ETHEREAL•

chapter 1

CHANBAEK (gs)

M

.don't like don't read.

Happy Reading =]

Hutang.

Hutang.

Dan hutang.

Lima tahun sudah Chanyeol berkelit dengan semua itu hingga rasanya sudah jengah. Keringat banyak ia peras untuk melunasi satu-satunya kesialan yang ditinggalkan ibunya. Tidak ada harta warisan, tapi hanya hutang yang kian menumpuk dan berbunga.

Pekerjaan apapun sudah Chanyeol lakukan. Pagi, siang, sore dan bahkan saat malam yang ada dalam benaknya adalah mencari uang. Hidup di kota besar membuatnya harus berjuang lebih keras dari siapapun. Tak butuh belas kasihan para sanak saudara, Chanyeol berikrar akan hidup di atas kakinya sendiri karena ia tak mau disebut parasit.

Dari situ ia bertanya apa arti keluarga. Di saat usianya yang baru menginjak 30 tahun harus hidup lebih keras dari baja, mereka yang disebut keluarga justru membuang muka dan acuh pada keadaan Chanyeol yang miris. Beruntung lelaki itu tahan banting, tak mudah surut jiwa dan raga meski terkadang ia jenuh dengan hidup seperti ini. Bagaimanapun juga ini sebuah proses, setidaknya Chanyeol memiliki rasa optimis jika kelak akan ada seberkas kebahagiaan meski harus susah payah ia raih.

"Chanyeol! Bawa beras-beras itu ke gudang!" Baru selesai Chanyeol menyeka keringat di pelipis, bos besarnya memerintah kembali. Tak apa, ini pekerjaannya. Mengeluh juga percuma karena tak akan memberinya kebaikan, jadilah Chanyeol segera bergegas agar semua segera beres dan ia bisa pulang.

Sebenarnya tak ada tujuan hidup yang begitu meluap dalam rencana Chanyeol. Ia hanya perlu melunasi hutang ibunya yang tinggal beberapa ratus ribu won lagi lalu mulai menata hidupnya. Wanita yang ia panggil ibu itu meninggal karena serangan jantung, beliau menghembuskan napas terakhir ketika tumpukan hutang beserta bunganya harus segera dilunasi atau si kecil Chaeyeon akan dijual.

Terkutuklah para rentenir itu.

Seketika napas ibu mulai terasa menipis dan tak lama kemudian membuat Chanyeol serta Chaeyeon sebagai yatim-piatu.

Chanyeol memiliki seorang adik perempuan yang terpaut usia 13 tahun dengannya. Si gadis kecil penyuka susu coklat itu terlalu polos untuk tahu jika hutang adalah hal rumit yang tak perlu ia dalami. Setelah kematian ibu, Chanyeol mengajak Chaeyeon pergi ke kota dan bertaruh hidup di sana. Chanyeol tak memiliki pekerjaan tetap namun ingin tetap membuat Chaeyeon mengenyam dunia pendidikan. Tugasnya hanya mencari uang untuk melunasi hutang dan menyambung hidup dan sesuap nasi di hari berikutnya.

Saat pagi hari Chanyeol akan berkeliling mengantar susu, siang hari bekerja di sebuah gudang beras lalu malamnya terkadang ia menjadi pekerja serabutan di sebuah club. Cukup menyita waktu dan tenaga, tapi semua Chanyeol lakukan agar urusannya bisa cepat selesai dan dia bersantai sejenak. Jam pulangnya paling cepat sekitar pukul 10. Di sebuah bilik kamar kecil itu Chaeyeon menunggu dengan semangkuk nasi hangat dan ramen yang masih mengudarakan uapnya.

"Ramen lagi?" Tanya Chanyeol sambil mengusak puncak kepala Chaeyeon

"Ya, ini lebih baik daripada nasi dengan garam." Jawab Chaeyeon sambil terkekeh kecil. "Aku memasakkan khusus untuk oppa. Habiskan, okay?"

Jika tak ada Chaeyeon mungkin Chanyeol tak perlu memiliki alasan untuk hidup. Ia lebih baik menyusul ayah dan ibu, terkubur menderita di balik peti lusuh dan menunggu para belatung menggerogoti tubuh tak bernyawanya.

Tapi Chaeyeon adalah sebuah alasan kuat dimana bertahan hidup perlu dilakukan. Adiknya yang manis itu tak pernah menuntut apapun, hidup sesusah ini masih bisa ia jalani dengan sebuah senyuman meski terkadang harus menahan lapar karena tak ada lauk yang bisa dimakan atau ketika persediaan mie instan habis.

"Oppa," panggil Chaeyeon saat mereka bersiap untuk tidur.

"Hm?"

"Nanti jika hutang kita sudah lunas, aku ingin makan ice cream."

Chanyeol mengulas senyum, mengusak puncak kepala adik kesayangannya itu di atas sebuah matras sederhana yang menjadi penumpu kenyamanan mereka malam ini. "Akan kuberikan sebanyak yang kau mau."

"Tidak usah banyak-banyak. Hanya satu cup dan aku sudah bahagia."

"Ada lagi?"

"Emm..hamburger? Aku ingin mencobanya."

"Tulis saja apa yang kau inginkan. Oppa akan memberi semuanya."

Dalam hati Chanyeol mulai berjanji, apapun yang menjadi keinginan Chaeyeon akan ia berikan selagi adik manisnya itu bahagia. Sejauh ini mereka telah melalui banyak kesulitan untuk sekedar merasa kenyang atau nyaman, dan jika kesempatan itu tiba, Chanyeol akan memenuhi semua hal yang belum pernah dinikmati Chaeyeon tanpa pernah berpikir lagi mau membayar hutang dengan apa.

••

"Chanyeol! Antar pesanan!"

Perintah demi perintah menjadi hal yang lumrah oleh seorang pekerja seperti Chanyeol. Selain karena dia memiliki fisik yang tangguh, Chanyeol cukup tegas dan tepat waktu hingga pelanggan tak pernah memberi komplain saat Chanyeol yang mengantar pesanan.

Dua karung beras dan satu galon air mineral siap ia antar di sebuah komplek perumahan elit. Berbekal kepercayaan diri tinggi, Chanyeol menekan bel di dekat gerbang megah itu dan mengatakan jika ia pengantar beras.

Seorang wanita paruh baya berpakaian sederhana membuka pintu dan membimbing Chanyeol untuk masuk ke sebuah dapur. Chanyeol sering mengantar beras di rumah-rumah megah jarang berpenghuni dan dia tidak terlalu kaget saat deretan barang mewah tertangkap mata. Orang kaya, wajar saja tiap hal kecil dijadikan mewah karena mereka memiliki tumpukan dana. Sedang dia? Cukuplah bersyukur memiliki dua piring dan dua sendok yang bisa digunakan untuk makan dengan Chaeyeon.

"Kembalinya untukmu saja." Kata wanita paruh baya itu saat memberikan uang pembayaran. Chanyeol tentu senang, upah ini terlepas dari gaji yang ia terima dan bisa digunakan untuk membeli makan malam Chaeyeon.

Setelah berpamitan dengan penuh keramahan, Chanyeol bergegas keluar karena rumah sebesar ini membuatnya tak nyaman. Meski terlihat mewah, tapi aura yang bisa ia rasakan lebih menyeramkan dari rumah hantu dan Chanyeol tak ingin berlama-lama di sana.

"Lepaskan!" Sebuah teriakan mencuri perhatian Chanyeol kala ia akan menarik gas dari motor yang ia bawa. Atensinya teralihkan pada mobil hitam mengkilat yang baru saja masuk ke halaman rumah mewah itu dengan seorang wanita yang terborgol dipaksa turun.

"Brengsek kalian! Lepaskan aku atau ku laporkan pada suamiku!" teriakan itu semakin nyalang, Chanyeol terdiam di tempat ketika adegan tarikan paksa itu tertangkap matanya dan wanita paruh baya yang memberinya uang itu mendorong keluar tubuh Chanyeol.

"Terima kasih. Kau bisa kembali ke toko." Katanya terburu.

Gerbang itu kembali tertutup rapat. Keadaan sore hari yang separuh mendung membuat Chanyeol memiliki banyak dugaan tentang kejadian tadi.

Apa ini rumah seorang penculik?

Astaga, demi apapun Chanyeol tak ingin berspekulasi secepat itu dan ia terburu mengenyahkan semuanya. Ini bukan urusan hidupnya, sebaiknya Chanyeol cepat kembali ke toko dan membuang jauh-jauh pemikirannya pada apa yang terjadi di rumah megah itu.

••

Ada kalanya Chanyeol ingin mencicipi nikmatnya alkohol saat ia berdiam diri memikirkan hidup. Kata orang, alkohol itu teman terbaik meski tak memberi jalan keluar. Hanya saja Chanyeol selalu berpikir, jika ia menggunakan uang yang dimiliki untuk menumpah ruahkan hasrat mencicipi alkohol, bisa dipastikan besok ia akan bekerja lebih keras untuk bertahan hidup karena uangnya telah terbuang percuma.

Akal Chanyeol masih berguna untuk memikirkan hal-hal yang logis. Ia tak merokok, rela menahan lapar saat siang hari demi menghemat uang yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama Chaeyeon.

Belum lagi ia harus memikirkan biaya pendidikan Chaeyeon. Semakin lama biaya yang harus ditanggung semakin besar. Bukan ingin mengeluh, tapi terkadang ia sedikit kesulitan mengatur keuangan agar urusan pendidikan dan perut bisa seimbang.

Chanyeol memang kerja di 3 tempat yang berbeda. Tapi semua itu tak menghasilkan upah melimpah. Terkadang ia masih harus mengais lagi disela waktu luangnya. Entah menjadi buruh dadakan atau menjadi lelaki malam.

Ini sebuah rahasia. Sampai kapanpun tak akan Chanyeol katakan pada Chaeyeon tentang pekerjaannya satu ini. Ia tak sampai hati melihat sang adik menangis penuh seduh kala mengetahui kakaknya rela menjadi lelaki panggilan.

Berawal dari tekanan hidup, Chanyeol menerima pekerjaan sebagai call boy karena upahnya yang besar. Dia tidak sedalam itu melakukan pekerjaan laknat ini, hanya duduk dengan dada bidang terbuka beserta beberapa wanita sosialita yang ingin dimanja. Hanya sebatas itu, meski beberapa kali ada yang ingin ditiduri, tapi Chanyeol menolak baik-baik dengan dalih ini di luar kesepakatan yang telah di buat.

Jika sudah seperti itu, Chanyeol akan pulang dengan rasa bersalah cukup besar dan tidur dengan memeluk Chaeyeon erat. Sumpah serapah ia tujukan pada dirinya sendiri. Bukan sok suci, tapi tidak sepantasnya ia mengumbar fisik di hadapan para wanita haus belaian hanya untuk uang.

"Oppa," Chaeyeon merintih kecil ketika Chanyeol baru memejamkan mata pada pukul 2 pagi.

"Kau butuh sesuatu?"

Chaeyeon bergeming, ia nampak ragu dan seperti terlalu takut mengatakan semua itu pada kakaknya. Ia memilih menelan lagi apa yang akan terucap di bibirnya dan menambah eratan kuat sebuah pelukan di tubuh kakaknya.

"Tidak. Aku hanya kedinginan." Katanya asal.

Chanyeol menarik selimut lebih tinggi dan memberi sepenuhnya pada Chaeyeon. Pelukannya juga ia buat semakin erat agar kehangatan cepat merambat pada Chaeyeon yang sedikit terlihat pucat.

"Kau sakit?" Chaeyeon menggeleng, "kau sedikit pucat, baby."

"Kelelahan saja. Tadi aku ada tes berlari di sekolah."

"Besok tidak usah sekolah, okay? Istirahat di rumah. Oppa akan mengizinkannya ke sekolah."

Chaeyeon mengangguk patuh. Ia mencoba memejamkan matanya kembali meski sebenarnya ada rasa nyeri di sekitar perut yang membuatnya tak tahan. Tapi jika mengadu pada Chanyeol, ia yakin masalah tidak akan pernah sesederhana itu. Chaeyeon memilih diam dan akan ia atasi sendiri rasa sakit ini dengan besok pergi ke apotik untuk obat penahan rasa sakit.

••

Chaeyeon masih meringkuk di atas matras yang menjadi alas tidur kala Chanyeol sadar matahari sudah meninggi. Ia tak hadir bekerja pagi karena tubuhnya terlalu lelah untuk dipaksa bergerak. Setidaknya sekali dalam seminggu Chanyeol bisa mengantongi izin untuk libur, ia akan merilekskan tubuhnya sekaligus membereskan beberapa pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Biasanya Chaeyeon yang memasak untuk makan pagi, tapi gadis manis itu sepertinya sedang tak ingin diganggu dan memilih alam mimpi untuk teman pagi ini.

Chanyeol sendiri tak begitu tahu bagaimana jenis sarapan yang sehat. Bekal ilmu memasaknya sangat pas-pasan, hanya sebatas sup ayam dengan irisan telur di atasnya beserta dua gelas teh hangat.

"Chaeyeon-aa," teriak Chanyeol ketika kepulan sedap sup buatannya menandakan masakan siap dihidangkan. "Park Chaeyeon, sarapan sudah siap."

Tak ada jawaban.

Biasanya Chaeyeon akan membalas di panggilan kedua dan membantu menyiapkan meja. Tapi gadis itu masih bergeming dengan tubuh meringkuk di atas matras. Jika di telisik, tak ada pergerakan apapun yang Chanyeol lihat dari Chaeyeon selama ia sibuk memasak. Bilik tempat tinggal mereka sangat sederhana, dapur dan tempat tidur tak ada pembatas apapun dan Chanyeol yakin betul jika Chaeyeon masih dalam posisi itu sejak ia bangun.

"Park Chaeyeon!" Terburu Chanyeol mematikan kompor, ia lantas mengoyak tubuh Chaeyeon yang melemah dengan wajah pucat pasi.

Gadis itu memiliki suhu tubuh yang dingin melebihi suhu tubuh orang normal. Tangannya tergeletak lunglai, dan tak ada sebuah hembusan napas kala Chanyeol meletakkan telunjuk di hidung Chaeyeon.

"J—jangan.."

Bagaimana Chanyeol harus mengutarakan tangis? Ia lumpuh oleh pilu, rasanya sungguh hancur jika apa yang terjadi ini adalah sebuah kenyataan.

Kemana ia harus mengais kesadaran? Ia berharap ini hanya mimpi yang bisa membuatnya menambah kapasitas doa pada Tuhan agar Chaeyeon tak secepat itu dipanggil.

Lantas apa yang bisa lelaki itu gaungkan pada fakta? Terlalu kecil untuk menentang takdir Tuhan dan memilih optimis pada kemungkinan hidup sekecil apapun.

Tubuh Chaeyeon segera ia gendong dan berlari menuju klinik terdekat dengan menggunakan taksi. Sial sungguh sial, jalan yang harus dilalui tidak semudah itu karena ada kemacetan yang mengular. Tak ingin mengabiskan banyak waktu menunggu, Chanyeol turun dari taksi dan semampunya membawa Chaeyeon menuju klinik yang ia tuju. Tapi di perempatan yang ada di depan hidungnya itu, Chanyeol mengumpat keras-keras pada dua mobil yang berhenti tidak pada tempatnya.

"APA KAU BUTA?! JALANAN INI MILIK BANYAK ORANG DAN KAU MENGHENTIKAN KENDARAANMU BEGITU SAJA?!" umpatnya penuh amarah.

Bagaimana tidak? Di saat keadaan kota mulai padat pengguna jalan dan kesibukan tak bisa dilerai, dua mobil mewah itu berhenti tidak pada tempatnya dan menghalangi jalan siapapun yang akan melewati; termasuk untuk pejalan kaki. Dia tak tahu apa keuntungannya melintangkan mobil di bawah lampu lalu lintas hingga memakan trotoar dan menutup segala akses untuk orang yang akan lewat.

Kaca mobil itu terbuka, menampilkan seorang wanita dengan lipstick maroon menyala beserta sorot datar matanya yang memuakkan bagi Chanyeol.

"Aku sedang menangkap koruptor." Jawabnya singkat.

"KAU BAHKAN BUKAN SEORANG POLISI, HEI! Kau tahu, tindakanmu ini merugikan banyak orang!" Lepas dari itu Chanyeol memaksakan diri menerobos beberapa orang lelaki berbadan besar yang juga menghalangi jalanan.

Dasar brengsek!

Yang ada dalam pikiran Chanyeol saat ini adalah bagaimana ia bisa cepat sampai di klinik dan menyelamatkan Chaeyeon. Sungguh tak sanggup jika pikiran buruk itu terjadi sebelum ia bisa memberikan pertolongan pada Chaeyeon.

Lalu ketika klinik kecil itu bisa ia raih dan mengatakan pada perawat untuk memeriksa adiknya, Chanyeol merasa kesempatan masih berpihak padanya. Ia pikir kekuatan medis bisa membawa angin segar pada Chanyeol atas keadaan Chaeyeon, tapi ketika dokter itu menggeleng kecil dan mengatakan jika gadis ini tak lagi bernyawa sejak tadi, yang hanya ingin Chanyeol lakukan adalah bertanya pada Tuhan, "kenapa aku lagi?"

••

Sekali lagi, tak ada sanak saudara dan kerabat dekat yang berdiri berjajar saat gundukan tanah itu menyimpan peti mati berisi tubuh tak bernyawa Chaeyeon. Area pekuburuan memang sepi, dan pelayat yang ada hanya Chanyeol serta dua orang rekan kerjanya yang kebetulan sudah lama Chanyeol kenal.

Segaris kesedihan tak pernah nampak di wajah lelaki itu.

Ia diam, berdiri dengan tangan mengepal di hadapan salib penanda yang bertuliskan R.I.P Park Chaeyeon. Atensinya penuh keambiguan, hingga membuat dua temannya itu sedikit khawatir karena penyebab kematian dari Chaeyeon bukanlah sebuah penyakit, melainkan luka dalam di salah satu organnya akibat kekerasan.

Chanyeol mendengar dan melihat semua itu kala jasad Chaeyeon akan dibersihkan. Dokter mengatakan di sekitar perut dan dada ada lebam yang yakin betul disebabkan oleh kekerasan.

Chaeyeon bukan seorang preman. Gadis itu sangat lembut dan tidak mungkin ada sisi kekerasan sama sekali dalam dirinya.

Semua itu membuat Chanyeol bertanya-tanya. Apa yang sudah terjadi dan yang telah Chaeyeon sembunyikan selama ini?

"Eerr, Chanyeol," Sehun menepuk pundak Chanyeol perlahan, "Kita bisa memikirkan apa yang sudah terjadi saat di rumah. Sebentar lagi akan turun hujan."

Langit mulai menggelap sore itu, seperti akan tumpah ruah banyak tangis hujan yang mewakili kesedihan Chanyeol paling dalam.

Chanyeol mengangguk kecil, berjalan pergi dengan langkahnya yang dingin di susul dua temannya yang hanya bisa mengedikkan bahu melihat perubahan Chanyeol.

Sesaat di rumah, Chanyeol terburu membongkar isi tas Chaeyeon dan buku-buku yang ia simpan. Harapannya ada sebuah petunjuk, atau setidaknya tulisan kecil mengenai apa yang terjadi mengingat Chaeyeon sangat suka menulis. Dan benar, saat ia membongkar rak buku paling bawah lalu sebuah note book kecil berwarna pink itu muncul, Chanyeol bersiap dengan fakta yang akan ia ketahui.

5 Juni,

Oppa pulang larut malam, dia nampak sangat lelah karena bekerja terlalu keras. Aku jadi ingin cepat dewasa agar bisa bekerja membantu oppa.

Sebulir air mata akhirnya jatuh. Chanyeol berlomba dengan hujan di luar dalam menitihkan sebuah air.

12 Juni,

Aku tidak tahu salahku di mana, tapi mereka menuduhku mencuri kotak pensil mereka dan kembali aku harus menerima lemparan telur. Sial, akan ku balas suatu hari nanti

Dahi Chanyeol mengerut, lemparan telur?

30 Juni,

Rasanya tidak tahan bersekolah di sana. Mereka selalu menuduhku mencuri dan memperlakukanku seperti seorang penjahat. Bahkan polisi saja menghukum dengan berdasar hukum, tapi mengapa mereka menyiksaku seperti ini sedang aku dituduh tanpa bukti?

Astaga, perutku bahkan masih terasa nyeri karena ditendang. Semoga besok aku bisa sembuh ^^

Kerutan di dahi itu semakin bertambah, Chanyeol tak bisa menyembunyikan amarahnya kala tulisan Chaeyeon mengatakan ia selalu mendapat kekerasan.

Keesokan harinya Chanyeol bergegas cepat menuju sekolah Chaeyeon. Ia tak lagi peduli dengan pekerjaan paginya, yang ia harap hanya pertanggungjawaban dari sekolah atas kasus yang menimpa Chaeyeon. Bagaimana bisa sekolah tak berbuat apa-apa saat ada salah satu siswanya mendapat perlakuan tidak adil?

Atau memang mereka belum tahu?

Jika iya, Chanyeol akan membuka semua fakta ini di depan guru-guru agar setidaknya kasus Chaeyeon bisa menjadi pelajaran. Mereka terlalu meremehkan kematian Chaeyeon dan tak ada satupun ucapan bela sungkawa. Tapi Chanyeol tak butuh itu, ia hanya ingin yang bersalah mendapat hukuman.

"Ya, saya wali kelas dari Park Chaeyeon." Seorang lelaki bertubuh sedikit pendek dari Chanyeol itu menjabat tangan Chanyeol dengan wajah yang biasa. "Turut berbela sungkawa atas apa yang terjadi pada Chaeyeon. Maaf kami belum sempat berkunjung ke rumah."

Basi. Batin Chanyeol.

"Tidak masalah, tidak penting juga karena ini hanya sebuah kematian untuk adikku, bukan kematian untuk keadilan di sekolah ini." Secara tegas Chanyeol menyunggingkan senyum, ia tak butuh sebuah basa-basi yang panjang karena terlalu muak dengan apa yang sudah terjadi di sekolah ini.

"M—maksudnya?"

Note book kecil itu Chanyeol keluarkan, ia tunjukkan pada guru yang bernametag Do Kyungsoo itu dan tersenyum sedikit picik pada simpulan bibirnya. "Jika berkenan kau bisa membacanya. Chaeyeon menulisakannya dengan sangat rapi dan jelas. Atau perlu kubantu membacanya?"

Do Kyungsoo memicing kecil, rentetan tulisan ia jejali di indera penglihatnya dan sungguh teramat bagus ia mengatur ekspresi ketika tulisan mengenai kekerasan itu terbaca.

Seulas senyum terkadang Do Kyungsoo berikan, ia tak memiliki sedikitpun rasa terkejut dan menutup buku harian itu dengan senyum yang makin melebar.

Sakit jiwa, batin Chanyeol.

"Lalu?"

Lalu? Chanyeol hampir melompatkan keluar dua matanya kala tanggapan itu yang bisa diberikan.

"Ku kira kita perlu membicarakan keadilan dari apa yang ditulis oleh adikku. Dia mengalami kekerasan dan tak pernah ada yang menengahi semua ini."

"Itu di luar kendali kami." Kyungsoo berkata dengan nada bijak yang justru membuat Chanyeol jengah, "Lagipula tak ada bukti yang konkrit, jadi tak bisa dilakukan tindakan."

"DASAR GILA?!" Emosi Chanyeol meluap, ia menggebrak meja dan seluruh atensi kini tertuju padanya. Kyungsoo masih tenang dengan senyum bijaknya yang memuakkan dan membuat Chanyeol semakin tersulut emosinya. "Adikku menulis dengan sangat jelas apa yang terjadi padanya di sekolah ini dan kau masih meminta bukti?!"

"Negara kita negara taat hukum, Tuan. Kita tak bisa mengadili sesuatu hanya dengan catatan seperti ini."

"Setidaknya lakukan penyelidikan dari sekolah! Kau ini bodoh atau dungu?! Apa kau masih pantas disebut seorang guru dengan tingkah lakumu seperti itu?!"

Umpatan tak terelakkan, beberapa orang yang sempat acuh mulai mendekat dan bertanya apa yang terjadi. Tapi Kyungsoo nampak tak bergeming, ia tetap tenang meski sebenarnya ia tak ingin keributan ini membesar.

Apa daya, teriakan dan umpatan kasar Chanyeol semakin menjadi-jadi karena ia muak keadilan Chaeyeon tersisihkan seperti ini. Keributan itu bahkan sampai di dengar kepala sekolah dan mereka duduk dalam pembicaraan yang lebih serius.

Chanyeol masih menggaungkan keadilan, sedang pihak sekolah hanya memaksanya bertindak tenang dengan sesekali menanyakan bukti yang konkrit. Tidak cukupkah apa yang sudah ditulis Chaeyeon?

Lalu ketika di dalam ruang kepala sekolah itu menjadi semakin ricuh karena Chanyeol bertindak makin brutal, pintu penghalang terbuka dan sontak semua yang ada di sana bergeming.

Bukan kehadiran malaikat atau iblis penghancur, hanya seorang wanita dengan kemeja putih dan mini skirt nya yang menawan beserta sapuan make-up yang natural. Rambutnya tergerai memanjang, menyampir di belakang tubuh dan matanya sibuk menjelajahi satu persatu manusia dalam ruangan ini.

"Ku dengar ada ketidakadilan di sekolah ini?"

Chanyeol mengenal wajah itu, wajah yang sempat ia rekam sementara dalam ingatannya di persimpangan lalu lintas beberapa hari lalu.

Kepala sekolah dan beberapa orang di sana nampak menegang, mereka membeku tanpa kejelasan apapun ketika wanita itu berbicara.

Siapa sebenarnya dia?

"Apa itu benar, bapak kepala sekolah?"

Lelaki tua yang sedari tadi mencoba menghalau kemarahan Chanyeol itu kelabakan. Bibirnya tak bisa bersuara dengan semestinya dan nampak sekali kegugupan melingkup di wajahnya yang lelah.

"I—ini,"

"Katakan dengan jelas." Suaranya menajam dan keadaan berubah menjadi semakin suram.

"Aku hanya meminta keadilan di sekolah ini karena adikku mendapat kekerasan. Apa aku salah?" Chanyeol bersuara, ia lantang dengan apa yang ia katakan dan wanita itu memicing sebentar pada kehadiran Chanyeol.

"Oh, kau. Kita pernah bertemu sebelumnya? Aku seperti melihatmu di suatu tempat."

Perlukah pembahasan itu? Chanyeol tak begitu mengindahkan dan lebih peduli pada seruan keadilan yang susah payah ia minta di sini. "Ku pikir pembahasan disini cukuplah tentang keadilan pada adikku yang diperlakukan buruk tapi sekolah tak bertindak apa-apa. Siapapun kau, tolong katakan pada mereka semua jika aku ingin—"

"Meminta uang bela sungkawa?" Chanyeol terperanjat dengan sahutan wanita itu. Betapa bodohnya pertanyaan itu diutarakan sedang sudah sangat jelas yang sedari tadi Chanyeol permasalahkan adalah keadilan. Benar-benar busuk mereka semua!

"Ya? Maksudmu?"

"Berapa yang kau butuhkan? Katakan pada sekolah dan mereka pasti akan memberikannya. Tidak perlu membuat keributan seperti ini, buang-buang waktu saja. Mereka semua disini untuk mendidik, bukan untuk meladeni lintah darat sepertimu."

Lintah darat?

Uang bela sungkawa?

Chanyeol tahu dia sesulit itu dalam hal finansial, tapi cara licik ini bukan pilihan hatinya untuk bertahan hidup.

Jangan ditanya seberapa besar sakit hati yang ia miliki atas perkataan wanita itu. Kedua kali ia harus meradang dengan wanita ini, menahan segala emosi yang menguar bagai oksigen di seluruh tubuh dan meminta dilepas begitu saja untuk sekedar berbicara di nurani mereka yang meremehkannya.

"Selesaikan hari ini juga. Aku tidak ingin ada keributan seperti ini lagi." Ujar wanita itu mengakhiri perbincangan dan berlalu pergi tanpa mengindahkan kesakitan hati Chanyeol.

••

Sebulan sejak kematian Chaeyeon, Chanyeol masih berdiri dengan kesadaran yang cukup bagus. Dia makan dengan teratur, tidur teratur, dan melakukan segala hal yang membuatnya sebaik sekarang.

Pekerjaan mengantar susu di pagi hari tak ia lakukan lagi. Bekerja sebagai buruh di gudang beras juga tak dia lakukan. Chanyeol hanya memiliki satu pekerjaan yang membuatnya puas dengan segala kekecilan hatinya pada dunia ini.

Club.

Entahlah. Rasanya tempat itu menjadi tempat kembali paling menyenangkan setelah sehari penuh ia sibuk menyimpan dendam. Masih karena hal yang sama; penuntutan keadilan atas kematian Chaeyeon yang disiksa oleh beberapa temannya tanpa pandang bulu. Hanya saja pihak sekolah masih memiliki reaksi yang sama, mereka sangat mengabaikan keberadaan Chanyeol dan memilih memasang garda penjaga lebih banyak agar Chanyeol tak mengacau di sekolah. Sangat buruk.

Sebulan dendam itu mengakar cukup menyita waktu Chanyeol dan ia memutuskan melepas beberapa pekerjaannya dan kini hanya bekerja sebagai pelayan tetap di club, sesekali ia juga melakoni peran sebagai call boy kala diperlukan.

Tak ada lagi perasaan sok suci, yang Chanyeol pikirkan hanya bagaimana ia menuntaskan kekesalannya dengan melakukan hal-hal kasar kala ia mulai membuka diri sebagai call boy.

Para wanita haus belaian itu membayar mahal untuk sebuah hentakan keras yang Chanyeol miliki. Mereka tak memprotes apapun kala di tengah pencapaiannya Chanyeol melakukan kekerasan seksual yang justru membuat mereka merasa ketagihan.

"Seorang pelanggan ingin ditemani oleh kau malam ini," Sehun membuka pembicaraan sambil meletakkan segelas bir di counter bar, "Dia bilang kau terlihat paling terbaik di sini."

Chanyeol berdecih kecil, ia habiskan isi gelas itu lantas mengangguk setuju. "Aku tidak bisa sampai pagi, karena besok aku harus berkunjung ke makam adikku."

"Itu bisa di atur. Tapi sebenarnya ada hal yang cukup tidak masuk akal yang pelanggan inginkan." Kata Sehun sedikit gusar.

"Asal itu bisa memberiku banyak uang, tidak masalah"

Menarik napas besar sebentar, Sehun lantas membuat gestur jari agar Chanyeol mendekat. Ia membisikkan sesuatu yang konon membuat Chanyeol menaikkan sebelah alis, berdecak heran lantas tersenyum penuh kepicikan.

"Kau siap?" Tanya Sehun.

"Apapun itu. Pastikan imbalannya bisa membuatku untung banyak."

"I know." Kesepakatan itu ditutup dan Sehun mendengus kesal untuk beberapa kali di counter bar kesayangannya. "Wanita-wanita itu, kapan mereka berhenti mengacau lelaki muda seperti kita?"

Chanyeol hanya tertawa kecil, memukul pundak Sehun pelan lantas mengambil sebotol bir yang nampak tak bertuan di dekat Sehun. "Nikmati saja. Bukankah uang hanya tujuan kita?"

••

Tumpukan berkas yang semula menggunung itu perlahan terkikis. Meski langit luar sudah menghitam, tapi sebuah tangan ramping nan anggun itu tetap melakukan pekerjaannya demi sebuah kesepakatan-kesepakatan yang menguntungkan. Tidak semua diberi label ACC, karena nyatanya Byun Baekhyun adalah pemikir cerdik yang bisa mendeteksi mana yang kelak akan menguntungkan atau sekedar panjat sosial.

Reputasi Byun Baekhyun sebagai pebisnis wanita sudah melejit. Bahkan beberapa orang dari Jepang dan Cina sukarela datang secara pribadi menemui Baekhyun guna menjalin bisnis properti yang menguntungkan. Sayang tidak semua disetujui, Baekhyun tak ingin menjadi pihak yang terlalu bekerja keras karena kebanyakan dari mereka ingin sesuatu yang instan dan mendapat untung berlebih.

Bisnis macam apa jika jalan ceritanya saja seperti itu? Maka dari itu, Baekhyun dengan bantuan sekretaris sekaligus pengawal pribadinya memiliki kriteria tertentu agar tidak ada pembagian untung maupun rugi yang rumpang untuk salah satu pihak.

Kendati demikian, Baekhyun terkadang memiliki sisi hitam dari pemikiran bisnisanya agar tahta dan hartanya kian melimpah. Wanita itu sungguh tamak, tapi alih-alih untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, Baekhyun mempergunakan semua itu untuk sedikit menabung kebaikan bagi sesama.

Sungguh ironis. Tapi siapa peduli?

Orang jaman sekarang hanya mengerucut pada keuntungan pribadi dan orang kecil tanpa suntikan dana itu perlahan akan punah tanpa pernah tahu jika mereka berhak merasa bahagia.

"Nyonya Jung menghubungi Anda." Luhan, sekertaris pribadi yang sudah mengetahui Baekhyun dari sisi manapun itu menyerahkan ponsel Baekhyun. Sebuah nama Jalang terbaca oleh Baekhyun, tapi wanita itu hanya tersenyum kecil lalu kembali pada tumpukan berkasnya.

"Katakan padanya aku sedang sibuk."

Luhan mengangguk patuh dan melakukan apa yang Baekhyun katakan. Tapi tak lama Luhan mengerutkan dahi, membisikkan sesuatu pada Baekhyun hingga wanita berdagu runcing itu dengan suka rela menghela napas besar.

"Ada-ada saja iblis satu ini. Mau membuat ayahku mati konyol?!" Baekhyun mengambil ponsel itu dan menempelkan pada telinganya, "OH BITCH! When will you end your drama?! TIDAK MUAK MENGGANGGUKU?!"

Teriakan Baekhyun cukup nyalang, ia terhenyak dengan balasan tawa dari panggilan di seberang sana dan membuat Baekhyun harus rela melepas ketenangan malam ini.

Makian dalam bahasa asing maupun bahasa ibu sudah Baekhyun utarakan; berharap jalang yang ia sebut sebagai parasit neraka itu bisa berhenti mengganggu ketenangan Baekhyun dalam menyelesaikan tugasnya. Tapi sepertinya malam ini Baekhyun harus puas dengan menelan rasa jengkel, ia akan menghadapi wanita sialan itu untuk kesekian kalinya meski ia tahu betul ancaman ini hanya untuk sebuah uang.

"Siapkan mobil. Antar aku menemui si Jung brengsek itu."

Ponsel tak bersalah yang baru Baekhyun beli minggu lalu bernasib malang setelah di lempar tanpa perasaan. Sepertinya setelah mengantar si nona besar ini menemui musuh bebuyutannya, Luhan harus membeli ponsel baru dan memindah semua data di ponsel yang rusak karena ponsel itu menjadi pusat komunikasi bersama beberapa klien.

••

Sejarah hidup Baekhyun bercerita banyak hal tentang kekuatan. Bukan secara fisik, tetapi mental yang terlalu banyak menerima cobaan hidup. Sebenarnya wanita itu tidak seburuk yang orang pikir meski suka semau hatinya atau terkadang sedikit di luar nalar pemikirannya.

Ya, Byun Baekhyun memang seperti itu. Secara fisik ia terlalu sempurna ketika pakaian mewah nan anggun itu membingkai hingga mencetak kemolekan yang berarti. Cara bicaranya seperti sudah sangat tertata dan selalu menembak pada fakta yang pas. Dan soal otak, jangan diragukan lagi karena Baekhyun adalah lulusan terbaik sebuah universitas ternama di Jerman.

Baekhyun tumbuh sebagai seorang wanita berpendidikan dan berpengetahuan luas. Hal yang ia sebut sebagai keluarga selalu menunjukkan sikap tegas, tak perlulah sebuah kesalahan singgah meski hanya sekali. Tapi jika kesalahan itu datang, cukuplah kuasa dan harta berbicara untuk menutup semua itu sehingga menjadi hal yang benar kembali.

Sejak lahir Baekhyun bergelimang harta. Kakeknya adalah seorang pebisnis kenamaan, pun dengan ayahnya yang belakangan santer dikabarkan sebagai salah satu orang terkaya di Seoul. Baekhyun tak mengenal kata susah secara finansial, tapi dia menemui sebuah luka kala harus mengingat dia begitu rapuh untuk urusan kasih sayang.

Pembicaraan seputar kasih sayang tak pelak selalu Baekhyun tertawakan dalam dirinya sendiri. Setelah Ibunya meninggal saat Baekhyun berusia 12 tahun, ia tak lagi tahu jika di dunia ini cinta sebegitu dibutuhkannya untuk bertahan hidup. Bagi Baekhyun cukuplah dia merasa puas dengan harta yang mem-backup kebutuhannya, urusan ayahnya yang menikah lagi dengan jalang bukan hal yang harus Baekhyun pikirkan.

Terserah mereka mau berbuat apa, Baekhyun akan diam dan melangkah sebagai Byun Baekhyun yang angkuh nan mempesona. Tapi ternyata dia harus sesekali berurusan dengan jalang itu; seperti meladeni pemerasan secara tidak langsung atau keselamatan ayahnya yang sedang sakit itu terancam karena berita jalangnya yang kerap mengumbar diri di dunia malam.

Tuan besar Byun atau ayah biologis Baekhyun sedang menderita kanker stadium 3 dan harus terbaring di rumah sakit untuk beberapa pengobatan. Dan si jalang yang Baekhyun sebut sebagai sampah alih-alih sebagai ibu tiri itu seperti mendapat kesempatan bermain sepuasnya di luar tanpa di ketahui ayah Baekhyun.

"Club kumuh." Decih Baekhyun saat ia turun di sebuah club tengah kota. "Kau yakin ini tempatnya?"

Luhan mengangguk, "Ya, nona."

"Kau jangan jauh-jauh dariku. Pastikan urusan dengan si jalang itu berlangsung tak lebih dari 10 menit lalu kita harus pergi dari tempat kumuh ini."

Langkah kakinya cukup ringan membelai kerumunan yang nampak tak terkondisi. Aroma alkohol menguar dan menyiksa hidung, asap rokok menjadi pemeran pendukung beserta cercaan tak karuan para manusia yang mulai gelap karena pengaruh minuman keras.

Baekhyun mengernyit tak suka, ia tak terlalu berkelas untuk berada di sini tetapi harus membetahkan diri untuk bertemu si jalang yang katanya akan memberikan surat perceraian dengan sebuah kesepakatan baru.

Bagi Baekhyun itu bagus. Ayahnya tak akan lagi terjerat oleh si jalang sampah itu dan hubungan cinta palsu yang terjalin akan berakhir meski Baekhyun paham betul tabiat si Jung yang tak akan pergi tanpa uang.

Luhan menghentikan langkah setelah ia tiba di sebuah ruangan kecil di salah satu sudut—entah mengapa bisa tersedia. Ia menelisik keadaan di dalam ruangan itu, membisikannya pada Baekhyun lalu mengangguk kecil untuk sebuah persetujuan.

"Jalang," seru Baekhyun ringan. Senyumnya terpatri begitu sombong pada sebuah adegan panas yang tertangkap mata sata pintu terbuka.

Pada dasarnya si Jung yang Baekhyun sebut sampah itu adalah wanita dengan gairah murahan yang kerap menyewa lelaki muda untuk bercinta. Adegan seperti ini; saling bertelanjang dada dengan rabaan penuh ambisi gairah sudah seperti hal yang harus dilakukan atau Jung akan merasakan panas pada tubuhnya.

Fokus Baekhyun sempat terpecah beberapa saat atas apa yang tertangkap matanya. Bukan pada Jung yang sudah kesetanan menginginkan sebuah percintaan, tapi serupa wajah tak asing yang kini memicing penuh emosi pada Baekhyun.

"Jalang dan lintah darat bertemu." Baekhyun ingat. Dia masih menyimpan dengan jelas memori wajah yang beberapa hari lalu mengacau di sekolah yang Baekhyun naungi. Dan julukan lintah darat itu rasanya tepat sasaran dengan apa yang sedang terjadi saat ini. "Cepat berikan surat perceraiannya."

"Aku tidak suka memberi secara cuma-cuma."

"Berapa banyak yang kalian inginkan?" Baekhyun memberi penekanan pada kata-kata dan tak gentar meski picingan lelaki bertelanjang di hadapannya semakin kuat.

"Tidak, tidak. Aku tidak ingin uang." Bukan Jung namanya jika tak menginkan uang. Baekhyun memicing sejenak, terasa aneh dengan penolakan yang ia dengar dari mulut si jalang. Baekhyun hampir membuka mulut ketika ia sadar pada sebuah benda disudut ruangan yang Jung tunjuk dengan lemparan pandangan matanya. "Aku tidak butuh uangmu, karena harta warisan suamiku jauh lebih besar dari nominal yang akan kau tawarkan. Ah, aku tidak sabar memberi rekaman itu pada suamiku lantas melihatnya sesak napas dan…"

"Brengsek!" Satu tamparan panas Baekhyun berikan dan ringkas membuat wanita itu membolakan mata.

Baekhyun kira akan ada sebuah balasan yang menyakiti fisiknya, tapi apa yang Jung lakukan sungguh semakin biadab dan membuat Baekhyun tak terima atas pengkhianatan yang diperoleh ayahnya.

Jung makin liar meraba tubuh lelaki itu, sedang yang mendapat sentuhan hanya bergeming karena terlalu intens menelanjangi Baekhyun dengan tatapannya yang tajam.

"Jika yang kau sebut sebagai senjata adalah apa yang sedang kau lakukan, kau sungguh dungu. Aku tidak tertarik dengan kalian." Celetus Baekhyun ringan.

"Atau kau mau mencoba? Lelaki ini sungguh luar biasa." Jung nampak kehilangan kesadaran karena alkohol sudah merasuk menjadi iblis yang membutakan logikanya untuk semakin menantang Byun Baekhyun.

"Dengan si lintah darat? Tidak. Terima kasih. Aku tidak ingin berurusan dengan manusia munafik seperti kalian!" Ujar Baekhyun penuh penekanan, "Luhan, cepat cari surat itu!" Tegas Baekhyun.

Baekhyun pikir semua terlalu mudah ketika ia bisa berbicara dan berkehendak sesuka hatinya, tapi ia tak begitu tahu siapa singa yang sedang memicing penuh amarah padanya kini. Kuasa yang ia miliki tak pernah bisa mengalahkan kuatnya fisik seorang lelaki terutama tempat Baekhyun berpijak ini bukanlah wilayahnya. Dengan mudah Baekhyun di tarik keluar, meninggalkan Jung dan Luhan yang sengaja dikunci dari luar bilik dan berdoa sajalah wanita angkuh itu agar ia terselamatkan.

Lalu ketika Baekhyun berusaha kuat untuk lepas dari tarikan itu dengan segala rontaan yang ia miliki, Baekhyun dipojokkan tanpa sebuah persetujuan dengan napas yang memburu.

Baekhyun terasingkan di sebuah lorong sunyi di belakang club. Tubuhnya yang lebih kecil dipenjara oleh dua lengan kekar di sisi kanan kiri serta dada bidang kecoklatan yang terjurus tepat di dua matanya.

Belum sempat Baekhyun menghardik dengan caciannya, ada sesuatu yang bertekstur kenyal sedang menggerayangi bibir Baekhyun. Hisapan bahkan terasa sangat jelas, ada sesuatu yang mencoba membelah bibir kaku Baekhyun untuk terbuka dan menerima segala ciuman basah itu suka rela.

Rasanya sungguh aneh. Terlebih ketika ia tak bisa bertahan dengan katupan di bibirnya dan sesuatu yang lembut tengah menyapu langit-langit mulut dan mencoba bersilat dengan lidahnya yang kaku.

Baekhyun seakan tak diberikan kesempatan untuk sekedar mengerang karena lelaki itu terlalu rakus dengan perbuatannya. Sampai akhirnya Baekhyun memukul kencang dada bidang itu dan terburu meraup kasar oksigen yang sempat tak ia rasakan selama bibirnya terjamah tanpa persetujuan.

"Akan ku luruskan sesuatu padamu, baby. Aku bukan lintah darat." Baritone suara itu memecah keheningan lorong yang menjadi saksi bisu.

Baekhyun menatap lekat sepasang mata tajam yang sedari tadi tak berhenti menusuknya.

"Aku adalah Park Chanyeol."

"Apa yang kau inginkan?"

Baekhyun tak mendapat jawaban, dia kembali tertelan oleh sebuah ciuman ganas yang bahkan sudah merambah pada remasan kuat di dada. Tubuhnya semakin terhimpit dan Baekhyun kalah fisik untuk melawan. Ia mengerang seadanya, berusaha lari dari kukungan lelaki ini lalu pergi untuk mengutuk apa yang terjadi pada bibir dan dadanya.

"Yang kuinginkan?" Lelaki itu mendecah senyum sinis, "Yang kuinginkan hanya kau!"

Chanyeol tak begitu mengerti dengan dirinya yang teramat bergairah saat tubuh mungil itu berada sangat dekat. Entah karena sisa libido yang sedikit terbangun karena hampir bercinta dengan nyonya Jung, atau memang dia yang memiliki seruan napsu terlalu memburu pada tubuh mungil berbalut kemeja ketat ini.

Tangan Chanyeol menjadi sangat ringan saat menarik kemeja itu hingga dua gundukan mencuat di sana. Ia terombang-ambing oleh keadaan kelelakian yang tiba-tiba mengeras atau meladeni amarah yang juga bercampur tanpa tahu batasan. Hanya saja setan tetaplah setan, tak ada kebaikan dalam pikiran lelaki itu hingga ia menyeruak sapuan lidah pada belahan dada yang begitu dalam dan mungkin ada raja setan yang bersiap akan melakukan kebejatan pada wanita mungil ini.

.

.

.

Tbc

Basyud : heheheheh akhirnya bisa terbit. Perdana rilis buat chanbaek day 14 juni kemarin tapi baru sempet update hehe.. selamat baca, sebenernya gak pd karena genre ini udah pasaran dan takutnya ngebosenin tp daripada nganggur di folder jd aku up. : ))