Chapter 4: Family
.
.
.
Jika melihat beberapa tahun ke belakang, hari-hari Baekhyun berpusat semata-mata hanya pada pekerjaannya. Ia tidak memiliki banyak teman di luar kantor. Tidak pula ia memiliki hobi di luar jam kerjanya. Yang ada di pikiran Baekhyun hanyalah bagaimana ia harus menyelesaikan deadline kerja dan bertahan dipandang profesional meski dengan identitasnya sebagai seorang omega.
Namun sekarang, semuanya berbeda. Kini ada hal yang dinantikannya sepulang dirinya lelah bekerja.
Berdiam diri di rumah bukan lagi menjadi hal yang membosankan. Tidak ketika pelukan Chanyeol selalu menantinya.
Ada enam tahun perpisahan yang terlewatkan di antara mereka. Banyak kisah-kisah yang belum sempat dibagi. Kecupan-kecupan kecil di atas sofa, serta sentuhan lembut di tubuh satu sama lain.
Secara keseluruhan, hari-hari mereka berlalu hampir tanpa masalah. Hingga suatu malam, Chanyeol membawa sebuah berita tak terduga kepada Baekhyun.
Saat itu keduanya di depan televisi, menonton tayangan ulang drama dengan sekotak pizza hawaiian di atas meja. Tangan Chanyeol memeluk pinggang Baekhyun dari belakang, ketika ia pelan-pelan menjatuhkan bomnya.
"Yoora noona meneleponku siang tadi." Ujar Chanyeol hati-hati. "Ibu kami menanyakan kabarku. Aku tidak tahu pasti bagaimana, tapi agaknya ibuku tahu aku dan kau kembali berhubungan."
Baekhyun seketika berhenti mengunyah pizza di mulutnya. Memfokuskan perhatian seutuhnya pada Chanyeol.
"Apa yang ia inginkan darimu?" Tanya Baekhyun posesif.
Obrolan mengenai pack lama Chanyeol masih sering menimbulkan kemarahan pada Baekhyun. Ia masih ingat jelas bagaimana Chanyeol diperlakukan di sana. Hingga bayangan Chanyeol yang terluka terkadang masih datang menghantui Baekhyun dalam mimpinya.
"Ia ingin bertemu dengan kita berdua."
Mata Baekhyun melebar dan ia berbalik untuk menatap kekasihnya. Memastikan dirinya tidak salah dengar.
Chanyeol sudah bercerita bahwa ayahnya meninggal dua tahun yang lalu. Dan sejak itu ibunya selalu berusaha menghubungi Chanyeol dengan berbagai alasan. Tapi Chanyeol selalu menolaknya. Selain karena kesibukannya, Chanyeol juga merasa tidak ada urusan apapun lagi dengan pack lamanya.
"Aku tahu topik ini akan membuatmu tidak nyaman. Jadi aku belum membri konfirmasi apapun."
"Apa kau ingin pergi?"
"Entahlah." Chanyeol sesaat termenung. "Sudah lama sekali aku tidak bertemu ibuku. Aku nyaris melupakan ikatan di antara kami. Tapi di sisi lain aku juga ingin meluruskan dan menyelesaikan kesalahpahaman yang masih tersisa."
"Kalau begitu, aku tidak keberatan untuk menemanimu."
Kali ini giliran mata Chayeol yang dubuatnya melebar kaget.
"Jangan khawatir. Aku akan memastikan mereka tidak melakukan hal buruk padamu." Ujar Baekhyun penuh keseriusan.
Chanyeol tersenyum, berusaha keras menahan tawanya dan mengangguk mengiyakan.
.
.
Meski Baekhyun terdengar begitu optimis sebelumnya, pada nyatanya hal itu memudar di hari H janji pertemuan mereka.
Awalnya mereka diundang datang ke mansion tempat Chanyeol dulu tinggal. Namun Chanyeol menolak dengan alasan ia tidak ingin membuat Baekhyun tak nyaman. Karenanya, mereka memutuskan bertemu di ruang VIP sebuah restoran berbintang lima.
Baekhyun menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya yang dingin dan basah bertautan satu sama lain. Sebuah kebiasaan yang biasa ia lakukan ketika merasa gugup dan takut.
Ketakutan Baekhyun bukanlah tanpa alasan. Ketika berbicara tentang pack lama Chanyeol, ingatan Baekhyun selalu kembali pada hari buruk itu. Pada sosok ayah Chanyeol yang menghabisi putranya sendiri tanpa ampun.
Baekhyun tidak ingin hal buruk semacam itu terulang kembali.
Dalam hati, Baekhyun bertanya-tanya apakah masih belum terlambat untuk meminta Chanyeol berputar arah kembali ke rumah. Ia mempertanyakan apakah keputusanannya tepat mengiyakan pertemuan ini sejak awal.
Namun sebelum Baekhyun sempat mengutarakan keraguannya, mereka sudah tiba di tempat tujuan.
"Kita sampai." Ujar Chanyeol melepas sabuk pengamannya.
Baekhyun menghela nafas. Mengangguk pada dirinya sendiri dan melakukan hal yang sama.
"Baekhyunnie." Chanyeol meraih tangan kekasihnya, dan mengusap sisi pipinya. Meski tidak berkomentar apapun sedari tadi, Chanyeol bisa menangkap kegelisahan yang Baekhyun rasakan.
"Semuanya akan baik-baik saja. Jika kau merasa tidak nyaman oleh apapun yang terjadi di dalam sana nanti, kau segera katakan padaku dan kita akan pergi dari sana. Oke?"
Baekhyun mengagguk, menyandarkan dahinya di bahu Chanyeol. Dihirupnya dalam-dalam aroma kekasihnya untuk menenangkan diri. Chanyeol tidak berkomentar, membiarkan Baekhyun benar-benar siap dengan sendirinya.
Tempat mereka bertemu adalah sebuah restoran bergaya barat yang terkenal di pusat kota. Saat Chanyeol dan Baekhyun tiba di sana, Yoora dan Nyonya Park sudah ada di kursi mereka. Dengan spontan Yoora datang berhambur, memberikan pelukan pada Chanyeol dan senyuman tulus pada Baekhyun.
Nyonya Park adalah seorang wanita yang tidak lagi berada di usia mudanya. Meski berkesan lebih muda dibanding usia aslinya, ia tetap tidak bisa menyembunyikan guratan usia di parasnya. Namun begitu, sosoknya tetap nampak mempesona. Mendominasi ruangan itu dengan keanggunan dan kewibawaan yang hanya bisa didapatkan seseorang dari rangkaian pengalaman hidup.
Sejujurnya ini merupakan kali pertama Baekhyun melihat sosok ibu Chanyeol secara langsung. Dan melihat sosok rupawannya, Baekhyun akhirnya tahu dari mana Chanyeol mendapat semua gen ketampanannya.
"Ibu." Chanyeol membungkuk sesaat sebelum keduanya duduk di kursi kosong yang tersedia. Chanyeol menghadap ibunya, dan Baekhyun di hadapan Yoora.
Sesaat tatapan Nyonya Park jatuh pada Baekhyun, namun kemudian dengan cepat mengalihkannya.
"Sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?" Suara Nyonya Park lembut, membawa ketenangan dan elegansi di dalamnya.
Entah mengapa, suaranya mengingatkan Baekhyun pada hamparan danau beku di musim dingin. Kau tidak pernah tahu apa yang ada di balik ketenangannya itu.
"I've never been better. Semoga Ibu juga baik-baik saja."
Nyonya Park mengangguk tenang, membiarkan pelayan menyajikan red wine favoritnya sebelum kembali berbicara.
"Ibu menemui para tetua beberapa waktu lalu. Mereka menanyakan apakah kabarmu baik-baik saja."
"Jika Ibu berkenan, Ibu bisa menyampaikan salamku kepada mereka."
"Chanyeol-ah, jika kau mau, masih ada kemungkinan mereka akan menerimamu kembali."
"Ibu." Potong Chanyeol cepat. Tangannya yang menggenggam jemari Baekhyun di bawah meja mengerat. "Sudah bertahun sejak aku keluar. Dan aku akhirnya berhasil membuktikan bisa melalui semuanya seorang diri. Bukankah tidak masuk akal jika aku justru memutuskan kembali saat ini?"
Kerutan samar muncul di dahi nyonya Park. Kalimat Chanyeol jelas telah mengenai titik menyakitkan dalam dirinya.
Tatapan Nyonya Park kembali jatuh ke arah Baekhyun. Kali ini ia memandangnya dengan lebih lama. Menimbang apakah ada sesuatu dari Baekhyun yang cukup layak untuk ia beri komentar.
"Apa ini omega yang pernah kau maksudkan?"
Tangan Chanyeol yang menggenggam jemari Baekhyun menegang. Dengan cepat Baekhyun mengeratkan genggamannya, menenangkan Chanyeol dengan usapan ibu jarinya.
"Nyonya Park. Perkenalkan, nama saya Byun Baekhyun." Baekhyun membungkukkkan badannya sopan.
"Seorang omega laki-laki. Apa kalian berencana memiliki anak?"
"Ibu." Kali ini Yoora yang angkat bicara. Agaknya apa yang sang ibu ucapkan sudah terlalu melenceng dari batas.
Tapi Chanyeol memilih tetap tenang.
"Mengapa tidak? Kami akan memiliki anak jika memungkinkan. Tidak jika tidak memungkinkan. Masih ada waktu untuk menentukan itu." Chanyeol memberi senyuman ke arah Baekhyun, berusaha membuat omeganya merasa tenang.
"Kalian bahkan tidak tahu seberapa beratnya tanggung jawab orangtua dalam membesarkan anak. Percayalah, itu tak akan mudah."
Chanyeol tesenyum.
"Kami memang tidak tahu. Tapi bagaimanapun nantinya, aku bersumpah. Kelak aku tidak akan pernah mengorbankan kebebasan anak kami hanya demi egoku semata. Kurasa aku sudah belajar cukup banyak tentang hal itu."
Nyonya Park meneguk wine nya seakan dirinya tengah meminum segelas racun. Dahinya berkerut mendengar jawaban putranya.
"Kau masih belum bisa memaafkan orangtuamu atas apa yang terjadi di masa lalu?"
Kali ini Chanyeol terkekeh pelan, seakan dirinya baru saja mendengar pertanyaan yang lucu.
Sejak dulu Nyonya Park adalah seorang wanita karir yang sangat sibuk. Karenanya Chanyeol lebih banyak tumbuh di bawah pengawasan seorang pengasuh, alih-alih ibunya sendiri.
Ibunya tidak pernah menjadi sosok yang dekat di mata Chanyeol. Jadi ketika Chanyeol melihat wanita itu diam saja di tiap tepi kekacauan, tidak sedikitpun membelanya, entah mengapa Chanyeol tidak merasa kecewa. Ikatan di antara mereka tidaklah dalam sejak awal.
"Aku sudah memaafkan semuanya. Namun jika Ibu sungguh menyesal, Ibu bisa membantuku memenuhi satu permintaan."
Ia memandang lekat ibunya. Sepasang mata yang nampak begitu asing di hidupnya.
"Mulai sekarang, jangan pernah sentuh aku dan keluargaku. Hanya itu."
Jantung Baekhyun mencelos di dalam rongga dadanya. Tangannya yang dingin digenggam Chanyeol erat.
Keluarga.
Setelah sekian lama, Baekhyun kini menjadi bagian dari sebuah keluarga.
Ibu Chanyeol memandang putranya. Selama sesaat Baekhyun mengira beliau tidak akan mengakhiri semua dengan semudah itu. Namun detik kemudian, beliau melepaskan pandangannya.
Nyonya Park sadar ini adalah titik maksimal yang mampu diperolehnya.
"Baiklah. Ibu mengerti."
Setelah itu, tidak banyak hal lain yang mereka bicarakan setelahnya. Hanya pertanyaan basa-basi tentang perkembangan bisnis, dan kabar mengenai beberapa kerabat lama. Tidak lama, setelah di rasa cukup, Chanyeol dan Baekhyun memutuskan untuk undur diri. Wine mahal di dalam gelas bahkan tidak tersentuh sama sekali.
Ketika mereka tiba di depan pintu keluar, Baekhyun memberanikan diri menoleh ke belakang. Pandangan ibu Chanyeol tertuju kepadanya. Namun kini, danau beku itu nampak perlahan mencair. Beliau tersenyum tipis, nyaris tak terlihat oleh orang lain.
Sejak meninggalkan restoran, Chanyeol tidak sedetikpun melepaskan genggaman tangannya pada Baekhyun.
Melalu feromon yang menguar dari tubuhnya, Baekhyun bisa tahu Chanyeol tidak dalam suasana hati yang baik. Jadi dengan lembut Baekhyun mengusap sebelah tangannya, berusaha memberikannya sedikit kenyamanan.
Selang beberapa menit mengemudi, Chanyeol membelokkan mobilnya ke tepi jalan, dan memarkirnya. Chanyeol menyandarkan tubuhnya dengan sebuah helaan nafas panjang.
"Lelah?" Tanya Baekhyun. "Ingin aku gantikan menyetir?"
"Tidak perlu. Let's just rest for a little bit."
"Um."
Melihat Baekhyun yang termenung, Chanyeol mengulurkan tangan membelai kepalanya.
"Apa yang kau pikirkan, hm?"
"Aku membayangkan. Andai saja aku tidak meninggalkanmu saat itu, mungkin kita akan bisa menguatkan satu sama lain. Akan ada lebih sedikit kesalahpahaman yang terjadi. Lebih banyak luka yang dapat dihindari. Bukankah begitu?"
Ibu jari Chanyeol menelusuri lengkung bibir kekasihnya yang kini mencebik sedih.
"Perpisahan itu memang menyakitkan. Tapi bukan berarti tidak ada hal positif yang datang darinya. Jika kita tidak berpisah, mungkin kita tidak akan punya keberanian untuk tumbuh hingga seperti sekarang. Kita begitu lemah dan tidak berdaya kala itu. Dan mungkin itu kenyataan yang pahit untuk diterima. Tapi pada nyatanya berpisah adalah keputusan terbaik yang bisa kita ambil saat itu."
"Andai saja kita tidak dipertemukan kembali setelahnya, apa yang akan terjadi dengan kita berdua?"
Chanyeol tersenyum lalu melayangkan sebuah kecupan kilat ke bibir Baekhyun.
"Maka aku akan menghabiskankan seumur hidupku mencarimu. Mungkin tidak pada hari itu, tapi aku tetap akan menemukanmu pada akhirnya."
