Naruto by Masashi Kishimoto

Saya hanya meminjam karakter di dalamnya dan sama sekali tidak mengambil keuntungan materi dari fanfiksi ini.


To Be Loved

Terinspirasi dari Beautiful Disaster karya Jamie McGuire

Spesial untuk adikku, Rie. :)


Bab I

Meet


Dari dulu Sakura tidak pernah menyukai suasana baru. Baginya suasana baru tak lebih dari keluar dari zona aman dan nyaman yang selama ini dihuninya. Sama seperti saat ini, dengan cardigan berwarna krem yang mampu menyembunyikan baik semua lekuk tubuhnya maupun eksistensinya di antara gadis-gadis dengan warna-warna cerah pakaian yang mereka kenakan, dia duduk di barisan depan, dekat dengan segerombolan gadis yang bersorak-sorak meneriakkan nama-nama pemuda yang sedang menunjukkan kebolehan mereka dalam pertandingan persahabatan melawan Universitas Kiri.

"Astaga, Naruto! Kau akan kubunuh kalau sampai gagal mengalahkan anak-anak Kiri!"

Sakura mendengus kecil, menyamarkan tawanya, ketika mendengar seruan Ino pada kekasihnya. Ino adalah satu-satunya alasan kenapa dia mau dengan repot-repot meninggalkan dunianya dan datang menonton pertandingan basket di gelanggang olahraga kampusnya.

"Kenapa melihatku seperti itu?"

Sakura hanya mengangkat bahunya. Dia terkikik pelan. "Di antara teriakan penyemangat dari gadis-gadis yang ada di sini, kupikir teriakanmu yang paling menyedihkan. Kasihan Naruto."

Ino mengibaskan tangannya, sambil berdecak. "Ah, Naruto akan berterima kasih padaku nanti." Ino tertawa, mengedipkan mata pada Sakura, sebelum kembali melihat jalannya pertandingan dan berteriak penuh semangat ketika Naruto mencetak angka dari jarak three point.

Sakura menolehkan kepalanya, memutar bola matanya ke arah Ino, tapi tetap tersenyum melihat kegembiraan Ino ketika Naruto mencetak angka penting. Ino adalah sahabat karibnya sejak masih di bangku sekolah. Meski Ino termasuk siswi yang populer sejak masih sekolah, persahabatan mereka tak pernah putus. Memang ada kalanya hubungan mereka tak selalu mulus, tapi tetap saja bagi Sakura Ino adalah sahabat terbaiknya. Bahkan ketika Sakura memutuskan melanjutkan hidupnya di sini, di Konoha, Ino rela meninggalkan keluarga dan teman-temannya agar bisa kuliah di Universitas yang sama dengan Sakura. Gadis itu tahu bahwa tujuan Sakura melanjutkan pendidikannya di Konoha bukan sekadar karena misi akademiknya, melainkan karena dia ingin melarikan diri dari masa lalu yang akan terus melekat pada dirinya jika dia masih tinggal di tempat asalnya.

Sakura hanya mengingat kedua bola mata Ino menatapnya ngeri diiringi teriakan sebelum dirinya tertarik dalam pusaran kegelapan.

.

.

"Brengsek! Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, kau akan berurusan denganku!" Ino menatap kesal ke arah Sasuke.

"Tenang, Sayang. Sakura-chan pasti akan baik-baik saja. Kepalanya hanya terkena bola basket, sebentar lagi dia pasti sadar." Naruto berusaha menenangkan Ino yang masih duduk di ruangan kesehatan, menunggui Sakura yang pingsan.

"Hanya terkena bola basket? Tenang? Bagaimana aku bisa tenang?! Dia pingsan, Naruto!"

"Terkena lemparan bola basket tidak akan membuatnya mati."

Ino melotot marah ke arah Sasuke. Bisa-bisanya pemuda itu sama sekali tidak merasa bersalah setelah apa yang dia lakukan pada Sakura. Sakura pingsan ketika bola basket yang dilempar Sasuke di menit-menit akhir pertandingan meluncur keras ke arah bangku penonton dan tepat mengenai belakang kepala Sakura.

"Kau!" Ino hampir-hampir tak bisa menahan amarahnya pada Sasuke. Melihat gelagat Ino yang siap meledakkan amarahnya, Naruto segera mengambil inisiatif.

"Sayang, tenang!" Naruto beralih ke arah Sasuke. "Dan kau Teme, berhenti bersikap seolah-olah kau tidak salah!"

Sasuke hanya mengangkat kedua bahunya dengan acuh tak acuh; Ino membuang muka ketika melihatnya. Naruto menghela napas lega. Setidaknya untuk sementara situasi ini bisa dikendalikannya. Dia tidak butuh situasi panas tambahan. Pengalamannya bersahabat karib dengan Sasuke sudah membuahkan banyak situasi-situasi tak mengenakkan yang berhubungan dengan kehidupan romansanya.

Sasuke si Uchiha dingin, brengsek, dan sialnya tampan, jenius, dan berbakat dalam olahraga. Lebih sialnya lagi dialah sahabat karib Namikaze Naruto yang hubungan persahabatan mereka sudah bisa dijadikan sejarah dalam pengantar masa orientasi mahasiswa baru di kampus mereka. Semua anak mengetahui bahwa Sasuke adalah sahabat karib Naruto. Dan Naruto kadang sama sekali tidak bersyukur dengan kenyataan itu.

Sudah berulang kali hubungan Naruto dengan gadis-gadis pujaannya kandas akibat persahabatannya dengan Sasuke. Entah itu karena si gadis mengira Naruto sama seperti Sasuke, pria sialan yang bisa meninggalkanmu kapan saja, atau karena sahabat si gadis dicampakkan oleh Sasuke yang berefek pada dua kubu berlawanan yang jika dalam dunia magnet saling tarik menarik, tapi dalam kehidupan nyata Naruto berani bertaruh itu berarti selesai. No happy ending!

Kali ini Naruto tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Ino adalah kekasihnya saat ini. Bohong besar jika dia tidak mencintai gadis itu setengah mati. Ino berbeda dari gadis-gadis lain yang pernah berkencan dengannya. Bukan berarti Naruto tidak pernah menjalani hubungan-hubungan sebelumnya dengan serius. Tapi kali ini dia tidak main-main, dia tidak akan melepaskan Ino. Pikiran Naruto teralih pada raut wajah Ino yang seperti menahan sakit.

"Ada apa?" Naruto tampak khawatir. Ino adalah gadis yang kuat, dia tidak akan menunjukkan kelemahannya jika keadaan itu tidak benar-benar terpaksa. Salah satu hal dari dirinya yang membuat Naruto menyukainya.

"Tidak, aku tidak apa-apa." Lain di mulut, lain di hati. Ungkapan itu mungkin cocok untuk keadaan Ino saat ini. Naruto yakin ada yang disembunyikan Ino.

"Tidak, kau tidak tidak apa-apa." Naruto khawatir dengan keadaan Ino.

"Tidak, aku, ah..." Ino meringis, memegangi perutnya.

Naruto terkesiap. "Ino, jangan katakan bahwa kau belum mengisi perutmu dari pagi!"

Ino menggelengkan kepalanya. Dia masih menatap Sakura dengan khawatir. "Aku tidak apa-apa."

Ino memang mempunyai penyakit maag yang cukup parah. Kebiasaan gadis itu makan tidak tepat waktulah yang membuat penyakitnya semakin parah. Naruto berani bertaruh kalau hari ini Ino belum mengisi perutnya sama sekali. Ino tidak terbiasa sarapan dan sekarang sudah sangat lewat untuk jam makan siang.

"Ya, Tuhan! Bisakah sekali saja kau tidak melupakan waktu makanmu!" Naruto menatap Ino tajam. Ino adalah satu dari sekian gadis yang Naruto kenal sangat menghargai ketepatan waktu, kecuali waktu makannya. "Ke kantin sekarang, kita makan!"

"Tidak! Aku tidak apa-apa. Ini sudah biasa dan akan baik-baik saja."

Wajah Naruto mengeras. Satu-satunya sifat Ino yang sulit diatasinya adalah sifat keras kepala gadis itu. "Ino, jangan uji kesabaranku. Kita makan sekarang!"

"Kau boleh ke kantin sesukamu, jangan paksa aku. Aku ingin menunggui Sakura di sini." Ino tetap bersikukuh pada keputusannya.

"Sasuke bisa menunggui Sakura di sini selagi kau makan."

"Dia?" Ino melirik Sasuke, lalu memberikan tatapan tidak percaya ke arah Naruto. "Kau gila! Aku tidak akan meninggalkan Sakura sekamar dalam kondisi pingsan bersama dengan Sasuke!" Image buruk Sasuke mengenai hubungannya dengan gadis-gadis sudah menjadi rahasia umum.

Sasuke mendecih, sambil memasang wajah tak pedulinya mendengar sindiran tajam Ino. Sedangkan Naruto mendesah frustrasi.

"Dengar, Ino, aku akan menjamin Sasuke tidak akan macam-macam dengan Sakura. Dia hanya akan menunggui Sakura selagi kau dan aku pergi ke kantin."

"Kau pikir aku mau menunggui gadis itu?"

Naruto melotot ke arah Sasuke. "Jangan menambah sulit situasi ini, Teme!"

Sasuke hanya mengangkat kedua bahunuya dengan acuh tak acuh.

Ino masih berdebat dengan Naruto. Dia tidak bisa mempercayai Sasuke dengan segala tempelan image pria itu. Sedangkan Naruto tetap pada keputusannya bahwa Ino harus makan dan dia menjamin bahwa Sasuke tidak akan berbuat macam-macam pada Sakura. Hingga akhirnya Ino menyerah.

"Baiklah, kita ke kantin. Dan kau," Ino menoleh ke arah Sasuke, "jangan coba-coba mengambil kesempatan dalam kesempitan! Jika Sakura sudah sadar, beri tahu dia untuk menunggu di sini, aku akan kembali secepat mungkin. Dia tidak boleh pulang ke asrama tanpaku."

"Hn," sahut Sasuke dengan tidak peduli.

Ino masih kesal dengan sikap Sasuke, tapi dia tahu lambungnya juga sudah tidak bisa diajak kompromi. Dengan berat hati Ino meninggalkan Sakura di ruang kesehatan bersama Sasuke. Sedangkan ia sendiri keluar menuju kantin bersama Naruto.

Keadaan ruang kesehatan cukup sepi. Hanya Sakura satu-satunya yang sedang berada di sana, jika mengabaikan keberadaan Sasuke yang berdiri di depan jendela, menatap ke arah luar. Sasuke berbalik, duduk di kursi di sebelah tempat tidur, yang tadi ditempati Ino. Matanya menatap sosok yang masih belum sadarkan diri. Rambut merah muda gadis itu tersebar di bantal yang digunakan sebagai alas kepalanya. Kedua matanya terpejam. Hidung gadis itu tidak terlalu mancung, tapi proporsional dengan struktur wajahnya. Bibir kemerahannya sedikit terbuka, meski masih dalam batas keanggunan seorang gadis.

Sebuah cardigan krem yang tadi dilepaskan Ino dari tubuh tak sadarkan diri itu teronggok di atas kepala tempat tidur, membuat Sakura kini hanya mengenakan kaus tanpa lengan berwarna merah menyala. Sasuke mengernyit heran. Bagaimana mungkin selera gadis itu begitu bertabrakan, antara cardigan berwarna krem pucat yang tidak menarik, menutupi kaus berwarna merah menyala yang menempel ketat di tubuh gadis itu, membuat Sasuke sedikit kesulitan untuk berpikir jernih.

Sasuke mendengus pelan. "Wanita."

Entah karena suara Sasuke yang cukup keras atau memang waktunya telah tiba, Sakura perlahan membuka matanya. Dia mengerjapkan matanya, menyesuaikan dengan intensitas cahaya di sekelilingnya. Sakura terkejut ketika mendapati sosok yang tertangkap penglihatannya. Refleks, gadis itu duduk di atas tempat tidur, bangkit dari posisi terbaringnya.

"Siapa kau?" Sakura bersikap defensif, apalagi ketika menyadari cardigannya telah dibuka tanpa sepengetahuannya. Kedua tangannya secara spontan disilangkan di depan dadanya, menutupi kaus tanpa lengannya yang berpotongan leher cukup rendah.

"Namamu?"

Sakura mengernyit bingung, tanpa mengendurkan kewaspadaannya dia menatap sosok yang sekarang berdiri menghadapnya. Sosok itu adalah seorang pemuda sangat tampan dengan garis wajah tegas yang terpahat sempurna. Bohong jika Sakura berkata tidak mengenalnya. Siapa mahasiswa di kampusnya yang tidak mengenal sosok di hadapannya. Uchiha Sasuke, si bad boy Konoha.

Masalahnya adalah kenapa Sasuke, yang sama sekali bukan termasuk orang-orang yang mengenalnya, bisa hanya berdua berada di dalam satu ruangan yang sama dengannya. Sakura tidak peduli dengan ketampanan ataupun segala aspek yang Sakura akui bisa membuat gadis normal mana pun akan berhenti bernapas sejenak jika mengetahui dirinya terjebak di dalam satu ruangan yang sama hanya berdua dengan Uchiha Sasuke. Tidak, Sakura tidak ingin peduli itu semua. Orang-orang seperti Sasuke-lah yang perlu dia hindari. Masa lalunya mengajarkan bahwa dia tidak cocok untuk berbaur dengan orang-orang seperti itu. Untuk apa dia pergi jauh-jauh dari tempat asalnya jika di sini dia hanya akan mengulang cerita yang sama? Tidak!

Sakura tidak tahu berapa lama dia terjebak dalam renungannya sendiri sampai ketukan pelan di atas dahinya menyadarkannya.

"Apa?!" hardiknya.

"Namamu?"

"Hah?"

"Ck! Siapa namamu?"

"Untuk apa aku memberitahumu siapa namaku?"

"Untuk memastikan kau tidak mengalami amnesia setelah bangun dari tidur panjangmu."

"Apa?!" Apa maksud dari perkataan Sasuke? Pertanyaan itu mengambang di benaknya karena suara pintu yang menjeblak terbuka disusul suara Ino menginterupsinya.

"Sakura! Kau sudah bangun?!" Ino langsung menerjangnya dengan pelukan erat. "Aku khawatir. Kau ... kau pingsan hampir dua jam. Sialan, kau!" Ino mengusap air matanya yang mulai mengalir di pipinya.

"Ssttt, aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, Bodoh!" Sakura berusaha menenangkan Ino. Dia memeluk erat Ino, memperlihatkan bahwa dia baik-baik saja.

Sakura tahu Ino memiliki kenangan yang buruk. Keadaan Sakura saat ini mengingatkannya pada kenangan itu. Saat itu usia Ino masih delapan tahun. Ino memiliki seorang kakak perempuan bernama Shion. Fisik Shion lemah, dia tidak boleh terlalu lelah. Suatu hari Ino merajuk, dia ingin ditemani main lempar bola salju di halaman belakang rumah mereka. Kebetulan kedua orang tua mereka sedang ada urusan di luar. Shion yang pada dasarnya tidak bisa menolak keinginan Ino, akhirnya mengabulkan keinginan sang adik, meski fisiknya tidak memungkinkan walau hanya sekadar bermain bola salju.

Setelah beberapa jam bermain perang bola salju di luar, Shion sudah tidak sanggup. Tubuhnya benar-benar merasa lelah. Dia mengajak Ino masuk, dia ingin beristirahat. Ino menolak, dia belum puas bermain. Tapi Shion sudah tidak kuat lagi, dia berkata bahwa dia ingin tidur sebentar, dan akan menemani Ino main lagi jika dia bangun. Ino setuju. Dia menemani Shion tidur dan menunggu sang kakak bangun dari tidurnya tapi sayangnya Shion tidak pernah bangun lagi.

"Hei, sudah! Aku tidak apa-apa, Ino. Lagi pula, apa yang terjadi padaku?"

Ino melepaskan pelukannya, hidungnya memerah akibat menangis. "Kau pingsan setelah terkena lemparan bola." Tiba-tiba raut wajah Ino mengeras, dia melempar tatapan tajam ke arah Sasuke. "Lemparan itu dilakukan oleh Uchiha Sasuke."

"Salahnya sendiri tidak menghindar saat datangnya bola."

"Kau!"

"Sayang, tenang!" Naruto langsung mengalihkan perhatiaannya pada Sasuke setelah menenangkan Ino.

"Baiklah, aku salah," Sasuke menatap langsung ke dalam kedua mata Sakura, "aku minta maaf," ucapnya acuh tak acuh, tapi Sakura bisa merasakan tatapan Sasuke yang mengunci matanya sebelum mengucapkan kata maaf, menghasilkan sesuatu yang menggeliat di dasar tubuhnya.

Sasuke keluar dari ruang kesehatan bersama dengan Naruto. Naruto ingin mereka mengantar Ino dan Sakura dulu pulang ke asrama, tapi Ino menolak. Dia bilang dia bisa pulang ke asrama berdua dengan Sakura saja, Naruto tidak perlu mengkhawatirkannya.

Naruto sendiri tidak menolak. Dia perlu bicara dengan Sasuke. Ada sesuatu yang disembunyikan sahabatnya itu. Sasuke bukan idiot bodoh yang tidak bisa bermain basket dengan benar. Mustahil dia tidak sengaja melempar bola ke luar arena seperti tadi karena salah perkiraan. Pasti ada sesuatu.

"Apa yang terjadi?"

Sasuke membuang rokok yang baru saja dipakainya, mematikan bara yang masih menyala di puntung rokok itu dengan sekali injakan. Dia menatap Naruto. "Dia kembali." Sasuke menarik sebatang rokok dari bungkusnya, menyalakan, dan mengisapnya dengan kuat. Asap yang diembuskan lewat mulutnya membumbung tinggi di udara. "Aku melihatnya ada di bangku penonton."

Naruto terkejut, tapi segera dipulihkan keterkejutannya. "Hadapi dia, Sasuke," nasehatnya.

Mungkin bagi Naruto hal itu mudah, tapi tidak bagi Sasuke. Dia tidak bisa menghadapi orang itu. Tidak, dia tidak bisa. Sasuke benci jika harus berhadapan dengan orang itu.

.

.

Sakura tertawa melihat tampang Ino yang kusut masai sehabis kelas Kalkulus yang mereka lalui. Kalkulus adalah satu-satunya mata kuliah yang tidak sanggup diatasi oleh Yamanaka Ino. Mata kuliah kesukaannya adalah neraka bagi Ino.

"Berisik, kau! Aku akan membalasmu di kelas hafalan."

Tawa Sakura semakin lebar. Pelajaran menghafal memang sudah menjadi kelemahannya sejak dulu. Dia lebih suka pelajaran bersifat hitungan ketimbang hafalan. "Aku bercanda, Pig!"

Mereka sedang melewati taman belakang menuju kantin ketika sebuah pemandangan menjadi tontonan beberapa anak yang melintasi taman itu. Uchiha Sasuke kembali harus berurusan dengan seorang gadis yang menangis, yang memaki-makinya dengan teriakan pilu.

"Menyedihkan. Aku heran kenapa masih saja gadis-gadis itu memuja dan berharap salah satu dari mereka dipilih menjadi teman kencan singkat si Uchiha itu padahal mereka tahu kalau mereka akan berakhir seperti itu." Ino memberikan komentarnya atas pemandangan yang sedang dilihatnya.

Sakura sudah sering melihat hal ini terjadi. Seorang gadis yang patah hati karena Uchiha Sasuke. Dulu dia selalu mengabaikan hal-hal seperti ini. Itu bukan urusannya, bukan dunianya, dia tidak mau ikut campur, meski hanya dalam menyuarakan pendapatnya dalam pikirannya sendiri. Namun sekarang hal itu terasa lain. Ada rasa kepedulian melihat itu semua. Meski dia tidak tahu, apakah peduli di sini benar-benar berartian positif atau sebaliknya? Karena ada rasa lega menyusup di hatinya melihat adegan drama itu.

Sial, apa yang kupikirkan?!

"Sakura, awas!" Teriakan Ino hanya seperti angin lewat, karena perhatian Sakura kini terpusat pada bola basket yang meluncur cukup deras ke arahnya.

Sudah tidak ada waktu menghindar, aku pasti pingsan lagi, begitu pikir Sakura. Tapi setidaknya dia sudah bersiap-siap menghadapi serangan kali ini. Tidak seperti dua hari yang lalu. Sakura memejamkan kedua matanya.

Satu detik, dua detik, Sakura merasa dia masih memiliki kesadarannya dengan penuh. Lalu dia sadar, dia tidak pingsan, tidak ada bola yang membentur kepalanya. Dia membuka matanya. Hal pertama yang dilihatnya adalah dada bidang seorang pemuda yang dilapisi kaus berwarna hitam yang tidak sanggup menyamarkan otot-otot kekar yang berlindung di baliknya. Lalu Sakura mengadahkan wajahnya.

Sepasang mata kelam menatapnya. "Sepertinya kau tidak punya hubungan baik dengan bola basket," katanya.

.

.

Bersambung...

An: judul atas sumbangan pemikiran dari Rie. :D

terima kasih sudah membaca sampai di sini. Semoga fic tidak mengecewakan kalian. :)

untuk Rie, sorry hasilnya abal gini. Hehehe... Makasih buat semua dukungan dan semangat darimu, Sist! *peluk rie* :D