Disclaimer: Seperti biasalah

Warning: Typo. Diketik dengan nyawa setengah2, jadi mohon maaf kalau agak ngaco.


Four Seasons


Summer


Ini berawal ketika Baekhyun menghuni rumah barunya di musim panas.

Sebagai seorang pria dewasa yang mandiri, Baekhyun mengurus kepindahannya seorang diri. Jadi, ketika beberapa tukang selesai memindahkan perabotannya ke dalam rumah, hanya tersisa dirinya seorang yang harus menata ruangan. Ini bukan masalah besar sebab Baekhyun menyukai beres-beres itu sendiri. Di samping itu, ia juga bisa merekamnya guna menjadi bahan untuk vlog-nya minggu ini.

"Aku akan membiarkan ruang tamuku seperti ini untuk sementara." Katanya.

Selesai dengan barang-barang di ruang tamu, Baekhyun mematikan kameranya. Istirahat sejenak tentu akan sangat bermanfaat. Dan lagi, udara yang panas sedikit menyiksanya sekarang (tukang yang ia panggil untuk memasang AC baru akan tiba sore nanti), jadi ia berpikir mungkin udara terbuka bisa menjadi sasaran yang bagus untuknya rehat.

Dan berhubung ia belum memeriksa kembali kamar barunya, maka ia pun memutuskan untuk melangkah ke ruangan itu. Seingat Baekhyun, kamarnya memiliki balkon yang menghadap langsung ke samping rumah tetangganya. Itu bagus. Mungkin ia bisa menggunakannya untuk beristirahat sambil merokok di sana.

"Masih berantakan di sini." Ia bermonolog begitu memasuki kamar. Menyaksikan barang-barang di kamarnya yang belum ditata membuatnya agak pusing. Tapi sudahlah, toh sedikit istirahat tidak apa-apa. Jadi ia pun mengabaikannya, memilih untuk menggeser jendela kamarnya dan melangkah menuju balkon dengan sebatang rokok di tangan.

Namun begitu hendak membakar tembakau tersebut, ia baru sadar telah meninggalkan pematiknya di ruang tamu.

"Ahh… menyebalkan sekali."

"Hallo!"

Baekhyun dibuat terkejut kala mendengar sapaan yang tiba-tiba itu. "HAH? SIAPA ITU?"

Ada tawa keras terdengar saat Baekhyun terlihat siap siaga dengan kuda-kudanya. Ternyata tawa itu bersumber dari seseorang di seberang sana. Tepatnya, dari seorang pria tinggi yang juga tengah berdiri di balkon kamarnya dengan tanktop putih dan celana pendek selutut. Saat itulah Baekhyun menyadari, bahwa ia baru saja bertemu dengan tetangga barunya.

Ngomong-ngomong, ia juga baru menyadari betapa dekat jarak antara balkon kamarnya dengan milik tetangganya. Hanya sekitar empat atau lima langkah mungkin.

"Oh-uhh." Baekhyun tersenyum canggung. Untuk beberapa alasan, ia merasa sedikit malu. Jadi ia pun memutuskan untuk berbalik menyapa. "Hallo."

Seseorang di seberang sana melambaikan satu tangannya sebagai respon balasan. Kemudian ia bertanya. "Baru pindah?"

Baekhyun mengangguk cepat.

"Tangkap ini!"

Si pria tetangga melemparkan sesuatu ke arah Baekhyun. Dan Baekhyun merasa bersyukur karena tubuhnya cepat tanggap dalam situasi ini. Begitu benda itu mendarat di tangannya, ia menemukan bahwa itu adalah sebuah pematik, benda yang sedang ia butuhkan.

Pria yang pengertian, pikirnya.

"Terimakasih!" Baekhyun tidak melupakan tatakramanya. Dan pria di seberang hanya mengacungkan tangannya yang tengah mengapit sigaret sebagai respon.

Selepas meniupkan asap pertamanya, Baekhyun pun beralih pada si tetangga. "Namaku Baekhyun!"

Karena mereka mungkin akan saling terkait dalam waktu yang lama, Baekhyun pikir ia harus mengawalinya dengan kesan yang baik. Dan berkenalan adalah salah satunya.

"Chanyeol. Panggil saja Chanyeol."

Namanya terdengar tidak asing. Seperti pernah mendengarnya tapi entah di mana.

"Oh iya, ini kukembalikan!" Baekhyun melempar kembali pematik yang ia pinjam pada Chanyeol.

"Hup!"

Lalu hening.

Bukannya mengobrol berbasa-basi, keduanya justru hanya sibuk menghirup asap sambil berdiri di balkon masing-masing. Entah mengapa situasinya mendadak berubah menjadi canggung.

Baekhyun sebenarnya sedang menyusun beberapa topik. Tapi pikirannya bercabang dua. Ia memikirkan pertanyaan seperti warga Korea pada umumnya. Yakni tentang pekerjaan, umur, atau status pernikahan. Tapi bagaimana kalau ternyata Chanyeol 'bukan orang Korea pada umumnya'? Yang mungkin saja lebih senang diajak bicara soal cuaca atau pakaian yang ia kenakan.

Tapi mengenai opsi yang kedua itu, ia dibuat agak bingung juga. Sebab cuaca panas ini bukan merupakan topik yang terlalu menarik untuk dibicarakan. Dan soal pakaian, Chanyeol hanya mengenakan baju rumahan biasa, apanya yang mau dibahas?

Pada akhirnya, pilihan Baekhyun jatuh pada pertanyaan sederhana semacam 'berapa lama Chanyeol tinggal di tempat ini?' Ya, kalau dipertimbangkan lagi, itu tidak terlalu berat untuk pertemuan pertama. Baiklah, ia mungkin bisa mencobanya.

"Permis—"

Hanya saat Baekhyun membuka mulut, ia sudah didahului dengan dering ponsel Chanyeol yang berbunyi keras.

"Aishh, siapa lagi ini?" rutuk si pemilik sembari mengecek layar gawainya.

Baekhyun urung memulai perbincangan. Tidak apa-apa, itu bahkan lebih baik. Mungkin lain kali, mereka bisa mengobrol lagi. Lagipula Chanyeol terlihat hendak meninggalkan tempatnya sekarang.

"Oh ya…" Sebelum benar-benar beranjak, Chanyeol nyatanya menyempatkan diri untuk berbalik pada Baekhyun.

"Nice to meet you!" serunya. Diiringi senyuman lebar yang membuat jantung Baekhyun bergetar tiba-tiba.

Aneh.

Tapi meski begitu, Baekhyun bukan orang kurang ajar yang akan mengabaikannya. Ia pun balas tersenyum disertai lambaikan tangan terbuka.

"Nice to meet you too!"


.

.

.

.


Autumn


Dalam satu musim, Baekhyun berhasil menciptakan hubungan yang baik dengan tetangganya. Bahkan bisa dibilang terlalu baik.

Dari mulai bertukar nomor telepon, hingga bertukar playlist lagu. Dari mulai saling follow SNS, hingga bermain game bersama. Dari waktu ke waktu, mereka perlahan menemukan kesamaan dalam diri-masing masing. Sama-sama terlahir di tahun 92, sama-sama telah menjalani wajib militer, dan bahkan sama-sama tinggal sendirian. Dengan banyaknya persamaan itu membuat keduanya merasa nyaman terhadap satu sama lain.

Baekhyun pikir itu bagus –untuk menemukan teman se-frekuensi di usinya yang tidak lagi muda itu. Tapi entah sadar atau tidak, daripada berteman, mereka justru terlihat seperti remaja yang sedang dalam proses pendekatan.

"Kau tahu? Di masa pandemi ini, kurasa aku semakin lihai dalam mencuci piring."

Baekhyun tergelak saat mendengar ocehan Chanyeol di seberang sana. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi dan mereka sedang sibuk dengan pekerjaan rumah masing-masing sambil bertelepon. Ya, inginnya mungkin mereka bisa saling berkunjung dan menghabiskan waktu yang lama untuk bertukar cerita. Tapi apa boleh buat, pandemi belum kunjung berakhir. Jadi mereka hanya bisa patuh untuk tetap di rumah dan hanya bertemu di balkon masing-masing.

"Aku mengalami hal yang sama." Baekhyun menimpalinya. "Kemampuanku dalam menyikat toilet semakin bagus."

"Wah… mungkin setelah wabah ini berakhir, aku bisa melamar pekerjaan jadi tukang cuci piring di hotel. Itu tidak terlalu buruk."

Bicara soal pekerjaan, Baekhyun tiba-tiba teringat akan sesuatu.

"Chanyeol, kau sedang apa?"

"Aku? Aku sedang menjemur handuk di balkon. Kenapa?"

"Ahh, itu…"

Baekhyun kemudian menutup mesin cucinya dan berjalan menuju meja di ruang tengah. Di sana, ia mengambil sebuah buku dalam kotak paket yang ia terima pagi ini. Ia pun membawa buku itu sambil berjalan menuju kamarnya.

"Kemarin, aku memesan sebuah buku di situs online." Baekhyun melanjutkan ucapannya. "Dan kau tahu apa? Sepertinya aku menemukan sesuatu."

"Apa itu buku yang bagus?"

"Aku belum membaca yang ini. Tapi seri pertamanya sangat bagus, aku menyukainya." Begitu sampai di kamar, Baekhyun beralih menutup pintu dengan kakinya.

"Benarkah? Kalau begitu pinjamkan aku jika kau sudah selesai membacanya."

"Hmm… Entahlah." Si Byun terdengar tidak yakin. "Mungkin setelah kau menjawab pertanyaanku."

"Pertanyaan? Pertanyaan apa?"

Baekhyun melangkahkan kakinya di balkon dan mengangkat buku yang ia bawa supaya sejajar dengan wajah Chanyeol yang sedang berdiri di seberang sana.

"Kenapa ya, wajahmu terlihat sama seperti wajah penulis buku ini?" Tanya Baekhyun.

Buku yang tengah dipegangnya itu berjudul Warm Winter. Yang mana merupakan seri kedua dari buku Four Seasons. Penulisnya bernama Chanyeol Park. Dan ketika Baekhyun melihat halaman terakhir buku itu, terdapat foto Chanyeol serta biografi singkat tentang pria tersebut di sana.

"Itu bukan aku." Chanyeol menjawab cepat, masih terdengar melalui telepon.

Namun sayangnya, mereka sedang saling tatap muka sekarang, yang mana wajah gugup Chanyeol bisa terbaca dengan jelas. Dari sanalah Baekhyun bisa menyimpulkan bahwa dugaannya selama ini adalah benar. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan nama Chanyeol. Pria itu ternyata adalah orang dibalik novel romansa yang lumayan banyak dibicarakan belakangan ini.

"Bisa-bisanya kau tidak mengatakan padaku bahwa kau seorang penulis terkenal. Ck ck ck…" Baekhyun menggelengkan kepalanya, pura-pura kecewa.

"Haish, terkenal apanya—"

"Bukumu dipajang di etalase paling depan di toko buku dengan tulisan "Best Seller", KALAU BUKAN TERKENAL LALU APA NAMANYA?" Baekhyun sengaja meninggikan nada suaranya di kalimat terakhir. Dan ia bisa melihat Chanyeol yang langsung menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Bisakah kita mematikan teleponnya dan bicara seperti biasa saja?"

"Tidak mau!"

"Baiklah baiklah…" Chanyeol pada akhirnya menyerah juga. "Aku mengaku."

"Tidakkah kau merasa bersalah karena telah membohongiku?"

"Hey, kau berlebihan! Aku tidak berbohong. Kau saja yang tidak pernah bertanya."

"Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus menandatangani bukuku..."

Baekhyun yang awalnya garang, tiba-tiba memasang tatapan imutnya untuk ia perlihatkan pada Chanyeol. "… Writer-nim."

"Astaga, rasanya menjengkelkan sekali saat kau memanggilku begitu."

"Apa maksudmu, writer-nim?"

"Hentikan."

"Writer-nim yang terkenal…"

"Kau bahkan punya lebih dari satu juta subscriber di youtube. Bukankah kau lebih terkenal dariku?"

Tunggu dulu, apa katanya?

Baekhyun melotot saat melihat Chanyeol yang menjulurkan lidah padanya.

"Tidak mungkin. Bagaimana kau tahu?"

Selama ini, mereka berdua tidak pernah saling menceritakan tentang pekerjaan masing-masing. Dan Baekhyun terkejut sekaligus bingung saat Chanyeol mengatakan hal tadi. Selama ini, Baekhyun tidak pernah menampakkan wajahnya di video blog yang ia unggah di akun youtube-nya. Jadi, bagaimana pria itu bisa tahu?

"Aku ini penikmat daily vlog. Dan saat berkunjung ke akunmu, aku menonton video-mu yang sedang mendekorasi kamar. Kemudian aku tidak sengaja melihat balkon kamarku yang ada di seberang kamarmu. Saat itulah aku tahu kalau kau orangnya."

Baekhyun menghela napas. Hilang sudah kesan misterius yang ingin ia tampilkan selama ini. Wajah merahnya sangat menunjukkan rasa malu yang ia alami kini. Oh Tuhan, Inikah rasanya karma? Belum lama ia mengungkap rahasia Chanyeol, sekarang dirinyalah yang terekspos.

Untuk kali ini, skor mereka adalah 1:1.

"Sejak kapan kau tahu?" Tanya Baekhyun.

"Hmmm, seminggu setelah kau pindah, mungkin."

"Aku merasa seperti orang bodoh."

"Hey hey, memangnya apa salahnya membuat video blog? Aku suka saat melihatmu memasak dan membereskan rumah. Itu membuatku termotivasi."

Baekhyun memajukan bibirnya dan memasang tatapan memicing. "Lalu bagaimana denganmu? Apa salahnya dengan menulis? Kenapa kau tidak mau mengatakannya padaku?"

Chanyeol terlihat menggaruk tengkuknya berulang-ulang. "Itu karena… aku kadang-kadang merasa tidak percaya diri dengan tulisanku hehehe..."

"Siapa bilang kau boleh begitu?" Baekhyun tak terima. "Bukumu sangat menarik untuk dibaca. Begini-begini, aku punya selera yang bagus. Aku bisa menilai buku mana yang layak dan tidak untuk dibaca."

Ya, pada akhirnya mereka saling mendukung dan menyemangati satu sama lain. Jadi kalau dipikir-pikir, acara ekspos-mengekspos ini setidaknya berbuah baik bagi keduanya.

"Tapi Baekhyun, apa fotoku terlihat tampan di sana? Aku sangat frustrasi saat penerbit bilang ia akan menampilkan fotoku di dalam buku."

"Ini?" Baekhyun kembali melihat-lihat bukunya dan memandangi wajah Chanyeol di sana. "Kau terlihat rapi, ini tidak terlalu buruk." Komentarnya jujur.

"Itu melegakan."

"Bagaimana denganku? Apa tanganku terlihat gemuk di video? Apa aku perlu mengeditnya supaya lebih enak dipandang?"

"Apa yang kau bicarakan? Videomu sudah sangat bagus, dan tanganmu sama sekali tidak gemuk."

Baekhyun menghela napas lega. Ternyata video-nya tidak seburuk yang ia bayangkan.

"Senang mendengarnya."

"Aku juga senang."

Baekhyun melirik Chanyeol yang ternyata tengah bersidekap di tiang pembatas. Pandangan pria itu mengarah lurus padanya. Belum lagi, senyuman tulus yang ia pamerkan membuat Baekhyun betanya-tanya. "Senang… karena?"

Ada jeda sesaat sebelum Chanyeol berbisik lewat panggilan telepon yang masih tersambung. Baekhyun menggunakan itu untuk menatap si lawan bicara jauh lebih dalam.

"Aku senang karena bisa melihat senyummu hari ini, Baekhyun."

Dan ya… kalimat itu seperti membangunkan Baekhyun dari tidur panjangnya. Membuatnya terjaga hanya untuk menyadari bahwa di musim gugur ini, bukan hanya dedaunan yang bisa jatuh.

Tapi hatinya juga.


.

.

.

.


Winter


"Aku selalu mengingat cara kita dipertemukan dan cara kita dipisahkan. Juga dengan kalimat pertama untuk menyambut pertemuan, dan kalimat terakhir untuk melepas kepergian."

Ini adalah kali kesekian Baekhyun membaca kutipan itu. Kutipan dari sebuah cerita romansa yang ditulis oleh seseorang bernama Chanyeol Park. Lucu sekali bagaimana pria itu bisa memikat Baekhyun dalam segala aspek. Seakan tidak cukup dibuat jatuh cinta dengan penampilan dan sikap, Baekhyun ternyata juga dipaksa untuk mengagumi isi kepalanya.

Tapi ngomong-ngomong soal buku, sebenarnya ia tidak secara subjektif menilai. Sebab seperti yang ia bilang, seri pertama buku ini sudah sangat menarik hati. Dan ia membacanya saat dirinya belum mengenal si penulis. Jadi sebenarnya, perihal menikmati sekaligus memuji, Baekhyun tidaklah bias.

"Akhir-akhir ini aku terlalu sering memikirkannya."

Baekhyun menyelipkan penanda halaman sebelum kemudian menutup bukunya. Ia letakkan benda itu di nakas, dan menyibak selimut yang sedari tadi menutupi kakinya. Pria itu hendak memulai rutinitasnya yaitu mengobrol dengan si tetangga sebelah yang biasanya belum tidur di jam sembilan malam ini.

Jangan salah sangka, bahkan jika Baekhyun tidak menaruh hati padanya, Chanyeol akan tetap menjadi teman mengobrol favoritnya. Pria tinggi itu merupakan pendengar sekaligus pencerita yang baik. Baekhyun selalu betah untuk bertukar pikiran dengannya karena setiap hari, selalu saja ada hal baru yang ia dapat setelah berbincang dengan Chanyeol.

Lalu dengan senyuman riang dan perasaan tidak sabar, Baekhyun lantas menyibak tirai dan menggeser jendela menuju balkon.

"Malam ini dingin sekal—"

Namun begitu matanya menatap lurus ke depan, ucapannya tiba-tiba terputus dan senyumnya perlahan memudar.

Baekhyun berdiri mematung. Udara dingin di bulan Februari ia acuhkan begitu saja sebab apa yang ada di depan mata terlampau mengguncang hati. Pada saat itu, ia seakan kesulitan untuk mengendalikan diri. Karena secara tiba-tiba, rasanya seperti ada anak panah tak kasat mata yang menembus dadanya.

Baekhyun merasakan sakit.

Ia melihat Chanyeol di seberang sana, di kamarnya yang masih terang benderang dengan tirai jendela terbuka. Pria itu tertawa bersama seorang gadis berambut panjang dengan gaun merah muda. Saling berhadapan dengan meja kecil sebagai penghalang. Terlihat bahagia, terlihat menikmatinya.

Di tempatnya berdiri, Baekhyun menciut nyalinya.

Baekhyun ingin menyangkal bahwa dirinya tengah cemburu. Tapi pada kenyataannya, ia memanglah cemburu. Melihat Chanyeol tertawa dengan orang lain yang bukan dirinya, membuat Baekhyun kecewa. Tapi kemudian sisi lain dalam batinnya bertanya, atas dasar apa?

Atas dasar apa ia marah kepada Chanyeol? Sementara hubungan mereka saja tidak pernah lebih dari teman.

"Sadarlah… Byun Baekhyun."

Dengan berat hati, Baekhyun kemudian mundur. Menggeser kembali jendela, dan menutup tirainya rapat-rapat. Ia pun kembali ke tempat tidur. Membungkus tubuhnya dengan selimut, menelan kekecewaan.

Dan sejak saat itu, Baekhyun tidak pernah mengunjungi balkonnya lagi.


.

.

.

.


Spring


"—penerapan 'lockdown' di sejumlah tempat telah resmi berakhir setelah pemerintah mencabut kebijakan karantina wilayah. Menyambut musim semi—"

Baekhyun mematikan televisinya setelah melihat setidaknya 5 berita yang sama untuk hari ini. Tentang berakhirnya masa karantina yang menyiksa, dan bagaimana masyarakat bangkit setelah lumpuhnya perekonomian di beberapa bulan ke belakang.

Seharusnya ia sedang bersenang-senang. Sama halnya dengan warga sipil lain, Baekhyun patut merayakan kebebasan setelah berdiam di rumah selama berbulan-bulan. Namun bukannya bergembira, hatinya justru terasa hampa.

Sudah tiga minggu sejak terakhir kali ia bertemu dengan Chanyeol, hal ini benar-benar menyiksanya. Baekhyun mungkin menghabiskan sebagian waktu itu untuk mengunjungi ibunya yang tengah sakit di Sokcho. Ia pikir itu akan membuatnya lupa akan patah hati yang menimpanya. Namun kenyataan justru menertawakan sebab kian hari, bukannya melupa ia justru merindu.

Ia rindu akan celoteh Chanyeol. Rindu bertukar cerita dari pagi hingga malam. Rindu memasak sambil ditemani Chanyeol meski itu hanya lewat video call. Rindu bergosip sambil menjemur baju di atap. Dan juga, rindu merokok sembari bersantai di balkon kamar masing-masing.

Ia merindukan Chanyeol, pria yang membuatnya patah hati.

Di satu sisi Baekhyun merasa sama sekali tidak pantas untuk menyimpan perasaan ini. Tapi di sisi lain, di mana keegoisannya mendominasi, ia merasa berhak untuk menyukai Chanyeol. Setelah semua yang mereka lewati, setelah semua yang Chanyeol lakukan padanya, adalah tidak masuk akal jika Baekhyun bisa membuang begitu saja perasaannya jauh-jauh seakan itu hanya cerita kasmaran remaja biasa.

Lagipula sebenarnya, Baekhyun juga merasa dirinya terlalu tua untuk mendramatisir patah hati. Walaupun pada kenyataannya, kecewa tetaplah kecewa, berapapun umurmu. Akan tetapi setelah melewati hari-harinya tanpa Chanyeol, ia merasa kurang bijak karena terkesan menghilang begitu saja tanpa kabar.

"Apa aku harus menemuinya?" Baekhyun bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Sambil mengetuk-ngetukkan belakang kepalanya di pinggir sofa, ia berharap otaknya bisa bekerja dengan baik untuk memutuskan tindakannya selanjutnya.

"…tidak." ia menatap langit-langit ruang tengah dengan wajah kosong.

"Tidak lain kali."

Baekhyun bangkit dari sofanya dan berjalan menaiki tangga. Pada akhirnya, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia hanya ingin tahu. Apakah Chanyeol baik-baik saja selama mereka ini? Bahagiakah ia? Atau mungkin justru ia merasa sedih karena kehilangan rekan bercerita? Baiklah, Baekhyun memang berharap untuk yang terakhir itu.

Dan di sinilah ia sekarang. Berdiri di depan jendela kamarnya yang menjadi pembatas dengan dunia luar. Baekhyun sesungguhnya tidak memikirkan ini matang-matang, tapi bukankah rencana dadakan justru lebih menegangkan? Soal hasil, memang tidak ada yang tahu. Apakah setelah ini hubungan mereka akan membaik, atau justru Baekhyun akan kembali menelan kekecewaan? Entahlah.

Yang penting sekarang adalah, Baekhyun hanya ingin menemui Chanyeol. Itu saja. Maka setelah menarik napas dalam-dalam, ia pun menarik tirai kamarnya, dan menggeser jendela guna melangkah keluar.

Srekkk!

Lalu tanpa disangka, hal pertama yang ia temukan adalah kedua bola mata Chanyeol yang menatapnya dengan penuh keterkejutan.

Keduanya tak berucap. Seolah kehilangan kata setelah melihat eksistensi masing-masing di depan mata. Baekhyun tidak menyangka akan langsung disuguhi pemandangan Chanyeol yang berdiri di balkon, dan mungkin Chanyeol pun demikian.

"Lama tidak berjumpa."

Bukan, bukan Baekhyun yang memulai itu. Melainkan Chanyeol, dengan lambaian tangan yang sama seperti di awal mereka bertemu.

"Uh… ya…" – aku merindukanmu. Tidak, kalimat terakhir itu hanya berdiam di pikiran Baekhyun.

"Lama tidak berjumpa, Chanyeol."

Hening lagi setelahnya. Rasanya seperti ditarik kembali ke musim panas tahun lalu. Dengan situasi yang sama, dan kecanggungan yang sama. Bedanya adalah, jika dulu Baekhyun masih bingung menafsirkan debaran aneh di dadanya saat bertemu dengan Chanyeol, maka sekarang ia sudah mengerti dan paham betul akan maknanya.

"Karantina… sudah berakhir."

Astaga, bukan itu yang ingin Baekhyun katakan! Kenapa tiba-tiba membahas pandemi sialan yang sudah berlalu itu?

Tapi di ujung sana, Chanyeol mengangguk-angguk pertanda mengiyakan. Dan sebelum Baekhyun kembali bicara, pria itu lebih dulu menyela.

"Ada rencana untuk merayakannya?"

"Memangnya itu sesuatu yang harus kau rayakan?"

Ya ampun, Byun Baekhyun. Mulutmu berulah lagi. Apa bertemu dengan Chanyeol telah secara otomatis mematikan otaknya?

Di luar dugaan, Chanyeol hanya tertawa kecil. Pria itu kemudian mengangkat wajahnya dan memaku tatapannya pada Baekhyun. Selama beberapa menit, terjadi kontes saling tatap diantara mereka berdua. Tidak ada mulut yang berucap, hanya empat mata yang saling bertubrukan seakan tengah saling membaca satu sama lain.

Kemudian tahu-tahu saja Baekhyun melihat Chanyeol menempelkan sesuatu di telinga. Tak lama setelahnya, dering ponselnya terdengar. Saat memeriksa siapa yang melakukan panggilan, nama Chanyeol tertera jelas di layar. Tanpa banyak pikir, Baekhyun menjawabnya.

"Kenap—"

"Wanita yang kau lihat sebelumnya adalah temanku. Dia datang jauh-jauh dari Tokyo untuk mengunjungi pacarnya yang sedang wajib militer." Ujar Chanyeol tiba-tiba. Yang tentu saja membuat Baekhyun kaget karena telah diberi informasi tidak terduga.

"Hah? Uh? Aku— kenapa kau mengatakannya?"

"Karena jelas sekali sikapmu berubah setelah temanku datang berkunjung." Oke, Baekhyun tidak bisa mengelak untuk yang itu. "Aku melihatmu malam itu. Dan saat hendak menyapa, kau sudah terlanjur berbalik. Kupikir kau hanya lelah dan butuh istirahat. Tapi bahkan hingga hari terakhir musim dingin, kau masih menghilang tanpa kabar."

Baekhyun berusaha untuk membuat wajahnya terlihat setenang mungkin. Tapi bagaimana bisa? Setelah berkawan dengan patah hati yang berasal dari asumsinya sendiri, bagaimana bisa ia menghadapi kenyataan bahwa selama ini ia terlalu gegabah dalam menyimpulkan?

What a clown.

"Aku pergi menemuai ibuku si Sokcho-" Baekhyun mengatakan alasan jujur.

"—Kau tidak seharunya bepergian."

"—Dan aku… butuh waktu."

Pada titik ini, Chanyeol membiarkannya. Lagipula pria itu tidak bisa mengatur harus bagaimana Baekhyun menyikapi patah hatinya (yang sekarang terdengar seperti lelucon bagi Baekhyun sendiri).

"Aku tahu." Chanyeol berujar tenang. "Aku menghargai itu."

Begitu melihat senyuman terukir di wajah Chanyeol, Baekhyun diam-diam merasa lega. Ia lega karena Chanyeol tetap menjadi pria yang sama. Kadang tingkahnya bisa begitu jenaka namun ia juga bisa menjadi serius dan hangat jika dibutuhkan.

Ah, Baekhyun benar-benar merindukannya. Merindukan pria yang telah membuatnya jatuh hingga sejatuh-jatuhnya. Dan mungkin, sekarang adalah waktu yang tepat untuk—

"Katanya, waktu dan jarak akan menyingkap rahasia terbesarnya."

Tunggu tunggu. Kenapa tiba-tiba Chanyeol mengatakan hal demikian?

Dan bukannya menjawab tanda tanya besar yang Baekhyun curahkan lewat tatapannya, pria itu terus berkicau dengan kalimat lain yang lebih memusingkan kepala. "Apakah rasa suka itu semakin membesar, atau justru memudar…"

Rasa suka? Siapa yang sebenarnya sedang Chanyeol bicarakan?

"Dan ternyata itu semakin membesar, bahkan lebih besar dari yang kuperkirakan."

Terlalu bingung untuk menanggapi, Baekhyun memilih bungkam. Sejujurnya ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Namun untuk saat ini, diam sepertinya merupakan pilihan yang terbaik.

"Ada malam-malam saat aku berharap dia tahu perasaanku tanpa harus kuberitahu." Kembali Chanyeol melanjutkan. "Tapi justru karena itu, aku nyaris kehilangannya."

Baekhyun tahu bahwa Chanyeol memiliki kekuatan ajaib yang mampu menyihir dengan kata-kata. Tapi ia tidak menyangka bahwa akan sejauh ini dirinya terseret dengan untaian kalimat sederhana namun sarat makna yang pria itu suguhkan secara cuma-cuma.

"Tolong dengarkan baik-baik karena aku hanya akan mengatakannya sekali ini saja."

Tatapan Chanyeol kian menghangat.

"Dia, orang yang kusukai, bernama Byun Baekhyun. Aku menyukainya dari musim panas ke musim gugur. Dari musim gugur ke musim dingin. Dari musim dingin ke musim semi." Jeda. Hembusan napas terdengar bersamaan kalimat berikutnya yang menggelitik hati Baekhyun serupa bulu. "Dan aku akan terus menyukainya hingga musim-musim berikutnya."

Untuk sesaat, Baekhyun dibuat lupa caranya berkedip.

Butuh beberapa detik untuk Baekhyun menyadarkan diri bahwa ini bukanlah mimpi. Karena Chanyeol yang berdiri di seberang sana kini adalah nyata, dia manusia betulan. Dan manusia itu baru saja menyatakan perasaannya kepada Baekhyun dengan kalimat termanis yang pernah ia dengar.

"Aku…aku tidak bisa lebih baik darimu dalam hal kata-kata." ujar Baekhyun jujur.

Jadi Baekhyun hanya menampilkan senyum terbaik yang ia punya. Senyum yang mengartikan banyak hal. Rasa lega, rasa bahagia, dan rasa syukur yang bercampur menjadi satu. Semuanya ia tumpahkan di wajahnya yang bahkan terlihat lebih mekar daripada bunga sakura manapun di musim ini.

Dan pria yang berdiri di sana langsung paham, bahwa itu adalah pertanda baik.

"Kupikir melarikan diri darimu bisa membuatku lupa, aku begitu naif saat itu." Baekhyun berterus terang. "Aku memendam semuanya sampai hari ini. Sampai hari di mana rasa ingin bertemu denganmu tidak lagi bisa kubendung. Aku meragukan diriku sendiri pada awalnya, tapi siapa sangka, keberanianku untuk membuka jendela ternyata berbuah manis."

"Ya." Chanyeol mengangguk setuju. "Sangat-sangat manis."

Dan begitulah bagaimana seharusnya sebuah kisah cinta berjalan. Melewati hari demi hari, musim demi musim, dengan cerita yang berbeda-beda. Tidak masalah jika terdapat batu mengganjal di sana, yang terpenting adalah, bagaimana keduanya bisa melompat melewati batu tersebut supaya bisa saling bergandengan tangan menuju perjalanan yang lebih jauh.

"Jadi…" Baekhyun dengan sengaja mengakhiri sambungan telepon antara ia dan Chanyeol. Lagipula, mungkin memang sudah saatnya mereka berhenti bercakap-cakap lewat benda persegi panjang tersebut dan mulai untuk saling bertemu secara layak.

"Jadi?" Chanyeol membeo.

Yah, walau bagaimanapun juga, mereka berdua adalah pria dewasa yang sedang dimabuk asmara. Dan Baekhyun pikir tidak ada lagi yang harus mereka tunggu. Masa-masa karantina telah berakhir, begitupun proses pendekatan yang mereka lakukan di beberapa waktu ke belakang.

Jadi, inilah saatnya.

"Apa kau ingin makan ramyeon di rumahku?"

Dan hanya butuh beberapa detik bagi Chanyeol untuk menarik senyum miringnya.

"Tunggu aku di sana."


.

.

.

.

END

.

.

.

.


Notes: "Apa kau ingin makan ramyeon di rumahku?" alias "Ramyeon meokgo gallae" pasti udah pada ngertilah artinya hehehehehehehehe.

Sampai jumpa lain kali!