Recommended Playlist:

Baekhyun - Underwater

Baekhyun - Privacy

.

.

"Halo?"

"Chanyeol? Di mana kau sekarang?"

Chanyeol mengangkat alis, agaknya bingung memberi jawaban karena manajernya itu seharusnya tahu di mana ia berada sekarang.

"Studio apartemenku. Ada apa?"

Terdengar suara kasak-kusuk di seberang panggilan, hening, dan sedikit gemerisik lain sebelum sang manajer kembali bersuara.

"Aransemenmu ditolak lagi. Comeback berikutnya tetap akan menggunakan draft lagu-lagu yang sudah disiapkan tim produksi agensi."

Ah.

Tentu saja, menanyakan keberadaannya hanya basa-basi sebelum kabar yang sesungguhnya diberitahukan.

Sebuah gumaman pendek, dan Chanyeol berakhir hanya mengucapkan terima kasih atas informasi itu.

"Kapan persiapan album dimulai? Aku lupa," tanya Chanyeol, membawa topik selanjutnya entah untuk apa. Sebab sesungguhnya, ia tak pernah lupa jadwal yang telah diberitahukan padanya. Semua itu tercatat dengan baik di kalendernya.

"Bulan depan," jawab sang manajer. Ia mendengung samar sebelum menambahkan sambil lalu, "Uh.. maksudku, minggu depan. Minggu depan itu bulan depan 'kan? Kurasa itu bertepatan dengan awal musim semi. Yah, begitulah."

Chanyeol mengangguk kecil. Tanpa arti. Lagi menggumam tanda mengerti. Matanya bergulir ke kalender meja di sisi monitor dengan tampilan digital audio workspace yang menyala di ruang temaram itu, menangkap tanggal yang ditandai dengan lingkaran merah asimetris di sana.

Benar, tanggal itu kemungkinan adalah awal saat atribut musim semi semakin jelas bermunculan di sekitar. Musim yang menjadi favorit banyak orang, musim yang secara naif diidentikkan dengan kebahagiaan.

Tetapi ia rasa, ia tidak akan pernah bisa setuju.

Musim seminya adalah musik. Musiknya. Bukan musik tanpa jiwa yang selama ini dimainkan dan dinyanyikannya di atas panggung. Semakin orang menggilainya karena semua musik itu, semakin kosong rasanya. Chanyeol pikir, masuk ke dunia hiburan adalah jalan paling tepat untuknya memperkenalkan musiknya pada dunia. Tapi setelah lima tahun debut, belum ada satupun musik gubahannya yang diterima untuk terbit di bawah naungan label perusahaan.

Musiknya berbeda. Dan perbedaan itu tidak pernah—dan mungkin tidak akan pernah—memberikan kesempatan bagi musiknya untuk naik ke atas panggung.

.

oOo

.

Dari tempatnya bersandar di balkon terbuka gedung stasiun televisi, Chanyeol menumpu siku pada pagar pembatas. Mengamati baris-baris penggemar yang masih berkerumun di bawah sana meski acara musik telah usai. Banner bertuliskan namanya tampak paling mencolok. Dituliskan besar-besar dengan warna neon di atas karton-karton hitam. Banyak sekali. Kenapa gadis-gadis itu begitu bersemangat hanya karena dirinya?

Sekaleng minuman dingin yang disodorkan tepat ke depan hidungnya membuat pria tinggi itu tersentak. Tersadar kalau hampir saja dirinya hanyut dalam lamunan di siang bolong. Begitu menoleh, ia mendapati manajernya berdiri tepat di sampingnya.

"Kau semakin sering melamun belakangan ini," kata si manajer, membuka kaleng miliknya sendiri setelah yang satu berpindah ke tangan Chanyeol.

Perkataan itu hanya dijawab riuh redam suara penggemar di bawah sana. Chanyeol tak menanggapi. Kaleng hanya dimainkan di tangan dan pria dengan kemeja flanel itu kembali memandang ke kerumunan penggemar. Menerawang. Tak sefokus tadi.

Sang manajer memilih diam. Menemani artisnya sembari terus menyesap minumannya.

"Hyung,"

"Hm?"

"Kurasa aku butuh liburan." Chanyeol berbalik, berganti menyandarkan pinggang ke pagar pembatas.

"Liburan seperti pergi ke luar negeri? Atau pulang ke rumah kakekmu seperti biasa?" tanya Manajer Lee. Pria itu tampak mengantisipasi setiap kata yang akan Chanyeol keluarkan. "Persiapan album barumu dimulai minggu depan. Jadwalmu penuh," katanya.

"Tidak. Hanya jalan-jalan di sekitar Seoul.. kurasa. Semacam late night drive," jawab Chanyeol tanpa menatap manajernya itu. Masih betah memainkan kaleng minuman utuh di tangannya.

Si manajer berjas hitam mengangguk-angguk. Bergumam paham. Sedikit lama tercipta hening di antara keduanya sebelum ia mengambil satu lagi teguk minuman.

"Kalau kau memang membutuhkannya, maka kau harus melakukannya. Jangan lupa pakai penyamaranmu," katanya kemudian. Meski beberapa spekulasi mulai bermunculan, ia tak berniat terlalu mempermasalahkan itu.

Ia tahu ada kegundahan menggerogoti musisi itu. Tapi jika memang Chanyeol membutuhkan bantuan untuk mengatasi kegundahannya, barulah ia akan turun tangan. Jika tidak, maka ia lebih memilih membiarkan artisnya itu untuk mencari pemulihnya sendiri.

Chanyeol di sisi lain mengangguk samar. Menggumamkan terima kasih. Diam-diam, berharap late night drive-nya kali ini sedikit membantu.

Di hari yang sama, nyaris ketika jam menunjukkan waktu tengah malam, Chanyeol telah sampai di susur jalanan Gyeonggi-do. Sangat jauh menyimpang dari niat awalnya untuk sekadar berkendara di Seoul. Atau memang sejak awal, ia tak meniatkan apapun selain membawa Mercedes-Benz G65 miliknya ke jalanan malam.

Dan Chanyeol pun tidak tahu apa alasannya, ketika begitu saja ia memutuskan untuk berhenti di depan gerbang masuk sebuah gedung observatorium yang ia ketahui sebagai salah satu wisata akuarium raksasa di sini. Yang tentu saja, sudah tampak mati akibat malam yang terlalu larut.

Tetapi untuk berpikir akan apa yang akan ia lakukan selanjutnya, Chanyeol pula enggan. Ia hanya memarkir mobil di satu sisi jalanan kosong di sana dan pergi keluar.

Angin malam berembus pelan. Sesekali kencang. Dingin, tapi masih lebih hangat dibanding hari-hari lalu sebelum musim semi mulai mendekat.

Wisata akuarium, ya.

Chanyeol mulai menimbang. Ia menoleh dari posisinya yang bersandar pada kap mobil, mengamati gedung elips besar yang hanya diterangi sedikit lampu dan berlatarkan titik-titik lampu yang lain dari sekitar.

Tempat itu sudah tutup. Pasti. Akses terhenti hanya sampai tempatnya berada saat ini—itupun jika tidak ada yang mengusir. Tetapi ia memang sedang berada pada fase begitu ignoran hingga dengan berani, ia mendekati gerbang utama yang menjadi jalan masuk utama menuju gedung observatorium itu, bertemu seorang penjaga paruh baya tanpa seragam di sana.

Pria itu mengenakan sweater tebal seperti yang biasa dikenakan kakeknya. Celana kain panjang, juga sebuah flatcap di kepalanya. Jangan tanya mengapa Chanyeol seenaknya menganggap pria itu adalah salah seorang penjaga. Selain hanya menebak-nebak, pria paruh baya itu memang menempati pos pada gerbang masuk. Tampak sibuk dari jendela yang terbuka, bersama lembaran-lembaran yang ia periksa di tangannya.

Meski cukup aneh melihat bagaimana tempat sebesar ini hanya tampak dijaga oleh satu orang penjaga, Chanyeol tetap melancarkan aksinya—mendekat, dan bertanya apakah ia bisa memiliki akses masuk dengan meninggalkan tanda pengenal dan sejumlah uang untuk pengganti tiket masuk.

Pria itu terdiam. Senyumnya yang sempat terpatri lebar kala menyambut kedatangan seseorang perlahan mengabur, seiring dengan semakin intensnya ia mengamati Chanyeol.

Chanyeol, di tempatnya mengusap tengkuk ragu. Barangkali pria ini tak mendengar perkataannya dengan jelas tentang menanyakan akses masuk. Tapi sebelum ia mengulang, tarikan napas lebih dulu terhenti oleh ucapan pria itu.

"Park.. Chanyeol?"

"Uh? Y-ya." Chanyeol membungkuk, memberi salam. Sedikit bingung bersikap karena rupanya pria itu mengenalinya dari balik masker dan topi sebelum ia sempat mengeluarkan kartu tanda pengenal.

Beberapa detik terlewati tanpa ucap lagi. Chanyeol menunggu, kembali dibuat bingung saat pria itu cukup lama menatapnya. Ia tak bisa mengartikan tatapan itu. Memang asing, tapi bukan berarti ia takut dibuatnya. Hanya aneh.

"Permisi..?" panggilnya.

Pria itu mengerjap. Lantas, kembali tersenyum ramah. "Ah, ya. Silahkan, tanda pengenalnya, dan tiga puluh ribu won untuk tiket masuk."

Mengejutkan, namun Chanyeol menghela napas lega mendapati kemudahan dalam mewujudkan keinginan anehnya sendiri. Ia merogoh saku, mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang bersama tanda pengenal yang rupanya hanya dilihat sekilas.

"Silahkan. Hanya sampai pukul satu, ya."

Senyum ramah kembali Chanyeol dapatkan, tepat saat mereka sampai di pelataran utama di dalam gedung observatorium. Dari luar, gedung masih tampak mati. Penerangan di luar tidak dinyalakan. Namun begitu memasuki bagian dalam, Chanyeol tahu memang tidak banyak penerangan yang dibutuhkan selain yang ada di atas miniatur laut ini. Cahaya hijau-kebiruan dari dinding kaca yang membentang seolah tiada akhir sudah cukup menerangi pijakan.

Membungkuk, Chanyeol mengucap terima kasih tepat saat pria itu berbalik meninggalkannya. Menyisakan ia sendiri di tengah pelataran luas beratapkan pemandangan bawah laut. Selain pancaran membiru dari laut di sepanjang dinding dan langit-langit, sisanya gelap. Tidak ada lampu menyala. Damai, dengan sesekali diusik secara menyenangkan oleh kecipak air akibat pergerakan biota laut yang masih menyusur kesana-kemari.

Mungkin, terakhir kali Chanyeol datang ke tempat seperti ini sebelum ia debut. Ya, sudah terlalu jauh berlalu untuk ia ingat garis waktunya. Dan kembali memandang, merasakan, dan menghirup kekhasannya ia pikir cukup membantu di saat seperti ini. Bahkan melihat seekor ikan pari melintas di atasnya bisa membuat ia merasa begitu terhibur. Atau, sesederhana biru bercahaya yang terpancar dari seluruh permukaan akuarium raksasa ini. Ia beruntung telah diberikan akses oleh sang penjaga. Bagaimana itu bisa terjadi, ia tidak peduli.

Untuk saat ini Chanyeol hanya ingin menikmati setiap detik yang ia miliki sendiri, bersama replika keindahan bawah laut yang menyenangkan untuk dipandang. Membiarkan diri kembali larut dalam lamunannya sendiri.

Kurang dari satu minggu sebelum persiapan album dimulai. Itu, akan jadi albumnya yang ke-4.

Dan seharusnya menjadi pengingat bahwa kali ini sama sekali bukan kali pertamanya melakukan itu.

Namun, semuanya memang terasa berat. Suatu kali manajernya memberi tahu, kalau salah satu alasan mengapa agensi tak pernah menerima lagu buatannya adalah karena warna musik yang terlalu berbeda. Selalu demikian, bahkan setelah Chanyeol berusaha merombak dan menyesuaikan.

Itu terlalu sering terjadi hingga ia semakin merasa bahwa bukan di sini tempatnya. Ia, mungkin, telah membuat keputusan yang salah di masa lampau dengan bergabung di agensinya saat ini. Membuat dirinya sendiri terjebak.

Sesuatu bergemuruh. Menarik Chanyeol kembali kepada kenyataan dan refleks mengedarkan pandangan.

Kiri, kanan, belakang. Chanyeol menoleh ke semua penjuru. Tidak ada yang terjadi. Ia berbalik, berputar mencari asalnya, dan tetap tidak menemukan apapun. Tidak ada perubahan riak signifikan di perairan di sekitarnya. Semua hewan laut pula masih bergerak tenang. Gemuruh itu hilang. Berlalu seperti halusinasi.

Tapi itu memang terlalu jelas sampai Chanyeol merasakannya seolah berasal tepat dari samping telinga.

Satu-dua kerjapan, Chanyeol memutuskan kembali menatap dinding kaca yang berada di depannya. Pikirnya, tadi itu bukan sesuatu yang serius. Mungkin.

Meski nyatanya, ia mulai gelisah untuk suatu alasan yang tidak ia ketahui.

Kaki tetap berdiri tegak. Mata menatap lurus ke kesemua yang ada di balik kaca. Mencoba kembali memperoleh apa yang buyar sejak gemuruh misterius itu terdengar.

Namun percuma, terlebih ketika gemuruh itu kembali.

Chanyeol mengernyit. Terpaku di tempatnya akibat perasaan asing yang muncul bersamaan dengan gemuruh yang kembali muncul.

Tepat ketika terdengar bunyi lain serupa debur ombak yang kian intens, Chanyeol berbalik. Tapi kali ini semua bebunyian itu tidak hilang kala ia berbalik.

Chanyeol mencari-cari asalnya, meski masih sama bahwa yang ditemukannya hanyalah ruang luas yang kosong.

Kecuali mulut pintu yang mengarahkan kepada lorong akuarium yang lebih kecil dalam observatorium.

Awal langkah diwarnai ragu. Namun kaki tetap mengayun saking semakin intens suara yang tertangkap telinga. Mendekat, menuju mulut lorong.

Gemuruh. Deburan. Masih terdengar. Kini, bersama suara lain berupa nada-nada. Empat not sama. Terus berulang.

Tidak sulit bagi seorang seperti Chanyeol untuk membedakan suara dan nada tapi kali ini, ia tak bisa mengira seperti apa wujud dari sesuatu yang menjadi asalnya.

Lorong akuarium masih sama birunya. Sama tenangnya. Kecuali semua suara anomal yang begitu asing bagi pendengaran.

Dan saat itulah, Chanyeol menangkap keberadaan seseorang lain di lorong akuarium yang baru saja dimasukinya. Menapak tangan pada dinding kaca, menempelkan sisi wajah pada permukaan dingin itu seolah ingin bersentuhan langsung dengan hewan-hewan di baliknya.

Chanyeol berhenti di tempat. Masih dengan dahi mengernyit memandang pada sosok itu. Sosok seorang anak laki-laki—ia tak yakin, tapi wajahnya memang tampak masih begitu muda—dengan mantel merah panjang.

Siapa?

Siluet itu menarik perhatiannya. Jika penjaga tadi bilang bahwa tidak ada seorang pun pengunjung tersisa di dalam, maka siapa sosok dengan mantel merah itu? Dia tak tampak seperti seorang pekerja..

Risau yang sempat menyeruak akibat suara-suara asing itu meredam. Berganti rasa yang lain, sesuatu seperti rasa familiar yang irasional. Sebab, bagaimana mungkin ia merasa demikian akrab pada paduan abstrak dari gemuruh, debur ombak, dan nada empat not berulang yang baru pertama kali didengarnya?

Dari jarak tak seberapa dekat, Chanyeol tak tahu bagaimana matanya sempat menangkap surai hitam milik sosok itu seolah berkerlip, tertimpa sinar kebiruan dari sepanjang akuarium besar yang membentang. Seperti jua terbasahi air. Dalam rupanya yang persis seperti manusia pada umumnya, ada hal lain yang Chanyeol rasa berbeda.

Lama Chanyeol terdiam. Entah untuk tujuan apa, ia berkeinginan untuk berlama-lama mendengar suara-suara itu. Merasakan sensasi familiar yang perlahan bertransformasi menjadi sesuatu yang biasa ia namai dengan nyaman.

Chanyeol merasakan kakinya terpaku di lantai demi tetap memandang sosok itu, dan mendengar suara-suara yang—ia yakin—berasal darinya.

Pandang bertemu. Anak itu secara mengejutkan menoleh, menyadari keberadaannya. Tapi tak genap satu detik sebelum anak itu berpaling. Beranjak pergi dengan cepat. Menghindar. Berbelok di ujung lorong.

Chanyeol memelotot. Terkejut.

Mengapa ia pergi?

Kaki dibawa beranjak dengan segera. Membuat langkah lebar-lebar demi sedapat mungkin tak kehilangan jejak anak remaja itu.

Sungguh, ia pun tak tahu mengapa instingnya mengajak untuk membuntuti. Ia hanya—mungkin—takut suara-suara itu absen dari pendengarannya.

Tuk. Tuk. Tuk.

Bunyi langkah menggema. Ruangan-ruangan ini seperti tak berujung. Lorong, bilik, kembali ke pelataran utama, lorong lagi. Hening selain kecipak samar air dari balik kaca setebal tujuh puluh sentimeter. Makhluk laut di baliknya bergerak tenang, kontras dengan degup jantung sang musisi yang berdetak ribut terburu. Sosok itu tak kunjung kembali tertangkap mata. Dan entah sejak kapan, ia mulai mempercepat langkah hingga napas tersengal.

Sesuatu dalam dirinya mendesak agar segera menemukan sosok itu. Aneh. Suara-suara familiar itu hilang. Tidak lagi tertangkap indera. Nada empat not berulang kian terngiang, namun telah sepenuhnya raib.

Di sisi dinding yang tak berlapis kaca, Chanyeol menyandarkan tubuhnya. Mengatur kembali napas yang sempat berantakan. Ia telah kembali ke pelataran awal.

Ia sungguh tak mengerti dirinya sendiri yang seketika kosong tenaga hanya karena kehilangan suara-suara itu.

"Chanyeol-ssi?"

Kepala tersentak menoleh. Chanyeol sedikit terlonjak akibat panggilan itu. Ia bangkit berdiri tegak begitu pria paruh baya yang telah memberinya akses ke tempat ini datang menghampiri.

"Maaf.. apa waktunya sudah habis?" tanya Chanyeol, masih setengah terengah.

Pria itu tertawa kecil. Menggeleng mengibas tangan bermaksud menenangkan.

"Tidak, bukan seperti itu. Kau hanya tampak tidak baik. Sesuatu terjadi?"

Chanyeol mengusap tengkuknya, dalam waktu demikian singkat menimbang haruskah ia menanyakan apa yang baru saja ia temui.

"Jeogi.. apa mungkin ada penjaga lain selain Anda di tempat ini? Atau pengunjung lain yang juga diberikan akses masuk?"

Pria itu mengernyit lantas segera mengangguk, "Memang ada beberapa orang security yang berjaga."

"Tidak, dia tidak tampak seperti petugas."

Hening. Pria dengan flatcap itu menatap Chanyeol cukup lama. Guratnya berubah. Tak signifikan, namun masih cukup jelas untuk Chanyeol tangkap meski hanya dengan bantuan cahaya temaram kebiruan dari akuarium besar di sana.

"Ada seseorang yang kau lihat?" tanyanya mengulang. Keramahan tak luntur, tapi nada berubah kian serius.

"Ya. Seorang anak dengan mantel merah.."

Si penjaga menunggu. Seolah tahu persis belum selesai Chanyeol dengan kalimatnya.

"..dan suara gemuruh," lanjut Chanyeol, "suara seperti deburan ombak.. juga bunyi-bunyi aneh dengan nada yang berulang."

Raut serius pria di hadapannya mengendur. Terganti sebuah senyum penuh maklum.

"Berkenan mampir ke ruanganku untuk beberapa obrolan?" tawar pria itu. Kini, telah kembali bersama senyum ramah seperti sedia kala. Dan meski batin bertanya-tanya, tak butuh waktu lama bagi Chanyeol untuk menyetujui.

"Tidak perlu terlalu dipikirkan." Si penjaga meletakkan dua cangkir kertas berisikan cairan kopi pekat yang hangat di antara mereka, mengambil tempat duduk tepat di hadapan Chanyeol yang telah lebih dulu ia minta menunggu.

Salah satu ruang navigasi itu cukup padat dengan barang, namun, masih layak untuk keduanya jadikan tempat singgah.

Chanyeol tentu tidak menyangka niat tanpa juntrungannya siang tadi untuk pergi berkendara di malam hari akan membawanya duduk berhadapan dengan seorang pria asing, di dalam ruang khusus petugas di sebuah wisata observatorium bawah air.

"Jadi.. apa yang kudengar tadi?" tanya Chanyeol, setelah satu teguk kopi ia biarkan lolos ke kerongkongannya.

Sang penjaga tersenyum. Ia menjawab ringan, "Nyanyian paus."

Mengernyit dalam, Chanyeol terdiam sejenak. Membeo. "Nyanyian paus?"

Pria itu tertawa mendengar Chanyeol memberi penekanan pada kata nyanyian seolah itu adalah hal yang sama sekali tidak dapat dipercaya.

"Kau belum pernah mendengar tentang itu, rupanya," kata si penjaga, menyesap sedikit kopi dari cangkir miliknya.

Chanyeol bungkam. Menunggu apapun yang sekiranya akan dikatakan pria di hadapannya.

"Seperti halnya manusia, hewan memiliki cara untuk berkomunikasi." Pria itu memulai. "Yang kau dengar itu, adalah salah satunya. 'Nyanyian'paus hybrid langka sebagai caranya berkomunikasi dengan paus lain."

Entah sudah ke berapa kalinya hari ini tapi, Chanyeol lagi-lagi kembali berkerut dahi. Mengernyit dalam. Ia tidak mengerti ke mana pembicaraan ini mengarah.

Paus, katanya?

"Sayangnya frekuensinya berbeda dengan paus lain. Lima puluh dua Hertz; lebih tinggi," lanjutnya. Mengabaikan kebingungan Chaneyeol, pria itu tetap melanjutkan. Seolah beranggapan bahwa sang musisi toh akan mengerti seiring perkataannya bergulir. "Tidak ada jenis paus atau hewan laut lain yang mampu menerjemahkan suaranya."

Chanyeol menyipit. Berusaha paham. Tetapi ia belum juga menemukan titik temu karena, semua itu belum cukup menjelaskan.

"Orang bilang paus hybrid itu makhluk hidup yang paling kesepian di muka bumi," tambah si penjaga lagi. Menerawang. "Saat nyatanya, selalu ada koloni yang memiliki frekuensi yang sama dengan mereka."

Setelah sempat terfokus pada cangkirnya, pria itu kembali membalas tatapan bingung dari kedua mata bulat Chanyeol.

"Terdengar akrab 'kan?"

"Ya?"

"Suara paus itu, terdengar akrab bagimu?"

Agak mengejutkan saat mendengar pertanyaan itu. Sebab—tepat sasaran. Maka Chanyeol mengangguk.

Sebuah senyum kembali terulas. Melalui pertemuan singkat, Chanyeol agaknya mulai beranggapan bahwa senyuman hingga lengkungan di mata itu tampak begitu menenangkan, seperti yang dimiliki oleh kakeknya di kampung halaman.

"Kau tahu, tidak semua orang bisa melihat anak itu," katanya. "Bahkan aku."

"Huh?"

"Anak bermantel merah itu." Pria itu menegaskan.

Berkedip. Chanyeol memaksa otaknya mencerna. Baru saja mereka membahas tentang paus, dan pria ini beranjak ke persoalan itu?

"Maksudnya—"

Melempar tawa kecil, si penjaga melanjutkan kembali. "Ini hanya mitos, Nak. Tapi rupanya kau mengalaminya."

Masih tak mengerti. Chanyeol diam menunggu.

"Anak itu adalah spirit dari si paus hybrid."

Kerut dahi mengendur. Meski masih kabur, sesuatu mulai terbentuk dengan jelas di kepala Chanyeol.

Sebuah konklusi.

"Ah, sekali lagi, ini hanya mitos. Anak-anak muda biasanya tidak menyukai mitos."

Chanyeol masih belum bersuara. Kelebatan hal melintas dalam kepalanya. Dan si pria penjaga tak berusaha mendistraksi. Membiarkan musisi itu sementara hanyut pada pikirannya sendiri.

Mengangkat kepala, Chanyeol lagi-lagi tak sadar ia telah melamun hingga menjatuhkan pandangan cukup lama pada permukaan meja. Dua mata bulatnya kembali bertemu dengan milik sang penjaga.

"Tenang, Nak," kata pria itu, menatap lembut seolah ingin memberi ketenangan melalui itu. "Apapun yang sedang kau khawatirkan, kau bisa mengatasinya. Masih banyak kesempatan lain."

Petuah tanpa konteks. Diberikan oleh seorang pria asing yang baru saja Chanyeol temui malam ini.

Jadi seharusnya Chanyeol tidak perlu memikirkan itu. Atau kalau perlu, menertawakan ke-soktahuannya.

Tetapi semuanya tepat sasaran. Semuanya. Terlepas dari inkoherensi penuturan pria itu mengenai paus hybrid, anak bermantel merah, juga petuah singkat itu, Chanyeol mau tak mau merasakan keterkaitan di antara itu semua. Bahkan pertemuan ini, seperti diatur oleh tangan tak kasat mata.

Ah, anggapan ini seperti bukan dirinya.

"Spirit hanya bisa terlihat oleh orang-orang terpilih," tambah si penjaga lagi.

Chanyeol seharusnya sangsi. Ia tahu betul hidup ini tak sama dengan dunia dongeng. Pria itu benar tentang anak muda yang tidak menyukai mitos karena demikian pula dia.

Tetapi ketika melihat sorot menenangkan dari dua mata berhias kerut usia itu, sesuatu seperti membisikkan kedamaian untuknya. Seperti, mengatakan bahwa tidak apa-apa untuk sesekali memiliki pikiran layaknya dunia dongeng itu.

Juga percaya pada adanya harapan.

Mungkin, Chanyeol akan berubah haluan untuk kali ini saja. Sebab ketika akhirnya ia pamit setelah beberapa obrolan tambahan, Chanyeol begitu saja dibuat tahu bahwa apa yang telah dilihat, didengar, dan dirasakannya bukanlah halusinasi semata.

Chanyeol tak meminta penjelasan lebih. Ia menggunakan waktu di tengah keheningan itu untuk menatap riak di permukaan cairan hitam di gelasnya, dan perlahan menghabiskan minuman hangat itu. Memperoleh ketenangan dari hangat yang menuruni kerongkongannya, yang entah bagaimana turut mencipta hal yang sama bagi hatinya.

Pertemuan hari itu Chanyeol akhiri tanpa menghabiskan 'jatah' berkunjungnya. Lagipula, ia sudah cukup beruntung dengan memperoleh keistimewaan memasuki observatorium ini di luar jam operasi.

"Terima kasih sudah datang berkunjung."

Chanyeol mengangkat alis terkejut untuk ucapan yang disampaikan dengan bungkuk badan itu.

"Tidak—terima kasih. Terima kasih sudah mengizinkanku masuk," sahut Chanyeol cepat.

Pria itu tertawa renyah, "Kau membayar untuk itu."

Setelah sekali lagi ucapan terima kasih, Chanyeol beranjak pamit. Menuju pintu keluar seorang diri karena si penjaga berkata ada yang perlu dilakukannya terlebih dulu di dalam ruang navigasi itu.

Pelataran yang sama perlu Chanyeol lintasi untuk sampai ke pintu keluar. Terasa lebih hening dari kali terakhir ia memijak di sana. Tetapi, pancaran cahaya hijau kebiruannya memang masih begitu mengundang untuk dipandang.

Sebuah senyum kecil, dan Chanyeol memutuskan untuk tidak lagi menunda langkah atau ia akan benar-benar keranjingan memandangi ketenangan dari miniatur bawah laut ini.

Tapi sesuatu yang tertangkap oleh ujung matanya menyita niat itu. Langkah terhenti. Hanya jarak satu kedipan sampai bunyi gemuruh, debur samar, dan nyanyian itu muncul. Lagi terdengar.

Chanyeol menoleh cepat. Langkah yang tepat berhenti tak jauh dari mulut lorong terdekat membuat pandangannya terarah langsung ke lorong itu. Dan di saat itulah, napas lega yang entah ditujukan untuk apa, meluncur teramat pelan dari mulutnya.

Bersamaan dengan sesosok lelaki muda bermantel merah yang tertangkap mata sedang merapat ke salah satu dinding kaca, mengintip ragu-ragu ke arahnya.

Kerlip kebiruan itu masih terlihat di rambut anak itu. Indah. Tak kalah dari apa yang melatarinya.

Sekian detik habis hanya untuk keduanya bertukar tatap dari jauh. Bagi Chanyeol sendiri, ini menakjubkan bagaimana pertemuan ini terasa begitu magis, menyenangkan, dan menenangkan di satu waktu. Tak peduli bebunyian yang seharusnya terdengar aneh di telinga.

Ia penasaran, apakah anak itu merasakan hal yang sama dengannya.

Sebab, ia tak lagi melarikan diri seperti tadi.

Maka Chanyeol mencoba peruntungannya. Satu langkah mendekat ia ambil. Kemudian diam. Tidak ada pergerakan dari anak itu selain kerjap polos dari mata kecilnya. Langkah kedua dan diam lagi, Chanyeol tidak juga menangkap sinyal bahwa anak itu akan kembali melarikan diri darinya. Langkah ketiga, keempat, dan seterusnya, Chanyeol lanjutkan dengan lebih yakin.

Hingga hanya dua kali langkah mereka berjarak.

Dari posisi yang begitu dekat seperti saat ini, apa yang tampak di mata Chanyeol sungguh membuatnya kehabisan kata. Bila memandang bentangan akuarium raksasa seperti yang ia lakukan beberapa waktu lalu bisa mendatangkan euforia kecil sekaligus ketenangan untuk hatinya, maka seperti apa ia harus mendeskripsikan rasa yang muncul saat ia memandang si lelaki bermantel merah dari jarak sedekat ini?

Jauh lebih daripada itu. Jauh sekali. Chanyeol tidak mampu mendeskripsikan. Ia kehilangan kemampuan untuk itu.

Terlalu indah.

Kulitnya putih bersih. Tampak lembab. Seperti juga rambutnya yang berkilau.

Bersamaan dengan nyanyian yang masih jua terdengar meski dengan lebih pelan, Chanyeol tahu, ia begitu saja terbayang, bahwa anak ini memanglah spirit itu.

Seekor paus hybrid yang cantik.

Bahkan aroma laut yang menenangkan menguar darinya. Angin yang menyegarkan seolah ikut hadir meski nyatanya tidak, serta atribut lain yang saling berkombinasi dan.. membuat Chanyeol, untuk kali pertama setelah sekian lama, merasa begitu ringan. Tidak terbebani oleh sesuatu apapun.

Berdiri tegak, anak itu mendongak ke arahnya. Mengerjap pelan. Hanya gemuruh, debur, dan repetisi empat nada itu yang terdengar. Tapi Chanyeol tahu, anak lelaki ini tengah mengajaknya bicara.

Lagi, sebuah senyum tipis tersungging di bibir sang musisi. Ia tidak dapat menerjemahkan itu tapi, ia begitu saja dibuat tahu bahwa anak itu pun tidak memaksanya untuk mengerti.

Sebelah tangan berbalut mantel merah terulur perlahan. Belum jelas apa maksudnya, namun Chanyeol lebih dulu menyambut. Menggenggamnya lembut, sebab memang selembut itu pula telapak yang mendarat di atas miliknya kini. Dingin dan lembab, seperti begitu identik dengan laut itu sendiri.

Saat sebuah senyum dilontarkan kepadanya, saat itu pula Chanyeol sempurna kehilangan apapun untuk mampu menggambarkan perasaannya. Sebuah senyum yang terkembang pelan, bersama dengan lengkung sabit yang cantik di kedua mata kecil itu.

Untuk pertama dan terakhir kalinya, nyanyian itu dapat ia mengerti. Sebelum menghilang dalam satu kedipan mata.

Hilang. Suara itu, sosok itu. Chanyeol kembali menemukan dirinya seorang di mulut lorong dengan cahaya temaram hijau-kebiruan dengan tangan terulur menggenggam udara kosong.

Tapi aneh. Tidak ada kehilangan dirasa. Tidak seperti di awal ia mendengar lantas kehilangan suara dan sosok itu.

Hanya tenang, dan begitu ringan. Juga sebuah bisikan,

—bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Chanyeol menurunkan tangannya. Menelan ludah. Ini terlalu banyak untuknya. Perasaan meluap-luap, yang entah bagaimana korelasinya, membuat ia segera ingin kembali ke studio di apartemennya dan kembali berkutat dengan semua alat di sana untuk membuat apapun yang ia inginkan. Membuat semua yang ia suka. Membuat musiknya.

Apapun yang sedang kau khawatirkan, kau bisa mengatasinya. Masih banyak kesempatan lain.

Ketika akhirnya Chanyeol melintasi pintu keluar dengan pikiran yang setengah mengawang dan nyanyian itu kembali terdengar dalam waktu yang begitu singkatnya, ia begitu saja dibuat yakin, bahwa ia memang bisa mengatasi apapun itu. Ia memang masih memiliki kesempatan. Banyak kesempatan.

.

fin.

.

.

Im pretty busy but need to write something as a distraction huhu. So here it is, fic remake dari tulisan yang saya buat beberapa waktu lalu.

Untuk yang nanyain work saya yang belum selesai (maybe Blinded or The Almost-Forgotten Things), in case u read this, saya cuma mau bilang kalo saya bakal tetep lanjutin semua fic itu. In fact, lanjutannya udah mulai saya ketik, kok. Hehe. Saya punya kecenderungan untuk merasa sayang/? kalo nggak nyelesain tulisan yang udah terlanjur di-publish, jadi, saya akan lanjut. Tapi.. ya.. belum tahu kapan karna rl lagi hectic and Im a lil bit stressed, ugh. Saya perlu tenang dulu supaya nggak stuck. Maaf, ya? /sungkem/ Kalo mau misuh2 langsung gpp reach me out aja di pm atau Twitter huhu

Anw fic ini sebelumnya ditulis dan di-publish di wattpad dengan judul 'Whale 52' untuk fanfic competition di akhir Maret lalu. But yeah, I didn't make it jadi ku-remake dan crossposting ke sini karena memang muse-nya adalah chanbaek. Inspired by Bambi teaser (yk, the one with baek in red coat and glittery hair) and the unidentified whale 52.

So.. wdyt about this one? Hehe, forgive me for these weird fantasy thingies ya, saya suka jenis fantasi kayak gini soalnya xixi

Terima kasih sudah membaca!