halo, untuk mengurangi rasa canggung karena datang tiba-tiba tanpa permisi, aku hanya ingin menyampaikan bahwa aku mempersembahkan cerita ini untuk kalian. aku tidak tahu apakah aku masih mampu menyihir kalian dengan tulisanku tapi kuharap kalian akan menyukai ini. happy reading 3
2002
Di suatu tempat di Itaewon-dong
"Ayo menikah."
Baekhyun tersedak kimchijiggae nya yang pedas sewaktu Chanyeol bicara begitu padanya tanpa tedeng aling-aling. Chanyeol dengan santai mendorong segelas air putih untuk anak itu dan dengan sabar menunggunya tenang.
Tenggorokan Baekhyun sakit, wajahnya memerah, dan jantungnya berdebar kencang penuh antisipasi. Ia menatap ke dalam mata Chanyeol, tahu bahwa kekasihnya bersungguh-sungguh.
"Kau sungguhan melamarku di kedai pinggir jalan?"
Chanyeol berkedip. "Eh, iya juga. Tidak romantis, ya?"
Baekhyun menghela napas. Terkadang Chanyeol-nya suka sekali mengutarakan sesuatu yang ada di kepalanya tanpa memprosesnya terlebih dahulu.
"Romantis, kok," sanggah Baekhyun, senyumannya merekah seperti bunga-bunga di musim semi, pesonanya tidak berkurang sama sekali. "Kau bawa cincinnya?"
Chanyeol mengangguk antusias, matanya berbinar. Dia kelihatan tampan sekali.
"Boleh aku berlutut sekarang?"
Baekhyun terkekeh. "Ya, boleh."
Chanyeol segera berdiri sambil merogoh sesuatu di dalam kantong jaketnya. Kemudian, ia jatuh berlutut di hadapan Baekhyun seperti menyerahkan seluruh dunianya untuk anak itu—dunia yang sejak dulu hanya berpusat pada anak itu. Orang-orang melirik ke arah mereka, menunggu momen yang akan merubah kehidupan mereka nantinya.
Cincinnya cantik sekali, desainnya minimalis namun tampak elegan. Chanyeol menabung selama tiga bulan untuk membelinya. Baekhyun berhak mendapatkan yang terbaik dari yang terbaik, begitu moto hidupnya.
"Byun Baekhyun, ayo kita menikah," katanya, suaranya bergetar karena emosi yang meluap-luap. "Orang-orang bilang kita tidak cocok karena sifat kita yang bertolak belakang, tapi justru itu yang membuat hubungan kita menjadi lebih menyenangkan. Aku cinta sekali padamu, kau tahu itu, kan? Terkadang kau membuatku hampir gila, begitu pun sebaliknya. Tapi aku yakin kita mampu melewati itu semua dan menjadikan setiap pertengkaran sebagai pelajaran. Ayo kita membangun hidup bersama sampai kita keriput dan tidak punya gigi."
Baekhyun tertawa, matanya melengkung membentuk bulan sabit. Anak itu kelihatan indah sekali dan Chanyeol dapat membayangkan akan seperti apa masa depan mereka; penuh tantangan, keajaiban, dan akan sangat menyenangkan.
"Oke, ayo kita menikah," jawab Baekhyun, matanya berkaca-kaca. Jantungnya berdebar untuk lelaki di hadapannya.
Setelah Chanyeol menyematkan cincin di jari manis Baekhyun, anak itu menerjangnya dan menyebabkan mereka jatuh ke tanah dalam posisi berpelukan. Dibawah bintang-bintang yang menyebar di langit malam, mereka berbagai ciuman, berbagai napas, tertawa dengan mulut yang masih menempel, jatuh cinta untuk kesekian kalinya pada satu sama lain sementara kerumunan orang di sekitar mereka bertepuk tangan dan bersulang untuk mereka.
2020
Di suatu tempat di Gangnam-gu
"Jadi begitu ceritanya," kata Baekhyun setelah memasukkan satu sak beras ke dalam troli. "Romantis, kan?"
Park Chanhyun, anak laki-laki berusia empat belas tahun yang tingginya hampir menyamai Baekhyun, menggeleng tidak setuju. Wajah anak itu mirip sekali dengan Baekhyun, begitupun dengan sifat, tapi fisiknya benar-benar seperti Chanyeol.
Anak laki-laki Chanyeol dan Baekhyun satu-satunya yang selalu disebut sebagai salah satu keajaiban di dalam hidup mereka. Anak laki-laki kebanggaan mereka.
"Dramatis," komentar Chanhyun. "Benar-benar khas dad."
"Memang suatu saat nanti kau mau melamar kekasihmu bagaimana? Membawanya ke restoran mahal?"
"Terlalu mainstream," kata Chanhyun sambil membantu ayahnya memasukkan beberapa karton susu dan jus ke dalam troli. "Aku tidak tahu mau melamar bagaimana. Kalau ternyata nanti aku tidak mau menikah bagaimana?"
"Tidak masalah," Baekhyun sama sekali tidak terlihat terguncang dengan pertanyaan Chanhyun. Anak laki-lakinya sudah dewasa sebelum usianya. Gaya bicaranya tidak seperti anak seusianya. Terkadang Baekhyun dan Chanyeol berharap mereka bisa melihat Chanhyun kecil lebih lama tapi mereka juga senang bayi mereka tumbuh dengan baik.
"Benar? Kalian tidak ingin cucu?"
Baekhyun menoleh ke arah Chanhyun, memberinya senyuman hangat.
"Kau tahu aad dan appa hanya ingin melihatmu bahagia. Itu saja sudah cukup."
"Kalau aku menjalin hubungan seperti paman Jongin dan paman Sehun, bagaimana? Saling mengasihi, tinggal bersama, memiliki anak, tapi tidak menikah."
"Kedengarannya seperti kisah cinta yang mengharukan," kata Baekhyun. "Mereka bahagia, bukan? Jadi tidak masalah jika kau ingin menjalani hubungan seperti itu juga."
Chanhyun terdiam cukup lama setelah itu, ekspresi wajahnya tampak berpikir dan Baekhyun dengan sabar menunggunya bicara lagi.
"Appa,"
"Ya, pujaan hatiku?"
Chanhyun membuat ekspresi seperti akan muntah. Baekhyun tertawa terbahak-bahak melihatnya.
"Ayo kencan di Itaewon. Tapi jangan bilang ke dad kalau kita makan di tempat odeng favoritnya. Nanti dia ngambeg."
"Oke, tapi jangan bilang dad juga kalau tadi Appa makan satu box donat cokelat. Deal?"
"Deal."
"Geser, dong."
Chanyeol menepuk pantat Baekhyun main-main kemudian berdiri di sebelahnya. Mereka sedang bersiap untuk gosok gigi dan membersihkan muka sebelum tidur.
"Bagaimana hari ini? Menyenangkan?" tanya Chanyeol sambil mengoleskan pasta gigi di atas sikat gigi Baekhyun kemudian menyerahkannya pada anak itu. Setelah itu baru dia mengoleskan untuk sikat giginya sendiri.
"Menyenangkan sekali," jawab Baekhyun sambil menggosok gigi. "Dia bilang kemungkinan tahun ini dia akan menjadi kapten di tim basketnya. Dia ingin latihan fisik lagi denganmu, kalau kau tidak sibuk."
"Itu berita bagus!" kata Chanyeol, hampir tersedak karena berbicara sambil menggosok gigi. Baekhyun dengan lembut menepuk-nepuk punggungnya. "Aku akan bicara padanya besok. Kita bisa mulai latihan lagi akhir minggu ini."
"Ide bagus," Baekhyun dengan cepat berkumur kemudian mulai membersihkan wajahnya. "Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"
Setelah menikah, Chanyeol memutuskan untuk berhenti menjadi akuntan dan mencoba membangun bisnis sendiri. PCY Enterprises Holdings, Inc yang bergerak di bidang perkembangan teknologi dibangun dari nol dengan kerja keras Chanyeol dan dukungan dari Baekhyun. Sedangkan Baekhyun masih dengan pekerjaan lamanya; penulis buku. Ia bekerja di rumah, yang mana sangat menguntungkan karena ia bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak dan suaminya. Sekarang ini ia sedang menulis seri terakhir dari trilogi buku nya yang selama tiga tahun berturut-turut masuk ke dalam kategori best-seller.
"Hari ini berjalan cukup melelahkan karena ada banyak meeting yang harus dihadiri," Chanyeol membasuh wajahnya, hampir lupa menggunakan facial wash kalau saja Baekhyun tidak menahan tangannya dan membantunya mengoleskan ke telapak tangannya. "Tapi semuanya masih dalam kendali. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bagaimana dengan perkembangan menulismu?"
"Sudah hampir mencapai bagian klimaks. Aku sedang berusaha menjaga ritme menulisku supaya tidak kehilangan flow nya sampai bagian terakhir."
Chanyeol menahan Baekhyun yang berjalan melewatinya kemudian menggendong anak itu seperti bayi koala. Baekhyun secara natural melingkarkan kedua tangannya di leher Chanyeol, sementara kedua kakinya melingkari pinggang suaminya.
Kadang-kadang Baekhyun merasa bersalah Chanyeol masih sering melakukan kebiasaannya yang suka menggendongnya. Bagaimanapun, usia mereka tidak muda lagi jadi anak itu khawatir kebiasaan ini akan membuat kondisi punggung Chanyeol memburuk. Tapi suaminya selalu menggeleng dan dengan tegas mengatakan bahwa ia masih sehat. Ia pergi ke tempat gym setidaknya dua kali seminggu untuk mempertahankan staminanya.
Chanyeol mencium ujung hidung Baekhyun dengan lembut. "Aku yakin kau pasti bisa melakukannya dengan baik."
Baekhyun balas mencium ujung hidung Chanyeol, tersenyum lebar sambil menunjukkan giginya yang rapi. Garis-garis halus di sekitar area matanya mulai terlihat tapi bagi Chanyeol, anak itu masih terlihat indah seperti pertama kali ia melihatnya.
Tidak berubah sama sekali.
"Aku juga percaya kau akan memenangkan project ini."
Chanyeol membawa Baekhyun ke ranjang, mendekap nya di dada setelah menyelimuti tubuh mereka. Setelah hari panjang dan melelahkan yang mereka melewati, akhirnya mereka bisa beristirahat bersama orang yang mereka kasihi.
1994
Di suatu tempat di Gangnam-gu
"Hyung, kau serius tidak tahu kalau kapten basket sekolah kita sudah menyukaimu sejak hari penerimaan siswa baru?"
Sehun, adik sepupu Baekhyun yang lebih muda dua tahun darinya, bertanya dengan bingung ketika mereka sedang menikmati makan siang di kantin. Baekhyun menatapnya dengan curiga, lalu menggeleng.
"Tidak," jawab Baekhyun. "Maksudmu Park Chanyeol?"
Sehun memutar bola mata. "Memangnya kita punya berapa kapten basket?"
Baekhyun menyendok bokkeumbap favoritnya sambil mengangkat bahu acuh sehingga membuat Sehun geram sendiri melihatnya.
"Hyung, aku sedang serius sekarang!"
"Aku juga serius, Oh Sehun. Aku tidak tahu kalau Park Chanyeol suka padaku."
Sehun cemberut sambil menyedot susu pisang favoritnya. Tapi Baekhyun tahu sepupunya tidak akan berhenti sebelum ia mendapatkan apa yang ia mau. Anak bungsu sepertinya tahu betul bagaimana caranya memanipulasi orang supaya menuruti keinginannya.
"Memangnya kau tidak pernah merasa kalau sedang disukai oleh Park Chanyeol?"
Baekhyun mengerang. "Bagaimana mungkin aku bisa merasa kalau setiap bertemu dengannya, dia selalu melotot padaku?"
"Nah, itu!" Sehun berseru sambil menggebrak meja, mengagetkan beberapa siswa yang duduk dengan mereka. Baekhyun mendesis sambil menatapnya dengan tatapan memperingatkan tapi sepupunya itu tidak peduli. "Berarti kau sadar bahwa dia sering menatapmu!"
"Kubilang dia melotot padaku!"
"Bukan, ish. Mata Park Chanyeol, kan, memang besar jadi dia terlihat seperti melotot padahal tidak. Dia sedang memperhatikanmu!"
Baekhyun merasa ingin sekali menjambak rambutnya sendiri karena frustasi. Semua ini berawal dari sebuah pernyataan di salah satu rubrik majalah sekolah mereka, The Breakfast Club, yang dirilis satu minggu yang lalu. Park Chanyeol secara terang-terangan menyebut namanya. Meskipun ia hanya menyebutkan inisial, Sehun tahu betul untuk siapa itu ditujukan.
Begini isi pernyataan Park Chanyeol yang membuat sekolah heboh dan bertanya-tanya siapa orang yang merebut perhatian ketua tim basket mereka.
Dari: Park Chanyeol
Untuk: B.B.H
Aku masih menanti jawaban darimu.
Sebaris kalimat itu berhasil membuat semua orang penasaran. Orang lain masih berusaha menebak untuk siapa pernyataan itu ditujukan, tapi Sehun langsung dapat menebaknya segera setelah ia membacanya.
"Berapa lama lagi kau akan membuatnya menunggu? Dia sudah menunggumu sejak kalian masih kelas satu."
"Jangan banyak bicara dan habiskan nasi gorengmu, Oh Sehun."
"Baekhyun?"
Chanyeol nyaris tersandung ketika Baekhyun tiba-tiba muncul di hadapannya, kelihatan lebih mungil dari yang Chanyeol kira, padahal ia setiap hari memperhatikan anak itu. Mulutnya sedikit terbuka karena tercengang. Baekhyun terlihat seperti malaikat tanpa sayap yang baru saja turun dari langit. Ia tidak butuh cahaya untuk membuatnya terlihat bersinar. Berdiri begitu saja sudah indah. Cantik sekali.
Jantung Chanyeol berdebar, jatuh cinta untuk kesekian kalinya.
Mereka berdiri di lapangan basket sekolah yang sudah sepi. Matahari telah tenggelam, langit berubah gelap dengan beberapa taburan bintang, angin berhembus pelan membelai wajah mereka. Chanyeol memang sering menghabiskan waktu beberapa jam di lapangan setelah menyelesaikan latihan turin dengan tim nya.
"Kau menungguku sejak tadi?"
Baekhyun berdeham sebelum mengangguk dengan canggung, tidak menatap wajah Chanyeol. Sedangkan Chanyeol saat ini sedang panik karena penampilannya sungguh berantakan. Ia masih menggunakan seragam basket yang melekat ke tubuhnya karena keringat, rambut dan wajahnya juga penuh dengan peluh.
Benar-benar bukan waktu yang tepat untuk berbicara dengan orang yang sudah lama ia sukai. Tapi ia tidak akan membuang kesempatan ini. Ia sudah menunggu lama.
Akhirnya, saat ini telah tiba.
"Aku membaca pesan yang kau tulis di rubrik The Breakfast Club tapi aku tidak tahu jawaban apa yang kau tunggu."
Senyum Chanyeol seketika pudar. Ekspresi wajahnya berubah bingung.
"Kau tidak menerima surat dariku?"
Baekhyun menghela napas panjang. Ia merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan sebuah pita berwarna merah. Pipinya bersemu di bawah cahaya remang-remang lampu lapangan.
"Aku menerimanya. Aku melihat namamu tertulis di surat tapi aku belum sempat membaca isinya karena ibuku secara tidak sengaja memasukkan hoodieku ke dalam mesin cuci. Surat itu ada di kantong hoodieku dan hanya pita ini yang bisa aku selamatkan."
Baekhyun menjelaskan dalam satu tarikan nafas panjang. Bagaimanapun, ia merasa gugup berhadapan dengan seorang Park Chanyeol, bintang sekolah, the life of the party. Semua orang tahu namanya dan ingin berteman dengannya.
"Astaga," Chanyeol tiba-tiba tertawa, sudut bibirnya terangkat, memperlihatkan senyum nya yang khas. Matanya bersinar dan Baekhyun seketika menahan napas, tidak menyangka bahwa itu aja cukup membuatnya terpesona. "Selama ini aku berpikir bahwa kau menghindariku. Aku pikir surat dariku membuatmu takut dan canggung."
"Aku tidak menghindarimu, kok," sanggah Baekhyun, suaranya sedikit terbata-bata. "Maaf aku tidak berkata apa-apa soal ini sejak awal. Aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan ini padamu."
Hening sejenak.
"Byun Baekhyun,"
"Ya?"
Baekhyun mendongak ketika Chanyeol secara tiba-tiba menyebut nama lengkapnya. Untuk pertama kalinya sejak mereka mengenal satu sama lain, mata mereka bertemu, dan pada saat itu dunia tempat mereka berpijak tiba-tiba saja berpusat pada titik yang sama. Debaran halus di dalam diri mereka tidak mengejutkan, rasanya lebih familiar sekarang.
"Kau suka odeng?"
Baekhyun berkedip, terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut tapi ia mengangguk.
"Ya, aku suka."
"Aku juga," Chanyeol tersenyum lagi. Baekhyun berpikir akan seperti apa rasanya jika ia harus melihat senyuman itu lebih sering. Rasanya bukan suatu yang buruk. Ia rasa ia bisa membiasakan diri dengan itu.
"Aku tahu tempat yang menjual odeng enak di sekitar Itaewon. Kau mau ke sana bersamaku?"
"Oke, ayo ke sana."
2023
Di suatu tempat di Jungnang-gu
"Jaehyunie, sayang, bisakah kau antarkan kue ini untuk papa?"
Jaehyun, anak laki-laki berusia tujuh tahun yang terlihat seperti duplikat dari Sehun, mengangguk antusias sambil mengulurkan tangannya. Sehun menaruh piring berisi kue bolu yang baru saja ia buat di atas tangan putranya kemudian mengusap rambutnya dengan gemas.
Baekhyun yang duduk di bar stool tersenyum melihat tingkah keponakannya. Jaehyun itu seperti malaikat. Sifatnya seperti Jongin meskipun fisiknya mirip dengan babanya. Untung anak itu tidak usil seperti Sehun.
"Baba, Jaehyunie boleh bermain game bersama papa setelah ini?"
Sehun mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa tidur siang setelah ini, oke?"
"Oke!"
Jaehyun tersenyum lebar sebelum melangkah ke depan dan menenggelamkan wajahnya di perut Sehun yang sudah mulai terlihat membesar dibalik oversized t-shirt nya. Bocah itu mendaratkan satu kecupan penuh kasih sayang kemudian berbisik, "Hyung pergi main dulu ya, adik manis."
Aksinya sukses membuat hati Baekhyun dan Sehun menghangat.
Jaehyun kemudian berbalik pada Baekhyun dan melambai padanya. "Bye, paman Baekkung!"
"Bye, Jaehyunie tampan!"
Begitu Jaehyun menghilang dari dapur, Baekhyun mengeluarkan desah panjang.
"Jaehyunie lucu sekali. Aku tidak menyangka sebentar lagi dia akan menjadi kakak."
Sehun mengambil tempat duduk berseberangan dengan Baekhyun kemudian menyodorkan sepiring yakgwa pada sepupunya. Baekhyun mengunyah yakgwa tersebut sambil menatap perut Sehun dengan pandangan menerawang.
Sekarang ini kehamilan Sehun sudah memasuki bulan keempat dan karena kondisinya yang lemah dibandingkan kehamilan sebelumnya, Jongin tidak mengijinkannya untuk bekerja. Sehun, secara ajaib, menurut tanpa protes. Padahal biasanya bocah itu suka sekali membuat argumen-argumen yang membuat sakit kepala sebelum akhirnya menyerah. Kali ini Sehun menyerah tanpa perlawanan karena ia sadar betul usianya tidak semuda dulu dan ia benar-benar harus lebih berhati-hati. Baekhyun bangga sekali sepupunya tumbuh dewasa seiring berjalannya waktu.
"Jangan berpikir macam-macam," kata Sehun, membangunkan Baekhyun dari lamunannya.
"Aku tidak sedang memikirkan apa-apa, kok."
Sehun memutar bola mata, tahu benar bahwa Baekhyun sedang berkelit.
"Hyung, kau tahu, kan, apapun yang terjadi Chanyeol hyung dan Chanhyunie akan selalu cinta padamu?"
Baekhyun mengangguk. Anak itu tidak pernah meragukan cinta Chanyeol untuknya.
"Chanhyunie juga tidak masalah menjadi anak tunggal," kata Sehun, suaranya melembut. Baekhyun mengangguk lagi dengan tenggorokan tercekat. "Kau tidak usah khawatir tentang pendapat orang lain."
Kehamilan pertama Baekhyun adalah kehamilan terakhirnya. Ia mengalami pendarahan hebat saat melahirkan Chanhyun dan hampir kehilangan nyawanya. Dokter bilang ia masih bisa hamil tapi resikonya tinggi sekali. Akhirnya ia dan Chanyeol sepakat untuk memiliki satu anak saja. Ada saat dimana Baekhyun ingin mencobanya lagi tapi ia tahu Chanyeol tidak akan mau karena lelaki itu yang memintanya berjanji untuk tidak melewati proses itu lagi.
Pernah suatu ketika Chanhyun bertanya kenapa ia tidak memiliki adik kemudian Chanyeol mengajak anak laki-lakinya berbicara. Setelah itu, Baekhyun tidak pernah mendengar Chanhyun membahas soal adik lagi. Chanyeol juga tidak mau memberitahunya apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Katanya itu adalah rahasia antara dirinya dan Chanhyun.
Perasaan mendamba itu sesekali muncul, meskipun tidak akan bertahan lama karena Chanyeol dan Chanhyun tahu sekali bagaimana caranya membuatnya merasa cukup dan dicintai. Terkadang, ada saatnya Baekhyun ingin menggoda Chanhyun dengan bertanya padanya apakah ia ingin seorang adik, tapi anak laki-lakinya selalu menanggapi dengan serius.
"Aku, kan, sudah punya adik," jawab anak laki-lakinya, suaranya yang berat terkadang masih tidak cocok dengan usianya yang sangat muda. "Jaehyunie adikku. Aku sudah menjadi seorang kakak. Appa tidak perlu memikirkan soal ini."
Setiap kali Chanhyun menenangkannya seperti orang dewasa, Baekhyun akan berakhir menangis di dalam toilet selama sepuluh menit penuh, merasa bahagia sekaligus lega memiliki suami dan anak yang sangat mencintainya.
"Hyung, setiap keluarga itu berbeda dan mereka semua sempurna dengan caranya sendiri. Tidak usah berpikir aneh-aneh. Lebih baik kau memikirkan Chanhyunie yang tidak jadi pergi ke Boston dan malah ke SNU karena orang yang dia suka akan mendaftar di sana. Yah, meskipun dia menyangkalnya karena belum siap membicarakan hal ini dengan kita."
Baekhyun langsung mengerang, nyaris meraung di tempat duduknya karena adik sepupunya mengingatkannya tentang hal itu. Mereka berakhir mendiskusikan perilaku Chanhyun dan sepakat bahwa mereka akan mendukungnya dalam keadaan apapun selama tidak menyimpang norma dan merugikan orang lain.
2006
di suatu tempat di Gangnam-gu
Chanyeol tahu bahwa Baekhyun akan pergi ke kamar mandi diam-diam segera setelah ia tertidur jadi ia buru-buru memejamkan mata dan tidak bergerak ketika suaminya meluncur dari ranjang, berjalan mengendap-endap ke kamar mandi. Ia menunggu pintu kamar tertutup sebelum akhirnya bangkit dan menunggu di depan pintu kamar mandi.
Samar-samar, ia mendengar suara suaminya yang sedang meracau.
"Ibu, aku harus bagaimana? Aku tidak tahu. Tidak tahu harus bagaimana."
Chanyeol mendengar suaminya bernapas putus-putus, air mata membuat suaranya tercekat. Ia ingin segera berlari menghampirinya tapi dengan cepat menahan diri.
"Takut, bu. Takut sekali," Baekhyun mulai terisak-isak. Hati Chanyeol terasa seperti diremas dengan brutal. Tangisan itu terdengar sangat memilukan, penuh putus asa—itu adalah tangisan yang sudah lama Baekhyun tahan.
Dan akhirnya, tangisan itu pecah juga.
"Aku takut sekali, bu. A-aku bahkan tidak sanggup bicara dengan Chanhyunie hari ini. D-dia menendang perutku sepanjang hari tapi aku mengabaikannya. Aku jahat sekali, bu. Jahat pada, Chanhyunie—hiks."
Chanyeol terdiam dengan ekspresi kosong, kemudian jantungnya seolah jatuh ke tanah ketika ia akhirnya mengingat detail yang terlewatkan.
Ingatannya melayang pada percakapan serius antara dirinya dan ibu mertuanya. Saat itu Byun Ahra datang membawa sup tulang iga favorit Baekhyun. Sambil memperhatikan wajah Baekhyun yang tertidur setelah menghabiskan makan siangnya, Ahra memberitahu Chanyeol tentang ketakutan Baekhyun pada anak laki-laki.
"Dia takut tidak bisa menghadapi anak laki-laki karena dia juga laki-laki. Kau tahu, hubungan Baekhyunnie dengan ayahnya pernah memburuk saat dia remaja. Mereka jarang berbicara. Dia menuduh ayahnya tidak lagi peduli padanya, ayahnya melabelinya sebagai anak yang tidak penurut. Hingga akhirnya ia pergi ke Seoul untuk melanjutkan sekolah menengah atas karena ingin menghindari ayahnya. Butuh waktu lama untuk Baekhyun mengerti bahwa ayahnya sayang padanya. Hanya saja ayahnya tidak tahu bagaimana mengungkapkannya melalui kata-kata dan tindakannya sangat minimalis."
Sorot mata Ahra berubah menjadi sedih dan bersalah ketika memandang putranya.
"Dia takut hubungannya dengan anak laki-lakinya akan berakhir menjadi perang dingin. Suatu hari nanti, kau pasti akan melihat serangan panik itu," Ahra menoleh ke menantunya, meraih tangannya lalu meremasnya pelan. "Saat itu terjadi, jangan biarkan dia sendirian dengan pikiran buruknya. Tunjukkan dukunganmu padanya."
Chanyeol ingat saat itu ia mengangguk pada ibu mertuanya. Namun, lihat apa yang terjadi saat ini. Serangan panik itu mungkin sudah Baekhyun alami sejak awal kehamilannya, sejak berbulan-bulan yang lalu, dan ia baru menyadarinya sekarang.
"Ya Tuhan," desah Chanyeol, frustrasi dengan dirinya sendiri.
Di dalam sana tidak terdengar apapun selain isakan Baekhyun, namun Chanyeol tahu anak itu sedang mendengarkan ibunya berbicara di sambungan telepon.
"Bu," Baekhyun masih terisak-isak dan Chanyeol ingin sekali memeluk suaminya sekarang, melindunginya dengan seluruh hidupnya. "A-aku bisa jadi ayah yang baik untuk Chanhyunie, kan? Kita akan jadi sahabat seperti kau dan aku, kan?"
Hening yang cukup panjang, tangisan Baekhyun masih terdengar, tapi ia tidak lagi histeris seperti sebelumnya.
"Aku sayang padamu, bu. Terima kasih untuk segalanya."
Chanyeol mendorong pintu kamar mandi hingga terbuka setelah tangisan Baekhyun mereda. Hal pertama yang ia lihat adalah suaminya bersimpuh di lantai, menangis sambil memeluk perutnya. Pemandangan itu menghancurkan hati Chanyeol, membuat air mata berkumpul di sudut matanya, dan dalam sedetik ia sudah jatuh berlutut di hadapan suaminya kemudian memeluk tulang rusuknya seerat mungkin.
"Maafkan aku, maafkan aku," bisik Chanyeol berkali-kali, suaranya pecah. "Maafkan aku tidak berada untukmu disaat terburukmu. Maafkan aku karena melewatkan banyak hal."
Baekhyun mencengkram lengan Chanyeol, menangis lagi di dada suaminya. Wajahnya berubah merah dan air matanya menembus piyama Chanyeol.
"A-aku takut. Ta-takut tidak bisa jadi ayah yang baik untuk Chanhyunie. Aku takut anak laki-laki ku akan membenciku nantinya."
Chanyeol menarik wajah Baekhyun menggunakan satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain melingkari punggung Baekhyun dengan sikap melindungi.
"Tidak," bisik Chanyeol. Bibirnya mencium sudut bibir Baekhyun yang terbuka, merasakan air matanya yang asin. "Itu tidak benar. Anak laki-laki kita akan mencintaimu sebesar cintamu padanya. Kau tidak sendirian, ada aku. Ada Chanyunie juga. Kami sayang sekali padamu."
"Ta-tapi itu mungkin saja terjadi," sangkal Baekhyun. "D-dia akan tumbuh cepat sekali dan aku tidak bisa mengimbanginya. Mungkin dia akan sibuk dengan dunianya sendiri dan tidak mengijinkanku untuk memasuki dunia tersebut. Kita mungkin tidak akan pernah cocok."
Chanyeol mengelus puncak kepala suaminya, merasakan keringatnya di bawah telapak tangannya.
"Chanhyunie sayang padamu," kata Chanyeol. Seolah-olah Chanhyun dapat mendengarkan mereka, Baekhyun mendapatkan satu tendangan halus; jenis tendangan yang diberikan Chanhyun saat kedua orang tuanya mengungkapkan betapa sayangnya ia pada bayi laki-laki mereka. Itu sebagai ungkapan 'aku sayang padamu juga' melalui tendangannya.
Air mata Baekhyun mengalir semakin deras.
"K-kau tidak akan meninggalkanku, kan? Meskipun suatu saat nanti aku bisa saja memberikan contoh yang tidak baik untuk Chanhyunie atau tidak memahaminya? Kau akan selalu berada di sisiku dan mendukungku, kan?"
Chanyeol menangkap rahang suaminya, menatap matanya dengan penuh cinta. Ia menghapus air mata yang mengalir di pipinya, kemudian mencium ujung hidungnya yang semerah tomat. Sambil menghela napas, ia menyatukan dahinya dengan dahi Baekhyun yang dipenuhi keringat.
"Kau selalu memiliki diriku dan Chanhyunie. Selalu."
Kemudian mereka berpelukan dengan bayi laki-laki mereka yang terhimpit di tengah, terlingkupi sempurna oleh cinta kedua orang tuanya.
2024
Di suatu tempat di Yeongyang-gun
Chanyeol memeluk Baekhyun dari belakang, berdiri di depan tenda camping yang mereka bangun tadi siang. Bintang-bintang menyebar di langit malam, memancarkan cahaya keperakan di puncak pepohonan. Udaranya agak dingin untuk awal musim semi.
Berkemah bersama merupakan salah satu tradisi mereka sejak berpacaran. Frekuensinya semakin berkurang setiap tahunnya karena tanggungjawab yang mereka miliki semakin besar dan menyita banyak waktu mereka. Tapi mereka selalu berusaha untuk menghabiskan waktu bersama.
Malam ini suasana hati mereka masih diliputi rasa haru dan sedikit kesedihan meskipun sudah satu minggu Chanhyun meninggalkan mereka. Anak itu tidak jadi pergi ke SNU setelah mengalami patah hati yang hebat beberapa bulan sebelum ujian kelulusan. Chanyeol dan Baekhyun kelimpungan menghadapi anak remaja yang mengalami guncangan hati untuk pertama kalinya. Selama beberapa minggu Chanhyun tidak keluar rumah dan hanya berbicara secukupnya. Tidak banyak yang bisa mereka lakukan selain berada di sisi anak itu. Patah hati bukan penyakit yang bisa disembuhkan dengan obat. Itu hanya bisa disembuhkan oleh waktu dan sangat normal terjadi pada semua orang.
Chanhyun bangkit lebih cepat dari yang Chanyeol dan Baekhyun harapkan. Tahu-tahu saja anak itu sudah kembali normal, melakukan aktifitas seperti biasanya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Anak itu tidak banyak bercerita tentang kisah cintanya dan Chanyeol dan Baekhyun menghormati keputusannya.
Beberapa minggu sebelum ujian, Chanhyun mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa ia ingin pergi ke Barcelona dan menjelaskan secara detail rencana masa depannya. Chanyeol dan Baekhyun mendukung penuh keputusannya dan memberitahunya bahwa mereka bangga sekali padanya.
"Dia akan baik-baik saja, kan?"
Chanyeol mengeratkan pelukannya pada Baekhyun, menempelkan pipi mereka. Udara malam berhembus menerpa wajah mereka, aroma musim semi terasa seperti babak pembuka setiap cerita.
"Tentu saja. Dia anak laki-laki kita yang hebat. Tentu saja dia akan baik-baik saja."
Hening sejenak.
"Chanyeolie?"
"Ya, Baekhyunie?"
"Apakah kau bahagia?" tanya Baekhyun, pandangannya menerawang. Ia bisa merasakan hembusan napas hangat Chanyeol di wajahnya, bisa merasakan kehangatan dari rengkuhan lengan kekarnya, dan bisa merasakan cintanya yang tidak berhenti tumbuh dari detakan jantungnya.
"Aku bahagia sekali," jawab Chanyeol bersungguh-sungguh. "Untuk hari-hari baik dan buruk yang sudah dan akan kita lewati, aku bahagia."
"Aku juga," kata Baekhyun, dadanya penuh oleh cinta yang ia miliki untuk Chanyeol dan putra mereka. "Jangan lupakan sumpah pernikahan kita. Ingat, kau terikat denganku selamanya. Tidak ada jalan keluar."
Chanyeol tertawa, suaranya sedikit lebih berat dan serak sekarang karena usianya, tapi masih memiliki ciri khas yang sama.
"Selamanya?"
"Selamanya."
Malam itu, seperti malam-malam yang sudah mereka habiskan bersama, mereka jatuh tertidur di pelukan satu sama lain dan dengan jantung mereka berdetak dengan ritme yang sama.
with all of my heart,
babysteph.
