✧・゚: *✧・゚:* *:・゚✧*:・゚✧
CHARMSPEAK
BUT NOT
CHARMING
✧・゚: *✧・゚:* *:・゚✧*:・゚✧
Disclaimer : I made my own storyline, but the idea of this story come from Rick Riordan's novel, The Heroes of Olympus series—and Baekhyun's ability to charmspeak was inspired from Piper McLean, one of the main heroine in the book. When I first start reading The Lost Hero (the first book of the series), I fell so hard for Piper, and that's why I came up with this story. If you haven't read the book yet, now's the perfect time! Happy reading! xoxo
Charmspeak adalah suatu kemampuan untuk menghipnotis atau membujuk sesorang. Seorang charmspeaker bisa meyakinkan orang-orang untuk berbuat sesuai kehendak mereka. Kekuatan dalam membujuk ini tergantung dari intonasi dan emosi suara yang mereka gunakan. Minus poinnya adalah bahwa efek dari hipnotis atau bujukan ini hanya bertahan selama beberapa menit, sehingga jika seorang charmspeaker hendak memperpanjang efeknya, mereka harus terus-menerus 'membujuk' korban mereka.
Lorong kampus yang selalu penuh ketika ia berjalan—orang-orang memadatinya seperti semut mengerubungi gula, pujian-pujian yang menyertainya, berbagai hadiah, kado dan surat cinta yang selalu penggemarnya berusaha selipkan di pelukannya, Baekhyun mencintai semuanya sama seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Seburuk apapun perilakunya, orang-orang selalu memperlakukannya seperti ia orang yang paling tidak berdosa—atau setidaknya begitu ketika Baekhyun menginginkannya.
Bahkan ketika ia bergonta-ganti pacar dengan alasan yang tidak jelas, tidak ada yang membencinya, tidak ada yang memakinya. Semua orang menyukai paras manis dan daya tarik mautnya.
Bertubuh mungil dengan pipi berisi, Baekhyun adalah mahasiswa berumur 22 tahun yang saat ini berkuliah di jurusan manajemen—baru saja memulai tahun keduanya. Baekhyun berparas luar biasa cantik—bulu matanya tebal dan lentik dengan hidung mungil dan bibir tipis, kulit wajah halus yang membuat orang-orang iri, serta baru-baru ini ia mengecat rambutnya dengan warna putih yang ia kombinasikan dengan warna pink pada setiap ujung helainya.
Mereka mulai menyebutnya ttalgi-uyu Baekhyun—si Stoberi Susu Byun Baekhyun.
Baekhyun sama sekali tidak masalah dengan julukan itu—malah, ia menyukainya. Jelas sangat cocok untuknya.
Untuk orang yang baru pertama kali melihat, mereka akan yakin bahwa mereka baru saja melihat malaikat jatuh. Pesona Byun Baekhyun luar biasa—ketika kau menatap matanya, warnanya akan berganti-ganti sesuai mood-nya.
Semua tentang Baekhyun adalah magis—seperti ia seharusnya berada di dalam dongeng.
Dan Baekhyun memang benar hidup dalam dongeng—dunia buatannya sendiri dimana ia adalah orang paling penting sehingga ia bisa melakukan apapun yang ia inginkan.
"Sunbae, bisa tolong pegangkan ini?" Baekhyun berhenti melangkah, begitu juga dengan rombongan kerumunan di belakangnya. "Tanganku pegal sekali," lanjutnya dengan suara merajuk, sesekali mengibas-ibaskan bulu matanya.
Pria yang menjadi sasaran Baekhyun bernama Taeil, seniornya di kampus yang belakangan ini mengekorinya kemana-mana, mengklaim dirinya sebagai tangan kanan (pesuruh) Baekhyun dengan dada membusung. "Te-tentu, Baekhyun-ah!"
Taeil meraup beberapa batang cokelat dan kotak-kotak kecil yang barangkali berisi hadiah dan surat cinta dari pelukan Baekhyun.
Baekhyun membalasnya dengan senyum manis bak malaikat. "Trims, sunbae."
Jika Taeil adalah karakter dalam komik, maka barusan matanya akan menonjol keluar dengan bentuk hati akibat senyuman dari Baekhyun.
Beberapa perempuan di belakang Baekhyun yang barangkali adalah junior berulang kali menuturkan pujian kepadanya, begitu juga dengan senior-senior pria yang kini tengah mengapitnya.
Salah seorang dari mereka berkata, "sunbae, kulitmu bagus sekali."
"Iya, benar. Lihat pipinya yang seperti porselen dan bentuk bibirnya."
"Oh! Jangan lupakan matanya yang lucu dan indah!"
Baekhyun terkikik geli, menebarkan senyum malu-malunya. Pujian yang bersahut-sahutan itu sama sekali tidak ada putusnya.
"Sunbae, lip balm apa yang kau gunakan? Warnanya semerah ceri."
Baekhyun mengedipkan matanya pada gadis yang bertanya tadi. "Aku tidak menggunakan make up jenis apapun." Jawabnya—dan ia tidak berbohong. Baekhyun tidak pernah mencoba menggunakan apapun pada wajahnya, kecuali mungkin perawatan malam yang hanya terdiri dari ritual membasuh muka dan menggunakan pelembab.
"Ah, sungguh? Sunbae apakah kau yakin dirimu manusia—maksudku kau yakin dirimu bukan malaikat yang sedang menyamar?"
Menyisipkan rambutnya yang bertekstur sehalus sutra, Baekhyun menggeleng lucu. "Jangan berkata seperti itu…"
Kerumunan itu mendadak saja jadi riuh. Baekhyun yang tersipu malu tampaknya cukup membuat mereka kewalahan—padahal Baekhyun tidak menggunakan kekuatan penuh pada intonasi berbicaranya saat ini.
Salah seorang dari kerumunan mulai berteriak. "Ttalgi-uyu Byun Baekhyun! Ttalgi-uyu Byun Baekhyun! Ttalgi-uyu Byun Baekhyun!"
Kerumunan yang mengelilingi Baekhyun mulai mengikuti melantunkan kalimat itu secara bersamaan—bergema di sepanjang lorong, menemani Baekhyun menuju kelas paginya.
Ketika ia sampai di kelas pagi itu—bahkan ketika sosok Baekhyun baru muncul di depan pintu kelas, semua orang memanggil namanya.
"Baekhyun! Disini!"
"Tidak! Disini saja, Baekhyun!"
"Baekhyun aku menyisakan kursi untukmu!"
"Baekhyun—"
Baekhyun meringis—meski begitu ia tetap berusaha menebarkan senyumnya yang paling sempurna.
Hal yang paling mengganggu mungkin adalah ini—orang-orang merebutkan dirinya dan berakhir dengan saling menonjok jika Baekhyun memihak salah satunya. Belajar dari masa lalu, ketika ia seorang freshmen, Baekhyun tahu ia tidak boleh seperti itu. Ia harus selalu baik terhadap semua orang dan setidaknya memperlakukan mereka secara adil.
Jadi Baekhyun melambai manis pada setiap orang yang memanggil namanya, namun tidak memilih duduk diantara salah satu dari mereka.
Bangku yang tidak pernah menjadi sasaran hanyalah bangku paling depan—ruang kelas mereka terdiri dari 7 deret bangku yang memanjang. Tiap deretnya berisi 10 kursi. Bangku paling belakang adalah bangku favorit—sudah jelas bahwa mereka bisa lebih leluasa untuk tidur atau makan snack—bangku paling belakang juga merupakan bangku favorit Baekhyun, namun akhir-akhir ini ia menyerah dan lebih memilih untuk duduk di bangku paling depan saja.
Alasannya? Menghindari konflik antar penggemar, tentu saja.
Mereka semua terperangah ketika Baekhyun duduk tepat di tengah-tengah deret bangku paling depan—berhadapan dengan papan tulis dan layar proyektor, serta tenaga pengajar mereka.
"Ssssst! Baekhyun!"
Baekhyun menoleh ke belakang dan tersenyum. "Ya?"
"Kenapa duduk disitu?" Lee Taeyong memasang wajah panik, merupakan teman sekelas Baekhyun yang paling gencar mendekatinya meski sudah ditolak belasan kali—setiap kali ditolak (satu kampus mereka mengatai ia pecundang) Taeyong biasanya hanya akan menyeringai lebar dan berkata 'Baekhyun sungguh berhati mulia, ia masih mau menjadi temanku meski dia sudah menolakku.' Sungguh tragis.
"Hmmm," Baekhyun bergumam, menopang wajahnya dengan telapak tangannya. "Aku harus fokus untuk mata kuliah ini, Taeyong. Jadi kupikir duduk di depan bisa membuatku berkonsentrasi lebih baik."
Taeyong memegangi dadanya dengan wajah yang jelas kalah telak.
Reaksi yang membosankan itu jelas tidak menarik bagi Baekhyun, jadi ia segera berbalik menghadap ke papan tulis. Beberapa orang di belakangnya berbisik-bisik dengan kagum—tapi Baekhyun masih bisa mendengarnya dengan sangat jelas.
"Bukan hanya manis, tapi juga sangat rajin!"
"Ya ampun, apa yang harus aku lakukan untuk bisa dilahirkan kembali menjadi dirinya?"
"Byun Baekhyun… ah, hatiku jatuh untuk dirinya berkali-kali."
Baekhyun cekikian mendengar bisikan yang bersahut-sahutan itu.
Sungguh, hidupnya sempurna!
Ketika saat kelas dimulai, Baekhyun teringat ketika pertama kali ia mengetahui tentang kemampuannya.
Pikirannya berkelana jauh saat ia berada di tahun akhir sekolah menengah atas.
Byun Baekhyun hanyalah seorang pemuda biasa berumur 19 tahun saat itu. Ia tidak sepopuler sekarang—tapi teman-temannya selalu mengatakan bahwa dirinya memang berparas manis, yang sejujurnya tidak pernah ia percayai karena ia berpikir bahwa teman-temannya hanya berusaha menggodanya.
Semuanya berawal ketika ia pulang lebih sore dari murid lain karena kecintaannya terhadap klub drama. Aktivitas klub drama termasuk cukup padat, mengharusnya para anggotanya untuk menghafalkan beberapa dialog untuk sebuah pementasan.
Baekhyun sudah memerankan beberapa peran saat ini, hanya peran kecil seperti pohon dan hewan. Tapi untuk pementasan Snow White yang digelar untuk menyambut murid baru, Baekhyun akhirnya memerankan peran sungguhan; salah satu kurcaci yang melayani Putri Salju. Teman klubnya bersikukuh bahwa ia harus melakukannya karena ia pendek.
Kalimat itu tidak membuat Baekhyun berkecil hati sedikitpun, karena ia lebih senang fokus dengan peran barunya, yang membuat mereka latihan hingga sore hari.
Ketika ia dalam perjalanan pulang menaiki sepedanya, seorang wanita tiba-tiba menghadangi jalannya saat ia baru saja keluar dari gerbang.
Decit rem sepeda yang ia kendarai terdengar seperti jarum di telinganya.
"Woah!" Baekhyun berseru. "Bibi, apa kau tidak apa-apa?" ia turun dari sepeda dan mendekati wanita itu, yang omong-omong sedang menudingnya dengan jarinya yang bengkok.
Ia memakai baju terusan dengan warna-warna yang bertabrakan. Sebuah bandana berwarna serupa ia ikatkan di kepala. Umurnya barangkali hampir lima puluh, wajahnya keriput dan bibirnya berwarna semerah darah. Banyak aksesoris yang menggantung di lehernya, mulai dari kalung besi dengan lambang bulan sabit dan manik-manik dengan segala warna, begitu juga dengan gelang-gelang yang seronok di pergelangan tangannya.
Singkatnya, wanita ini tampak seperti penyihir sinting yang dibalut dengan warna pelangi.
"Aphrodite…" suaranya serak, dan ia masih menunjuk Baekhyun dengan ekspresi takjub. "Kau keturunan Aphrodite."
Alis Baekhyun naik sebelah. "Apa?"
"Pita suaramu adalah kekuatanmu. Jika kau gunakan dengan baik maka akan sangat berguna. Tapi jika kau menggunakannya dengan semena-mena…" wanita itu menggoyang-goyangkan telunjuknya, "karma akan mendatangimu, nak."
Baekhyun mundur selangkah, merasakan bahwa wanita ini cukup creepy. Ia sudah memegang stang sepedanya. "Kau bahkan tidak kenal aku. Omonganmu kacau sekali."
Wanita itu terkikik geli. "Oh, percayalah nak, aku tahu semuanya tentangmu."
Baekhyun tahu bahwa dirinya tidak perlu mendengar omong kosong itu lagi, jadi ia melompat naik ke atas sepedanya dan mengayuh pedal dengan sekuat tenaga. Ketika ia menoleh ke belakang, wanita itu hanya tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya kepada Baekhyun.
Bohong jika Baekhyun berkata bahwa ia tidak memikirkan kalimat itu. Aphrodite mungkin bukan kata yang asing, tapi ketika sampai di rumah, Baekhyun segera men-google kata itu di ponselnya.
"Dewi Yunani, huh?" Baekhyun tertawa geli. Ia yakin sekali wanita tadi gila.
Seharusnya, ia tidak perlu memikirkan kalimat itu hingga kepalanya pusing—tapi ia memang tidak bisa berhenti memikirkannya.
Baekhyun tidak pernah punya Ibu. Ia tidak tahu dimana keberadaan Ibunya. Selama 19 tahun masa hidupnya, hanya ada dirinya dan Ayahnya—Byun Hansol adalah seorang dokter, dan jelas tampak seperti manusia normal biasa.
Bukan berarti Baekhyun tidak pernah penasaran. Saat ia kecil ia pernah menanyakan keberadaan Ibunya beberapa kali, namun Ayahnya tidak pernah mau menjawab.
Baekhyun yakin mungkin alasan Ayahnya tidak mau berbicara adalah bahwa kenangan tentang Ibunya bukanlah kenangan yang baik. Baekhyun menyimpulkan sendiri bahwa Ibunya sudah mati—meski Ayahnya tidak pernah terang-terangan berkata bahwa Ibunya mati.
Byun Hansol pria yang penuh kasih. Baekhyun tidak pernah merasa kekurangan saat ia bersama Ayahnya, maka dari itu ia memutuskan untuk berhenti bertanya jika hal tersebut hanya akan melukai hati Ayahnya.
"Aphrodite adalah salah satu dari 12 dewa-dewi Olympia dalam mitos Yunani kuno. Aphrodite dilihat sebagai dewi cinta yang punya paras sangat luar biasa cantik. Ia diciptakan dari buih air laut. Sifat alaminya adalah ia selalu jatuh cinta kepada seseorang, dan secara natural orang-orang juga akan tertarik dengan paras indahnya. Aphrodite juga seorang dewi kesuburan janin, seks atau hasrat dan keindahan." Baekhyun mengerutkan dahinya tak yakin. "Okay, that was weird."
Ia kembali membaca artikel di ponselnya. "Aphrodite menikah dengan Hephaestus, Dewa Teknologi atau Pandai Besi. Namun karena wajahnya yang buruk rupa, Aphrodite akhirnya memiliki hubungan gelap dengan Ares, sang Dewa Perang." Baekhyun mendengus. "Ya ampun. Ternyata Ibuku tukang selingkuh." Ia membaca baris selanjutnya dan merasa kesal bukan main, jadi ia melemparkan ponselnya ke atas sofa. "Ini semua omong kosong." Katanya.
Namun sesuatu masih terus mengusiknya. "Apa katanya tadi?" Baekhyun memutar kembali pembicaraan singkat dan aneh dengan wanita hippie yang ia jumpai di depan gerbang, "ah, kekuatan pita suara?"
Akibat rasa penasarannya, Baekhyun akhirnya kembali meraih ponsel dan berusaha mengumpulkan informasi yang berkaitan dari mesin pencarian.
"Ada legenda yang mengatakan bahwa Dewa dan Dewi Olympia sesekali berkunjung ke dimensi mortal dan menikahi manusia." Baekhyun membaca salah satu artikel yang ia temui. "Anak mereka disebut half-blood atau demigod. Anak-anak ini biasanya akan mewarisi kekuatan yang dimiliki oleh Ibu Dewi atau Ayah Dewa mereka."
Baekhyun menarik napasnya, lalu membuangnya dengan malas. "Apa aku harus membaca omong kosong ini lagi?"
Ia mengetik kekuatan demigod Aphrodite pada ponselnya dan segera saja muncul artikel yang tak terhingga jumlahnya.
"Demigod Aphrodite selalu dikenal dengan manusia berparas cantik/tampan. Kebanyakan dari anak mortal Aphrodite adalah aktor atau aktris yang kalian kenal sekarang." Baekhyun tertawa.
Jadi kau bilang Anne Hathaway dan Leonardo DiCaprio mungkin saja anak Aphrodite? Ya ampun, pikirnya.
Meski begitu, ia melanjutkan. "Untuk beberapa kasus langka, demigod Aphrodite dianugerahi kemampuan yang disebut sebagai charmspeak. Charmspeak adalah kemampuan untuk menghipnotis atau membujuk seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai yang kita inginkan. Kemampuan ini datang dari pita suara dan dikontrol lewat intonasi dan emosi. Semakin besar intonasi, semakin dalam emosi, maka hipnotis juga akan semakin kuat. Kekurangannya adalah efek hipnotis ini tidak berlangsung lama sehingga seorang Charmspeaker harus terus-terusan 'membujuk' targetnya untuk terus melakukan yang ia inginkan. Ada kasus unik dimana ketika seorang Charmspeaker tidak sadar dirinya memiliki charmspeak, kemampuan itu tidak akan berguna sama sekali. Charmspeak hanya akan berfungsi ketika seorang Charmspeaker sadar penuh akan kekuatannya. Ini diibaratkan seperti saat kita menekan tombol aktif."
Oke, tadi itu cukup keren.
"Salah satu dari pemimpin-pemimpin besar negara ada yang dianugerahi dengan charmspeak."
Baekhyun terdiam sebentar. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak perlu percaya omong kosong yang ia dapatkan di internet—terlebih ketika Baekhyun berusaha mengecek nama penulis artikel yang barusan ia baca, namanya adalah Watermelon. Bagaimana mungkin ia bisa percaya sesuatu yang ditulis oleh seseorang bernama Watermelon?
Tapi sesuatu terus mengusiknya, dan ia tidak bisa mengenyahkan pemikiran itu dari kepalanya.
Jadi malam itu, Baekhyun mencoba menguji hipotesanya.
"Dad," Baekhyun memanggil Ayahnya yang tengah memanggang kalkun ke dalam oven, masih mengenakan kemeja kerjanya dan jas putih berserta dokumen pasiennya berserak di atas meja makan.
"Hmm?"
Baekhyun berdeham. "Dad."
Ayahnya berhenti melakukan aktivitasnya dan berbalik menghadap Baekhyun. "Apa, Baekhyun? Aku harus memasak makan malam."
Baekhyun menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Ia kemudian menatap Ayahnya dan tersenyum. "Boleh aku pinjam mobilmu?"
Pria itu terpaku untuk sesaat, mulutnya melongo dan matanya menjadi tidak fokus. "A-apa?"
Ia menarik napas dan menghembuskannya lagi. "Pinjamu aku mobilmu. Please?" ia menambahkan sedikit penekanan pada kata please, seakan-akan ia sedang memohon dengan sangat.
"Ya. Tentu." Ayahnya merogoh saku celana linennya dan memberikannya kepada Baekhyun.
Baekhyun terperangah.
Ada alasan kenapa ia meminta mobil. Ayahnya tidak pernah mengijinkannya untuk mencoba mengendari mobil itu, dengan alasan bahwa Baekhyun tidak akan bisa, terlebih karena ia belum punya SIM dan Ayahnya percaya bahwa Baekhyun adalah seseorang yang destruktif—mobil itu beserta isinya akan hancur jika Baekhyun yang mengendarainya.
Baekhyun berlari mengitari meja makan dan segera menyambar kunci mobil itu dari tangan Ayahnya.
Ia menunggu sambil menatapi pria itu.
Satu, dua, tiga, empat, lima, en—
Efeknya bertahan sekitar lima setelah detik.
"Baekhyun?" Ayahnya tiba-tiba saja memanggil namanya dengan ekspresi linglung, kemudian melihat Baekhyun tengah memainkan kunci mobil di tangannya. "Hei!" teriaknya kesal, "kenapa kunci mobilku ada padamu? Baekhyun aku bersumpah, kau tidak boleh mengendarai mob—"
"Holy shit, Dad."
Ayahnya melongo. "Apa katamu?!"
"HOLY SHIT, DAD!"
"BYUN BAEKHYUN JAGA KALIMATMU!"
Baekhyun mengakhiri malam itu dengan menggandeng Ayahnya dan membuatnya berdansa mengitari meja makan.
Ayahnya bingung, tentu saja. Namun melihat Baekhyun yang terlihat senang dan menggemaskan seperti itu membuat perasaannya juga menjadi ringan.
Baekhyun tahu bahwa itulah awalnya. Malam dimana pertama kali ia menggunakan kekuatannya. Ia menyadari banyak hal setelahnya setiap kali ia bercermin. Wajahnya terlihat lebih bercahaya dan lebih berseri. Pipinya yang berisi entah bagaimana dihiasi oleh serbuk pink yang mengkilat. Bulu matanya mendadak terlihat lebih tebal dan lentik, dan kulitnya menjadi lebih halus.
Bagian yang paling mengejutkan adalah bola matanya. Warna mata Baekhyun selalu cokelat gelap, namun ketika ia sedang merasa senang, warna cokelat pada matanya selalu berkilau dan berubah menjadi lebih terang—hampir-hampir hazel. Sebaliknya, jika perasaannya sedang buruk, warna matanya biasanya akan menjadi lebih gelap dan pekat.
"Baekhyun!"
Baekhyun terlonjak dan melihat Lee Taeyong sudah menunggunya di depan meja, melambai-lambaikan tangan ke depan wajahnya.
"Huh? Apa?"
Taeyong terkekeh. "Kau melamun ya? Apa yang sedang kau pikirkan?"
Banyak hal, pikir Baekhyun. Ia sadar bahwa dirinya berkelana terlalu jauh dalam pikirannya.
Taeyong memasang ekspresi terlena. "Kau menggemaskan sekali, Baekhyun."
Baekhyun tertawa. "Terima kasih."
"Mau makan siang bersama?"
Baekhyun mengerutkan hidungnya. "Aku sungguh sangat ingin, tapi aku harus mengemas isi lokerku."
Pria di hadapannya itu cemberut. "Apa kau harus melakukannya sekarang?"
"Sayang sekali, ya." Baekhyun membalasnya dengan anggukan.
"Ingin kubantu?"
Mata Baekhyun membulat. "Tidak apa-apa! Tidak perlu. Aku tidak ingin kau melewatkan makan siangmu." Baekhyun kemudian berdeham pelan dan berusaha membuat suaranya semanis mungkin, "kau tahu, kesehatanmu sangat penting."
"Uh…." Taeyong melongo sebentar. "Ya, ya. Makan siang penting."
Baekhyun kemudian dengan cepat mengemaskan buku-bukunya. Ia bangkit dan melambai sembari tersenyum kepada Taeyong. "Sampai jumpa, Taeyong."
Act #1 - Encounter
»»—- ✼ —-««
Baekhyun tidak akan mengeluh.
Isi lokernya penuh dengan cokelat dan kotak kado—oh dan jangan lupakan berlembar-lembar surat cinta yang sengaja diberi parfum itu.
Ia selalu mengemas isi lokernya setidaknya seminggu sekali, memasukkan seluruh isinya ke dalam kardus besar untuk dibawa pulang.
"Oke, kurasa itu sudah semua." Katanya riang, setelah beberapa kali menolak tawaran dari orang-orang yang melintasi lokernya (ia harus menggunakan charmspeak-nya berkali-kali untuk mengusir mereka) tapi setidaknya ia berhasil menyelesaikannya.
Kardus itu tidak terlalu berat ketika ia mencoba menggendongnya, namun ukurannya tetap lebih besar dari tubuhnya sendiri.
Baekhyun harus berjalan dengan hati-hati untuk tidak menubruk seseorang, melirik kanan dan kirinya setiap beberapa detik sekali karena tidak nampak apapun di depan wajahnya selain kardus yang ia peluk.
Seorang pria tiba-tiba saja berlari dari anak tangga dan berbelok tepat ketika Baekhyun baru saja melongokkan kepalanya.
Pria itu menabraknya, tapi hanya Baekhyun yang jatuh dengan kardus yang tergeletak ke samping, menumpahkan segala kerja kerasnya.
"Aduh pantatku…" Baekhyun mengeluh, dan sudah hampir berteriak untuk memaki pria itu. Tapi ketika ia mendongak untuk menatapnya, ia mengurungkan niatnya. Alih-alih merasa emosi tidak jelas, ia bisa memanfaatkan pria ini.
Jadi Baekhyun berdiri, menyelipkan rambutnya yang diberi sentuhan pink, menampilkan senyumnya yang manis. "Apa kau baik-baik saja?"
Pria itu menelengkan kepalanya ke samping, memindai Baekhyun dari atas kepala hingga kakinya. "Uh… Ya? Kurasa."
Baekhyun harus menahan rasa kesalnya karena pria ini terlihat sangat bodoh. Tubuhnya tinggi, barangkali hampir dua meter. Ia memakai hoodie abu-abu yang sudah sangat jelek, sebelah wajahnya tertutupi oleh kupluk hoodie-nya. Baekhyun bisa melihat rambutnya yang hitam pekat dan telinganya yang lebar, mencuat seperti telinga peri.
Baekhyun menarik napasnya perlahan. "Aku yang tidak baik-baik saja. Bisa kau bantu aku membawa kardus itu?" ia mengedipkan matanya beberapa kali sembari tersenyum.
Pria itu dengan cepat melirik jam tangannya. "Sori. Aku telat. Bye."
Baekhyun terperangah selama beberapa saat, namun ia segera menyadarinya. "Hei!" Baekhyun berbalik untuk melihat pria itu, kemudian sadar bahwa teriakannya terdengar kasar. Jadi ia berjalan mendekati pria tinggi itu dan tersenyum manis (lagi). "Aku bilang," katanya, memberikan penekanan pada intonasinya, "bantu aku angkat kardusku. Ya, please?"
Pria itu menatapnya datar. Tidak ada emosi di matanya. "Aku bilang," katanya, mengembalikan kalimat Baekhyun dengan nada yang sama, "aku telat. Sampai jumpa."
Baekhyun menggigit bibirnya. Tidak mungkin.
"Tunggu sebentar!"
Bagus! Dia berhenti. Baiklah, sekali lagi.
Baekhyun menarik napas dan membuangnya perlahan. Ia maju selangkah dan menarik ujung hoodie pria itu dengan wajah tersipu. Aura di sekitarnya berubah menjadi merah muda, menebarkan wangi yang yang sangat harum. "Tidakkah kau berpikir aku manis?" kata Baekhyun, ia menumpahkan setiap kalimatnya dengan hati-hati dan sarat dengan emosi.
Pria itu membeku.
Berhasil.
Tapi kemudian ia mengerutkan keningnya, masih dengan ekspresi datarnya. "Apa kau yakin bukan kepalamu yang terbentur?" ia melirik jam tangannya lagi. "oh sial, aku harus pergi!"
Pria itu menyentakkan lengannya dari tangan Baekhyun dan segera berlari, meninggalkan Baekhyun yang terperangah.
Ia begitu syok sehingga ia terduduk di lantai dekat dengan kardusnya. Di dalam kepalanya, Baekhyun baru saja mendengar bunyi jangkrik—krik-krik, krik-krik.
Pria itu, kebal terhadap charmspeak-nya. Tidak mungkin!
Act #1 – Encounter; miserably failed.
[]
Act #2 – Hoodie
»»—- ✼ —-««
Kau tahu apa yang paling menggelikan? Bocah dungu seperti jerapah itu satu kelas dengannya. Dia juga mahasiswa jurusan manajemen.
Lalu bagaimana, Baekhyun menarik rambutnya frustasi, bagaimana mungkin aku tidak pernah melihatnya?!
"Baekhyun-ah."
Baekhyun menoleh dan segera merapikan rambutnya, memasang senyum manisnya.
"Kau baik-baik saja?" Lee Taeyong melanjutkan.
Baekhyun membalasnya dengan anggukan.
Si manis itu datang terlalu awal hari ini, membuat Taeyong yang datang kesiangan akhirnya memilih duduk di sampingnya. Syukurlah, tidak ada satupun yang berusaha menonjok Taeyong akibat hal itu.
Tapi kemudian, tak lama setelah Taeyong duduk di sampingnya dan mengoceh tentang restoran ayam yang baru saja buka di seberang kampus mereka, Baekhyun menangkap sosok tinggi yang telah menabraknya dengan sangat kurang ajar kemarin.
Ia terlihat mengantuk. Tapi bukan itu yang membuat Baekhyun merasa mual. Pria itu masih memakai bajunya yang kemarin—sama persis.
"Eww, apa dia tidak mandi?" Baekhyun bergumam jijik.
"Apa katamu?"
Mata Baekhyun membulat dan ia segera menoleh untuk menatap Taeyong sambil tersenyum. "Bukan apa-apa, Taeyong. Kalau begitu bisa kau beri tahu aku menu yang paling enak di restoran itu?"
Wajah Taeyong segera saja berbinar. "Tentu!" balasnya dengan kelewat semangat. "Jadi, bla bla bla bla bla bla bla bla bla—"
Baekhyun sungguh tidak mendengar apapun yang Taeyong ocehkan selanjutnya karena matanya hanya terpaku pada pria itu. Tampangnya, ya ampun. Dia sungguh keliatan bodoh—seperti orang kurang, paham 'kan?
Sudah berapa lama ia memakai hoodie abu-abu itu? Dan celana jinsnya? Ugh.
Meski sudah menghina rupa dan cara berpakaian pria itu habis-habisan dalam hatinya, Baekhyun kemudian menyadari satu hal; bahwa dirinya tidak pernah tertarik dengan apapun selain dirinya sendiri.
Jika tidak, Baekhyun tidak akan merasa begitu terkejut ketika melihat pria itu di kelas mereka pagi ini—karena Baekhyun tidak pernah tertarik dengan apapun selain dirinya sendiri. Ia pusat dari kehidupannya sehingga ia tidak menganggap orang lain penting.
Mungkin di kelasnya sendiri ia hanya mengenal Taeyong dan beberapa orang lainnya, tapi tidak semuanya. Bahkan ia tidak tahu naman pria tinggi itu.
Sebesit keinginan terbesit di benaknya. "Hei, Taeyong."
Pria itu berhenti mengoceh.
Baekhyun menghadap pria itu dan menatapnya dalam. "Aku ingin sekali punya hoodie baru."
Taeyong nampak terpana untuk beberapa saat. "Hoodie?"
Cemberut, menopang pipi dengan punggung tangannya di atas meja. "Ya," kata Baekhyun dengan nada sedih, "hoodie."
Mata Taeyong melebar, dan Baekhyun bisa melihat betapa cantiknya dirinya sendiri dari pantulan kornea mata pria itu. "Akan kubelikan!"
"Sungguh?" Baekhyun bertepuk tangan. "Yeay! Terima kasih, Taeyong."
Act #2 – Hoodie; succeed.
[]
Act #3 – Present
»»—- ✼ —-««
Ini bodoh.
Baekhyun tidak percaya dirinya melakukan ini.
Setelah meminta dengan halus (oke, Baekhyun harus mengakui yang satu ini salah) kepada Taeyong masalah hoodie, pria itu membelikannya sehabis mereka selesai kelas pagi tanpa ragu. Baekhyun memilih hoodie abu-abu dengan ukuran XL, membuat kening Taeyong berkerut.
"Aku rasa itu terlalu besar untukmu, Baekhyun." Kata pria itu.
Baekhyun terkekeh. "Aku suka hoodie yang seperti ini."
Taeyong ikut tersenyum. "Ya, baiklah. Kau yakin kau hanya mau mengambil satu? Aku bisa membelikanmu yang lain."
"Oh, tidak, tidak!" Baekhyun menggeleng dan melontarkan senyum manisnya. "Ini sudah perfect. Terima kasih banyak, Taeyong."
Mereka berpisah di tengah lapangan kampus setelahnya—Baekhyun harus menggunakan charmspeak-nya untuk mengusir pria itu dan berderap kembali ke kelas.
Pria tinggi itu masih di sana, sedang duduk di deretan paling ujung, tertidur dengan kupluk hoodie menutupi wajahnya.
Masih sekitar satu jam sebelum mata kuliah yang lain, dan selagi seisi kelas berburu makan siang, pria ini hanya tertidur di kelas seperti seorang penyendiri. Baekhyun menebak ia mungkin tidak punya banyak teman—atau malah tidak punya teman sama sekali.
Sungguh malang.
Keinginan Baekhyun hanya satu. Ia harus menguji kemampuannya lagi.
Kantung belanjaan berisi hoodie yang saat ini ia tenteng adalah sebuah bukti bahwa Baekhyun tidak kehilangan charmspeak-nya—dan jika dugaan Baekhyun benar, pria ini kebal terhadap daya tariknya, yang jelas saja tidak mungkin.
Sengaja berdeham dengan keras, Baekhyun duduk di kursi sebelah pria itu.
Tapi ia sama sekali tidak bergerak.
Baekhyun berdeham lagi, kali ini mengetuk-ngetuk lengan pria itu dengan ujung jarinya.
Matanya tiba-tiba saja terbuka dan ia terlonjak. "Apa?! Dimana?!" punggungnya tiba-tiba saja lurus dan kupluk hoodie-nya melengser turun dari kepalanya—memperlihatkan rambut gelap tebal yang acak-acakan dengan telinga yang lebar.
Ia menatap Baekhyun dengan ekspresi terkejut untuk beberapa saat, tapi kemudian ekspresinya berubah menjadi kesal, seakan mengatakan apa-apaan? Kau lagi?
Dari ekspresi itu, Baekhyun tahu bahwa pria ini juga tidak melupakan insiden kemarin.
Baekhyun meneguk ludahnya dan diam-diam berdoa dalam hati.
"Halo." Suaranya seringan dan semanis gulali, tapi pria itu menatapnya datar sembari menaikkan sebelah alisnya. Baekhyun melanjutkan, "masih ingat aku?"
Ia menyipitkan matanya untuk menatap Baekhyun curiga. "Apa kau butuh sesuatu? Tunggu." Ia memajukan kepalanya untuk melihat Baekhyun lebih jelas, tapi kemudian wajahnya berubah jadi panik. "Aku berhutang uang ya padamu? Ah sial. Berapa won? Akan kuganti besok, dompetku ketinggalan hari ini."
Baekhyun terpaku, tapi kemudian ia tergelak. Saat ini, kemampuannya dalam mode full power. Orang normal tidak akan mampu mengalihkan tatapan mereka. Sama seperti kemarin, aura yang menyelimutinya samar-samar berwarna pink dan tubuhnya menguarkan bau harum yang lembut. Matanya berbinar dengan warna cokelat cerah.
Melihat Baekhyun tertawa dengan geli, ekspresi pria itu makin bingung.
Ketika Baekhyun selesai tertawa, ia akhirnya berkata, "jadi… aku tidak berhutang uang kepadamu?"
Baekhyun menggeleng manis. "Tidak."
"Lalu?"
"Hei." Baekhyun begeser mendekat. "Boleh aku tanya satu hal padamu?"
Pria itu tidak terlihat begitu yakin. Ia melirik seisi kelas yang kosong, dan ketika Baekhyun bergerak maju, tubuhnya otomatis mundur ke dinding dengan gerakan defensif. "Ya… kurasa?"
"Apa kau tidak tahu siapa aku?"
Kerutan keningnya makin dalam. "Kenapa… aku harus tahu siapa kau?"
Baekhyun menarik napasnya dalam. "Jadi kau sungguh tidak tahu siapa aku? Dan kau tidak berpikir aku menarik?"
Mata pria itu membulat seakan ia baru sadar akan satu hal. "Kau pria yang kemarin siang." Ia kemudian menolak mundur bahu Baekhyun. "Apa kau punya masalah denganku?"
Satu hal yang pasti; kemampuan Baekhyun tidak berpengaruh untuk pria ini, karena ekspresinya menggelap. Baekhyun yakin tidak ada yang salah dengan charmspeak-nya. Tapi kenapa pria ini... sama sekali tidak terpesona? Kenyataan juga bahwa pria ini baru mengingat siapa Baekhyun membuatnya setengah mati kesal. Wajah Baekhyun bukan tipe wajah yang mudah dilupakan, tapi pria ini bahkan tidak mengingatnya.
"Kau sungguh tidak berpikir aku manis?" Baekhyun masih berkeras, menumpahkan segala emosi dalam kalimatnya hingga ia sendiri merasa sedikit pusing.
Pria itu mendengus. "Dengar ya, tukang narsis." Alisnya menukik tajam dan wajahnya mengeras. "Aku tidak pernah peduli kepada orang-orang sebelumnya, tapi aku melihatmu beberapa kali, dikejar oleh begitu banyak fans. Jika kau mengharapkan aku sama seperti mereka, tergila-gila kepadamu, maka kau salah besar. Otakku tidak kosong seperti para penggemarmu itu. Jadi, tidak. Aku tidak menganggapmu manis. Nah, sekarang, bisa kau tinggalkan aku sendiri? Karena aku mau tidur."
Baekhyun baru mendengar bunyi petir di atas kepalanya. Wajahnya merah akibat malu, sementara tangannya terkepal kuat pada tas belanjaannya.
Tidak apa-apa, Baekhyun mencoba untuk menenangkan diri. Jurus terakhir.
"Omong-omong, kulihat kau suka menggunakan hoodie." Baekhyun kembali bersuara, meski kini suaranya bergetar dan ia kehilangan separuh kepercayaan dirinya.
Pria itu, yang tadinya sudah memasang posisi kepala telungkup hendak tidur di atas meja, sekarang kembali menegakkan punggungnya dan menatap Baekhyun, ekspresinya luar biasa kesal.
"Kau jelas tidak gampang menyerah, ya?"
Baekhyun terkekeh, meletakkan kantung belanjaannya di atas meja dan mendorongnya pelan ke hadapan pria itu. Yah, setidaknya Baekhyun berpikir bahwa tidak akan ada yang benci hadiah, 'kan?
Tapi, Baekhyun salah. Ia salah semuanya tentang pria ini.
"Kau…" pria itu mendorong kembali kantung belanjaan Baekhyun, "apa kau terbelakang?"
"A-Apa?"
"Kau serius memberiku sebuah hadiah?" Ia mendengus, hampir-hampir tertawa geli.
Baekhyun terdiam. Apa yang salah, sekarang? Charmspeak-ku tidak bekerja. Begitu juga dengan hadiah ini.
Pria itu bersedekap, menuding Baekhyun dengan matanya yang tajam. "Apa kau bahkan tahu namaku?"
Ups.
"Aku—" Baekhyun tercekat. Sial, dari semua hal yang terpenting, Baekhyun lupa menanyakan namanya. Di kepalanya, pria ini sudah punya nama (Slender Man) jadi Baekhyun sama sekali tidak repot untuk bertanya kepada Taeyong masalah nama aslinya.
Sungguh tolol, Byun Baekhyun.
"Kau tidak mengenalku," pria itu menunduk untuk mendekatkan wajahnya ke wajah Baekhyun, sementara Baekhyun mundur dengan waspada, "tidak tahu namaku, tidak pernah berbicara padaku, baru dua kali bertemu, dan kau memberiku hadiah?"
Baekhyun tidak mampu berkata-kata. Pria ini jelas sudah mencurigai sesuatu.
"Apa motifmu?!"
Jelas, pria mungil nan manis itu keder. Tidak ada kalimat yang mampu ia loloskan dari mulutnya.
"Apa kau suka padaku?"
Baekhyun mendongak dan menatap pria itu dengan mata melotot. "Enak saja!" Tiba-tiba saja ia merasa perlu membela diri—pria ini jelas delusional.
"Ya, ya. Kau sedang denial. Tidak apa-apa. Tapi bagaimana ini? Sayang sekali aku tidak tertarik padamu. Jadi kumohon dengan sangat, pergilah sekarang."
"Kau tahu," kata Baekhyun, ia berdiri dengan marah sembari menghentak kaki dengan gemas, "kau sangat bodoh dan hoodie-mu jelek sekali! Selamat tinggal!"
Baekhyun segera berbalik badan, berlari ke luar kelas. Wajahnya sudah semerah tomat, setengah oleh malu dan setengah lagi oleh amarah. Tidak pernah dalam masa eksistensinya seseorang sama sekali tidak mempan akan pesonanya.
Pria itu pasti dikutuk! Ha! Dasar Slender Man bodoh!
Tapi di belakang Baekhyun, diam-diam pria itu tertawa kecil.
Act #3 – Present; 50% succeed.
[]
Act #4 - Bond
»»—- ✼ —-««
Hal berikutnya yang Baekhyun ketahui, ia menjadi uring-uringan.
Satu manusia bodoh yang tidak terpikat oleh pesonanya membuat harinya berantakan.
Tapi Baekhyun tidak bisa berhenti melirik kepadanya saat ia sedang berada di kelas. Baekhyun setengah mati penasaran dengan tindak-tanduknya.
Sepanjang minggu itu, hari-harinya berubah menjadi sangat menyebalkan. Ia tidak memberikan fanservis pada siapapun. Mood-nya jelek sekali.
Kenyataan bahwa Baekhyun bertanya kepada teman sekelasnya tentang siapa pria itu juga tidak membuatnya lebih baik.
Namanya Park Chanyeol. Tingginya 186 cm (sial dia tinggi sekali) dan dia tergabung dalam klub band kampus mereka. Dia pergi ke kampus menggunakan sepeda (informasi yang ini Baekhyun dapatkan sendiri ketika mereka tidak sengaja bertemu di parkiran kampus, ketika Taeyong memberinya tumpangan untuk pulang).
Selain itu, Baekhyun tidak tahu banyak.
Sepertinya teman sekelas mereka juga tidak terlalu memperhatikan pria itu.
Namun suatu ketika Baekhyun mendapati pria itu sedang bermain basket dengan anak-anak dari jurusan lain—dan kau tahu apa yang paling membuat Baekhyun kesal? Dia terlihat begitu ceria. Dia berbicara begitu banyak, tersenyum kepada siapa saja yang sedang bermain basket dengannya.
Melihat dari gelagatnya, tampaknya mereka berteman baik dengan pria itu.
Lalu kenapa dia hanya menunjukkan wajah datarnya yang bodoh kepada Baekhyun kalau dia bisa menjadi begitu tampan ketika tersenyum?
Baekhyun merasakan kepalanya berputar. Ia sudah bergonta-ganti pacar sejak tahun pertamanya, dan tidak ada yang membuat dirinya sekesal dan berdebar begitu parah seperti yang Park Chanyeol lakukan. Gara-gara pria itu, Baekhyun memecahkan rekornya untuk tidak melirik pria lain (bukan karena dia tidak mau, tapi karena dia tidak bisa).
Baekhyun tahu dirinya jatuh cinta—pada orang yang sama sekali tidak terpikat oleh charmspeak-nya. Juuuuussst great.
Baekhyun membuang napasnya dengan lelah. Cukup lama ketika ia berdiri di koridor memandangi Chanyeol di lapangan sambil mandi keringat.
Dalam hati, ia memekik. Slender Man sialan, dia bermain cukup bagus.
Selama 22 tahun masa hidupnya, Baekhyun belum pernah menyatakan cinta. Jadi, ia pikir ia akan mencobanya. Tidak masalah ditolak. Ia akan menjadikan ini sebagai pengalamannya.
Ia kemudian mulai memikirkan para penggemar dan mantan-mantannya yang sudah ia putuskan dan ia tolak secara semena-mena.
Baekhyun jelas sedang menerima karmanya sekarang.
Tiba-tiba saja, kalimat wanita hippie yang ia dengar beberapa tahun lalu berkumandang nyaring di telinganya.
Selagi ia memikirkan kalimat itu, Chanyeol baru saja keluar dari lapangan dan menuju lokernya, jadi Baekhyun berlari mengikutinya.
Ia membuka kaus buntungnya, membuat Baekhyun berhenti tepat di belakang pintu lokernya. Ketika ia menutup pintunya, pria itu terlonjak sedikit karena wajah Baekhyun muncul tepat di dekatnya—dengan wajah yang sangat tidak elit. Baekhyun harus mengelap liurnya.
Chanyeol menyembunyikan harta karun di balik hoodie jeleknya. Ya Tuhan, lihat pahatan sempurna itu! bagaimana mung—
"Knock-knock?"
Baekhyun mendongak ketika ia merasakan Chanyeol menyentil keningnya.
"Sudah puas melihat?"
"A-aku sedang tidak melihat ototmu, kok!"
"Ya, kau jelas melihatnya."
"Hei, Slender Ma—maksudku, Park Chanyeol."
Chanyeol baru saja mengangkat sudut bibirnya. Ia tersenyum. "Wah, butuh seminggu penuh bagimu untuk mencari tahu namaku?"
Ia akhirnya tersenyum, pikir Baekhyun.
Tapi Baekhyun memasang wajah geram. Pipinya menghangat. "Aku tidak mencari tahu namamu!" Chanyeol benar, ia masih denial. "Aku sudah tahu sejak lama!"
Pria tinggi itu meraih handuk kecil dari dalam lokernya dan mengusap peluh di lehernya. Ia mengedikkan bahu kepada Baekhyun. "Terserah kau saja." Katanya.
Baekhyun bisa merasakan jantungnya yang seperti hendak lepas.
"Apa kau masih mau melaporkan sesuatu? Seperti, kapan kau akan berhenti menatapi perutku? Atau—"
"AKU TIDAK SEDANG MENATAPI PERUTMU!" pipi Baekhyun menggembung, kedua tangannya terkepal kuat di samping tubuhnya. Ia terlihat seperti kucing marah yang menggemaskan sekarang.
Chanyeol menatapinya lama, dan Baekhyun sama sekali tidak bisa mengartikan tatapan itu. "Ya sudah. Tidak perlu marah-marah." Ia mengembalikan handuknya ke dalam loker dan menutup pintunya. "Kalau begitu, aku pergi. Sampai jum—"
"Kenapa?!" Baekhyun membentak, "kenapa kau selalu harus pergi setiap kali berbicara denganku? Terakhir kali kau juga mengusirku!"
"Uh…. Karena aku memang harus pergi?" jawab Chanyeol kalem.
Alis Baekhyun mengerut kesal. Ia menarik napas dalam-dalam. Ia harus mengatakannya sekarang sebelum muka tebalnya luntur.
"Jadi? Apa kau masih mau menyampaikan sesuatu? Karena sepertinya kau punya banyak hal yang mau kau sampaikan kepadaku—"
"Go out with me." Baekhyun menutup matanya ketika ia mengucapkan itu.
Baekhyun mungkin tidak melihatnya, tapi kepala Chanyeol baru saja miring ke samping. Ia menurunkan kepalanya sedikit, lalu mengetuk ujung jarinya pada kening Baekhyun. "Hei, tukang narsis. Setahuku, kalau kau berbicara kepada seseorang, kau harus menatap mata mereka. Itu etiket dasar."
Oh, ya Tuhan. Baekhyun tidak mengerti kenapa ia bisa menyukai pria tolol seperti ini. Ia sungguh, sungguh menyebalkan.
Masih dengan tangan terkepal, Baekhyun mengintip sedikit.
"Lebih besar." Chanyeol memerintahnya.
Karena kesal, Baekhyun akhirnya dengan sengaja memelototi Chanyeol yang omong-omong wajahnya makin mendekat ke wajah Baekhyun.
"Nah, lebih baik." Katanya sambil tertawa kecil. Baekhyun berani sumpah tawa Chanyeol terdengar menyenangkan di telinganya. "Kau punya mata yang bagus. Tidak perlu menyembunyikannya."
Baekhyun tidak menjawab. Hanya napasnya yang tidak beraturan sekarang.
"Siapa namamu? Ah, Byun Baekhyun?"
Baekhyun melongo. Ia baru saja mengajak seorang pria yang bahkan tidak tahu namanya—untuk berkencan dengan dirinya.
"Lupakan saja!" Baekhyun menggeram, mulai berbalik sambil menggumamkan seribu makian, tak lupa dengan hentakan kaki yang kesal.
Dari belakangnya, Baekhyun bisa mendengar pria itu tertawa.
Sialan, tertawa diatas penderitaan orang lain.
Ia mendengar langkah kaki Chanyeol berusaha menyusulnya, dan tiba-tiba saja langkah kaki Baekhyun terhenti karena Chanyeol meraih pergelangan tangannya dan membuat Baekhyun memutar.
"Astaga," Baekhyun mendengar Chanyeol mendesah, "bisa gila aku."
Baekhyun menyentakkan tangannya dari genggaman Chanyeol. "Apa?!" sergahnya galak, "belum cukup leluconnya?"
"Ya ampun," Chanyeol memegang dadanya dengan ekspresi sakit hati yang ia buat-buat, "apa kau sudah mencampakkanku? Tapi aku bahkan belum menyetujui ajakan kencanmu."
"AKU TIDAK MENGAJAKMU BERKENCAN!" Baekhyun berteriak lagi. Setelah ini, ia yakin ia tidak akan bisa mempraktekkan charmspeak-nya lagi karena suaranya serak.
Omong-omong tentang charmspeak, Baekhyun sama sekali tidak menggunakannya terhadap Chanyeol saat ini—karena semuanya sia-sia. Chanyeol memang tidak mempan terhadap charmspeak Baekhyun.
"Sungguh?" Chanyeol memasang ekspresi terkejut, "padahal aku baru saja mau mengajakmu berkencan. Tapi lupakan saja kalau kau tidak ma—"
"Tu-tunggu dulu!" Baekhyun membuat gestur stop dengan kedua tangannya. "Apa maksudmu?"
Chanyeol meraih kedua pergelangan tangan Baekhyun yang menggantung di udara, menyentaknya kuat sehingga Baekhyun bergerak maju dan menubrukkan tubuh mungilnya dengan tubuh Chanyeol.
Dia benar-benar sangat tinggi, pikir Baekhyun. Dan wajahnya dekat sekali.
"Omong-omong," lanjut Chanyeol lagi, "aku belum pernah berkencan sebelumnya. Apa yang harus kita lakukan saat kencan pertama?"
Baekhyun mengerutkan keningnya. Ia tidak bisa memercayai apa yang barusan ia dengar.
"Ah, aku tahu." Chanyeol mendekatkan wajahnya ke Baekhyun, hidung mereka hampir bersentuhan. Ketika Baekhyun berusaha mundur, Chanyeol meraih pinggulnya. "Apa aku harus menciummu terlebih dahulu?"
Mata Baekhyun melebar.
"Bagaimana, tukang narsis? Mau kucium?"
Ketika wajah Chanyeol makin dekat, Baekhyun menjambak rambutnya menggunakan kedua tangan dengan kekuatan penuh. "LUPAKAN SOAL AKU MENGAJAKMU BERKENCAN. AKU TIDAK MAU BERKENCAN DENGANMU!"
Chanyeol, meski kesakitan, membalasnya dengan gelak tawa yang memenuhi koridor kampus sore hari itu.
Act #4 – Bond; 100000% succeed.
[]
A/N:Knock-knock.
ALOHAAAAAAAAA~
Kaget tidak klean? Hayo bilang cepet kaget, hahaha.
Bukannya malah ngelanjutin Asylum Breakout kenapa si ini orang.
I'm soooo sorry I just can't help it.
Sambil nungguin Asylum Breakout aku mau membagikan ide cerita ini yang tergolong udah cukup lama banget. I loooove Greek Mythology geeengs asli sukak banget. Mungkin awalnya karena baca novelnya om Rick kali ya.
Dan iya, ini oneshoot. Aku tau aku seharusnya fokus ke Asylum Breakout dulu, tapi gemes banget pengen nulis ini dari kemaren sampe ditahan-tahan. Oh iya, di update-an AB yang terbaru aku lupa bilang kalo cerita yang di prolognya AB itu sebenernya adalah mimpi Baekhyun yang aku jelasin di chapter 7. Bingung? Iya sama saya juga.
Mau nangis aja karena respon AB selalu bagus. You guys such a sweetheart I swear to God. Pengen ketemu dan peluk satu-satu!
Semoga kalian dilimpahin banyak kebaikan dan kemujuran! Serius deh, I love you guys waaaaay too much.
Omong-omong, aku belum pernah bener-bener bikin cerita oneshoot. Menurut kalian gimana? Gak aneh kan ya buat oneshoot? Kurang seru? Bisa minta sarannya di kolom review?
Thankyou! Hugs and kisses, xoxo
