Chapter 1: The First Encounter
.
.
.
I never believed in destiny
until it led me to you.
Never put much stock in wishes,
but you made mine come true.
Didn't think soulmates existed,
then I saw you and I knew,
that dreams become reality
with magic made by two.
-Christy Ann Martine
John Mark Green
.
.
.
Sebuah malam di awal musim dingin. Salju perlahan turun bersama dengan hembusan angin, berayun pelan di udara, dan jatuh menyatu membentuk hamparan permadani putih di atas tanah. Jalanan mulai berangsur sepi. Langkah-langkah orang tergesa, berusaha menghindar dari suhu dingin yang tajam menggigit tulang.
Sebuah mobil SUV hitam melaju pelan membelah jalanan malam. Chanyeol, si pengemudi mobil, mengerang kesal kala ponselnya bergetar, menunjukkan sebuah panggilan masuk dari asistennya.
"Speak." Ujarnya dingin pada speaker ponselnya yang menyala.
"Aku sungguh minta maaf, Bos. Aku bersumpah kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi."
"Dan aku bersumpah akan memotong gajimu jika kau sampai melanggar sumpahmu itu, Kim Jongin."
Jongin menghela nafas. Ia tahu bosnya tidak sepenuhnya serius dengan ucapannya. Namun bukan berarti ancaman itu tidak terdengar menakutkan di telinga si asisten.
Hari itu, Jongin melakukan kesalahan ketika mengatur jadwal harian Chanyeol. Beberapa bulan ini perusahaan mereka dipadati oleh begitu banyak proyek kerja. Janji meeting bertumbuk tanpa celah sedikitpun untuk beristirahat. Dan di antara kesibukan itu, Jongin lupa meletakkan sebuah jadwal pertemuan yang sudah dibuat sejak minggu lalu.
Jadi di sinilah Chanyeol. Datang menghadiri janji pertemuan tersebut, meski dirinya sudah sangat terlambat dari waktu yang ditentukan.
"Kau yakin ia ada di exit enam?" Tanya Chanyeol memastikan. Pandangannya sesekali memperhatikan sekitar untuk menemukan sosok yang ia cari.
"Aku menghubunginya lima menit yang lalu. Ia bilang dirinya masih menunggu di sana. Ia mengenakan jaket putih. Apa aku perlu menelepon lagi untuk memastikan?"
"Tidak perlu. Kurasa aku melihatnya."
Jam sudah menunjukkan pukul 8.43 malam, yang berarti waktu sudah berlalu lebih dari tiga puluh menit dari janji awal. Dengan hati-hati, Chanyeol membelokkan arah mobilnya untuk memasuki area di dekat exit enam subway kota.
Hujan salju mengguyur deras kota sejak sore hari ini. Ketika Chanyeol membuka pintu mobilnya, hembusan angin dingin yang begitu kontras dengan suhu penghangat mobilnya seketika menyergap.
Chanyeol merapatkan mantelnya. Ia merasa bersalah pada orang yang tengah menunggunya. Dirinya pasti amat tersiksa menunggu di tengah suhu udara sedingin ini.
Di depan pintu exit enam, seorang laki-laki muda sudah cukup lama menunggu kedatangan Chanyeol. Kedua tangannya rapat memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mencari sisa-sisa kehangatan di balik mantel tebalnya yang kini lembab oleh salju deras yang mengguyur.
Chanyeol tergopoh menghampirinya.
"Maafkan keterlambatan saya. Asisten kami melakukan kesalahan—
Senyuman bersalah Chanyeol terjatuh tepat ketika laki-laki itu menoleh kepadanya. Kalimat Chanyeol terputus. Tubuhnya membeku, terpaku pada sosok lelaki yang kini memandangnya dengan ekspresi sama kagetnya.
Di hadapannya adalah seorang lelaki berpostur tidak terlalu tinggi. Helai rambutnya yang berwarna gelap jatuh menutupi dahinya, membingkai sepasang mata coklat yang begitu ia kenal. Rasa familiar menjalar bagai sengatan listrik, membuat dada Chanyeol terasa sesak dan berat.
Aroma samar dari si omega.
Aroma lembut bunga aprikot yang mengingatkan Chanyeol pada sebuah hari di awal musim semi.
Sudah enam tahun berlalu sejak terakhir mereka bertemu, namun parasnya masih terpatri jelas di benak Chanyeol.
Enam tahun, dan hati Chanyeol tetap berdesir sama. Membuat nafasnya tercekat, persis seperti kala ia melihat sosoknya untuk pertama kali.
Mata mereka bertemu, dan sebuah nama lolos dari bibirnya.
"Baekhyun."
.
.
Saat itu adalah awal musim semi, tujuh tahun lalu, ketika keduanya pertama bertemu.
Hujan turun dengan cukup lebat sore itu. Mengakibatkan kuncup-kuncup bunga yang semula siap merekah jatuh berserakan bersama air hujan di atas tanah.
Chanyeol bukanlah seseorang yang biasa mengendarai transportasi umum. Tidak ketika ia memiliki sederet mobil mewah yang berjajar di garasinya.
Namun hari itu berbeda. Selepas kelas sore, Chanyeol tiba-tiba enggan untuk pulang ke rumah ataupun berkumbul bersama temannya. Masih segar di ingatannya pertikaian yang terjadi dengan sang ayah pagi tadi, menyisakan kemarahan dan kegelisahan di dalam dirinya.
Hari itu, ia tidak ingin pulang.
Hanya sebentar saja. Ia ingin membebaskan diri dari bayang-bayang rumah yang penuh dengan kekangan.
Dari sudut pandangan Chanyeol, ia bisa melihat seseorang duduk tak jauh di sebelahnya. Mulanya ia tak acuh, tapi kemudian sebuah aroma lembut menarik perhatiannya.
Sebuah aroma samar bunga aprikot, yang diselimuti oleh feromon tipis yang sarat akan kekalutan.
Chanyeol menoleh.
Tak jauh dari Chanyeol, duduk seorang lelaki seumurannya. Mata lelaki itu terpejam, seakan tidak peduli dengan segala hal yang ada di sekitarnya.
Sesaat, Chanyeol terpaku pada parasnya. Pada sepasang bulu mata lentik yang samar bergetar tertiup angin. Tidak butuh lama memperhatikan, Chanyeol langsung tahu bahwa lelaki itu adalah seorang omega.
Chanyeol hendak mengabaikannya. Namun sebelum ia mengalihkan pandangan, sesuatu di lengan lelaki itu membuat Chanyeol mengernyit khawatir.
"Hey, kau tak apa?"
Sepasang mata coklat gelap itu terbuka, menoleh pada sumber suara.
Tubuh Chanyeol membeku kala sepasang mata itu bertemu dengannya.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanpa sadar Chanyeol mengucap kembali pertanyaan yang sama.
Si omega memperhatikan arah pandangan Chanyeol ke tangannya, dan ia segera sadar maksud pertanyaan itu.
"Mantan bosku di tempat kerja sambilan yang melakukannya." Ia mengangkat lengan kirinya, menunjukkan ruam lebam yang melingkar di sana.
Luka itu nampak lebih parah dari yang semula Chanyeol kira. Tapi cara omega itu menunjukkannya membuatnya seolah-olah luka tersebut bukanlah sesuatu yang seberapa.
Omega itu memperhatikan Chanyeol sekilas sebelum kembali berbicara.
"Bosku, juga seorang alpha. Ia bilang ini adalah salahku sebagai seorang omega, memancingnya dengan aroma dan feromon yang kumiliki." Ia tersenyum miris.
"Semuanya selalu salah kami, para omega. Tidak pernah sekalipun jadi salah kalian karena gagal menahan diri. Kalian para alpha dan segala supremasinya. I'm honestly so sick of it." Ujar omega itu, lebih seperti bergumam pada diri sendiri.
Tapi meskipun diucapkan dengan nada enteng, Chanyeol bisa merasakannya sesuatu yang teramat kontras. Yaitu amarah dan ketakutan yang berusaha omega itu sembunyikan di balik kalimatnya.
Chanyeol bisa merasakan kefrustrasian yang begitu pekat menguar dari diri feromon omega itu. Dan tanpa alasan yang ia ketahui, Chanyeol merasa sakit dibuatnya.
Seakan sesosok serigala melolong dalam dirinya, memaksa Chanyeol untuk berbuat sesuatu.
Apapun untuk melindunginya.
"Kau benar. Itu semua seharusnya salah kami." Ujar Chanyeol pelan, nyaris berbisik.
Omega itu menaikkan sisi alisnya kaget. Ia mengira dirinya akan mendengar cacian dan makian. Atau mungkin beberapa pukulan dari si alpha karena ucapannya yang terlampau blak-blakan. Apapun itu, dirinya tidak menyangka justru mendengar sebuah persetujuan dari si alpha asing.
"Apa kau sudah keluar dari pekerjaanmu? Jika ada sesuatu yang bisa aku lakukan, kau bisa mengatakannya padaku." Ujar Chanyeol tulus.
Omega itu memperhatikan sosok Chanyeol dengan seksama untuk pertama kali. Memperhatikan merk mahal pakaian yang ia kenakan, serta jam tangan mewah yang melingkar di lengannya.
"Kau sendiri. Apa kau tak apa? Kau tidak terlihat seperti seseorang yang biasa ada di tempat seperti ini." Komentar si omega. Seutuhnya mengabaikan kekhawatiran Chanyeol.
Pertanyaan itu membuat Chanyeol tertawa. Suasana seketika sedikit cair di antara mereka.
"Ya. Ada sedikit masalah di rumah. Aku tiba-tiba tidak ingin pulang sore ini."
Omega itu berdecih dan separuh tersenyum mendengar jawaban Chanyeol.
"Kalian para alpha kaya memilih tidak pulang ke rumah seenaknya hanya karena sebuah pertikaian kecil. Sementara banyak omega di luar sana yang bahkan tidak punya tempat tinggal untuk pulang setiap harinya."
Komentar tajam itu seperti tusukan bilah pisau yang diarahkan pada Chanyeol. Membuat si alpha merasa sedikit menyesal dengan apa yang ia ucapkan.
"Walaupun begitu, bukan berarti masalah yang kau hadapi tidak valid. Aku belum pernah mengalaminya, tapi berkelahi dengan keluargamu sendiri—it must sucks." Ia mendongak, seakan berbicara pada langit hujan.
"It surely does..." Ujar Chanyeol, terlanjur fokus pada wajah si omega untuk bisa memberi tanggapan lebih.
"Kau mau mendengarkan ini?" Omega itu tiba-tiba menyodorkan sebelah earphone yang sedari tadi menempel di telinganya.
"Ini lagu favoritku. Aku biasa mendengarkannya untuk menenangkan diri."
Chanyeol memasang sisi earphone tersebut.
Sebuah alunan lagu mengalun lembut. Dan omega itu kembali memejamkan mata.
Seketika Chanyeol tidak peduli lagi dengan hiruk pikuk yang ada di sekitarnya. Tidak pula pikirannya tersita oleh ingatan pertikaian dengan sang ayah.
Di mata Chanyeol hanya ada sosok omega di sebelahnya. Mengangguk, dan bergumam pelan mengikuti alunan pelan lagu.
Chanyeol tahu omega itu tengah berusaha keras memperbaiki suasana hatinya. Menyembunyikan rasa sakit, dan mengabaikan rasa takut. Tanpa tahu mengapa, Chanyeol sungguh ingin melindunginya.
Entah sudah berapa menit berlalu sejak mereka mendengarkan lagu, ketika si omega membuyarkan lamunan Chanyeol.
"Busku sudah datang. Aku harus pergi."
Masih setengah terpaku, Chanyeol mengembalikan sisi earphone yang dipakainya. Tatapannya tidak bisa terlepas dari sosok omega yang kini berjalan menuju bus yang terhenti.
"Hey." Panggil Chanyeol cepat, tepat ketika omega itu masuk ke dalam pintu bus.
Ia menoleh dengan sepasang matanya yang jernih, menunggu kalimat Chanyeol.
"Boleh aku tahu namamu?"
Mata itu sesaat bergetar oleh keraguan. Namun kemudian ia tersenyum. Sebuah senyum termanis yang pernah Chanyeol lihat seumur hidupnya.
"Baekhyun. Byun Baekhyun."
"Aku Park Chanyeol! Senang bertemu denganmu!" Teriak Chanyeol lantang, tepat sebelum pintu bus tertutup.
Baekhyun terkaget. Lalu senyum itu merekah semakin lebar di bibirnya. Bersamaan dengan lengkung bulan sabit yang terbentuk di pasang matanya.
Usia Chanyeol dua puluh dua tahun saat itu. Seumur hidupnya, ia tidak percaya dengan keberadaan 'soulmate'. Semua itu hanyalah bualan semata. Omong kosong yang dijual para pujangga.
Tujuh puluh persen dari populasi dunia adalah beta.
Enam belas persen adalah alpha, dan sisanya adalah omega.
Nol koma dua detik.
Hati Chanyeol membutuhkan waktu nol koma dua detik untuk berdesir melihat lengkung senyum bibir tipis itu.
Sore itu, Chanyeol menemukan dirinya jatuh hati pada sosok Byun Baekhyun.
His soulmate—belahan jiwanya.
.
.
Chanyeol adalah pemilik perusahaan advertisement yang sedang berkembang pesat di kota. Beberapa waktu lalu Chanyeol membeli sebuah properti bangunan untuk menambah area studio di perusahaannya. Untuk itu Chanyeol menghubungi perusahaan arsitektur yang akan bertanggung jawab dalam perenovasian bangunan tersebut.
Namun siapa yang menyangka. Keputusannya itu telah membawa Chanyeol pada sosok seseorang yang tidak terduga.
Duduk berseberangan meja dengannya adalah Byun Baekhyun, mantan kekasihnya.
Baekhyun menjelaskan setiap detail rancangan pembangunan gedung yang telah mereka siapkan. Kalimatnya lugas dan mendetail, menunjukkan sisi profesional dirinya dalam bekerja. Sama sekali mengabaikan tatapan Chanyeol yang sedari tadi melekat padanya.
Sesekali Chanyeol hanya mengangguk, memberi tanggapan semampu yang otaknya sanggup proses.
"Kami akan mengecek struktur tanah di area selatan untuk rencana penambahan area basement. Selain itu apa masih ada yang ingin Anda tambahkan?"
"Tidak. Aku akan menghubungi lagi jika masih ada yang kurang."
"Baiklah—
"Sebenarnya, ada lagi yang kurang." Ujar Chanyeol berubah pikiran.
Baekhyun berhenti membereskan laptopnya. Alisnya naik, mengantisipasi ucapan Chanyeol.
"Untuk penataan interior. Aku awalnya berpikir untuk mendesain semuanya sendiri. Tapi setelah aku pikirkan, kurasa aku ingin menggunakan jasa tata ruang dari perusahaan kalian. Apakah bisa?"
"Tentu." Jawab Baekhyun singkat. "Saya akan menghubungkan Anda dengan bagian desain kami."
Baekhyun kembali melanjutkan membereskan barang-barangnya. Chanyeol memperhatikannya dalam diam, sebelum kemudian gagal menahan dirinya untuk tidak berbicara.
"Aku baru tahu kau bekerja untuk Hanyang."
"Kenapa? Kau tidak mengira seorang omega bisa bekerja di perusahaan sebesar itu?" Tanya Baekhyun sarkastis, dengan cepat menjatuhkan formalitas yang semula ia gunakan.
"Bukan itu maksudku. Aku selalu tahu kau punya bakat yang jauh melebihi para beta dan alpha di luar sana. Aku hanya tidak tahu kau berada di Korea selama ini."
"Kau sudah selesai?" Baekhyun mengabaikan ucapan Chanyeol, meraih tasnya dan berdiri. "Jika sudah tidak ada yang perlu ditambahkan, aku akan pulang sekarang."
Chanyeol memandang jam di tangannya. " Subway akan segera tutup beroperasi beberapa menit lagi."
"Aku bisa memesan taksi."
"Saljunya sangat lebat. Terlalu berbahaya mengendarai mobil di tengah cuaca seperti ini." Chanyeol menggelengkan kepala tidak setuju. "Lagipula aku tidak yakin kau bisa mudah mendapatkan taksi malam ini."
"Kalau begitu—
"Just stay."
Baekhyun membeku. Ia memandang Chanyeol bingung, tidak percaya dengan ucapan yang baru saja di dengarnya.
"Aku hanya khawatir." Chanyeol berusaha menjelaskan. "Ini sudah terlalu larut. Kota tidak terlalu aman akhir-akhir ini. Aku hanya tidak ingin kau membahayakan diri."
Baekhyun langsung memahami apa yang Chanyeol maksudkan. Laporan tindak kriminal memang meningkat drastis di kota selama beberapa minggu ke belangkang. Dari keseluruhan jumlah korban yang dilaporkan, lebih dari separuhnya adalah omega.
Baekhyun bergidik hanya dengan mengingat berita itu. Namun meski begitu, ia tetap bersikeras untuk tidak tinggal.
"Kau tahu aku memiliki sabuk hitam taekwondo. Kemampuanku cukup untuk membela diri." Baekhyun menjawab setengah bercanda, berusaha meringankan suasana di antara mereka. "Lagipula, tidak aman seorang omega menginap di kediaman alpha seorang diri."
Keduanya tahu Baekhyun hanya bicara omong kosong.
Pertama, mereka tahu Baekhyun meminum obat suppressant kualitas terbaik dengan sangat rutin. Siklus heat Baekhyun tidak akan mudah terpantik feromon alpha dengan mudah.
Dan yang kedua; ini adalah Chanyeol yang berada di hadapannya.
Chanyeol, Baekhyun tahu, tidaklah sama seperti alpha lainnya. Ia memiliki ketahanan diri yang kuat. Seseorang yang menghargai batasan konsen lebih dari siapapun.
Bahkan ketika keduanya masih bersama, Chanyeol tidak pernah sekalipun melakukan sesuatu pada Baekhyun tanpa konsen jelas darinya. Bahkan ketika mereka berada di bawah kendali feromon heat sekalipun.
"It's been years, Baekhyun-ah. Tidakkah kau pikir ini waktunya kita bicara?"
Baekhyun memutar bola matanya. Ia tahu cepat atau lambat Chanyeol akan mengungkit kejadian di masa lalu.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, Park. Apa lagi yang kau mau dariku?"
Chanyeol memandangnya dengan penuh perhitungan. Seakan tengah melangkah di sebentang tanah yang dipenuhi oleh perangkap jebakan.
"Entahlah. Mungkin kau bisa menjelaskan mengapa kau pergi dariku begitu saja?"
"Penjelasan?" Tanya Baekhyun dengan sarkastis. "Hubungan kita sudah berakhir, Chanyeol. Aku sudah mengatakan semuanya dengan sangat jelas hari itu."
"Kau memutuskannya secara sepihak, Baek. Kau melakukannya dengan tergesa, lalu pergi begitu saja. Apa kau masih ingin bilang aku tak berhak atas penjelasan apapun?"
"Entahlah. Mungkin karena aku tidak menginginkanmu lagi. Hanya itu. Tidak ada penjelasan lain."
Baekhyun melihat hati Chanyeol runtuh untuk yang kedua kalinya. Bibir Baekhyun kelu, hatinya teriris melihat pemandangan menyakitkan di hadapannya. Tapi ia memaksa dirinya tetap tenang tidak bereaksi.
"Kita sangat naif, Chanyeol." Mulut Baekhyun terasa sekering pasir ketika memaksa dirinya berbicara. "Kita percaya dunia akan berbaik hati jika kita menjalani semuanya bersama. Tapi kenyataannya tidak begitu. Kita begitu kecil dan tak berdaya di hadapan semua kekejian itu. Sejak awal, kita tidak ditakdirkan memiliki pilihan lain selain berpisah."
Chanyeol memperhatikan wajah lelah Baekhyun. Seakan omega di hadapannya bisa runtuh kapan saja jika Chanyeol terus memaksanya bicara. Jadi Chanyeol memutuskan untuk menyudahi semua pembicaraan itu untuk sementara.
"Aku mengerti. Tapi ada satu hal yang sejak lama ingin aku tanyakan padamu."
Baekhyun mengangguk tenang.
"Ketika aku tidak memenuhi janjiku untuk kembali di beberapa hari itu. Apa seseorang datang menemuimu?"
Baekhyun tak yakin untuk menjawabnya. Namun kemudian ia mengangguk singkat.
"Ya."
"Apakah Oh Sehun?"
Kali ini Baekhyun bergeming.
Hanya dari kebisuan Baekhyun, Chanyeol sudah mendapatkan jawabannya.
"Baiklah. Aku mengerti." Chanyeol bangkit dari duduknya, meraih gelas teh kosong dari atas meja. "Ini sudah terlalu larut. Kau harus beristirahat. Jika kau tidak ingin beristirahat di sini dan bersikeras memilih pulang, aku sendiri yang akan mengantarkanmu."
Baekhyun memperhatikan paras Chanyeol. Pada wajahnya yang kini jauh lebih tegas dengan kedewasaan dan kewibawaan yang tidak ia temukan bertahun lalu. Juga pada gurat lelah di wajahnya.
Baekhyun tidak punya hati untuk membiarkan Chanyeol mengantarnya pulang selarut ini.
"Baiklah. Aku akan menginap malam ini."
Kekhawatiran seketika hilang dari wajah Chanyeol. Baekhyun menyimpulkan itu adalah sebuah keputusan yang paling tepat.
Atau mungkin tidak.
Karena sejak hari itu, Baekhyun menemukan dirinya tidak bisa menghapus Chanyeol dari bayang-bayang pikirannya.
