St. Louis, 10 Desember 2011

Hari ini adalah hari dimana musim gugur nyaris berganti menjadi musim dingin yang mencekik. Langit terlihat sangat gelap dengan kumpulan awan hitam yang menumpahkan milyaran butir air ke kota St. Louis malam itu, mengguyur seisi kota tanpa ampun dan menjadi lagu pengantar tidur yang nyaman bagi orang-orang yang kini tengah bergelung diatas ranjang hangat mereka.

Namun ada beberapa orang diluar sana yang jauh dari kata hangat dan justru ikut terguyur oleh derasnya air hujan kala itu. Termasuk seorang remaja yang berjalan terhuyung di trotoar yang sangat sepi di malam berhujan ini. Bukan karena alkohol remaja itu berjalan terhuyung, melainkan beberapa luka bekas tembakan peluru yang kini bersarang di tubuhnya.

Tangannya yang terlihat memutih itu menggapai apapun yang ada di dekatnya dan menjadikan itu sebagai topangannya untuk tetap bisa berdiri meski rasanya sangat menyakitkan. Tetesan darah menghiasi setiap langkah terseretnya, namun segera terhapus oleh derasnya hujan hingga tak meninggalkan jejak apapun.

Wajahnya yang kian memucat dengan air hujan yang menyapu beberapa luka lebam disana nampak semakin tak karuan kala ia memaksakan tubuhnya untuk terus berjalan.

Shit, umpatnya dalam hati ketika darah segar tak kunjung berhenti keluar dari luka-lukanya. Ia sekarat, namun ia tak menyerah begitu saja dan tak membiarkan sang dewa kematian menjemputnya karena ia lah yang seharusnya menjadi dewa kematian itu sendiri.

Sekuat tenaga ia berusaha mengambil ponsel didalam saku jaket yang ia kenakan, namun sebelum berhasil menghubungi seseorang, tubuhnya ambruk diatas trotoar saat darah segar keluar dari mulutnya dengan begitu melankolis. Surai hitamnya yang basah jatuh menutupi keningnya dan sedikit mengaburkan pandangannya, namun meski begitu di detik-detik terakhir kesadarannya ia tahu ada seseorang yang menghampirinya. Entah itu kawan atau lawan, karena selanjutnya yang ia tahu semuanya menjadi gelap dan ia mati rasa.

Beberapa jam berlalu hingga terasa seperti beberapa detik, dan kelopak matanya perlahan terbuka menampilkan mata biru safir khas yang langsung menatap tajam ke sekelilingnya.

Ia sadar bahwa kini ia masih hidup dan berbaring diatas ranjang dengan tubuh bagian atas yang telanjang dan banyak di tutupi perban yang melilit hampir seluruh tubuhnya bak proses mumifikasi. Tangannya ditancapi oleh jarum infus beserta hidungnya yang di pasangi selang oksigen.

Wajahnya sedikit mengernyit akibat perih yang ia rasakan dari luka-lukanya ketika ia mencoba bergerak dan duduk diatas ranjang dengan payah.

"Kau sudah sadar?" Kepalanya menoleh dengan cepat ke arah belakang dengan tatapan waspada begitu sebuah suara lembut seorang wanita menyapanya.

Netranya menyipit penuh curiga, meski dengan keadaan penuh luka ia masih bisa melakukan perlawanan dengan sebilah pisau operasi yang ia ambil dari nampan besi diatas nakas untuk kemudian menodongkannya ke arah si wanita.

"Hey, nak. Tenanglah. Aku seorang dokter." Wanita bersurai hitam legam itu terkekeh. Dan remaja itu baru sadar bahwa perut si wanita membesar yang menandakan wanita itu tengah mengandung dengan usia kandungan tua.

"Aku Kwon Yuri. Siapa namamu?" Yuri mengulurkan tangannya dengan sebuah senyum merekah di bibirnya tanpa merasa takut sedikitpun pada todongan pisau remaja didepannya.

Remaja laki-laki itu masih diam, enggan berkata sepatah katapun seolah ia bisu dan masih mempertahankan todongan pisaunya hingga Yuri berdecak gemas dan menarik kembali tangannya yang terulur.

"Aku tahu St. Louis dikenal sebagai kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi di Missouri, bahkan di AS. Tapi apakah kau juga harus mencurigai seorang wanita lemah yang sedang hamil ini?" Yuri menyilangkan kedua tangannya didepan dada, menatap remaja di hadapannya dengan sorot kesal yang mengejek.

Beberapa menit berlalu dengan keterdiaman keduanya bersama remaja itu yang masih menatapnya dengan begitu tajam sampai akhirnya ia menyerah dan mulai menurunkan pisau di tangannya.

"Apa kau bisu?" Yuri akhirnya kembali bertanya setelah beberapa saat melihat remaja itu mulai tenang.

Remaja itu lantas menatapnya dengan bengis sekaligus mendengus kasar dengan cara yang arogan, "aku tak suka berhutang budi. Jadi apa yang kau inginkan?" Suaranya yang berat untuk pertama kali mengalun dan terdengar dalam. Ucapan itu layaknya ungkapan terimakasih yang terselubung meski dalam hatinya masih menyimpan secuil kecurigaan untuk wanita bernama Kwon Yuri itu.

"Aku menolongmu karena sepertinya kita berasal dari negara yang sama."

"Jangan sok tahu." Pemuda itu menyangkal dengan pasti.

"Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku melakukannya tanpa bermaksud meminta imbalan."

"Tidak ada yang gratis di dunia ini."

"Jangan terlalu memaknai kalimat itu. Masih banyak hal gratis yang dapat kau rasakan secara cuma-cuma di dunia ini." Yuri berujar protes, merasa dirinya begitu direndahkan dengan cara disamakan dengan orang-orang tamak diluar sana.

"Katakan apa yang kau inginkan." Sebuah pisau kembali ditodongkan didepan leher Yuri hingga wanita itu menautkan alisnya kebingungan.

Yuri menatap remaja itu dalam diam, memikirkan tentang apa yang harus ia katakan karena remaja itu begitu memaksa. Padahal sejak awalpun ia tak berniat meminta imbalan. Dia hanyalah seorang dokter hewan yang memiliki klinik kecil disamping salah satu jalan protokol yang tak sengaja menemukan seorang laki-laki sekarat penuh darah dan basah kuyup di jalan gang yang sepi. Tak ada apapun yang ia pikirkan saat itu selain cara untuk menolongnya. Dia tak mengenal siapa laki-laki yang di tolongnya meski ia yakin laki-laki itu terlibat suatu masalah yang berhubungan dengan "kriminalitas" melihat dari beberapa peluru yang bersarang di tubuhnya. Tapi nuraninya sebagai seorang dokter tak bisa mengabaikan fakta bahwa ada satu nyawa yang masih bisa ia selamatkan, jadi ia memutuskan untuk membawa pemuda itu ke klinik kecilnya di tengah malam dengan susah payah tanpa peduli apa risiko yang akan ia dapat di kemudian waktu.

"Baiklah. Untuk saat ini aku tak membutuhkan apapun. Tapi aku akan menagih janjimu untuk balas budi itu di lain waktu saat aku benar-benar membutuhkannya. Bagaimana?"

Pemuda itu tak menjawab, ia justru beralih mengambil kertas note kecil diatas meja beserta bolpoinnya dan menuliskan sesuatu disana sebelum menyerahkannya pada Yuri, membuatnya menyimpulkan bahwa pemuda itu menyetujui tawarannya.

Griffins Mansion 416 Holly Hills, St. Louis, Missouri.

Rudan Park

Missouri ●

Holly Hills, St. Louis, 2020

Siang itu matahari bersinar terik di pertengahan musim panas dengan cahaya yang membuat orang-orang menyipitkan mata mereka hanya untuk menatap kearah sekitar.

Bahkan lingkungan Holly Hills yang banyak ditumbuhi tanaman hijau pun terasa begitu terik dengan suhu diatas rata-rata biasanya.

AC mobil pun tak cukup membantu hawa panas yang datang dari luar hingga seorang anak laki-laki berusia 9 tahun menggelepar di kursi belakang mobil dengan 2 kancing teratas kemeja sekolahnya yang terbuka, menampilkan kulit putih cerah yang tak dimiliki orang-orang berkulit putih di Amerika.

Matanya yang kecil memejam dengan mulut sedikit terbuka untuk mengurangi rasa panas yang ia rasakan. Ia bangkit dari posisinya dan duduk dengan benar saat mobil yang ia naiki melewati gerbang besar sebuah mansion yang terletak jauh di pinggiran Holly Hills yang sepi.

Saat mobil berhenti di pelataran rumah besar itu, ia meraih tas sekolahnya dan begitu pintu mobil dibuka oleh seorang pengawal, ia langsung menurunkan tubuh kecilnya dari mobil dan berjalan cepat memasuki rumah demi menghindari cuaca panas diluar sana.

"Dimana Rudan?" Tanyanya ketika beberapa maid dengan sigap menghampirinya dan mengambil alih tas sekolahnya begitu ia memasuki rumah.

"Mr. Park belum pulang, tuan muda." Mereka menundukkan kepala saat berbicara, tak ada satupun yang berani berbicara padanya dengan menatap mata. Semuanya begitu patuh di rumah ini bagaikan kesetiaan seorang budak pada tuannya. Ia bahkan mulai terbiasa dengan sikap mengagung-agungkan yang diberikan para pekerja di rumah ini untuknya.

Setelah mendapatkan jawaban yang membuatnya mendengus kecil, kaki-kakinya melangkah menuju dapur dan membuka pintu kulkas tanpa segan, mengambil kotak banana-cheese brownies cake didalam sana dan membawanya menuju sofa tepat didepan televisi.

Wajahnya tak menampilkan ekspresi apapun saat mulai menyalakan televisi sambil memakan kuenya, bahkan saat televisi menampilkan film kartun kotak kuning yang populer di kalangan anak-anak pun ekspresi wajahnya masih sama kakunya.

Bocah 9 tahun itu duduk disana cukup lama sampai tak terasa setengah dari isi kotak kue diatas pangkuannya sudah berpindah ke perutnya. Matanya beralih pada jam dinding dengan malas dan berdecak keras begitu menyadari bahwa setengah jam telah berlalu tanpa kehadiran sosok yang ia tunggu sejak tadi; Rudan.

Ia lantas meletakkan kotak kuenya di atas meja sebelum berjalan meninggalkan ruang televisi menuju ke halaman samping rumah untuk mencari siapapun orang dewasa yang bisa memenuhi keinginannya saat ini.

"Kris!" Panggilnya dengan kening berkerut kesal. Pria dengan gunting rumput di tangannya yang tengah merawat tanaman anggrek di taman samping rumah lantas menoleh dan menatapnya penuh tanya, membuat Baekhyun melemparkan senyum penuh ejekan pada pria bertubuh besar itu. "Gunting rumput itu sama sekali tak cocok denganmu." Komentarnya penuh dengan sarkasme. Ia lebih dari tahu siapa Kris dan apa pekerjaannya yang sebenarnya, dan penampilan Kris saat ini sungguh membuatnya muak dan ingin mencaci maki pria itu sampai mati. Tapi ia kemudian teringat bahwa ada hal yang lebih membuatnya jengkel saat ini ketimbang Kris dan gunting rumputnya. "Antar aku menemui Rudan."

"Tapi dia sedang bekerja, Baek." Kris meletakkan gunting rumputnya diatas tanah sebelum melangkahkan kakinya lebih dekat pada anak laki-laki yang nampak terlihat pongah itu; dia adalah Park Baekhyun; Marquin Park, satu-satunya anak dibawah umur yang ada di kediaman Park sekaligus satu-satunya yang bisa membuat semua orang melakukan apapun yang dia inginkan.

"Persetan. Hanya antar aku ke tempatnya, Wu Yi Fan!" Baekhyun mulai tidak menyukai penolakan Kris, jadi ia menaikkan nada bicaranya dengan menyebalkan dan membuat Kris harus mengolah kembali emosinya saat ini. Kris tahu bahwa Baekhyun memiliki wajah manis yang akan membuat siapapun menyukai parasnya itu. Namun ketahuilah ada sifat iblis yang tersembunyi dibalik manisnya paras bocah itu yang membuatnya kerap kali ingin menenggelamkan Baekhyun di kolam renang kediaman Park.

"Aku akan mengantarmu saat kau memperbaiki cara bicaramu itu, tuan muda." Kris tak mau kalah dari seorang bocah berumur 9 tahun, jadi ia bersedekap dada dan menatap anak itu dengan tatapan yang sama angkuhnya hingga membuat Baekhyun menghentakkan kakinya jengkel.

"Okay! Okay! Uncle Kris, can you take me to Rudan's work place, please?" Sebenarnya hal yang paling memuakkan bagi Baekhyun adalah keadaan dimana ia harus memanggil orang-orang biadab di rumah ini dengan sebutan 'uncle'. Andai saja ia sudah dewasa dan tubuhnya cukup tinggi untuk dapat meraih seluruh kemudi mobil maka ia tak akan sudi meminta bantuan pada siapapun di rumah ini karena ia sangat membenci itu.

"Good boy. Karena kau bersikap baik maka aku akan mengantarmu menuju tempat Tuan." Kris menepuk kepala Baekhyun sebanyak 2 kali meski anak itu menepisnya dengan kasar. Tatapan matanya yang tajam bahkan tak dapat membuat Kris takut dan justru hanya membuat pria dewasa itu terkekeh melihatnya. Lantas Kris memberikan isyarat dengan dagunya pada Baekhyun agar anak laki-laki itu mengikuti langkahnya menuju garasi dan menaiki salah satu mobil disana untuk pergi ke tempat yang bocah itu inginkan.

"Terimakasih pada bokong sialanmu itu." Baekhyun mengatakannya tanpa rasa bersalah seraya membuka pintu mobil dan membantingnya keras-keras saat mereka sudah sampai di tempat tujuan tanpa peduli pada Kris yang meneriakinya agar ia memperbaiki cara bicaranya yang tidak pantas untuk ukuran anak berusia 9. Persetan, Baekhyun tak peduli dengan itu.

Tungkai kecilnya yang masih pendek itu kemudian berjalan memasuki gedung perusahaan berlogo hewan dengan kepala burung phoenix dan badan singa, Baekhyun bahkan pernah berkomentar pedas tentang logo ituㅡ

"Jelek sekali imajinasi si Rudan itu." Beruntung saat itu Rudan tak mendengarnya secara langsung atau ia akan dalam masalah besar karena telah menghina lambang dari kekuasaannya.

Kakinya sempat terhenti didepan lift setelah melewati lobi dengan mudah, security dan resepsionis bahkan tak menghalaunya saat ia dengan angkuhnya melangkahkan kaki-kaki kecil itu kedalam gedung. Tentu saja, siapa yang berani menghentikan famili dari Park.

Baekhyun memiliki tubuh yang terbilang kecil dibanding anak berusia 9 tahun lainnya, dan itu menjadi alasan kenapa ia berdiri didepan lift dengan mulut yang menggerutu; memaki desain lift beserta tombolnya yang cukup tinggi untuk ia raih seraya menunggu seseorang yang kebetulan mau menaiki lift itu agar ia bisa menumpang dan meminta tolong untuk memencetkan tombol lantai yang ia tuju. Sebenarnya dia bisa saja menaiki lift khusus eksekutif di bagian lain lobi dengan pegawai lift yang bisa mengantarnya ke lantai teratas. Namun dia tak ingin melakukan itu dan lebih memiliki untuk 'merakyat'.

"Hey, dik. Apa kau juga mau menggunakan lift?" Dan benar orang yang ia tunggu akhirnya datang. Jadi dengan sedikit enggan Baekhyun tersenyum tipis dan mengangguk seadanya.

"Boleh aku meminta tolong? Tanganku tak sampai." Ujarnya. Baekhyun sempat melihat penampilan orang itu, pria dengan tinggi sekitar 175 cm yang mungkin berusia sekitar 28 tahun. Dan ia tebak bahwa laki-laki berkacamata itu adalah karyawan baru di perusahaan ini karena seharusnya semua karyawan di perusahaan sudah mengenalnya sebagai bagian dari Park. Tapi pria itu tidak dan menyapanya selayaknya orang normal, keadaan yang sangat Baekhyun rindukan selama ini; berkomunikasi seperti orang normal pada umumnya tanpa adanya rasa tertekan dan hormat yang berlebihan dari lawan bicaranya hanya karena ia merupakan seorang Park.

"Tentu. Kau mau naik ke lantai berapa?" Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka dan beberapa karyawan wanita keluar dari sana. Mereka langsung menunduk dan tak berani menatap Baekhyun saat menyadari eksistensi Park kecil itu hingga membuat Baekhyun kembali jengkel setengah mati. Rudan dan segala yang berhubungan dengan Park membuat hidupnya menjadi lebih rumit.

"Lantai eksekutif." Baekhyun menjawab setelah para karyawan wanita itu pergi dan dia memasuki lift bersama pria tadi.

"Apakah kau kerabatnya sekretaris Lu? Biasanya tak ada yang diperbolehkan naik ke lantai eksekutif kecuali dengan seizin direktur. Dan kudengar direktur tidak menyukai kunjungan apapun yang tak behubungan dengan pekerjaan."

Pintu lift tertutup dan tombol lantai telah di tekan. Demikian dengan Baekhyun yang masih diam dan hanya meringis canggung. Pria ini benar-benar karyawan baru, pikirnya.

Di lantai 7, pria itu keluar dan pamit dengan ramah seraya mengatakan padanya untuk berhati-hati. Pun di lantai 7 sebenarnya ada beberapa karyawan yang berniat ingin menaiki lift namun mereka justru malah menghindar dan pergi setelah melihat sosok kecil didalam lift yang hanya menatap mereka tanpa minat. Baekhyun bersumpah ia tak pernah sekalipun memperlakukan karyawan-karyawan di Griffins dengan buruk, namun entah mengapa mereka seolah begitu takut padanya hanya karena 1 fakta menjengkelkan; ia adalah seorang Park yang juga merupakan anak yang mereka anggap spesial bagi Rudan.

"Terkutuklah kau Park Chanyeol dan semua harta kotormu itu." Baekhyun menggumamkan sumpah serapah dengan suara tertahan begitu pintu lift tertutup kembali secara otomatis dan lift kembali naik ke lantai teratas di gedung ini.

Suara denting pintu lift yang khas kemudian terdengar beberapa saat kemudian, membuat Baekhyun tak segan untuk melangkah lebih jauh didalam lantai teratas gedung perusahaan menuju ruangan di ujung lorong dengan pintu berdaun ganda yang terbuat dari kayu gaharu yang sangat mahal, disertai dengan handel pintu dari emas murni yang akan membuat pencuri menjadi kaya hanya dengan mengambil handel pintunya saja.

"Baekhyun? Sedang apa kau disini? Direktur sedangㅡ"

Baekhyun tak peduli, dia datang kesini bukan untuk mendengarkan perkataan Luhan yang hanya akan mengatakan omong kosong bahwa Rudan sedang sibuk, tak ingin di ganggu, dan bla bla bla.

Jadi tanpa permisi ia membuka pintu didepannya nyaris seperti orang yang mendobrak pintu hingga menimbulkan suara yang cukup keras bergema didalam ruangan direktur utama tersebut dan berhasil mengundang tatapan penuh tanya dari seseorang yang duduk di balik meja kerjanya serta tatapan terkejut dari seorang wanita yang duduk di sudut meja kerja sang direktur dengan posisi yang membuat Baekhyun mengernyit jijik seketika.

"Cih. Kau bekerja siang malam untuk menyewa jalang, hah?"

Pria di balik meja kerjanya ㅡChanyeol Park; Rudan Parkㅡ, menghentikan aktivitasnya seketika, ia menarik kacamata baca yang bertengger di hidung bangirnya untuk kemudian menatap Baekhyun dengan tajam meski tak sedikitpun membuat bocah itu gentar.

Sementara itu wanita diatas meja justru mengepalkan tangannya dengan wajah merah menahan amarah, "beraninya kauㅡ"

"Why? Am I wrong? Uang jajanku bahkan dapat membelimu, bitch." Baekhyun berujar datar tanpa emosi seolah apa yang baru saja ia katakan bukanlah hal yang kasar. Sesungguhnya Baekhyun hanya tidak suka saat melihat wanita-wanita menjijikan itu berkeliaran di sekitar Rudan. Bukan, bukan karena cemburu, justru lebih kepada karena ia membenci semua hal yang berhubungan dengan pria itu. Jadi apapun yang dilakukan Rudan akan selalu berdampak salah di mata Baekhyun.

"Kauㅡ"

"Keluar, Christine." Hanya satu kalimat bernada rendah nyatanya mampu membuat wanita itu urung untuk memaki Baekhyun. Yang tidak diketahui wanita itu adalah akan jadi malapetaka untuknya apabila ia benar-benar menyelesaikan makiannya terhadap Baekhyun karena Rudan tak akan membiarkan siapapun menghina Baekhyun meski jelas dari awal anak itulah yang mencari masalah terlebih dahulu.

Jadi mau tak mau wanita berpakaian minim itu berjalan penuh kekesalan ke arah pintu dengan tatapan tajam yang ia lemparkan pada Baekhyun meski anak itu tak mengindahkannya sama sekali.

"Ada apa?" Rudan, atau yang sering Baekhyun panggil Chanyeol, menautkan kedua jemari tangannya diatas meja, menatap Baekhyun dengan tenang dan menunggu dengan sabar atas apa yang kira-kira akan bocah itu ucapkan. Hal yang paling Baekhyun benci adalah harus menemuinya di kantor, Rudan tahu itu. Dan jika Baekhyun melakukannya atas inisiatif sendiri maka anak itu pasti memiliki kepentingan padanya.

Baekhyun menatapnya beberapa saat sebelum ia memutuskan untuk menekan sedikit egonya saat ini dan berjalan ke arah meja Rudan. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kertas lusuh yang dilipat hingga kecil, lantas meletakkan kertas itu di hadapan Rudan dengan kasar.

Rudan tak mengatakan apapun kala itu, tak juga bertanya tentang apa isi kertas itu dan langsung membukanya tanpa rasa curiga. Alisnya naik dengan skeptis ketika membaca kata demi kata yang tertera dalam kertas yang ternyata merupakan surat permohonan izin orang tua itu.

"Tur ke Forest Park?" Chanyeol mengalihkan pandangannya ke arah Baekhyun yang menatapnya tanpa beban. Anak itu lalu mengangkat bahunya acuh seolah tak terjadi apa-apa, "hanya tanda tangani saja."

Sepasang biru safir Chanyeol menajam, ia simpan kertas lusuh itu diatas meja dan fokus menatap Baekhyun penuh peringatan, "tidak" ujarnya dengan tegas, membuat ketenangan Baekhyun hilang dan berubah menjadi kerutan wajah penuh protes, "aku tidak akan mengijinkanmu mengikuti kegiatan tur apapun."

"No! You can't do that to me, Chanyeol!" Jeritnya dengan segenap emosi yang menguasainya. Tentu saja, ia sangat mengharapkan tur itu sudah sejak lama. Pergi menaiki bus yang sama dengan teman-teman sekelasnya, belajar di tempat yang baru dengan cara yang menyenangkan, itu pasti sangat menyenangkan meski harus ia akui bahwa ia tak mempunyai teman di kelasnya.

"I can" tandas Chanyeol hingga membuat mata Baekhyun menatapnya buas.

"I hate you son of a bitch!"

"Marquin Park! Watch your mouth!"

"YOU'RE NOT MY FATHER! NEVER! I HATE YOU PARK CHANYEOL!"

Baekhyun berteriak penuh amarah sebelum kemudian berlari keluar dari ruangan Chanyeol dengan bantingan pintu yang teramat keras, meninggalkan Chanyeol dan hati bajanya seorang diri.

Park Baekhyun, Marquin Park. Sudah 2 tahun berlalu sejak anak itu menyandang marga Park dan menjadi bagian dari Park. Tapi tak sedikitpun anak itu berubah ke arah yang lebih baik. Baekhyun sangat benci menjadi Park dan membenci Park itu sendiri.

Baekhyun mungkin adalah satu-satunya anak paling beruntung yang sekarang menyandang gelar sebagai calon pewaris Park di generasi kedua. Padahal dilihat dari sisi manapun Baekhyun adalah orang asing yang tak memiliki sedikitpun hubungan darah dengan Park.

Tapi anak itu begitu spesial di mata Chanyeol. Ia bahkan tak pernah sekalipun meledakkan kemarahannya yang luar biasa pada Baekhyun seburuk apapun anak itu bertingkah. Baekhyun adalah pengecualian dari semua kekejaman Rudan Park dari Griffins. Pria bengis itu bahkan mengizinkan Baekhyun memanggil nama Asianya; Park Chanyeol. Hanya anak itu satu-satunya yang ia izinkan memanggilnya dengan nama itu.

Baekhyun memang selalu bertingkah sesukanya, dan seharusnya Chanyeol marah akan itu mengingat bagaimana buruknya temperamen seorang Rudan Park. Namun Baekhyun selalu membuatnya kehabisan kata-kata dan membiarkan anak itu bertingkah sesukanya.

Chanyeol masih ingat saat pertama kali Baekhyun datang kedalam hidupnya yang gelap. Kala itu adalah pertengahan musim dingin di bulan Januari.

Siang itu Chanyeol baru saja pulang dari 'urusan pekerjaan'nya, menaiki mobil dengan Jongdae Kim sebagai supirnya. Chanyeol duduk di kursi belakang seraya membersihkan pistolnya dari cipratan darah menggunakan sapu tangan sementara Jongdae hanya menyetir dalam diam tanpa berniat sedikitpun membuka obrolan dengan sang tuan.

Jalanan lumayan licin karena salju tapi untungnya ban mobil yang besar dan di desain untuk jalanan ber es membuat Jongdae tak kewalahan membawa mobil dengan kecepatan hampir 80 km/jam.

Chanyeol duduk dalam diam, masih fokus dengan pistol di tangannya tanpa mau peduli dengan beberapa cipratan darah di kemeja dan jasnya. Wajahnya nampak begitu dingin dan kaku, membuat siapapun berpikir ulang untuk menyapanya.

Mobil yang mereka tumpangi bersama 6 mobil lainnya yang berada di depan dan di belakang mereka mulai memasuki kawasan pribadi milik Griffins dan dari kejauhan Jongdae bisa melihat gerbang utama kediaman tuan dari Griffins yang berdiri menjulang tinggi nan kokoh, siap menelan siapapun yang berani masuk kedalamnya tanpa izin.

Mobil nyaris masuk melewati gerbang seperti 2 mobil lainnya yang berjalan lebih dulu, namun Chanyeol memberi perintah untuk berhenti hingga membuat Jongdae menekan pedal rem sekaligus dan menyebabkan guncangan. Beruntung tak terjadi tabrakan beruntun dari 3 mobil di belakangnya.

Chanyeol mengalihkan fokusnya keluar jendela mobil, matanya beralih pada seorang anak laki-laki yang berdiri disana dengan beberapa pengawal yang mengelilinginya seolah menghalanginya untuk masuk. Mata safir Chanyeol berubah hidup saat melihatnya, melihat bagaimana anak itu menatap polos ke arah mobilnya dengan satu tas besar yang ada di punggungnya.

"Katakan pada mereka untuk membiarkan anak itu menemuiku." Ujarnya kala itu hingga membuat Jongdae memutar badannya ke belakang hanya untuk menatap sang tuan penuh tanya.

"Sorry, sir?"

"Aku tak akan mengulanginya, Kim." Chanyeol beralih menatap Jongdae dengan safirnya yang dingin dan pria itu langsung mengangguk paham tanpa menunggu perintah kedua yang akan berakhir buruk untuknya.

Lantas Jongdae menurunkan kaca mobilnya, berbicara dengan salah satu penjaga gerbang disana beberapa saat sebelum kembali menaikkan kaca mobil dan membawa mobil ke garasi utama kediaman Park.

Chanyeol tak mengatakan apapun saat ia turun dari mobil setelah seseorang membukakan pintu mobil untuknya. Ia hanya berjalan dalam diam menuju ruang kerjanya dan menyimpan pistol yang tadi ia bersihkan dengan apik di belakang punggungnya.

Ia mengganti setelannya yang terkena cipratan darah dengan cepat sebelum melangkahkan tungkai panjangnya menuju ruang kerja dimana ia menemukan anak tadi berdiri disana dengan 2 orang pengawal yang menjaganya.

Begitu Chanyeol masuk, 2 pengawal itu bergegas keluar, meninggalkan bocah itu bersama Chanyeol dan Kris juga Kyungsoo yang mengikuti langkah sang tuan.

"Duduk." Anak itu mengerutkan keningnya saat mendengar ucapan Chanyeol. Ia hanya tak mengerti apa maksud pria dewasa itu. Satu kata yang pria itu ucapkan membuatnya bingung.

Sementara itu Kyungsoo hanya meringis kaku saat mendengar perintah Chanyeol untuk anak itu, "kau boleh duduk" ujarnya demi memperjelas. Chanyeol bicara pada anak kecil tapi gaya bicaranya seolah ia sedang berbicara pada bawahannya.

"Siapa namamu?" Tanya Chanyeol setelah duduk di sofa yang berhadapan dengan anak tadi. Kakinya bersilang dengan tangan saling bertaut, wajahnya angkuh dan safirnya begitu menusuk. Namun anak itu sama sekali tak terlihat terancam atau takut sedikitpun.

"Kwon Baekhyun, Adarian Kwon."

Rahang Chanyeol mengeras saat mendengar nama 'Adarian'. Safirnya menyiratkan sebuah luka namun itu tak berlangsung lama saat ia kembali menatap tajam Baekhyun.

"Apa yang membawamu kesini?"

"My mother. Dia mengatakan aku harus memberikan ini padamu." Anak lelaki itu, Baekhyun, meletakkan sepucuk surat yang nampak lusuh diatas meja tepat di hadapan Chanyeol.

Untuk sesaat Chanyeol hanya terdiam, masih setia melabuhkan sepasang safir tajamnya kepada Baekhyun yang terlihat sama sekali tak gentar di hadapannya.

"Siapa nama ibumu?" Tanya Chanyeol masih dengan intonasi tenangnya.

"Kwon Yuri."

Chanyeol menatap lama pada sosok kecil itu, menyelami wajahnya dengan teliti meski tak menemukan kemiripan sedikitpun selain dari warna rambutnya yang hitam.

Lantas Chanyeol mengambil surat lusuh itu dari atas meja dan membukanya dengan yakin sebelum membaca deretan tulisan tangan yang tertera didalamnya secara seksama.

Halo, tuan Rudan Park dari Griffins.

Aku Kwon Yuri, apa kau masih mengingatku?

Mungkin saat surat ini sampai di tanganmu maka aku sudah tiada dan putraku lah yang menyampaikannya.

Sesungguhnya aku sangat mengasihani nasibku sendiri. Aku masih ingin melihat putraku tumbuh dewasa, tapi aku tak ditakdirkan untuk itu. Ada tumor di kepalaku dan dokter sudah tak bisa menanganinya. Aku menulis ini saat tanganku masih bisa kupakai untuk menulis jika kau ingin tahu. Saat aku menulis ini aku yakin bahwa waktuku tak tersisa banyak, maka akan kusampaikan apa yang ingin kusampaikan padamu.

Namanya Kwon Baekhyun, disini dia lebih dikenal dengan nama Adarian Kwon. Baekhyun tahun ini berusia 6. Dia lebih pendiam dari kelihatannya. Aku bahkan terkadang khawatir tentang kepribadiannya. Tapi diluar itu dia anak yang penurut dan cerdas. Dia tak punya siapa-siapa lagi selain aku. Jadi saat aku pergi aku tak tahu harus menitipkannya pada siapa. Aku tak ingin hak asuhnya diambil oleh panti sosial, aku lebih tenang bila ada seseorang yang aku percaya menjaganya untukku.

Aku banyak mencari tentangmu. Dan kejadian 6 tahun silam membuatku percaya tentang kabar angin yang kudengar ketimbang informasi yang kudapat dari internet. Kupikir aku tahu siapa kau dan kenapa kau terlibat masalah semengerikan itu di usiamu yang masih belia.

Apa kau masih ingat bahwa aku boleh meminta sesuatu sebagai balasan karena telah menolongmu malam itu? Sesungguhnya aku tak ingin mengungkitnya. Tapi kupikir aku sangat membutuhkannya saat ini.

Tolong jaga Baekhyun untukku. Itulah yang aku pinta darimu, sir Park.

Aku yakin kau bisa kupercaya. Aku tahu kau akan menepati janjimu dulu tak peduli siapapun kau dan apa pekerjaanmu. Hanya jaga dia untukku sampai dia cukup usia untuk bisa melakukan segala hal seorang diri dan dapat mencari sumber penghidupannya sendiri.

Terimakasih atas kemurahan hatimu. Semoga Tuhan akan membalasnya.

Salam hangat, Kwon Yuri.

Rahang Chanyeol mengeras kala selesai membaca deretan kalimat yang tertulis di surat itu. Dunia pasti sedang bercanda dengannya. Menjaga seorang bocah laki-laki berusia 6 tahun? God damn it!

Tapi, jika diingat kembali, kejadian itu telah berlalu selama 7 tahun. Sementara Yuri mengatakan di surat itu bahwa kejadian yang hampir merenggut nyawanya adalah 6 tahun lalu, jadi dia kemudian bertanya pada Baekhyun, "berapa usiamu?" Chanyeol melipat kembali surat lusuh itu dan menyimpannya di tempat semula, kemudian menatap bocah didepannya lamat-lamat. Dia baru menyadari Baekhyun memiliki warna bola mata yang sangat unik seperti galaksi.

"Seven? Maybe..." anak itu menjawab dengan ragu disertai bahunya yang terangkat santai. Dan jawaban itu berhasil meninggalkan sebuah kerutan di dahi Chanyeol sedalam kurang dari 5 mm. Surat itu dibuat 1 tahun yang lalu, lantas kemana saja anak itu selama ini sampai-sampai baru datang padanya saat ini?

"7 kau bilang? Ibumu mengatakan di surat itu bahwa kau berusia 6 tahun, Kwon Baekhyun. Apa kau baru datang kesini setelah 1 tahun ibumu pergi?" Kerutan di dahi Chanyeol semakin dalam. Pria Asia itu menatap Baekhyun dengan tajam dan intimidatif, dan sayangnya Baekhyun tak mempedulikan itu dan tetap bersikap acuh.

"Why? Apa yang tertulis disana?" Sepasang mata kecil yang indah itu beralih menatap sepucuk surat dari ibunya untuk Chanyeol yang kini berada di atas meja. Ibunya berpesan bahwa ia tak boleh membaca isi surat itu, dan ia menuruti titah terakhir sang ibu meski ia membawa surat itu bersamanya selama ini. "Dia tak mengatakan kapan aku harus memberikan surat itu. Jadi bukannya tidak masalah kapanpun aku memberikannya padamu?" Baekhyun menatap Chanyeol congkak. Bagaimana sepasang mata kecil itu menatapnya sungguh membuat Chanyeol terhibur. Satu fakta yang menarik, anak laki-laki berusia 7 tahun itu kini tengah memelototi seorang Rudan Park tanpa rasa takut sedikitpun.

"Ibumu.. dia berkata agar kau tinggal bersamaku." Chanyeol menunjuk Baekhyun dengan jari telunjuknya hingga anak itu menaikkan alis penuh tanya.

"No, thanks. I can take care of myself."

Chanyeol mendengus saat mendengar ucapan penuh percaya diri dari bocah berumur 6 tahun itu. Kemudian melayangkan sebuah peringatan begitu melihat Baekhyun hendak berdiri dengan tas ransel di punggung kecilnya, "siapa yang mengizinkanmu untuk pergi, Mr. Park?"

Kerutan di dahi Baekhyun semakin terlihat jelas, matanya yang beberapa saat lalu menatap pintu keluar kini beralih pada Chanyeol kembali disertai gurat wajah tak suka, "excuse me? You called me what?"

"Mulai saat ini, namamu adalah Park Baekhyun dengan nama Amerika Marquin Park. Kau adalah bagian dari Park mulai saat ini sampai waktu yang tidak ditentukan."

"Sir" Tangan Chanyeol terangkat keatas untuk menghalau sederet frasa yang hendak diucapkan Kris hingga pria yang lebih tua itu kembali bungkam.

"Antar dia menuju kamarnya, Kyungsoo." Pemimpin Griffins itu memberikan perintah pada Kyungsoo yang berdiri di belakang kursinya bersama Kris tanpa menatap langsung bawahannya tersebut, dan Kyungsoo menyanggupinya tanpa kata. "Wait! What" Baekhyun nyaris memekik protes sebelum Kyungsoo memotong ucapannya dan menggiring anak itu menuju salah satu kamar yang berada di rumah ini, "mari saya antar, tuan muda."

"Sir, apa yang Anda pikirkan sehingga menerima orang asing begitu saja di rumah ini?" Kris melayangkan protesnya yang tertunda segera setelah Baekhyun dan Kyungsoo keluar dari ruangan. Rudan Park adalah jenis manusia yang tak suka bersosialisasi dan tak menyukai keramaian. Pria itu lebih banyak menyendiri seumur hidupnya. Bahkan di rumah sebesar istana ini ia hanya tinggal sendiri dengan para pekerja yang di tempatkan di paviliun belakang yang berjarak 200 meter dari bangunan utama. Lalu beberapa saat yang lalu pria anti-sosial ini baru saja menerima seorang bocah laki-laki berusia 7 tahun dengan asal-usul tidak jelas hanya karena isi dari sepucuk surat lusuh yang tak meyakinkan. Tentu hal itu mengundang tanya dari Kris yang notabenenya merupakan orang terdekat Chanyeol dalam pekerjaannya.

"Kau masih ingat saat kelompok Bortalino menyerangku di malam akhir musim gugur 7 tahun lalu, Kris?" Pria yang tahun ini menginjak usia 25 itu bertanya dengan tenang, air mukanya bahkan tak menampakkan emosi apapun dan membuat Kris justru merasa tertekan dalam keadaan yang sunyi itu.

"Yes, sir. Bagaimana mungkin aku melupakan hal paling memalukan bagiku sebagai pengawal anda yang tak becus menjaga anda ini. Itu adalah malam paling buruk dalam hidupku dimana kami nyaris kehilangan anda." Jawab pria peranakan 2 negara itu dengan rinci. Tentu tak seorang pun bagian dari Griffins lupa akan hal memalukan itu, dimana mereka tak dapat menjaga tuan mereka hingga sang tuan menghilang semalaman dan diduga tewas dalam aksi penyerangan kelompok Bortalino dari Italia.

"Seorang dokter yang menyelamatkanku malam itu adalah Kwon Yuri, ibu dari anak laki-laki berusia 7 tahun itu." Meskipun Chanyeol tak pernah mengatakan kata terimakasih secara lisan pada wanita itu, namun jauh dalam hatinya ia merasa sangat berterimakasih dan merasa beruntung telah dipertemukan dengan wanita itu pada saat ia dalam keadaan sekarat. Andai kata malam itu Yuri tak memberanikan diri untuk menolongnya, maka saat ini mungkin Griffins tak akan berdiri dengan sekokoh dan sehebat sekarang dalam genggaman tangannya. "Aku memang bukanlah orang baik, tapi aku masih mengerti apa itu terimakasih dan bagaimana cara membalasnya."

Sementara itu Kris yang masih dalam fase terkejut terdiam cukup lama. Pantas sang tuan mengizinkan anak itu tinggal di kediamannya, pikirnya. Rupanya sang tuan memiliki hutang budi yang besar terhadap mendiang ibu dari Kwon Baekhyun. Tentu dia dapat mengerti alasan tersebut meski baru kali ini sang tuan bercerita bagaimana dia bisa selamat dari semua luka tembak itu dan pulang ke rumah dalam keadaan luka yang telah terjahit rapi 7 tahun lalu.

"But, sir.. he's a child. And he's also a civilian. It's too dangerous let him stay here.. with Griffins. You can't bring him to our dangerous life just like that." Kris berusaha menjelaskan sebaik mungkin pemahamannya pada Chanyeol. Ini bukan hanya perkara tentang balas budi, setidaknya tak sesederhana itu. Mereka hidup dalam lingkaran dosa yang berbahaya. Teramat sangat berbahaya untuk membawa anak kecil dalam kehidupan mereka. Dan Chanyeol tak bisa mengiyakan begitu saja permintaan apapun yang tertulis didalam surat lusuh itu karena jika demikian pria itu sama saja dengan membawa Baekhyun kedalam bahaya yang sangat besar. Risikonya ada diantara hidup dan mati. "Setidaknya jika pun anda ingin membalas budi dengan merawat anak itu, mungkin anda bisa mengirimnya ke panti asuhan atau menitipkannya pada orang kepercayaan anda yang jauh dari tempat ini, tersembunyi dan aman tentunya. Terlalu beresiko membiarkannya tinggal di kediaman utama ini, sir."

"Jadi, kenapa? Apa kau merasa bahwa kau tidak mampu menjaga anak berusia 7 tahun?" Chanyeol bertanya penuh sarkasme yang membuat Kris menelan kembali semua argumennya. Karena percuma, Rudan Park yang keras kepala hanya akan mengambil keputusan yang menurutnya benar. Dan akan selalu benar jika pria itu sudah memutuskan.

"Bukan begitu, sir" setidaknya Kris harus menyelamatkan sedikit dari harga dirinya yang masih tersisa dihadapan sang tuan, "tapi apakah anak itu benar-benar tidak memiliki sanak saudara lainnya? Terutama seorang ayah, marganya sama dengan ibunya."

"Itu adalah tugasmu untuk mencari tahu." Chanyeol berdiri, menggulung lengan kemejanya sampai sikut kemudian melangkah pergi meninggalkan Kris dan keterdiamannya.

Dan sampai saat ini Baekhyun tak pernah menceritakan kemana ia pergi selama 1 tahun terakhir sebelum memutuskan untuk memberikan surat itu padanya. Yang ia tahu dari penyelidikan yang telah dilakukan anak buahnya adalah bahwa Baekhyun hidup di jalanan dan bertahan hidup dengan mencuri. Anak itu begitu tangguh dan tak punya rasa takut, membuat Chanyeol diam-diam mengapresiasi setiap tindakan kurang ajar yang Baekhyun lakukan padanya.

Kwon Baekhyun adalah caranya untuk membalas kebaikan Kwon Yuri malam itu. Untuk itu Baekhyun begitu berharga baginya, satu-satunya yang begitu Rudan Park pedulikan dan spesialkan. Sayangnya Baekhyun tak pernah bersyukur akan itu karena baginya menjadi orang yang spesial bagi Rudan Park merupakan suatu roda kesialan yang tak berujung baginya.

Missouri ●

Malam semakin larut dan langit semakin hitam memekat saat jam melaju menuju ke angka 12 setelah melewati angka 11 dengan ketukan yang membosankan. Suara hewan-hewan malam terdengar di sekitar kolam ikan buatan di sebelah paviliun belakang kediaman Park malam itu, diiringi dengan suara kecipak air begitu sepasang kaki kecil berayun pelan disana.

Baekhyun duduk di tepi kolam berlapis rumput itu dalam diam, sesekali kakinya menepuk air kolam dengan kesal dan menyebabkan air beriak dengan ikan yang berhamburan pergi menyelam lebih dalam menjauhi permukaan air.

Air mukanya nampak menahan kekesalan sekaligus kekecewaan yang tak dapat ia refleksikan lewat amarahnya siang tadi. Ia bahkan tak menyadari sepasang sepatu yang melangkah semakin dekat ke arahnya dengan langkah-langkah tenang tanpa suara hingga sosok itu berdiri 2 langkah di belakangnya, menciptakan bayangan dari hasil sorotan lampu taman yang mampu menutupi tubuh Baekhyun dan membuat anak itu tersentak kala menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri di belakangnya.

Lantas saat kepala Baekhyun berputar dengan cepat, anak itu justru mendengus kesal dan hendak berdiri untuk meninggalkan sosok itu sendiri sebelum bahunya ditekan untuk duduk kembali disana dengan sosok yang kini menemaninya.

"Apa maumu?" Sosok itu, Chanyeol, bertanya tanpa basa-basi dan dengan telak berhasil membuat Baekhyun semakin jengkel padanya.

Baekhyun tertawa penuh ejekan, menatap hamparan air didepannya sebelum menjawab sinis, "serius? Apa kau tidak punya otak?"

Beberapa saat Chanyeol hanya menatap anak 9 tahun di sebelahnya tanpa kata. Sudah terlalu sering ia mendengar umpatan dan makian yang terlontar dari bibir kecil itu, dan tadi siang adalah suatu hal yang besar dimana Baekhyun meneriakinya dengan kalimat 'son of a bitch'. Anak itu sudah benar-benar rusak oleh pergaulan jalanan.

"Tidak semua hal yang kau inginkan di dunia ini akan kau dapatkan." Pada akhirnya hanya itu yang Chanyeol katakan setelah beberapa saat hanya membiarkan Baekhyun menyimpan amarahnya.

"Tapi ini sudah yang ke-3 kalinya kau menolak untuk mengizinkanku pergi mengikuti tur, Chanyeol!"

Chanyeol ingat bahwa ia tak pernah membiarkan siapapun memanggil nama Asianya selama ini, tapi Baekhyun selalu dengan lantang memanggilnya demikian tanpa rasa takut. Lalu entah bagaimana ia mengizinkan anak itu memanggilnya Chanyeol begitu saja.

"Not safe."

"Geez! Kau selalu mengatakan itu. Aku tahu siapa kau, dan aku selalu baik-baik saja selama ini. This is just study tour, Rudan! Please.." Kali ini Baekhyun memilih untuk tak beradu keras kepala dengan Chanyeol karena anak itu tahu bahwa Chanyeol tak akan pernah mau mengalah. Ia menatap Chanyeol dengan penuh harap, berharap pemilik mata safir itu mengasihaninya dan mengabulkan permintaan kecilnya.

"Sekali tidak, tetap tidak, Marquin Park!" Chanyeol menjawab dengan tegas.

"Kau menyebalkan! Untuk apa kau memaksaku tinggal di rumah ini jika kau mengekangku seperti ini? Aku sudah katakan padamu bahwa aku bisa menjaga diriku sendiri!" Kedua tangan kecil Baekhyun mengepal dengan kesal. Chanyeol membuatnya merasa bahwa hidupnya tak lagi memiliki kebebasan. Ada banyak hal yang pria itu larang untuk ia lakukan. Begitu banyak pantangan untuknya. Hidup dengan Chanyeol tak lebih baik dari hidup di jalanan.

"Kau pikir aku akan percaya pada anak berusia 7 tahun yang mengatakan 'I can take care of myself', hm? Of course, no. Kau harus belajar untuk merelakan, Marquin Park. Karena tidak semua hal di dunia ini akan berjalan sesuai kehendakmu." Chanyeol berdiri dan menepuk celananya yang berdebu, kemudian berbalik dan berjalan menjauh.

Namun, pria itu hanya pergi sejauh beberapa meter saat justru mendengar suara debur air di belakangnya dan teriakan panik Baekhyun yang meminta pertolongan dengan suara yang nyaris lenyap ditelan dinginnya air.

Maka tanpa pikir panjang Chanyeol berlari ke arah sana dan masuk kedalam air tanpa melepas sepatunya terlebih dahulu. 2 tahun hidup bersama Baekhyun cukup membuatnya tahu bahwa bocah angkuh itu tidak bisa berenang.

Jadi ia menyelam kedalam air kolam ikan yang cukup dalam itu untuk meraih tubuh Baekhyun yang tengggelam nyaris menyentuh dasar kolam dan membawanya kembali ke permukaan.

"Baekhyun Park! Open your eyes!" Chanyeol menepuk-nepuk pipi Baekhyun dan menaikkan nada bicaranya hingga beberapa penjaga didekat paviliun berlari ke arah mereka tak kalah paniknya; takut apabila terjadi hal yang buruk pada bos mereka.

"Sirㅡ"

"Ambilkan handuk untuknya dan telepon Bastian untuk datang kemari secepatnya!" Chanyeol berkata masih dengan usahanya untuk menyadarkan Baekhyun, ia menekan dada Baekhyun berkali-kali, berharap air yang masuk ke paru-paru anak itu akan terdorong keluar. Namun nyatanya tak semudah itu hingga ia harus melalulan CPR pada Baekhyun.

Pria itu melakukannya sebanyak 2 kali tiupan nafas dan berhasil dengan Baekhyun yang terbatuk-batuk bersama air yang keluar dari mulutnya. Wajah anak itu memucat dan ia menatap Chanyeol lamat-lamat sebelum kemudian berkata, "itu ciuman pertamaku, Rudan bodoh."

Mata Chanyeol memejam penuh kelegaan. Orang-orang yang melihat seberapa paniknya ia beberapa saat lalu tentu akan mengetahui betapa berartinya sosok kecil itu bagi seorang Rudan Park. Mendengar celotehan menyebalkan anak berusia 9 tahun itu akan jauh lebih baik bagi Chanyeol ketimbang hanya kebisuan yang ia dapat.

"Itu bukan ciuman, Baekhyun." Chanyeol menarik nafasnya jenuh. Bahkan disaat pertama kali membuka mata pasca tak sadarkan diri pun anak itu tetap mengucapkan hal-hal menyebalkan yang membuat darahnya mendidih sampai titik maksimal.

"Bibir bertemu bibir, itu ciuman." Tukas Baekhyun yang masih kukuh dengan pendapatnya bahwa yang Chanyeol lakukan tadi adalah sebuah ciuman.

"Kau akan mengerti saat dewasa nanti." Dan Chanyeol benar-benar tak ingin memperpanjang masalah 'ciuman' itu, jadi dia lebih memilih menggapai tubuh Baekhyun yang masih lemas dan membawanya masuk kedalam rumah dengan para pelayan yang telah menyiapkan handuk serta minuman hangat untuk tuan kecil mereka.

"Rudan, kepalaku pening." Gumamnya saat Chanyeol menurunkan tubuh basahnya di atas sofa. Lantas Chanyeol mengambil handuk yang diberikan pelayannya dan membalut tubuh Baekhyun menggunakan itu. Telapak tangannya yang besar mengusap kening Baekhyun untuk menyingkirkan anak rambutnya yang menutupi dahi hingga ia bisa menempelkan telapak tangannya disana dan merasakan suhu tubuh Baekhyun yang mulai naik.

Semenyebalkan apapun anak itu, kelemahannya adalah air. Baekhyun tak bisa berenang dan saat kejadian seperti ini terjadi, anak itu akan langsung mengalami demam. Ini bukan yang pertama kalinya, dan Chanyeol pun bukan hanya sekali menawarkan anak itu untuk belajar berenang pada ahlinya, namun selalu mendapatkan penolakan entah apa alasannya.

"Dimana Oh Sehun?" Tanya Chanyeol dengan nada yang dingin setelah memeriksa suhu tubuh Baekhyun. Keningnya berkerut dengan alis yang nyaris bertaut saat tak juga mendapati kedatangan orang yang dia tunggu. Padahal sebenarnya wajar jika pria itu belum sampai karena perjalanan dari tempat tinggalnya menuju ke rumah Chanyeol tak sesingkat itu.

"Masih dalam perjalanan, sir."

Chanyeol menjadi semakin terlihat gelisah, ia bahkan tak berhenti menggenggam tangan kecil Baekhyun yang menggigil diatas sofa. Satu-satunya yang dapat membuat seorang Rudan Park kehilangan ketenangannya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Park Baekhyun. Anak itu adalah kelemahannya. Dan seharusnya Chanyeol sadar bahwa menjadikan anak itu sebagai kelemahannya justru akan membuat semua musuh-musuhnya dapat menyerangnya dengan mudah.

"Aku datang. Bagaimana keadaan tuan muda? Apa yang terjadi? Dia terjatuh lagi ke kolam berenang?" Sehun bertanya sambil membuka tas dokter yang dibawanya dan mengeluarkan alat-alat yang ia butuhkan dari sana dengan gerakan cepat.

"Lakukan saja tugasmu, Oh."

"Aku kan hanya bertanya." Sehun bergumam kekanakkan. Lantas ia mulai memeriksa Baekhyun dimulai dari suhu tubuhnya, detak jantung, pernafasan, bahkan sampai ke warna kulit sebelum menuliskan resep obat. "Ini obat yang harus kau beli di apotek. Seperti biasa, dia hanya demam sebagai respon kejut tubuhnya atas kejadian ini. Baekhyun juga harus segera mengganti pakaiannya yang basah. Pastikan suhu kamarnya hangat dan berikan dia sup hangat untuk saat ini. Selebihnya dia baik-baik saja." Tuturnya saat memberikan selembar kertas berisi resep obat yang harus dibeli.

"Oh Sehun," pria dengan nama Amerika Bastian Oh itu lantas menoleh dengam cepat pada anak laki-laki 9 tahun yang baru saja memanggilnya, lantas menatap anak itu dengan kerutan penuh tanya di dahinya, "apa kau merasakan sakit di daerah lain?"

"Antarkan aku ke kamarku." Baekhyun merentangkan tangannya, memberikan tanda pada Sehun bahwa pria itu harus menggendongnya. Sehun sendiri justru terdiam beberapa saat, mempertimbangkan apakah ia harus menuruti tuan mudanya atau meminta izin pada sang tuan yang sesungguhnya karena semua orang tahu bahwa tuan muda itu adalah hak paten milik tuan besar rumah ini.

"Sir, bolehkahㅡ"

"Turuti saja maunya." Chanyeol menyela bahkan sebelum Sehun menyelesaikan ucapannya. Pria itu justru berpaling dan melangkahkan sepasang tungkainya untuk meninggalkan Baekhyun dan Sehun yang masih berada disana.

"Baiklah, ayo naik pesawat terbang, tuan muda Park." Sehun tersenyum lebar lantas mengangkat tubuh kecil Baekhyun dan menggendongnya di punggung tanpa mempedulikan pakaiannya yang ikut basah karena Baekhyun. Pria itu berlari dengan riang kesana kemarin dengan Baekhyun di punggungnya dalam perjalanan menuju kamar Baekhyun di lantai 2. Dan itu berhasil membuat Baekhyun tertawa dengan suara khasnya meski sekarang terdengar agak berbeda karena flu.

"Hupla! Mandilah dengan air hangat dan ganti pakaianmu. Jangan lupa untuk minum obat dan cepat beristirahat," Sehun menurunkan Baekhyun di kamar mandi yang ada di kamarnya, menyalakan kran air dan mengaturnya agar mengeluarkan air hangat yang kemudian perlahan mengisi bathtub disana, "aku pergi. Semoga lekas sembuh, young master." Pria itu mengusap pipi Baekhyun, tersenyum lembut ke arah anak anjing liar itu sebelum beranjak dari kamar mandi, meninggalkan Baekhyun yang tetap berdiri diam dengan mata yang masih tertuju pada Sehun sebelum kemudian dia memanggil pria itu, "Bastian!" Begitu panggilannya hingga Sehun berbalik dan menatapnya penuh tanya.

"Ada apa?" Sehun sedikit mengerutkan keningnya, menanti-nanti saat dimana Baekhyun akan melontarkan kalimat yang selanjutnya hingga anak yang berdiri didalam kamar mandi itu menatapnya penuh keyakinan, "this is about Rudan."

Missouri •

Termenung, Baekhyun duduk didepan meja rias dimana diatasnya terdapat banyak sekali koleksi action figure dari deretan seri Marvel dan DC Comics. Tangannya yang memegang handuk bergerak perlahan mengusap rambutnya yang basah dengan pikiran yang tak ada ditempatnya. Rasa pening dan demamnya pun tak ia indahkan kala itu karena yang ia pikirkan saat itu hanyalah penggalan ucapan Sehun sebelumnya.

"Rudan hanya tak mau melakukan kesalahan yang sama. Rasa kehilangan itu sangat menyakitkan." Sehun berbicara padanya seolah ia adalah orang dewasa. Meski begitu Baekhyun dapat memahami maksud pembicaraan Sehun yang dapat dia simpulkan bahwa Chanyeol tak ingin kehilangan dia, itulah alasan kenapa Chanyeol bersikap posesif seperti ayahnya sendiri.

"Aku hanyalah anak kecil yang dia pungut." Baekhyun bergumam kecil, menatap pantulan dirinya di cermin dengan lamat seraya meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dikatakan Sehun tidaklah benar kerena tak ada alasan bagi Chanyeol untuk takut kehilangannya mengingat bahwa mereka hanya orang asing. Bagi Baekhyun, keegoisan Rudan hanyalah sebagaimana bentuk dari penyiksaan atas hidupnya yang dapat dikatakan hanya menumpang pada Rudan seperti benalu.

To Be Continue •

Hai haiii..

I'm comebaaaackkk dengan ff bayuuu huhuhu

Tema nya biasa lah crime lagi tapi ga terlalu crime wkwkk

Buat ff ini mau liat reaksi readers dulu, kalo bagus ya dilanjut, kalo engga ya unpublish paling hehehe

Kutunggu responnya guys wkwkk