkan kaki di kota Lestallum.
Setelah berputar-putar di dalam pabrik, berada di ruang terbuka menimbulkan sensasi rindu yang teramat ganjil. Intensitas cahaya matahari telah meredup, yang menandakan bahwa sekarang sudah mendekati malam. Namun Lestallum tetap panas menyengat seperti biasanya.
Tak ada seorang pun yang berlalu-lalang di depan gerbang EXINERIS. Noctis memperhatikan atap-atap bangunan, takut apabila ada mata-mata kekaisaran yang berjaga di sana, tetapi area ini benar-benar sepi. Apakah Verstael telah menepati janjinya untuk mengumpulkan seluruh penduduk di alun-alun? Dari posisinya sekarang, alun-alun terhalang sederet bangunan tua─ia perlu berbelok ke kiri melewati gang untuk tiba di sana. Tapi setelah dipikirkan matang-matang, akan jauh lebih baik apabila ia tidak menampakkan diri di alun-alun. Para tentara Niflheim telah mengenali wajahnya sehingga mereka akan segera menangkapnya dan itu bisa menimbulkan masalah baru karena identitasnya sebagai pangeran dapat bocor ke entah berapa ribu warga yang berkumpul di sana. Ia memutuskan akan menjauh dari alun-alun semampunya. Untunglah rute menuju balai Leville tidak mengharuskan ia melewati alun-alun. Sesuai pembicaraannya dengan Verstael, hanya ia, Prompto, Luna, Talcott dan Verstael yang terlibat dalam negosiasi.
Berbicara mengenai negosiasi, Noctis teringat bahwa ia belum memegang Cincin Lucii yang akan menjadi harga bayar untuk ditukarkan dengan Luna dan Talcott. Ia harus segera mengambilnya dari Iris tanpa sepengetahuan Niflheim.
Noctis bersembunyi di balik tembok sebuah bangunan tinggi yang terhalang dari sinar matahari. Ia mengeluarkan telepon pintar lalu menelepon Iris. Setengah menit berlalu, panggilannya tidak diangkat dan dialihkan ke kotak suara. Noctis menunggu lima menit ke depan sebelum menelepon ulang. Tepat ketika ia ingin menelepon Iris lagi, gadis itu menelepon duluan. Noctis pun segera menerima panggilan itu.
"Halo?"
"Noct, kau baik-baik saja?" bisik Iris. Terdengar suara kerumunan orang di belakang, yang mempersulit Noctis untuk mendengar Iris dengan jelas.
"Aku dan Prompto baik-baik saja. Kau ada di mana?"
"Tadinya aku berada di alun-alun bersama seluruh penduduk Lestallum. Luna menyuruhku untuk membaur bersama penduduk agar tidak ketahuan oleh kekaisaran. Tapi entah kenapa kami semua digiring paksa dari balai Leville ke alun-alun oleh kekaisaran. Dan kami dijaga ketat oleh para tentara di sini."
"Bagaimana caramu keluar dari pengawasan mereka?"
"Tubuhku kecil dan penampilanku tidak mencolok. Sejak kecil, aku ini jago mengendap-endap seperti ketika aku keluar dari Citadel dua belas tahun lalu."
Noctis ingat insiden yang membuat gempar seisi Citadel waktu itu karena Iris menghilang dari ruang tamu. Alhasil, Ayah menghukum dirinya yang berbohong untuk melindungi Iris dari amarah Gladio.
"Iris, aku perlu mengambil Cincin Lucii darimu. Kita harus segera bertemu karena aku sedang dikejar waktu."
"Cincin Lucii? A-Apa?! Cincin yang dititipkan Luna padaku adalah benda sepenting itu?"
"Sssttt. Kecilkan suaramu. Ya, itu adalah Cincin Lucii. Maka dari itu, kau harus memastikan dia tidak hilang sampai kau menyerahkannya padaku."
"Rasanya cincin itu mendadak bertambah berat di sakuku. Aku bersumpah akan menjaganya. Di mana sebaiknya kita bertemu? Verstael telah menyebarkan para tentaranya di seluruh penjuru kota."
"Walaupun begitu, ada banyak sudut mati yang bahkan luput dari mata orang normal di kota yang bagaikan labirin ini."
"Lokasi yang terisolasi di Lestallum… Hmm… Sepertinya aku ingat satu tempat seperti itu," Iris bergumam saat berpikir. "Oh, aku ingat: toko pandai besi Randolph."
Noctis mengingat-ingat lokasi toko pandai besi itu di tumpukan memorinya. Toko itu memang terbilang tersembunyi di satu gang buntu yang jarang dilewati banyak orang. "Ide bagus. Ayo kita bertemu di sana." Ia juga bisa sekalian mengambil Engine Blade yang seharusnya sudah selesai diperkuat oleh Randolph karena tiga hari telah berlalu. Mengambil Cincin Lucii dan Engine Blade seperti sekali dayung dua pulau terlewati. "Tetaplah waspada. Pastikan bahwa tidak ada Niff yang mengekorimu. Bila perlu, kau bisa berputar jauh untuk mencari rute yang benar-benar aman."
"Oke. Beri aku waktu kurang lebih sepuluh menit untuk tiba di sana," kata Iris sebelum dia mematikan telepon.
"Astaga. Semoga tidak ada bahaya menimpa Iris. Kau memberi dia tugas yang amat berisiko. Kau sadar tidak, Noct?" sindir Prompto yang dari tadi membisu mendengar pembicaraan Noctis dengan Iris.
"Tentu saja aku sadar seratus persen. Tapi pilihan apa yang kupunya? Daripada mengkritikku, sebaiknya kita segera bergerak."
Noctis memandu jalan menuju toko pandai besi Randolph. Dengan sepasang mata curiga, ia meneliti sekelilingnya ketika melewati bangunan demi bangunan dan gang demi gang, sesekali mereka harus bersembunyi ketika nyaris berpapasan dengan para tentara yang berlalu-lalang di dalam kota, sampai akhirnya lima menit kemudian mereka tiba di tujuan. Sejauh mata memindai, ia tidak menemukan mata-mata kekaisaran di sekitar toko Randolph. Iris pun belum sampai.
Sambil menunggu datangnya Iris, Noctis mengetuk pintu kayu toko pandai besi Randolph, meskipun ada papan bertuliskan TUTUP yang dipasang di depan pintu.
Ketukan pertama dan kedua tidak memperoleh respon apa pun. Lalu pada ketukan ketiga, akhirnya terdengar suara makian dari balik pintu. "Tidak bisakah kau membaca papan yang kupasang di depan pintu? Apakah kau buta atau idiot?"
Hanya dalam satu pertemuan, Noctis sudah terbiasa dengan cara bicara Randolph yang serampangan. "Aku ingin mengambil pedanggahku."
"Bah! Kau datang di momen yang tidak tepat. Aku tidak menerima pelanggan di masa kritis seperti sekarang. Pergi sana! Jangan membuat keributan yang bisa memancing kekaisaran kemari!"
"Noct, lelaki itu benar, ini bukan waktu yang tepat untuk bertransaksi," bisik Prompto.
Noctis tidak mengacuhkan temannya. "Aku Noctis. Aku membutuhkan pedanggahku sekarang juga. Kau ingat seseorang yang mengaku dirinya seorang Hunter yang amat beruntung?"
"Oh! Kau lelaki yang berhasil menebas Zwill Crossblade-ku! Tentu saja aku tidak akan menolak kedatangan pejuang legendarisku." Intonasi suara Randolph melembut, bahkan terkesan antusias.
Randolph membuka pintu. Dia mempersilakan Noctis dan Prompto untuk masuk ke dalam. Katanya lebih aman jika mereka bertransaksi di dalam, tetapi Noctis menolak dengan alasan sedang menunggu teman. Randolph tidak memaksa, dia masuk kembali ke rumahnya, kembali dengan membawa Engine Blade dan menyerahkannya kepada Noctis.
Noctis mengamati pedanggah kesayangannya itu. Jika dilihat dari penampilan luar, tidak ada perubahan signifikan yang mencuri perhatiannya. Desain ornamen, gagang kulit hitam dan warna metalik bilahnya tetap sama seperti dulu. Akan tetapi, kini pedanggah itu lebih ringan sekitar dua kali lipat dari sebelumnya. Ia mencoba menebas udara dengan Engine Blade untuk mengujinya. Karena kebiasaan lamanya, ia terlalu banyak mengerahkan kekuatan hingga pedanggahnya itu menebas terlalu gesit, genggamannya nyaris lepas dari gagang. Bahkan bilah pedanggah itu sampai bergesekan dengan tembok di sampingnya, menyisakan goretan horisontal sedalam satu sentimeter. Noctis menganga melihat kerusakan yang dihasilkannya pada tembok itu.
"Hati-hati, Noct! Kau bisa memotong kepalaku dengan sabetan sekuat itu!" pekik Prompto, yang untungnya telah menjaga jarak aman dari Noctis.
Mata Randolph berbinar di balik kacamatanya. "Bagaimana hasil pekerjaanku? Kau pasti sudah merasakan bahwa meskipun pedang itu sekarang lebih ringan, bilahnya jauh lebih tajam. Tingkat kerusakan yang dapat dihasilkannya bertambah tiga kali lipat dengan tenaga ayunan yang lebih sedikit. Pertukaran yang amat menguntungkan. Itulah keunggulan Adamantium."
"Terima kasih banyak atas bantuanmu. Aku yakin tidak akan menyia-nyiakan hasil kerja kerasmu," kata Noctis sopan seraya membungkukkan badan pada Randolph. Sang pandai besi mendengus keras, lalu menyarankan mereka untuk kabur secepatnya dari kota di saat mereka luput dari pengawasan kekaisaran sebelum dia masuk kembali ke tokonya dan mengunci pintu.
Noctis mendematerialisasikan Engine Blade. Saat melihat pedanggahnya berubah jadi ratusan partikel cahaya biru, ia merasa jauh lebih percaya diri telah memiliki pedanggahnya lagi.
"Noctis! Prompto!" Suara seorang gadis menyita perhatiannya─Iris akhirnya tiba.
"Iris!" seru Prompto.
Iris menghampiri Noctis dan Prompto. "Aku sangat mencemaskan kalian berdua. Untunglah kalian baik-baik saja. Di mana Ignis? Dan apakah Gladdy masih belum kembali dari misi pribadinya?"
"Ceritanya panjang. Ignis dan Gladio masih berada di dalam EXINERIS," jawab Noctis.
"Kau harus menceritakan pengalaman kalian padaku setelah semua keributan ini selesai. Janji?" pinta Iris.
"Kalau Noct tidak berniat, aku bisa menggantikannya kok," Prompto menawarkan diri.
"Iris, bisakah kau menyerahkan benda itu padaku?" Noctis tidak dalam mood untuk berbasa-basi.
Iris merogoh saku roknya, mengeluarkan Cincin Lucii, dan menyerahkannya kepada Noctis. "Sekarang apa yang akan kau lakukan?"
"Aku dan Prompto akan pergi ke balai Leville untuk bernegosiasi dengan Verstael. Aku membutuhkan cincin ini untuk menyelamatkan Luna dan Talcott."
"Apa kau yakin akan menyerahkan benda sepenting itu kepada kekaisaran? Tak bisakah kita memikirkan jalan lain demi membebaskan Luna dan Talcott?"
"Untuk saat ini, pikiranku buntu. Nyawa Luna dan Talcott lebih penting daripada cincin ini. Setelah Luna dan Talcott bebas, aku bisa memikirkan langkah selanjutnya untuk merebut kembali cincin ini, sesulit apa pun caranya."
"Kuharap aku bisa membantumu lebih dari sekedar menjadi kurir Cincin Lucii…" gumam Iris, jelas kecewa akan ketidakberdayaannya.
"Hei, kau sudah banyak membantu kami. Jangan pernah menganggap dirimu tidak berguna!" seru Prompto, berupaya membuat Iris ceria.
"Prompto benar. Kau sudah melewati bahaya untuk menyerahkan cincin ini padaku." Noctis tersenyum tulus. "Sekarang bersembunyilah. Aku akan segera menghubungimu ketika urusanku dengan kekaisaran selesai."
"Baiklah. Semoga segalanya berjalan dengan lancar," balas Iris, tersenyum simpul meski matanya memancarkan kesedihan. "Berhati-hatilah kalian berdua." Dia berlari melewati gang ke pertigaan, lalu berbelok ke kanan sampai hilang dari penglihatan Noctis.
Noctis memasukkan Cincin Lucii ke dalam saku celananya. Ia berpaling kepada Prompto dan berkata, "Ayo kita pergi ke balai Leville untuk mengakhiri semua ini."
Ia tidak mengatakannya, namun amarah yang berkobar dalam hatinya mendorong dirinya untuk meninju wajah Verstael, sang dalang kekacauan di Lestallum, ketika mereka bertatap wajah nanti. Sekurang-kurangnya ia hendak mendaratkan empat tinju. Tinju pertama dan kedua untuk Luna dan Talcott yang disandera, tinju ketiga untuk Cor yang mengorbankan diri dan terjebak di lantai -12 EXINERIS, dan yang paling esensial yaitu tinju keempat sebagai bentuk pelampiasan dendam atas kematian Jared.
Pisau, darah Kakek, teriakan histeris dirinya.
Pisau itu menembus perut Kakek─
Lalu darah memercik seperti air terjun dari perut Kakek ketika pisau itu ditarik keluar─
Lalu ia spontan berteriak histeris ketika menyaksikan pembunuhan kakeknya terjadi tepat di mata kepalanya secara langsung.
Adegan yang hanya berdurasi lima detik itu terus terngiang-ngiang dalam benak Talcott. Urutannya selalu pisau, darah Kakek, dan teriakan histerisnya. Ketika selesai, adegan itu berulang lagi dalam jumlah yang tak terhitung: pisau, darah Kakek, dan teriakan histeris dirinya.
Bahkan sampai sekarang pun ia masih berteriak dalam hatinya ketika ia duduk di sofa panjang di lobi Leville bersama Putri. Sepasang tentara Niff bersenapan menjaga mereka sejak mereka disandera.
Tragedi itu dimulai ketika Talcott baru selesai makan siang di sebuah restoran di alun-alun Lestallum. Tadinya Kakek hendak membeli bahan makanan di Partellum Market untuk dimasak di kamar hotel. Tetapi Talcott merengek ingin makan sesuatu yang hanya bisa ditemukan di Lestallum yaitu yakitori. Bahan bakunya adalah daging chickatrice yang ditusuk dengan bambu tipis sehingga menyerupai sate, lalu dibakar di atas api arang, dan dibumbui saus tare. Sebagai Insomnian, Talcott bisa saja membeli sate di Distrik C yang penampilan luarnya mirip yakitori. Tapi rasa sate di Insomnia tidak segurih yakitori di Lestallum. Mungkin kuncinya berada di bahan baku yang berbeda (chickatrice terbilang langka untuk diburu) atau saus tare yang kemungkinan diolah menggunakan resep rahasia. Yang pasti Talcott senang sekali Kakek mengizinkan ia menyantap yakitori. Tak biasanya Kakek semudah ini dibujuk.
"Kakek sudah memenuhi keinginanmu. Nah, sesuai janji awal, Kakek minta kau mulai bersikap santun di depan Pangeran," kata Kakek ketika mereka telah selesai makan.
"Tapi Kek, Pangeran sendiri bilang kalau dia tidak suka formulan," bantah Talcott.
"Kata yang benar adalah 'formalitas'," Kakek mengoreksi. "Walaupun begitu, kau harus mengingat bahwa kita tergolong dalam kasta yang jauh berbeda dari Pangeran. Keluarga kita bukanlah bangsawan. Sudah selayaknya kita menjaga kesopanan dasar kepada Pangeran juga teman-teman Crownsguard-nya."
Talcott sebal terus menerus disinggung Kakek mengenai perihal kasta ini. Ya, ia tahu bahwa keluarganya hanyalah pelayan Klan Amicitia. Tetapi perbedaan kasta seharusnya tidak menjadi penghalang akan niat baiknya untuk berteman dengan Pangeran kan?
Talcott menghela napas, tahu bahwa tidak ada gunanya membantah nasihat Kakek. Lagipula Kakek telah membelikannya yakitori. Ia harus memegang janjinya; ia tak ingin dicap sebagai cucu yang durhaka. "Baiklah, Kek. Aku janji akan menjaga sikapku di depan Pangeran."
Kakek menepuk kepala Talcott dan tersenyum. Talcott mengamati keriput-keriput di wajah Kakek. Betapa tua dan ringkih kakeknya. Ketika Kakek bangkit dari kursi dan menjulurkan tangannya kepada Talcott untuk menuntunnya kembali ke Leville, ia merasakan genggaman tangan Kakek yang lemah. Postur tubuh Kakek yang bungkuk pun menyebabkan beliau tidak kuat berjalan terlalu jauh atau pinggangnya akan kesakitan.
Semua itu menyadarkan Talcott bahwa Kakek tidak akan bisa selamanya mengurus Talcott. Akan tiba saatnya untuk kebalikannya: Talcott-lah yang mengurus Kakek. Umur Talcott baru dua belas tahun, masih tergolong remaja tanggung. Ia merenung apakah ia sanggup mengurus Kakek di usianya yang masih begitu muda.
Terkadang Talcott pun ketakutan apabila Kakek mendadak tutup usia. Mengingat Kakek yang sudah uzur, kematian bisa menjemput beliau kapan saja. Kakek adalah satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup. Ia tidak sanggup hidup sendiri tanpa keberadaan Kakek. Ia masih membutuhkan uluran tangan Kakek untuk hidup normal dan layak sampai setidaknya enam tahun ke depan, ketika ia sudah menginjak usia delapan belas tahun dan menjadi seorang pria dewasa.
Ketika mereka tiba di balai Leville, Talcott berkata, "Aku sayang Kakek."
"Nah, kenapa tiba-tiba kau berkata demikian?"
"Aku hanya ingin bilang saja."
"Apa kau ingin membeli sesuatu lagi selagi kita berada di kota ini? Barangkali figurin cactuar?" Kakek memandang nakal kepada Talcott. Maklum jika Kakek menganggap ada udang di balik batu jika ia mendadak bersikap manis.
"Aku nggak mau cactuar. Aku hanya…" ia menelan ludah, "…merasa berutang budi besar sekali kepada Kakek."
"Kau tidak perlu merasa begitu. Kakek melakukannya karena kau adalah keluargaku. Kau adalah cucuku satu-satunya yang amat kusayangi melebihi apa pun di dunia ini."
"Aku juga menyayangi Kakek melebihi apa pun di dunia ini." Talcott memeluk dan membenamkan wajahnya di dada Kakek. Sekali lagi ia merasakan kerapuhan Kakek; tubuh beliau begitu kurus seolah hanya tulang berselimutkan kulit.
Serta merta Kakek merangkulkan kedua lengannya dengan lembut di tubuh kecil Talcott. "Terima kasih sudah menyayangi lelaki tua ini. Melihatmu begitu aktif tak pernah gagal memompa semangatku untuk tetap menjalani hidup. Kakek sudah kehilangan ayahmu sekali. Maka dari itu, Kakek tidak ingin kehilanganmu untuk kedua kalinya."
Talcott melepas pelukan, lalu tersenyum lebar. "Aku berjanji akan menjadi cucu terbaik bagi Kakek. Kakek juga harus berjanji padaku bahwa Kakek akan panjang umur jadi aku bisa membalaskan budi pada Kakek."
Kakek tertawa. "Tentu saja. Kakek akan terus hidup sampai melebihi seratus tahun. Tidak. Dua ratus tahun jika para dewa mengizinkan!"
Mendengar kata dewa mengingatkan Talcott pada Pangeran. Ia mendengar dari Prompto bahwa Pangeran telah mengikat perjanjian dengan Titan. Masih ada empat dewa lainnya yang harus mereka temui untuk mengikat perjanjian apalah itu. Lalu spontan ia pun teringat akan silsilah Klan Lucis Caelum yang dibacanya di Almanac beta. Raja Lucis pertama, Primus Lucis Caelum I, juga mengikat perjanjian dengan Hexatheon (minus Ifrit) dan atas rahmat para dewa dia berumur sangat panjang, mencapai lebih dari dua ribu tahun. Raja Primus membagi berkah itu kepada Gilgamesh sang Tangan Kanan. Dan dampaknya Gilgamesh pun berumur sangat panjang─malah melebihi Raja Primus─karena dia masih hidup sampai sekarang sebagai penjaga Tempering Ground.
"Barangkali Pangeran Noctis bisa membantu Kakek untuk berumur panjang! Kalau saja Pangeran meminta kepada para dewa, mereka pasti akan berbaik hati memberikan berkatnya untuk Kakek!"
Kakek menjadi waspada. "Hati-hati, Talcott. Jangan berteriak sambil menyinggung Pangeran. Kita tidak ingin keberadaan Pangeran diketahui kekaisaran─"
"Pangeran Noctis pasti bisa membantu Kakek! Aku harus secepatnya bertemu Pangeran dan membicarakannya selagi Pangeran berada di sini! Semoga Pangeran sudah pulang dari misinya─"
"Talcott, kecilkan suaramu!"
Tetapi Talcott yang sedang mengebu-gebu memikirkan prospek Kakek berumur panjang tidak bisa menahan energinya untuk terus berseru, "Pangeran pasti bisa mengabulkan permintaan Kakek! Pangeran Noctis kan baik─"
"Pangeran Noctis katamu?" potong suara seorang lelaki berintonasi rendah.
Talcott terkejut seolah disetrum listrik bertegangan tinggi. Ia menoleh dan menemukan seorang lelaki mengenakan armor petinggi kekaisaran, dahi lelaki itu lebar dan bentuk alisnya yang meninggi membuat sorot matanya seperti orang yang sedang marah. Di samping lelaki itu, ada lelaki lain yang mengenakan jas formal hitam dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu hitam di kerah kemejanya. Ia mengenal pria kedua itu; dia adalah lelaki yang menolongnya ketika ia bertengkar dengan seorang pemilik kedai di Partellum Market.
Rasa takut mencekam hingga sumsum tulang belakang Talcott. Ia tahu bahwa kehadiran Pangeran dirahasiakan dari publik untuk mencegah kemungkinan terjadinya masalah. Dan ia telah mengumbar-umbar Pangeran dengan sembrono sehingga terdengar oleh dua orang utusan kekaisaran yang tak disangka kedatangannya.
Lelaki berarmor itu berdiri menjulang tinggi di hadapan Talcott. "Aku sangat tertarik mendengar kelanjutan ceritamu. Kau menyebut-nyebut Pangeran seolah kau adalah sahabatnya. Sebagai seorang sahabat Pangeran, tentu kau tahu di mana dia berada sekarang."
Talcott mundur lima langkah. Keringat dingin membasahi keningnya. "Aku… dan… Pangeran…"
Tiba-tiba Kakek menyusup di celah sempit antara lelaki berarmor dan Talcott. "Maafkan perkataan cucuku. Dia amat mengidolakan Pangeran, tetapi kami tidak mengenalnya. Kami hanyalah pengungsi dari Insomnia yang dihancurkan oleh kalian."
Perkataan itu pasti menyulut amarah si pria berarmor. "Insomnia tidak dihancurkan, tetapi dimerdekakan."
"Dimerdekakan? Lantas mengapa kaisarmu tidak memedulikan nasib para pengungsi seperti kami yang telah kehilangan tempat tinggal, keluarga dan segalanya?" Kakek berusaha menantang si pria berarmor, yang menurut Talcott adalah ide yang amat buruk. Barangkali Kakek berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan dari Pangeran.
"Luche, hentikan pertengkaran ini," ujar lelaki berjas. "Jangan lupakan kepentingan kita datang kemari."
"Apa kau lupa, Nate? Mengajarkan tata krama kepada Lucian untuk tunduk pada Kaisar juga hal yang penting untuk kita lakukan sebagai seorang Niff!" Dengan mata mengilat, Luche memandang Kakek seperti pemburu mengincar buruannya.
Kejadian selanjutnya terasa amat cepat hingga Talcott tidak sempat berbuat apa-apa untuk menghentikannya. Luche menarik sebilah pisau dari sarung di pinggangnya, dan dia menusukkan pisau itu ke perut Kakek. Lalu dia menarik keluar pisaunya diiringi tawa keji. Darah merah segar memuncrat dari perut Kakek. Kakek tidak bersuara sama sekali, tubuh rentanya langsung terjerembab ke lantai, darah membentuk genangan yang semakin melebar.
Baru setelah ia melihat sepasang mata biru Kakek yang meredup seolah kehidupan sirna dari beliau, ia pun berteriak, "KAKEK!"
Lingkaran setan ini pun berputar dengan sempurna.
Pisau, darah Kakek, teriakan histeris dirinya.
Sekarang air mata Talcott sudah kering. Ia ingin terus menangis, tetapi air matanya sudah habis dan matanya bengkak. Ia memandang meja di depannya dengan tatapan kosong. Tak bisa ia menerima fakta bahwa Kakek sudah meninggal. Padahal sebelumnya ia berharap Kakek bisa berumur panjang hingga dua ratus tahun. Namun siapa sangka bahwa umur Kakek yang tersisa tak lebih dari lima menit ketika ia membentuk harapan naif tersebut? Dan Kakek mati karena kesalahannya. Kalau saja ia tidak mengumbar-umbarkan nama Pangeran di tempat umum, musibah ini tak akan terjadi.
Putri mengelus-elus rambut Talcott. Tangan kanan Putri terus menggenggam tangan kiri Talcott sejak mereka duduk berdampingan. Putri terus mencoba untuk menghibur Talcott, tetapi semua kata-kata manis itu masuk dari telinga kiri keluar dari telinga kanan seolah tak bermakna.
Talcott terus menatap meja hingga ia melihat sepasang sepatu pantofel hitam berhenti di seberang meja. Ia mendongakkan kepala dan melihat pria berjas hitam mendekatinya.
Pria itu memerintahkan sepasang tentara untuk meninggalkan mereka. Mereka menurutinya dan tertinggal mereka bertiga di area tunggu lobi itu.
"Mau apa kau kemari?" tanya Putri dengan lantang.
"Kau tidak perlu waspada begitu. Aku tidak berniat menyakiti kalian," balas pria itu. "Aku berbeda dari Luche yang sinting itu. Aku Nate─itu nama panggilanku."
Talcott memandang wajah Nate. Bara api amarah memercik dalam hatinya, meskipun pria itu tampak ramah. "Paman yang memberitahu kekaisaran kalau Pangeran dan Putri ada di sini. Kukira Paman orang baik karena telah menolongku, tetapi ternyata Paman mata-mata kekaisaran!"
Talcott bangkit dari kursinya, melepas genggaman Putri, mengepal erat tangan kanannya, lalu ia berlari dan meninju perut Nate. Nate bergeming. "Paman jahat! Kakek mati gara-gara Paman!" Sebelum tinju berikutnya mendarat di perut Nate, pria itu menangkap kepalan tangan Talcott dengan mudah.
Nate berjongkok hingga tingginya setara dengan Talcott. "Kau mau meninju wajahku? Lakukanlah sampai amarahmu reda. Jangan pendam dendammu terlalu lama."
Diselimuti api kebencian, Talcott melayangkan tinju sekuat yang ia mampu ke pipi kanan Nate.
"Ouch!" pekik Nate. "Pukulanmu kuat juga untuk anak kecil." Dia menekan-nekan rahangnya dengan satu tangan, sekedar memeriksa apakah ada persendiannya yang lepas.
"Aku bukan anak kecil! Usiaku dua belas tahun!" erang Talcott. Ketika ia hendak melayangkan tinju keempat, Putri sigap menangkap lengannya.
"Hentikan, Talcott. Menyakiti pria ini tidak akan menghidupkan kembali kakekmu," ujar Putri dengan lembut.
"Yeah, kau dengar nasihat sang Oracle," kata Nate. Dia menatap lurus kepada Talcott. Air wajahnya menyiratkan penyesalan yang mendalam. "Memang benar akulah yang melaporkan kalian kepada Kaisar karena itu adalah pekerjaanku. Aku harus menunaikan tugas dari Maharani atau akan celaka. Aku tidak ingin ada korban jiwa hanya karena masalah perburuan Pangeran dan Oracle. Tetapi nasi telah menjadi bubur. Aku hanya bisa meminta maaf padamu. Aku turut berduka cita atas kematian kakekmu."
"Aku tidak percaya perkataanmu! Niff adalah orang-orang jahat!" protes Talcott.
Nate menghela napas. "Tidak semua Niff adalah orang jahat. Kekaisaran memang telah melakukan banyak sekali kejahatan. Tetapi itu tidak berarti tidak ada Niff yang baik. Sama halnya dengan Lucian. Ada Lucian yang baik dan jahat. Usiamu memang masih sangat muda, tetapi kau perlu mulai belajar untuk tidak memandang dunia sebagai putih dan hitam. Dunia ini dan orang-orang yang hidup di dalamnya adalah abu-abu."
"Aku tidak tahu niatmu, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberikan nasihat. Talcott baru saja kehilangan kakeknya dan sekarang dia disandera. Kumohon biarkan dia beristirahat. Dia telah melewati banyak hal buruk hari ini," ujar Putri.
"Sewaktu di luar tadi, aku telah mendengar bahwa namamu Talcott," lanjut Nate, tak mengacuhkan Putri. "Barangkali pertanyaanku ini akan terdengar konyol, tetapi apakah nama keluargamu adalah Hester?"
"Ba-Bagaimana Paman bisa tahu nama keluargaku?" Spontan Talcott membalas. Berselang sedetik, ia menyesal telah memberikan konfirmasi pada paman ini. Bisa jadi Nate sedang mengorek informasi sebagai satu bagian dari tugasnya. Lebih baik kalau ia tetap menutup mulut dan berkata seperlunya.
"Dan apakah ayahmu bernama Oric Hester?" tanya Nate antusias. "Atau nama lain ayahmu yang lebih terkenal, yaitu Oric Gambel?"
"Paman kenal dengan ayahku?" Talcott ragu-ragu untuk bertanya.
"Ternyata tebakanku benar. Kamu adalah Talcott Hester, anak dari Oric Gambel!" Nate meletakkan kedua tangan besarnya di pundak Talcott. "Orang-orang biasa memanggilku Nate, tapi namaku yang sebenarnya adalah Nathan Drake. Aku pernah bertemu denganmu sepuluh tahun lalu ketika kau baru berusia dua tahun. Yah, wajar kalau kau tidak mengingatku. Aku adalah kerabat dekat ayahmu bersama satu lelaki lain bernama Sylvester Yeagre. Kami bertiga bersahabat dan dikenal sebagai trio Hunter legendaris. Sudah banyak situs-situs bersejarah di Lucis yang kami temukan dan jelajahi bersama."
Talcott pernah mendengar nama Sylvester Yeagre, tetapi kenapa baru kali ini ia mendengar nama Nathan Drake?
"Tapi kau adalah seorang Niff. Bagaimana bisa kau mengenal ayah Talcott?" tanya Putri.
"Dulu aku adalah seorang Lucian. Pekerjaan lamaku adalah Treasure Hunter. Aku mengincar beragam artefak tua bernilai tinggi yang terkubur di situs-situs bersejarah di Lucis. Setelah sepuluh tahun berkarir bersama Oric dan Sylvester, Kantor Pusat Hunter Meldacio mengeluarkan aturan bahwa semua Hunter dilarang menjarah benda pusaka di situs-situs bersejarah di Lucis atas titah kerajaan. Diam-diam aku melanggar aturan itu karena aku memerlukan uang untuk bertahan hidup, yang biasanya kuperoleh dari menjual artefak-artefak yang berhasil kukumpulkan. Kantor Pusat Hunter Meldacio mengetahui perbuatanku. Sebagai ganjarannya, mereka mencabut lisensiku sebagai Hunter dan mengecap aku sebagai pencuri oleh kerajaan─seorang kriminal yang berbahaya bagi Lucis. Maka dari itu, aku tidak dapat hidup normal lagi di Lucis. Aku terpaksa meninggalkan kedua temanku dan memutuskan pindah ke Niflheim, menjadi warga Gralea."
Pengakuan Nate sungguh mencengangkan Talcott. Siapa yang bisa menyangka bahwa seorang utusan kekaisaran ternyata adalah mantan Lucian dan sahabat ayahnya? Barangkali keberuntungan sedang berpihak padanya: kematian Kakek membawa dirinya untuk menemui Nate.
"Selain kakekmu, apa kau kemari bersama Oric?" tanya Nate. "Sudah lama sekali aku tidak mendengar kabar darinya."
"Ayah sudah meninggal," jawab Talcott, "atau lebih tepatnya dianggap meninggal."
Nate terkesiap. "Astaga. Apa yang terjadi padanya?"
"Ayah pergi bersama Paman Sylvester ke Cleigne yang menyimpan Royal Tomb terakhir dan sejak itu Ayah tidak pernah pulang. Ayah dan Paman Sylvester menghilang tanpa jejak. Karena Ayah menghilang lebih dari tiga tahun, kerajaan menganggap Ayah dan Paman Sylvester sudah meninggal." Talcott tak percaya bahwa ia bisa begitu jujur pada Nate, meski mereka baru mengenal satu sama lain dalam kurun waktu singkat. Tapi ia percaya pada Nate. Ia merasa nyaman berada di dekat sahabat ayahnya.
"Sungguh disayangkan. Padahal tinggal sedikit lagi Oric bisa menyelesaikan proyek Almanac-nya." Nate cemberut. "Aku tahu bahwa kakekmu menentang profesi Oric sebagai seorang Hunter. Sekarang tidak ada lagi yang bisa melanjutkan proyek tersebut. Malah lebih buruk lagi jika semua hasil penelitian Oric musnah selama penjajahan Insomnia. Padahal proyek tersebut bisa mengangkat reputasi keluarga Hester, seperti yang senantiasa diimpikan Oric."
"Aku punya semua data penelitian Ayah!" seru Talcott, merogoh ke dalam saku celana panjangnya dan mengeluarkan tablet digital. Ia menyalakan tabletnya, membuka aplikasi Almanac beta dan memamerkannya kepada Nate. "Semuanya tersimpan dalam aplikasi ini. Cuma aku yang punya salinannya."
Satu sudut bibir Nate terangkat, mata biru lautnya berbinar seolah baru saja menemukan tumpukan harta karun. "Bagus sekali. Kalau begitu, kau tidak perlu memulai proyek ayahmu dari nol. Kau bisa melanjutkan penelitian Oric dan merampungkan proyek Almanac."
"Aku menjadi penerus Ayah? Aku tidak yakin bisa melakukannya…," gumam Talcott.
Nate mengguncang pundak Talcott. "Tentu saja bisa. Kau adalah putra tunggal Oric. Bakat ayahmu pasti menurun kepadamu. Kalau Almanac itu tuntas, reputasi Hester akan terangkat menjadi klan yang terpandang. Kau bahkan bisa mengubah namamu menjadi Talcott Gambel, seperti ayahmu."
"Maaf aku menyela pembicaraan kalian," potong Putri, "tapi aku tidak mengizinkan Talcott untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya. Mulai sekarang, akulah yang akan mengurus Talcott menggantikan kakeknya." Putri menggaet tangan kiri Talcott. "Ayo kita kembali duduk di sofa."
Nate menarik tangan kanan Talcott sehingga ia tertarik ke dua sisi yang berlawanan. "Tunggu, Nona. Kau tidak bisa memutuskan menjadi pengasuh Talcott secara sepihak. Talcott, apa kau mau menjadi anak asuh seorang Oracle? Atau barangkali kau berniat untuk tinggal di Gralea bersamaku dan menjadi anak angkatku? Aku berjanji akan mengurusmu dengan baik seolah kau adalah anak kandungku. Istriku juga akan menerimamu dengan senang hati."
Talcott terkejut mendengarkan tawaran tersebut. Menjadi anak angkat sahabat Ayah terdengar lebih menarik ketimbang menjadi anak asuh Oracle. Putri tidak mengenal Ayah sama sekali, sedangkan Nate bisa membantunya mengenal Ayah lebih dalam. Apalagi Nate menyokong ia untuk melanjutkan ambisi hidup Ayah, yang merupakan cita-cita Talcott dari dulu. Hanya saja ia gelisah untuk meninggalkan Lucis dan pindah ke Niflheim, teritori musuhnya. Namun jika seorang Lucian seperti Nate bisa sukses berkarir dan menjalani hidup nyaman di Gralea, kenapa hal serupa tidak bisa berlaku bagi Talcott? Apalagi sekarang ia tidak punya siapa-siapa di keluarganya untuk menahannya tinggal di Lucis.
Talcott melepas paksa tarikan tangan Putri. Alih-alih ia menatap Nate dan berkata, "Aku mau ikut dengan─"
Mendadak suara terompet nyaring dan panjang terdengar dari balai hotel, menyebabkan Talcott kehilangan momen untuk melanjutkan perkataannya.
Tak lama kemudian, Luche masuk ke lobi hotel dan menghampiri mereka lalu mengumumkan, "Tuan Verstael memerintahkan kalian berdua untuk ke balai hotel."
Nate menghela napas panjang. "Kurasa pembicaraan kita terpaksa diakhiri di sini. Pangeran Noctis telah tiba untuk menolong kalian."
Tersisa 2 chapter lagi menuju akhir Buku 3 dan versi Beta ini. Silakan bagikan review kalian ya untuk memotivasi saya menulis kelanjutannya~
