Chanyeol X Baekhyun

Kyungsoo

Jongdae

Junmyeon

BoysLove!AU, College!AU

Romance, Friendship

Warning for (very) cliche plot (again)

.

.

Chanyeol bukan satu-satunya sahabat yang Baekhyun miliki. Dia punya Kyungsoo, Jongdae, juga Junmyeon. Tapi, mengapa hanya Chanyeol yang bisa membuat dadanya terasa panas ketika melihat lelaki itu bersama orang lain?

.

.

Playlist:

EXO CBX – Be My Love

.

.

oOo

.

Segalanya dibangun di atas Philia.

Philia tidak bisa terburu-buru, itu membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk berkembang.

Perkembangan persahabatan sejati yang bertahap adalah prasyarat untuk persatuan dua orang yang abadi.

.

oOo

.

.

Sebenarnya kuliah Eksistensial punya substansi yang sangat menarik. Setidaknya bagi Baekhyun.

Sejarah filosofis hingga muaranya pada psikoterapi membawa satu metode unik untuk menyembuhkan jiwa. Katanya, bahkan orang paling neurotis pun dapat sembuh melalui terapi eksistensial hanya dengan membuat pasien menyadari betul hakikat keberadaannya serta keberadaan orang lain di dunia. Tidak pakai terapi yang muluk, tidak pula pakai minum obat-obatan. Bukankah itu menarik sekali?

Sayangnya, Baekhyun tidak mendapat cukup tidur semalam. Dan dihadapkan dengan semua materi dalam wujud buku tebal bertuliskan huruf kecil-kecil ini seperti memborbardir kesadarannya hingga nyaris runtuh. Dia tidak bisa sama sekali berkonsentrasi pada semua pembahasan itu. Rasanya beberapa detik lagi Baekhyun bisa saja jatuh tertidur di tempat duduknya.

Selain kurang tidur, Baekhyun kekenyangan. Seporsi nasi untuk makan siang memang bukan pilihan yang baik. Menu itu membantu dirinya merasa semakin berat menjalani kuliah siang hari ini.

"Aw!"

Seisi kelas menoleh pada Baekhyun. Pekikan nyaringnya menghentikan kegiatan belajar-mengajar di aula besar itu. Hey, siapa pula itu yang menembakkan karet kecil ke pipinya?!

Baekhyun terpaksa menggumamkan maaf kepada seluruh penghuni kelas—termasuk dosen pengajar—karena telah menganggu jalannya kuliah.

Sial, di mana pelaku penjepret karet itu?

Mata tak seberapa besar milik Baekhyun mencari-cari ke seluruh aula kuliah. Menyipit curiga pada setiap mahasiswa tanpa kecuali.

Dan, di situ lah ia menemukan si lelaki kecil bermata besar berbingkai kacamata. Ada di barisan belakangnya, berjarak serong beberapa kursi.

Perhatikan!

Baekhyun menerjemahkan kata itu dari gerak mulut seorang Do Kyungsoo.

Ia mendecih. Punya seorang sahabat yang maniak belajar seringkali merepotkan. Kyungsoo itu semacam membuat peraturan tidak tertulis kalau mereka—Baekhyun, Kyungsoo, Jongdae serta Junmyeon—harus selalu rajin belajar agar mereka selalu lulus mata kuliah sama-sama pula. Hal remeh-temeh seperti tadi pun ia campuri.

Bukannya Baekhyun malas, hanya saja bukankah sesekali mengantuk di kelas itu hal yang wajar? Toh kelas kali ini adalah kuliah umum di mana penyelenggaraannya melibatkan beberapa kelas yang digabungkan. Dosen pengajar di ujung depan sana tidak akan sadar pula kalau-kalau Baekhyun ketiduran di tempatnya. Bukan begitu? Ya, seharusnya begitu. Baekhyun yakin dengan hipotesisnya.

Tapi tembakan karet tadi ternyata mampu merenggut rasa kantuknya. Semua kenyamanan yang Baekhyun peroleh dari dongeng (baca: penjelasan dosen) serta pendingin ruangan kini tergantikan oleh rasa perih membakar pada pipinya yang baru saja diserang Kyungsoo. Anak itu benar-benar sadis.

Jongdae di sampingnya tersenyum takzim, memaklumi perilaku Kyungsoo. Ia hanya memberikan beberapa kata semacam sabar, ya kepada Baekhyun. Sungguh sangat berguna. Padahal jepretan karet itu mungkin saja sudah menimbulkan bekas kemerahan di pipinya yang berharga ini.

Melihat waktu kuliah masih tersisa cukup panjang, Baekhyun mengalah. Ya sudahlah, anggap saja itu teguran bagi dirinya yang mau coba-coba membolos secara tidak langsung dari mata kuliah ini.

Maka dari itu, Baekhyun mulai berusaha memfokuskan perhatiannya kembali pada kuliah yang diberikan.

Lembaran buku ia bolak-balikkan. Mencari-cari sudah sampai mana materi yang diberikan.

Tetapi, (terima kasih pada keajaiban kombinasi kurang tidur dan menu nasi untuk makan siang) Baekhyun jatuh tertidur tak lama setelahnya.

.

.

"Kyungsoo, rapat klub-ku sudah mau dimulai,"

"Aku juga,"

"Tunggu dulu," Kyungsoo menyahut tanpa mengangkat wajahnya dari modul serta laptop di atas meja. "Masih ada dua nomor lagi."

"Kyung, Junmyeon dan Jongdae sudah dihubungi teman-temannya. Tugas ini bisa kita lanjutkan nanti." kata Baekhyun, mencoba menengahi. Walaupun sebenarnya, ia hanya bosan saja. Menggunakan kepentingan Junmyeon dan Jongdae kebetulan bisa dijadikan pilihan sebagai alasan memprovokasi Kyungsoo agar menunda pengerjaan tugas kelompok mereka.

"Jangan coba-coba, Byun. Kau itu mahasiswa pengangguran. Kupu-kupu; kuliah pulang – kuliah pulang. Tidak seperti mereka. Kau mau melarikan diri, kan?"

Baekhyun membuat satu garis lurus pada bibirnya. Sweatdrop atas kesinisan yang diberikan sahabatnya. Mahasiswa pengangguran? Yang benar saja! Walaupun tidak ikut klub apapun, Baekhyun 'kan juga punya kesibukan. Main game dan nonton film, misalnya.

Karena kesal dikatai oleh Kyungsoo, Baekhyun meraih ponselnya. Berniat mengacuhkan si burung hantu itu demi beberapa hiburan. Dan hiburan itu jatuh pada satu hal;

-menghubungi Park Chanyeol.

.

To: Si Bodoh Park

Di mana?

Sent!

.

"Heh,"

Baekhyun mendelik pada cara Kyungsoo memanggilnya.

"Kau belum menyumbang satu nomor kasus pun daritadi. Jadi letakkan benda itu." kata Kyungsoo, mengendikkan kepala ke arah ponsel yang sedang Baekhyun mainkan.

"Aku menyumbang pemikiran brilianku sejak tadi, Kyung. Kau tidak ingat, ya?"

Apa? Baekhyun tidak sedang bercanda. Dirinya memang cukup mahir menyusun analisa. Hanya butuh beberapa pancingan dari argumen teman-temannya, dan selalu dia lah yang akan menyelesaikan semuanya. Lantas Kyungsoo sebagai notulen abadi di antara mereka akan mencatat di dokumen laptopnya. Jadi, Baekhyun tidak merasa harus kebagian giliran mengetik.

Drrtt.

.

From: Si Bodoh Park

Di Studio Rancang.

Kangen padaku, ya?

.

"Nah, kalau begitu lakukan itu lagi untuk dua kasus terakhir daripada main-main dengan ponselmu."

.

To: Si Bodoh Park

Kangen pantatku. Aku mau nonton sore ini. Temani, ya.

Sent!

.

"Byun Baekhyun!"

Junmyeon dan Jongdae telonjak di tempat duduknya.

"Aish, iya aku dengar!"

Kegaduhan yang diciptakan Baekhyun dan Kyungsoo mengundang lirik sinis dari seisi perpustakaan.

Kyungsoo membungkuk sekilas pada orang-orang di sekitar, "Maaf,"

Sementara itu, Baekhyun sibuk misuh-misuh pada layar ponselnya yang tidak juga menampakkan pemberitahuan pesan baru apapun. Chanyeol belum membalas.

"Ya sudah, apa kasus nomor empat? Kita selesaikan segera," kata Junmyeon, akhirnya memutuskan meminta izin pada rekannya untuk datang sedikit terlambat.

Kyungsoo menggulirkan mata bulatnya pada layar.

"Analisis bentuk-bentuk cinta dari salah satu kisah karya sastra klasik Eropa."

"Karya sastra klasik?" Jongdae membeo, tampak berpikir-pikir.

"Maksudnya kisah sejenis Romeo dan Juliet?" tanya Junmyeon pada Kyungsoo.

"Kurasa begitu," jawab si mata bulat.

"Bentuk-bentuk cinta, ya," Jongdae mengelus dagu, "Kita ambil teori May saja. Sex, Eros, Philia, dan Agape. Materi itu masih hangat-hangatnya dari kuliah tadi."

Baekhyun yang baru saja berdamai dengan rasa kesalnya pada Chanyeol yang tak kunjung membalas pesannya tertarik pada apa yang baru saja diucapkan Jongdae.

"Sex, Eros—apa? Apa itu tadi?" tanya Baekhyun tak mengerti. Ia tidak merasa mengenali istilah-istilah itu.

Kyungsoo menghela napas malas, kembali membuka-buka modul demi menemukan sedikit pencerahan. "Lain kali kusambit saja kau dengan batu supaya kau bisa terjaga sepanjang kuliah dengan benjol di kepalamu." ujarnya.

Baekhyun mendelik lagi. Jadi maksud Kyungsoo, ia melewatkan itu saat ketiduran di kelas tadi?

"Bentuk-bentuk cinta menurut tokoh Rollo May." Suara Jongdae mengundang Baekhyun menoleh kepadanya. Lelaki kurus itu sedang membuka salah satu halaman dari buku tebal yang mereka gunakan di kuliah umum tadi, mendiktekan isinya. "Sex, artinya kepuasan seksual; tingkat pertama. Eros, keinginan akan persatuan yang langgeng. Philia, hubungan non-seksual antara dua orang—persahabatan sejati. Agape, cinta tanpa pamrih; tingkat tertinggi."

"Woah," Baekhyun membulatkan bibirnya. Rupanya ia telah melewatkan materi seindah itu. Sepertinya ia harus benar-benar menyingkirkan menu nasi dari daftar pilihan yang bisa dijadikannya menu makan siang. Dan tentunya mendapat cukup tidur supaya tidak lagi melewatkan sesuatu apapun saat kuliah.

Heh, dia jadi terdengar seperti Kyungsoo.

Tapi, penjelasan Jongdae benar-benar menarik perhatiannya.

"Sudah bangun sekarang?" sindir Kyungsoo. Meski gatal ingin membalas, Baekhyun mengesampingkan itu sejenak untuk melanjutkan apa yang seharusnya jadi fokus pembicaraan mereka.

Baekhyun mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja. "Karya sastra klasik Eropa.." ucapannya menggantung sambil kepala memutar beberapa judul sastra klasik yang ia ketahui. Perkataan Junmyeon selanjutnya mewakili apa yang ingin Baekhyun keluarkan dari pikirannya.

"Bukankah sulit menemukan Philia dan Agape di karya-karya klasik Eropa? Aku tidak ingat ada judul yang bercerita soal persahabatan,"

Kyungsoo menggumam, sedikit-banyak menyetujui pernyataan itu.

"Tidak," sahut Baekhyun. "Agape masih bisa ditemukan di Romeo dan Juliet atau King Lear. Tapi Philia memang sedikit sulit. Kurasa."

Jongdae di tempatnya mulai mengacak-acak rambutnya sendiri. "Astaga, aku tidak menyangka menyelesaikan lima nomor bisa memakan waktu selama ini. Pantas saja ditugaskan berkelompok." gerutunya. Sekali lagi halaman-halaman buku tebal di hadapannya ia bolak-balik tanpa minat.

Beberapa waktu Baekhyun habiskan lagi untuk berpikir. Sayang sekali ia belum pernah membaca secara penuh karya-karya seperti itu. Jadi ia tak bisa memastikan betul kebenaran perkiraannya.

Baekhyun akhirnya memutuskan bangkit, "Aku akan cari beberapa referensi tambahan."

Ketiga temannya mendongak lantas mengangguk mengiyakan. Ketiganya tampak sama buntunya dengan Baekhyun.

Baekhyun langsung menuju ke rak sastra. Jejeran judul buku ia telusuri dengan bantuan jari telunjuknya. Setelah menemukan satu judul, ponsel di dalam sakunya bergetar.

Si Bodoh Park is calling..

Chanyeol?

Tombol hijau langsung ia geser, menempatkan benda pipih hitam itu ke telinga.

"Yah! Kau tidak membalas pesanku!" Baekhyun membentak seorang di seberang panggilan dalam bisikan. Seingin-inginnya Baekhyun mencaci maki orang itu, dia masih cukup sadar akan tempatnya berada sekarang.

"Iya, iya, maaf, Baek."

"..."

"Kau di mana?"

"Perpustakaan." Baekhyun menyahut ketus.

"Sendiri?"

"Bersama tiga kurcaci,"

Getar tawa Baekhyun dapatkan dari seberang.

"Aku tidak bisa menemanimu nonton kalau hari ini. Bagaimana kalau besok?"

Mendengar itu, Baekhyun mengernyit risih, "Apa? Kenapa?"

"Ada proyek maket yang harus diselesaikan hari ini,"

Tanpa disadari, wajah Baekhyun berubah semakin masam.

"Ya sudah. Kututup."

"Nanti dulu, Baek! Jadi bagaimana? Besok saja?"

"Tidak tahu. Kututup sekarang."

Baekhyun sungguh menutup panggilan. Entah bagaimana reaksi Chanyeol di sana. Terserah saja.

Chanyeol semakin sibuk hari-hari belakangan. Mereka jadi jarang pulang bersama atau pergi main ke luar. Menyebalkan sekali.

Beberapa buku sudah berpindah dari rak ke dekapannya. Ia berjalan kembali menuju meja diskusi tempat dia dan teman-temannya mengambil tempat di sudut perpustakaan dekat jendela.

Begitu sampai dan membanting buku-buku ke atas meja dengan tidak santainya, Baekhyun menerima tatapan heran dari yang lain.

"Kusut sekali wajahmu, Baek." komentar Jongdae. Dia tidak bercanda, karena wajah Baekhyun tampak jelas-jelas berbeda dari terakhir kali ia meninggalkan meja.

"Ada apa?" Junmyeon memilih bertanya pelan-pelan.

Baekhyun malas menjawab. Jadi ia mengabaikan pertanyaan Junmyeon dan malah membuka buku-buku yang dibawanya dengan kelewat kasar.

"Kenapa, sih?" Tingkah Baekhyun mengundang Kyungsoo berujar kesal. Baekhyun benar-benar tidak pernah gagal membuatnya emosi.

Melirik Kyungsoo, Baekhyun tanpa sadar mengerucutkan bibirnya.

"Chanyeol tidak bisa menemaniku nonton." katanya.

Hening.

Jongdae, Kyungsoo, dan Junmyeon bertukar tatap. Saling berkirim isyarat yang hanya mereka yang mengerti.

Anak itu mulai lagi.

"Baekhyun," panggil Kyungsoo. Suaranya sudah tak lagi ketus. Hanya normal sebagaimana Kyungsoo yang selalu datar.

Yang dipanggil melirik malas, mengalihkan sejenak dari halaman yang sedang dibacanya.

"Chanyeol itu sebenarnya pacarmu, ya?"

Baekhyun sontak melebarkan mata. Alisnya berkerut pertanda semakin kesalnya dia.

"Tidak, Kyung! Untuk apa aku pacaran dengan makhluk bodoh seperti dia?! Kau tidak tahu saja kalau dia suka tidur pakai celana kuning bergambar kartun! Jelek dan bodoh sekali!" sahut Baekhyun berapi-api, sedikit off-side mengeluarkan suara keras.

"Ssst!" Jongdae mengingatkan.

"Kenapa kau menanyakan itu terus, sih? Aku 'kan sudah bilang dia cuma teman kecilku." Baekhyun misuh-misuh. Ia kembali pada bukunya dengan wajah tertekuk sempurna.

Hening lagi.

Jongdae, Kyungsoo, dan Junmyeon bertukar tatap lagi. Ketiganya menghela napas.

Byun Baekhyun being incredibly stupid part XXX, batin ketiganya.

.

.

Baekhyun menendangi setiap bebatuan yang ditemui ujung sepatunya. Dia jadi malas pulang. Setengah jam terakhir selepas perpisahannya dengan teman-temannya ia habiskan hanya untuk memutari seisi kampus.

Sudah tiga kali dia mondar-mandir ke Fakultas Desain. Padahal jaraknya cukup jauh dari gedung fakultasnya sendiri. Siapa tahu Chanyeol kelihatan dan taunya tidak sedang benar-benar sibuk. Siapa tahu Chanyeol bohong dan malah pergi bersenang-senang dengan temannya yang lain.

Tunggu, kenapa Baekhyun harus memusingkannya?

Langkah ia bawa menjauh dari gedung fakultas tempat Chanyeol belajar itu. Benar-benar terbuang waktunya telah digunakan untuk ini semua.

"Baek!"

Baekhyun berhenti. Suara berat yang memanggilnya sontak membuatnya menoleh.

Yah, panjang umur. Baekhyun bisa melihat Chanyeol berlari-lari ke arahnya dari arah gedung tata usaha Fakultas Desain.

Baekhyun baru saja ingin menyemprot Chanyeol dengan apa saja yang ingin keluar dari mulutnya namun seseorang lain yang menyusul dari belakang Chanyeol menghentikan itu.

Baekhyun mengernyit mengamati gadis langsing semampai berambut panjang yang kini berdiri di samping Chanyeol.

Siapa perempuan ini?

"Mau pulang?" tanya Chanyeol.

Lirikan sinis Baekhyun tujukan pada Chanyeol.

"B—Baek? Kenapa, sih?"

"Proyek maketmu sudah selesai?" tuntut Baekhyun.

"Belum. Kami baru akan berangkat ke tempat pengerjaannya,"

Dahi Baekhyun berkerut, "Ke mana?"

"Ke rumahnya," Chanyeol menunjuk gadis di samping dengan ibu jarinya. "Ini Rose, rekan sekelompokku,"

Gadis pirang itu menyapanya, tapi Baekhyun tak membalas.

"Di mana?" tanya Baekhyun lagi.

"Tidak jauh dari komplek rumah kita, Baek. Oh, kau mau ikut? Kurasa—"

"Tidak. Kalau begitu aku duluan. Semoga berhasil." ujar Baekhyun datar. Tapi maaf saja, ia tidak benar-benar mendoakan si caplang itu.

Baekhyun berbalik, melenggang pergi secepatnya. Sekilas, ia samar-samar bisa mendengar suara Chanyeol,

"Hati-hati, Baek!"

Sepanjang jalan pulang, Baekhyun terus-terusan menekuk wajahnya.

.

oOo

.

Satu nomor tersisa dari penugasan kelompok yang belum terjawab. Meskipun pengumpulan masih tersisa beberapa hari, Kyungsoo tidak berniat menunda-nunda lagi pekerjaan mereka. Maka dari itu, ia membawa Baekhyun pada tugas itu pada satu waktu makan siang.

Sembari mengunyah potongan buah dari cup kecil salad buah yang ia beli, Kyungsoo menyisir kata-kata yang menjadi inti dari halaman buku yang terbuka di hadapannya.

"Philia; persahabatan sejati. Syarat untuk Eros dan konsekuensi dari Agape." Kyungsoo mengernyit tak mengerti. Bibirnya kemudian lanjut menyuarakan isi bacaan.

"Segalanya dibangun di atas Philia. Philia tidak bisa terburu-buru, melainkan butuh waktu untuk tumbuh dan berkembang. Perkembangan persahabatan sejati yang bertahap adalah prasyarat untuk persatuan dua orang yang abadi."

Mengurut pelipis, Kyungsoo memutuskan untuk menyingkirkan buku tebal itu sejenak. Ini tidak akan berhasil.

Kyungsoo kemudian menatap Baekhyun yang belum juga menyentuh snack siangnya di atas meja kafetaria. Anak itu hanya mengemut sedotan dari susu stroberi kotakan yang diminumnya sejak tadi.

Sebenarnya Kyungsoo ingin menyemprot Baekhyun dengan serbuan kata makian karena telah membuang-buang waktu—dan juga uang—dengan tidak segera menghabiskan makanannya. Baekhyun bahkan mengeluarkan suara kecapan yang mengganggu hanya untuk mengemuti benda plastik itu.

Tetapi melihat bagaimana wajah Baekhyun tampak tidak baik-baik saja, Kyungsoo urung. Itu bukan raut wajah malas Baekhyun yang biasa.

Jam kuliah siang akan dimulai beberapa saat lagi dan Baekhyun malah bengong di tempat duduknya selama bermenit-menit. Sama sekali tidak membantu Kyungsoo yang sejak tadi berusaha menyelesaikan pekerjaan mereka. Junmyeon dan Jongdae yang tengah mendapat dispensasi acara organisasi tidak akan hadir kuliah seharian. Dan itu berarti tersisalah Kyungsoo untuk mengurus bayi besar berotak encer yang sayangnya punya kelakukan yang kadang ajaib ini.

"Hentikan itu." Kyungsoo merampas karton kemasan susu dari tangan Baekhyun yang taunya sudah tidak berisi lagi.

Alih-alih mendecak atau merasa terganggu sebagaimana biasanya, Baekhyun anteng-anteng saja. Kyungsoo mengamati saat Baekhyun mengambil ponselnya dan beralih mencari kesibukan di sana—lagi-lagi bukannya melanjutkan makan siangnya.

"Ada apa?" tanya Kyungsoo pada akhirnya. Rasanya tingkah Baekhyun terlalu berbeda untuk ia abaikan seperti biasa. Meski baru 2 tahun berteman dengan anak itu, Kyungsoo sadar ia punya perhatian tersendiri mengenai perubahan suasana hati Baekhyun.

Kyungsoo memperoleh lirikan tak bertenaga dari si lelaki Byun. Satu helaan napas, anak itu akhirnya buka suara.

"Kyungsoo," panggilnya.

"Hm,"

"Aku punya seorang teman," kata Baekhyun.

Kyungsoo mengernyit, tapi tetap menunggu kelanjutannya.

"Temanku ini punya seorang teman lagi,"

Ha?

"Temanku melihat temannya bersama seorang gadis. Menurutmu bagaimana temanku ini bisa tahu kalau-kalau temannya itu menjalin hubungan dengan gadis itu?"

Mendengar pertanyaan melantur itu, Kyungsoo nyaris saja meloloskan pukulan ke kepala Baekhyun saking kesalnya.

"Bicara yang jelas, Baek."

Baekhyun menggaruk-garuk kepalanya dengan tampang yang—menurut Kyungsoo—luar biasa bodoh. Untung saja anak itu tidak benar-benar bodoh secara harfiah.

"Mmm.. sebut saja temanku bernama B dan teman B adalah C. B dan C berteman baik sampai suatu hari B melihat C bersama seorang gadis."

Kyungsoo sweatdrop. Dia berjanji tidak akan menyebut Baekhyun berotak encer lagi. Anak itu bahkan terlalu bodoh dalam membuat perumpamaan. Dia jelas-jelas sedang membicarakan dirinya sendiri.

Tetapi sementara, Kyungsoo akan mendengarkan dulu. Dia sedikit penasaran.

"B ingin tahu apa hubungan C dengan gadis itu karena mereka terlihat mencurigakan. Menurutmu apa yang harus dilakukan B untuk bisa tahu seperti apa hubungan C dengan gadis itu?"

"Tanya saja langsung pada Chanyeol," jawab Kyungsoo datar.

"Ck, masa iya aku harus tanya langsung pada—" Mata Baekhyun melebar sekilas sebelum anak itu meralat ucapannya, "Hey! Kenapa kau menyebut Chanyeol?! Aku sedang menceritakan seorang teman!"

Kyungsoo menatap malas pada kawan bodohnya. Akan bagus kalau B itu singkatan dari nama Bodoh. Byun Baekhyun yang Bodoh.

"Bicara pada pantatku." sahut Kyungsoo malas. "Jadi kau melihat Chanyeol bersama seorang gadis? Siapa?"

Wajah Baekhyun tahu-tahu saja tampak merah padam. Dan agaknya Kyungsoo ingin menertawakan betapa jelasnya reaksi itu.

"A—aku tidak sedang bicara tentang Chanyeol!" bantahnya.

Oke, terserah. Mari ikuti saja keinginan bayi besar ini.

"Hm hm, baiklah. Jadi, seperti apa gadis yang bersama C?"

Dengan mudahnya, Kyungsoo berhasil membuat perhatian Baekhyun teralihkan dan melanjutkan perkataannya.

"Um.. rambutnya panjang dengan warna pirang keemasan, badannya bagus sekali, dan dia—" Kyungsoo melihat Baekhyun menggigit bibirnya ragu, "—cantik."

Sampai sini, Kyungsoo sudah mengerti di mana letak permasalahan yang menjadi penyebab temannya itu bermuram durja. Heh.

"Seperti apa sikap C pada gadis itu?" tanya Kyungsoo lagi.

"Ngg.. aku tidak terlalu memperhatikan,"

Nah, sekarang anak itu seperti mengaku sendiri siapa sesungguhnya si B.

Tapi Kyungsoo berbaik hati mengembalikan cerita pada jalannya, "Kenapa B penasaran tentang hubungan C dengan gadis cantik itu?"

"Ngg..." Baekhyun mendengung singkat. Kalau lebih panjang lagi, Kyungsoo mungkin sudah benar-benar memukulnya. Suara itu menyebalkan sekali. "Karena B berteman baik dengan C..? B hanya ingin tahu saja siapa-siapa yang dekat dengan C,"

Kyungsoo menghela napas. Dia hampir kehabisan akal untuk memberi jawaban pamungkas yang bisa menyadarkan Byun Baekhyun dari kebodohan tiada akhir nya.

"Mungkin C pacaran dengan gadis itu."

"Apa?! Darimana kau bisa berpikir seperti itu? Beritahu aku!"

Lengan Kyungsoo diguncang-guncang dengan brutal. Lihat! Betapa bodoh dan anarkisnya temannya ini.

"Anggap saja aku mendapat penglihatan." jawab Kyungsoo asal.

Jawaban itu mengundang decakan kesal lagi dari Byun Baekhyun.

"Kau menyebalkan." gerutu Baekhyun.

"Kau juga menyebalkan." balas Kyungsoo. "Dan bodoh." tambahnya.

"Yah!"

"Cepat habiskan makananmu." tuah Kyungsoo. Ia memutuskan pura-pura tidak mendengar apapun lagi setelah itu.

.

.

.

Drrtt.

From: Si Bodoh Park

Sudah selesai?

.

Sore menjelang petang dan Baekhyun baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya. Pesan dari Chanyeol menjadi hal pertama yang ia terima tepat setelah keluar dari kelas.

Pas sekali. Baekhyun tidak tahu apakah saling mengetahui jadwal kuliah sampai di luar kepala adalah suatu keberuntungan atau bukan.

.

To: Si Bodoh Park

Sudah.

Sent!

.

From: Si Bodoh Park

Kujemput, ya? Aku butuh bantuanmu untuk pergi beli hadiah.

.

Hadiah? Untuk siapa?

.

Nanti kuberitahu. Tunggu di sana, Baek.

.

Baekhyun berhenti tepat sebelum keluar dari gedung fakultasnya. Hari ini Chanyeol tidak ada jadwal kuliah. Biasanya anak itu akan tidur seharian di rumah karena hari-hari lainnya menjadi waktu sibuk untuk mahasiswa desain seperti dia.

Mendengar kata hadiah, Baekhyun jadi risau sendiri. Dia tidak tahu siapapun yang akan berulang tahun dekat-dekat ini.

Chanyeol biasa meminta bantuan padanya bila itu soal Yoora, Paman atau Bibi Park. Tapi bukan ini tanggalnya. Jadi, untuk siapa?

Baekhyun merutuk kala bayangan seorang gadis muncul di kepalanya. Gadis pirang bertubuh semampai yang tempo hari ia temui untuk pertama kali.

Heh, kenapa dia harus teringat akan gadis itu? Tidak ada hubungannya, kan?

Tetapi sampai kepada waktu Baekhyun telah duduk manis di atas jok skuter Chanyeol, prasangka bahwa Chanyeol sedang berusaha memberikan sesuatu untuk gadis itu terus menghantui pikirannya.

Dan Baekhyun tidak bisa lebih terkejut lagi saat Chanyeol membawanya ke gerai aksesoris trendi di salah satu mall ibukota.

Jangan bilang..

Baekhyun mendapat jawaban tanpa diminta ketika Chanyeol benar mengajaknya ke bagian etalase cincin.

Ya Tuhan..

Kenapa tiba-tiba dadanya terasa terbakar?

Ia tidak bisa menahan lagi rasa sedih yang tiba-tiba merundung.

Jadi Chanyeol benar-benar punya hubungan dengan gadis pirang itu? Kalaupun ini seseorang yang lain, tetap saja tidak mengubah fakta Chanyeol sedang berusaha memberikan sesuatu untuk seorang yang spesial.

Tanpa sadar, bibir Baekhyun sudah melengkung ke bawah ketika Chanyeol mulai menunjuk sebuah cincin titanium polos sederhana dengan sedikit pahatan di sekeliling permukaannya.

Baekhyun memperhatikan Chanyeol yang tengah mengamati detail benda itu sebelum bertanya padanya,

"Bagaimana menurutmu?"

Berusaha mengendalikan raut wajahnya, Baekhyun memberi sebuah jawaban singkat,

"Bagus."

"Eii, tidak ikhlas sekali jawabnya, Baek. Yang benar, dong. Coba lihat ke sini." Chanyeol menariknya agar berdiri tepat di depan kaca etalase.

Di sana, Baekhyun bisa melihat deretan cincin-cincin yang sedang tren di kalangan anak muda. Bukan seperti perhiasan yang muluk, itu hanya model-model simple yang dapat digunakan sehari-hari sebagai aksesoris. Kebanyakan berwarna perakdan hitam atau kombinasi keduanya. Beberapa darinya tersedia berpasangan.

Membayangkan Chanyeol membeli satu dari sekian aksesoris keren itu untuk orang lain, Baekhyun tidak bisa lagi menahan kecewanya. Ia menoleh pada Chanyeol di samping, melihat bagaimana lelaki itu masih serius menggulirkan matanya pada jejeran benda di etalase.

Jadi, akhirnya Chanyeol menemukan seseorang yang tepat? Apa Chanyeol benar-benar tega membiarkannya menjomblo sendiri?

Dua model cincin yang berbeda tiba-tiba disodorkan ke hadapannya.

"Yang mana?" tanya Chanyeol. Ia membawa satu yang berwarna perak polos dan satu lagi dengan garis hitam di tengahnya.

Pikiran Baekhyun melayang pada sosok perempuan pirang itu. Mengingat gayanya yang tidak terlalu feminim, Baekhyun rasa satu yang bergaris hitam akan terlihat bagus dikenakan gadis itu.

Jadi, Baekhyun menunjuknya.

Setelah itu ia melihat Chanyeol mengulum senyum hingga lesung di pipi kirinya tampak, lantas langsung memberikan cincin itu pada penjaga toko.

Baekhyun menghela napas.

Mungkin, memang sudah saatnya dia dan Chanyeol memikirkan hal seperti ini. Mereka sudah beranjak dewasa dan tidak mungkin terus-terusan bermain-main seperti saat mereka kecil atau remaja dulu. Chanyeol jelas ingin jatuh cinta pada seorang gadis seperti lelaki lain seumur mereka.

Dan begitu pula Baekhyun.

—seharusnya.

"Kau belum memberitahu untuk siapa ini semua." kata Baekhyun.

Reaksi Chanyeol membuat Baekhyun serasa dihantam godam besar di kepala. Lelaki tinggi itu tersenyum kecil penuh arti. Cekungan manis di pipinya kembali tampak.

"Confession, I think? Aku ingin menyatakan perasaan pada seseorang."

Jawaban yang disertai senyum itu membungkam Baekhyun.

Ah, harusnya, Baekhyun tak perlu bertanya. Bodoh sekali. Rupanya Kyungsoo memang benar soal mengejeknya bodoh.

"Kita pergi makan es krim sebelum pulang. Aku yang traktir." kata Chanyeol ketika mereka baru saja selesai menerima belanjaan dari kasir.

"Aku mau porsi besar." ujar Baekhyun, tanpa sadar mengerucutkan bibir.

Chanyeol terkekeh sekilas. Menempatkan tangannya pada rambut halus kecokelatan milik Baekhyun dan mengusak gemas helaian itu,

"Roger!"

Baekhyun menghabiskan sisa hari itu dengan perasaan yang berkecamuk.

.

.

"Baek? kenapa diam saja?" tanya Chanyeol keras-keras, berusaha mengalahkan deru mesin kendaraan dan angin jalanan.

Baekhyun tidak menjawab. Apa iya dirinya selalu secerewet itu bahkan di tengah perjalanan?

Dalam diam, Baekhyun memandang punggung Chanyeol. Bergantian pada kedua telapaknya sendiri yang mencengkram jaket lelaki tinggi itu di kedua sisi pinggangnya.

Baekhyun tidak menyangkal kalau pikirannya tak henti dipenuhi oleh orang ini. Tak barang sedetik pun.

Apa setelah Chanyeol punya pacar, ia akan kehilangan jok skuter ini untuk ditempati setiap perjalanan pulang seperti sekarang?

Tentu saja.

Jok ini akan menjadi milik gadis itu.

Lalu bagaimana kalau Baekhyun membutuhkan Chanyeol untuk menemaninya main game, nonton, atau pergi makan di luar?

Ya, benar.

Itu juga tidak mungkin lagi karena ia akan terdengar seperti sahabat tidak pengertian yang menyita waktu Chanyeol yang seharusnya bisa digunakan lelaki itu untuk bersama gadisnya.

Baekhyun menggigit bibir. Bagaimana dia harus menghilangkan segala kebiasaannya tentang Chanyeol?

Kalau Baekhyun merasa kehilangan, apakah itu diperbolehkan?

Bagaimanapun, mereka sudah menghabiskan nyaris duapuluh tahun bersama-sama.

Kalau harus kehilangan Chanyeol, mungkin.. Baekhyun tidak akan bisa.

"Baek?" teriakan Chanyeol terdengar lagi.

"Fokus saja ke jalanan, bodoh!" sahut Baekhyun, memberi satu pukulan kecil pada punggung Chanyeol. Pukulan tanpa impuls, yang membuat tangannya justru tak kunjung lepas dari punggung lebar itu.

Baekhyun justru mengurai kepalan tangannya di sana, menempatkan telapaknya di sana.

Kalau memang ini saat-saat terakhirnya untuk bisa menghabiskan banyak waktu bersama Chanyeol, sebuah pelukan tidak akan apa-apa 'kan?

Jadi Baekhyun mengistirahatkan kepalanya di sana.

"Baek? Kau tidur?"

Baekhyun tidak menjawab lagi. Meski matanya terbuka lebar-lebar, ia memilih diam.

.

.

Setelah berpisah dengan Chanyeol di depan gerbang, Baekhyun tidak lantas masuk ke dalam rumah. Ia memastikan Chanyeol telah masuk ke rumahnya sendiri kemudian beranjak pergi.

Baekhyun rasa ia butuh Kyungsoo. Meski Kyungsoo sering memukulnya, memarahinya, dan memaksanya terus-terusan belajar dan membuat pekerjaan kuliah mereka, hanya Kyungsoo yang terpikirkan oleh Baekhyun di saat-saat seperti ini—saat-saat di mana Baekhyun butuh tempat untuk mengadu.

Maka, Baekhyun membawa kakinya pergi menyusuri jalan menuju sebuah rumah yang berjarak beberapa blok dari rumahnya sendiri.

Semoga saja anak itu sudah menyelesaikan pekerjaannya di kampus. Menjadi seorang mahasiswa teladan membawa seorang Do Kyungsoo pada posisi asisten peneliti bahkan di usia semester yang masih terbilang muda. Nyaris setiap hari, Kyungsoo menghabiskan waktu seusai kuliahnya untuk mendekam di ruang dosen. Jadi Baekhyun berharap-harap cemas tentang keberadaan anak itu di rumahnya.

.

.

Membuka pintu, Kyungsoo hanya bisa melebarkan mata bulatnya saat menemukan Baekhyun berdiri di hadapan. Dengan raut tak terbaca yang belum pernah tercatat dalam ingatan Kyungsoo.

"Ada apa?" tanya Kyungsoo pelan. Senyum tipis yang diberikan Baekhyun kemudian membuatnya tahu akan adanya suatu yang tak beres. Setidaknya bagi perasaan temannya ini.

"Ng.. mengerjakan tugas? Tugas kita.. belum selesai, kan?"

Mendengar jawaban itu, Kyungsoo menghela napas. Itu sebuah konfirmasi bahwa Byun Baekhyun benar-benar tidak sedang baik-baik saja. Maka, ia segera melebarkan daun pintu,

"Masuk." pintanya.

Sampai pada waktu mereka telah duduk berhadapan dengan sebuah meja kecil dan buku di tengah-tengah, Kyungsoo memberi pertanyaan yang seharusnya ia tanyakan, yang tentunya bukan perkara yang berhubungan dengan buku di atas meja.

"Ada yang ingin kaubicarakan?"

Baekhyun yang sejak tadi hanya duduk menatap ke halaman buku yang terbuka, mengangkat wajahnya pada Kyungsoo,

"Maksudmu? Kita harus segera menyelesaikan ini," katanya, meraih buku tebal di meja agar mendekat ke arahnya.

Tetapi Kyungsoo segera memonopoli benda itu di bawah kedua sikunya.

"Kau sedang mencoba menipu rekan satu jurusanmu dengan wajah kusut begitu? Kaupikir di jurusan apa kita belajar selama dua tahun ini?"

Mempertemukan mata sipitnya dengan milik Kyungsoo, Baekhyun menyadari kebodohannya.

"Psikologi. Benar. Maafkan kebodohanku ini." helanya.

Kyungsoo membuat satu tarikan napas lagi.

"Sebenarnya semua orang pun bisa menyadari wajah kusutmu, sih. Jadi sekarang ceritakan." kata Kyungsoo.

Bukannya mendapat jawaban, pertanyaan Kyungsoo justru disambut keheningan. Cukup lama, sampai Kyungsoo akhirnya memutuskan menembak langsung pada sasaran.

"Ada apa dengan Chanyeol?"

"Aku tidak—"

"Jangan mengelak, Baek. Satu-satunya orang yang bisa membuatmu jadi seperti ini hanya Chanyeol. Jadi berhenti pura-pura dan bilang saja sejujurnya." Kyungsoo memotong segera.

Seperti dugaannya, Baekhyun bungkam. Kyungsoo harus merelakan diri menunggu lagi bersama keheningan.

"Apa Chanyeol benar-benar berpacaran dengan gadis itu?" tanya Kyungsoo lagi. Dan rupanya, pertanyaan itu memancing reaksi signifikan dari seorang di hadapannya.

"..belum. Tapi akan." jawab Baekhyun pelan. Kalau saja mereka tidak sedang duduk di kamar Kyungsoo, mungkin suara Baekhyun tak akan terdengar saking pelannya.

"Bagaimana denganmu?"

"Hm?"

Kyungsoo menatap lurus-lurus pada kedua mata sipit itu.

"Setelah tahu sahabatmu sudah memilih seseorang, bagaimana denganmu?"

Baekhyun diam.

Tapi Kyungsoo telah bertekad memborbardir anak itu dengan kenyataan.

"Kau sudah menemukan seseorang?"

Hening.

"Siapa orang yang kau sukai?"

Kyungsoo belum pula mendapati Baekhyun menjawab.

"Kau jatuh cinta pada Chanyeol." tukas Kyungsoo. Itu jelas sebuah pernyataan, bukan lagi pertanyaan.

Baekhyun, harus segera ia buat mengakui perasaannya sendiri. Hanya agar anak itu mengakui keberadaan rasa itu, hanya agar anak itu mengakui keberadaan dirinya yang telah entah sejak kapan jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.

Kyungsoo tidak memperoleh sahutan seperti biasanya. Tidak pula gerutuan tanpa jeda yang seharusnya Baekhyun berikan padanya tiap kali Kyungsoo menembaknya dengan satu pernyataan itu.

"Chanyeol.. hanya teman kecilku."

Hela napas panjang dari Kyungsoo memenuhi heningnya kamar.

"Kalian bukan anak kecil lagi." sergah Kyungsoo.

Baekhyun tampak menggiti bibirnya, "Aku mungkin hanya tidak siap kehilangan dia sebagai sahabatku. Bagaimanapun—"

"Segalanya dibangun di atas Philia. Philia tidak bisa terburu-buru, itu membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk berkembang. Perkembangan persahabatan sejati yang bertahap adalah prasyarat untuk persatuan dua orang yang abadi."

Baekhyun mengernyit mendengar Kyungsoo memberikan kutipan dari modul Eksistensial mereka.

"Kyung, itu hanya teori."

Ucapan Baekhyun tak pelak membuat Kyungsoo menghela napas jengah. "Kau harus belajar, Baek."

"Maksudmu?"

"Kau harus belajar kalau semua yang kita pelajari sesungguhnya adalah tentang kita; manusia. Kau cerdas membuat analisa tapi selalu memisahkan semua itu dari kenyataan." kata Kyungsoo.

"Kita belajar bukan hanya demi kelulusan. Bukan hanya demi ijazah yang bisa kita bawa untuk mendapatkan pekerjaan. Kau harus belajar untuk melakukan lebih dari itu."

Kyungsoo mengunci Baekhyun melalui matanya. Byun Baekhyun harus tahu kalau apa yang selama ini membuat Kyungsoo kesal padanya bukan semata soal perilaku suka-sukanya.

"Kau bahkan tidak mau mengakui perasaanmu. Setelah dua tahun kita habiskan untuk mendalami semua hal tentang manusia."

Baekhyun mengangkat sebelah telapak tangan pada dahinya, bertopang siku ke atas meja.

Pikir Kyungsoo, Baekhyun menangkap apa inti kalimat panjang-lebar yang ia berikan.

Pikir Kyungsoo, Baekhyun mungkin menyadari perasaannya meski hanya dalam bentuk probabilitas.

Tapi Kyungsoo menyerah melanjutkan perkataannya saat mendapat satu kalimat tak relevan sebagai respon,

"Chanyeol.. hanya seorang sahabat. Dia akan segera memiliki gadisnya."

Satu helaan napas gusar terakhir, Kyungsoo mengakhiri pembicaraan malam itu.

"Kutemani kau pulang. Kau butuh istirahat."

.

oOo

.

Akhir pekan.

Baekhyun tidak tahu kalau keputusannya untuk tidak ikut pergi bersama keluarganya ke salah satu acara bisnis akan membawanya pada kelaparan luar biasa di sore hari.

Dia memang sudah berencana menolak apapun acara keluarga di akhir pekan karena ingin menggunakan hari berharga ini untuk istirahat. Juga, untuk menenangkan diri. Tapi ia benar-benar lupa satu hal mahapenting seperti makanan.

Seharian Baekhyun main game di kamar dan jatuh tertidur hingga hari beranjak sore. Lupa mengisi perutnya.

Mau seperti apapun Baekhyun mencari kegiatan untuk mengalihkan pikirannya, bayangan hari kemarin terus menghantui. Baekhyun jadi gundah sendiri. Rasa-rasanya, otaknya sudah bisa membayangkan bagaimana Chanyeol akan memberikan cincin itu pada si gadis pirang semampai bernama Rose, lalu dengan noraknya mengatakan kalau si raksasa itu juga memakai cincin yang sama. Mereka akan jalan-jalan berdua, ke kampus berdua, ke mana-mana berdua. Wah, romantis sekali. Fakultas Humaniora yang jaraknya beberapa gedung dari Fakultas Desain bisa apa? Baekhyun akan jadi badut saja membiarkan dua orang itu bermesaraan nun jauh di sana.

Chanyeol yang bodoh itu tidak akan cocok menjadi pangeran bagi seorang gadis. Tidak akan!

Sialnya, di tengah kecamuk pikiran itu, Baekhyun kembali teringat kalau dirinya belum makan sejak pagi. Perutnya berkeruyuk ribut dan kepalanya mulai pusing karena rasa lapar itu. Menghubungi layanan pesan antar mungkin membutuhkan waktu sekitar satu jam sebelum makanannya sampai. Sementara Baekhyun merasa bisa mati sebentar lagi kalau tidak segera mendapat makanan.

Jadi, keputusan jatuh pada pilihan terakhir yang selalu Baekhyun miliki dalam keadaan genting.

Baekhyun melompat dari kasur dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Ia meraih ponsel dan merapikan penampilannya sejenak sebelum berlari kecil keluar kamar dengan kaus putih dan celana pendek khaki yang melekat di tubuhnya.

Sampai di luar rumah, Baekhyun mengenakan sandal jepitnya. Segera keluar dan berbelok ke kanan, masuk ke pekarangan rumah di sebelah rumahnya sendiri. Ia lantas meraih begitu saja pintu masuk dan mendorongnya terbuka.

"Bibi~"

Gerak Baekhyun yang terhenti begitu saja saat pemandangan di balik pintu tertangkap retinanya.

"Oh? Baekhyun?" Suara Nyonya Park menyambut. Wanita paruh baya itu mendekati Baekhyun tanpa ragu.

"Eh, ada apa, Baek?" Chanyeol di sofa juga tidak tampak terkejut. Terang saja, keduanya memang sudah terbiasa berbagi rumah. Kalau memang butuh, tinggal datang saja. Hubungan yang terlah terjalin sejak keduanya masih ada dalam kandungan membuat itu tidak lagi dirasa aneh atau kurang sopan.

Tetapi Baekhyun tidak bisa tidak terkejut.

Tidak sebab dirinya menangkap keberadaan orang lain di sana, tepatnya di sofa, duduk berhadapan dengan Chanyeol.

Si gadis cantik berambut pirang.

Baekhyun mendadak terserang rasa mual luar biasa pada perutnya yang kosong.

Mau apa gadis itu sore-sore begini? Ini 'kan hari Minggu.

"Ada apa, sayang?" tanya Nyonya Park padanya.

Dengan alis mengerut dan mata yang masih menatap lurus ke arah dua orang yang menoleh padanya dari sofa, Baekhyun memberi jawab pada Ibu Chanyeol,

"Aku lapar, Bi. Di rumah tidak ada makanan, jadi aku ke sini."

Nyonya Park tertawa, kemudian menarik Baekhyun ke meja pantry, tak jauh dari sofa tempat Chanyeol duduk bersama—ah, Baekhyun malas menyebutkan lagi.

"Chanyeol! Temani Baekhyun makan!" ujar Nyonya Park.

Baekhyun melirik curiga ke arah si bodoh Park itu, dan benar saja, dia mendengar penolakan.

"Aku masih memiliki beberapa hal untuk dibicarakan, Bu. Tidak apa-apa ya, Baek?" sahutnya.

Baekhyun memberi gumaman kecil sambil menatap punggung Nyonya Park yang sedang menyibukkan diri di dekat kompor. Dia tidak peduli apakah Chanyeol bisa mendengarnya atau tidak. Masa bodoh.

Baekhyun akhirnya memiliki Nyonya Park yang menemaninya makan di meja pantry.

"Baekhyun, kau kenal gadis itu?"

Di tengah kunyahannya, Baekhyun mendapati Nyonya Park bertanya dalam bisik padanya.

"Ngg.. dia teman Chanyeol," kata Baekhyun seadanya. Tangan mengaduk-aduk makanannya, Baekhyun lantas menambahkan, "Atau akan jadi pacarnya tak lama lagi."

Tarikan napas terkejut Baekhyun dengar dari wanita di sampingnya.

"Yang benar?!" pekik Nyonya Park tertahan. Wanita itu buru-buru memeriksa keadaan Chanyeol di belakang sana sebelum melanjutkan, "Baekhyun sayang, kau tidak berbohong 'kan? Bukannya Chanyeol suka padamu?!"

Baekhyun melotot kaget. "Yang benar saja, Bi!" Ia kemudian berubah lesu. "Chanyeol itu berencana nembak gadis itu. Bibi tidak tahu, ya?" tanya Baekhyun dalam bisiknya. Nyonya Park kini heboh memekik tertahan demi menjaga kedua orang lain di sofa sana tak mendengar apa yang mereka bicarakan.

Nafsu makan Baekhyun hancur. Sayang sekali. Padahal masakan Nyonya Park termasuk salah satu favoritnya.

Tiba-tiba, Baekhyun menerima usapan lembut di pundaknya.

"Sabar ya, sayang. Bibi yakin Chanyeol akan segera sadar kalau Baekhyun-ie lebih cantik dari gadis itu," Nyonya Park memberi tatapan prihatin.

"Bibi! Aku laki-laki!" Baekhyun memprotes dengan mulut penuh nasi.

Si Ibunda keluarga Park tertawa tanpa dosa. Ia menjepit gemas hidung Baekhyun yang mengerut sebal.

"Lagipula siapa peduli si bodoh itu mau pacaran dengan siapa. Heh. Pastinya aku tidak." ucap Baekhyun di tengah gerutuannya.

Melihat itu, Nyonya Park geleng-geleng. Ia tahu kalau bukan itu yang sesungguhnya dirasakan anak ini.

.

.

Sudah sekitar sepuluh menit Baekhyun duduk di sofa depan televisi. Dia kekenyangan dan begitu sampai rumah, ia malas melakukan apapun. Keluarganya mungkin baru akan sampai lepas tengah malam nanti. Jadi tidak akan ada yang menegurnya meski belum mandi dari pagi. Pikirnya, ia akan duduk-duduk sebentar sebelum pergi mandi. Malam-malam begini pasti menyenangkan kalau dihabiskan untuk berendam air hangat.

Sialnya, saat Baekhyun ingin memainkan ponselnya, ia sadar benda itu tidak ada padanya. Di kantung celana atau di mana pun.

Baekhyun mengerang. Pasti ponselnya tertinggal di pantry rumah Chanyeol. Dia terlalu asyik mengobrol dengan Bibi Park sampai lupa membawa pulang benda itu.

Terpaksa Baekhyun bangkit dari sofa. Perut penuh membuat rasa malasnya tumbuh berkali-kali lipat. Ia harus menyeret kakinya kembali keluar rumah untuk pergi ke rumah Chanyeol.

Tapi, Baekhyun tidak bisa melanjutkan langkahnya tepat sebelum berbelok ke ke kediaman Park.

Kakinya terpaku di depan gerbang rumahnya sendiri, dengan mata yang pula tak bisa lepas dari keberadaan dua orang tak jauh dari gerbang rumah Chanyeol.

What the fuck..

Bahu Baekhyun melorot dan jantungnya serasa dihempas ke tanah. Jalan setapak itu temaram namun Baekhyun jelas dapat melihat apa yang dilakukan kedua orang itu.

Waktu serasa berhenti. Bersamaan dengan rasa aneh yang Baekhyun rasakan di dadanya.

Panas dan membuat sesak.

Baekhyun tidak tahu rasa apa itu, tetapi pelupuk matanya nyata mulai tergenang sesuatu.

Tanpa bisa disembunyikan lagi, Baekhyun sempurna mengukir raut kecewa.

Jadi, secepat ini dia kehilangan teman kecilnya.

Teman kecil yang akhirnya menemukan seseorang untuk dicintai.

Hah, apa-apaan ini. Baekhyun sudah menduga semua ini akan terjadi tapi tubuhnya seperti membuat reaksi terkejut yang berlebihan.

Sebanyak Baekhyun tak ingin melihatnya, sebanyak itu pula matanya tak bisa lepas. Dari dua orang yang saling berdiri berhadapan nyaris tanpa jarak. Dari dua orang yang berbagi ciuman di bawah remang lampu jalan.

Baekhyun nyaris tidak bisa lagi merasakan tubuhnya selain sensasi panas di dada dan matanya.

Chanyeol.. apa yang si bodoh itu lakukan?

Pada detik terakhir Baekhyun kehilangan kendali atas air mata yang mulai mengaliri pipinya, saat itu ia memperoleh tenaga untuk berbalik. Pergi jauh-jauh dari tempat itu.

"Ch—chanyeol bodoh—," isaknya, sebisa mungkin menahan itu sebab rasa-rasanya ia belum bisa menerima kalau ia menangis karena Chanyeol.

Baekhyun tidak tahu langkahnya membawa dirinya ke mana. Tidak kembali masuk ke rumah, ia hanya terus menjauh karena rasanya ia bisa saja benar-benar mati karena rasa panas di dadanya jika terus-terusan berada di sana.

Tetapi saat melewati satu blok yang ia kenal, Baekhyun membawa kakinya ke sana.

Rumah Kyungsoo.

Baekhyun amat bersyukur memiliki sahabatnya itu hanya beberapa blok dari rumahnya.

Saat akhirnya menemukan Kyungsoo menyambut di pintu rumah mungilnya, Baekhyun melepas bebas bendung air matanya.

.

.

Kyungsoo menghabiskan duapuluh menit menunggui Baekhyun menyelesaikan tangis tertahannya. Beserta seluruh luapan cerita akan apa yang baru saja disaksikannya.

"Kau jelek sekali." kata Kyungsoo.

Sayang, usaha Kyungsoo untuk membuat Baekhyun setidaknya marah padanya tidak berhasil. Ia rasa ini adalah tahap terburuk dari seluruh mood Baekhyun yang pernah ia hadapi.

Saat Baekhyun sudah jauh lebih tenang, Kyungsoo kembali berucap. Kalau memang ia tidak bisa menghibur anak itu, maka akan ia gunakan kesempatan ini untuk membuka mata Baekhyun lebar-lebar.

"Jadi, sudah mau mengakui perasaanmu?"

Dalam posisinya duduk di tepi ranjang, Baekhyun menunduk menatap lantai. Kyungsoo mengamati betul-betul dari tempatnya di kursi belajar.

"Baek, bagaimanapun kerasnya kepalamu, tetap hanya kau yang tahu seperti apa rasanya." kata Kyungsoo. "Tapi sebagai orang lain, aku bahkan bisa melihat perasaan itu." lanjutnya. "Kenapa tak coba kau ungkapkan saja?"

"Uh?" Baekhyun menyahut dengan suara seraknya. Kedua mata yang sembab menatap Kyungsoo terkejut.

Kyungsoo mengangkat bahu,

"Bukankah ini kesempatan terakhirmu? Chanyeol akan segera dimiliki sepenuhnya oleh orang lain,"

Kalimat itu mengundang raut bingung di wajah Baekhyun. Tapi Kyungsoo tahu Baekhyun mempertimbangkan.

"Bagaimana.. kalau setelah itu Chanyeol tidak mau bertemu denganku lagi?" tanya Baekhyun ragu.

Kyungsoo berpikir sejenak. Diam-diam, ia menyetujui. Itu bukannya tidak mungkin. Ia telah mendengar beberapa cerita serupa yang berakhir buruk.

Tetapi Kyungsoo tidak merasa Chanyeol akan begitu pada seorang seperti Baekhyun.

"Setidaknya cobalah," jawab Kyungsoo pada akhirnya.

Lama, Kyungsoo menunggu sahabatnya itu kembali berucap.

Meski seringkali dibuat kesal akan kelambanan Baekhyun, Kyungsoo mengerti ini bukan perkara mudah. Kalau dia ada di posisi Baekhyun dan seseorang menyuruhnya untuk menyatakan perasaan pada seseorang yang disukai, Kyungsoo jelas akan berpikir beribu-ribu kali. Namun Kyungsoo tidak punya saran yang lebih baik lagi. Bukankah memendam segalanya akan terasa lebih menyiksa?

"Aku akan menemui Chanyeol,"

Mata bulat Kyungsoo semakin membola. Ia terkejut, namun lebih kepada lega mendengar kalimat itu.

Raut penuh tekad milik sahabatnya itu entah bagaimana turut menyalakan api semangat dalam dirinya

Ia seratus persen akan mendukung sahabatnya.

Kyungsoo bangkit ke arah lemari, menarik sebuah saputangan kecil dari salah satu laci. Ia lantas meletakkan itu ke genggaman tangan Baekhyun.

"Benahi wajahmu dulu. Kau benar-benar jelek."

Satu pukulan Kyungsoo terima pada lengan. Tetapi ia tertawa singkat kemudian.

"Apapun yang terjadi setelah ini," Kyungsoo membantu Baekhyun membenahi beberapa anak rambut, "Kau bisa datang kepadaku." lanjutnya.

Baekhyun menatapnya sekilas, sebelum melanjutkan kegiatannya mengusap mata serta wajahnya dengan saputangan Kyungsoo.

"Kau terlihat aneh saat bicara seperti itu, Kyung."

"Ck, anak ini."

"Aw!" Baekhyun menerima pukulan di kepalanya.

"Sudah sana pulang. Mana tahu pangeranmu sudah dibawa pergi oleh gadis itu."

"Sial. Aku pergi sekarang."

.

.

Beberapa meter dari rumah.

Baekhyun merasa langkahnya semakin berat. Padahal baru saja ia berapi-api meninggalkan rumah Kyungsoo untuk segera pulang dan langsung menemui Chanyeol. Tetapi saat ini, keberanian itu perlahan surut digantikan ketakutan.

Baekhyun takut kehilangan Chanyeol.

Siapa yang bisa jamin kalau ia akan lebih lega setelah mengaku jatuh cinta pada sahabatnya sendiri?

Bagaimana kalau ia justru semakin hancur karena ternyata Chanyeol tidak bisa menerima itu dan menghindarinya?

Kemungkinan itu membuat Baekhyun merasa mual.

Ah, mungkin Baekhyun akan melakukannya lain kali.

Atau, tidak mengaku pun sepertinya tidak apa-apa.

Ya. Itu mungkin akan terasa lebih mudah.

Baekhyun akhirnya berbelok memasuki pagar rumahnya.

Tetapi hal yang tak ia duga sama sekali, Baekhyun mendapati Chanyeol duduk di teras rumahnya.

"C—chanyeol?"

"Baek! Dari mana saja?!" Chanyeol berlari-lari kecil ke arahnya yang masih mematung di depan pagar.

Melihat wajah Chanyeol, Baekhyun seketika teringat pada apa yang ia saksikan beberapa waktu lalu di bawah temaram lampu jalan. Rasa sedih dan kecewa kembali menguasainya.

"Rumah Kyungsoo." jawabnya singkat.

"Kenapa tidak pakai jaket?" tanya Chanyeol sambil melepas jaket bomber-nya.

Karena tadinya aku mau ke rumahmu, bodoh. Hanya saja kau dengan begitu bodohnya melakukan itu di depan rumahmu sendiri. Bodoh. Si-Bodoh-Park.

Sambil menggerutu dalam hati, Baekhyun merasakan kehangatan menyelimuti bahunya dari jaket yang disampirkan Chanyeol di sana.

"Kenapa?" tanya Baekhyun, menanyakan keperluan Chanyeol menungguinya di teras.

Chanyeol mengusap tengkuknya. "Ada yang ingin kukatakan."

Lagi, Baekhyun tidak bisa mengendalikan pikirannya yang terus-terusan melayang ke arah si gadis pirang. Sungguh, kalau harus mendengar Chanyeol memberitakan hubungan barunya dengan gadis itu malam ini juga, Baekhyun tidak bisa.

"Besok saja. Aku ngantuk."

"Tidak!"

Baekhyun terlonjak dalam upayanya melepas jaket Chanyeol.

"Berisik, bodoh! Kau tidak sadar suaramu itu besar sekali, ya?!" omelnya.

"Dengarkan aku dulu. Hanya sebentar." kata Chanyeol, menahan kedua bahu Baekhyun.

Raut wajah Chanyeol tampak lebih serius. Dan Baekhyun benar-benar mengartikan itu sebagai pertanda bahwa prasangkanya akan segera terjadi.

Rest in peace, perasaanku..

"Kau mau bilang soal hubunganmu dengan gadis itu, ya," tembak Baekhyun langsung, menatap kakinya yang beralaskan sandal jepit.

"Ha? Apa?"

"Kalian terlihat mesra tadi," gumam Baekhyun. Tapi cukup jelas untuk ditangkap telinga lebar milik Chanyeol di tengah kesunyian malam.

"B-baek? K-kau melihatnya?!"

Baekhyun mengangguk enggan, masih betah menontoni sandal jepitnya.

"Sudahlah, aku sudah tahu. Sekarang biarkan aku masuk. Ngantuk sekali."

"Tidak—tunggu,"

Baekhyun merasakan bahunya semakin dicengkram oleh tangan besar Chanyeol.

"Baek, itu sebuah kecelakaan."

Baekhyun mendadak terserang emosi mendengar itu. "Kecelakaan macam apa yang membuat dua orang bisa bercumbu seperti itu?"

"Baek—sial. Kenapa di saat begini—" Chanyeol mengacak-acak rambutnya frustasi. Baekhyun inginnya menjambak benar rambut itu sampai lepas dari batok kepalanya.

"Baek, biarkan aku bicara dulu." kata Chanyeol, memohon.

Menahan hatinya yang dongkol luar biasa, Baekhyun menarik napas panjang.

Baik, mari mulai acara mendengarkan-Chanyeol. Baekhyun cukup mahir untuk berpura-pura tuli.

"Ya, ya. Aku mendengarkan." katanya.

Chanyeol menghabiskan beberapa detik untuk menatap Baekhyun. Kedua tangan masih bertengger di kedua bahu sempit si mungil.

"Chan—"

"Aku.. ingin mengakhiri pertemanan kita."

"..."

Baekhyun tidak tahu kalau rasanya akan seburuk ini mendengarnya langsung dari Chanyeol. Kalimat itu mungkin berkali-kali lipat lebih mengerikan dari menyaksikan Chanyeol mencium seorang gadis tepat di depan matanya.

Baekhyun pula tidak tahu kalau Chanyeol sebegini bodoh dalam membuat kalimat. Memangnya tidak ada cara yang lebih lembut untuk memberitahu kabar gembira pada sahabatmu?

Jemari mulai bergerak-gerak gelisah. Baekhyun takut air matanya keluar sebelum ia sempat bersembunyi ke dalam rumah.

Chanyeol bodoh. Dia mengakhiri duapuluh tahun persahabatan mereka dengan kalimat sekejam itu.

"Aku jatuh cinta pada seseorang,"

Bibir Baekhyun mulai bergetar. Ia sudah tidak mampu menatap Chanyeol lagi.

Tenang, Baekhyun. Kau bisa menghibur diri dengan seember es krim setelah ini..

"Dia cantik sekali," lanjut Chanyeol.

Tanpa sadar, bibir Baekhyun telah lama melengkung ke bawah. Apa dia akan kuat untuk tidak menangis di hadapan Chanyeol?

"Sejak awal mengenalnya, aku sudah tahu dia cantik. Tapi tidak pernah terasa semenarik ini."

Di tengah rundungan rasa kecewa, Baekhyun mencibir cara Chanyeol memuji gadis itu. Teringat kata Bibi Park, Baekhyun mulai berpikir kalau dirinya bisa lebih cantik dari itu. Huh.

"Aku tidak pernah bosan memandang wajahnya bahkan setelah lama mengenalnya.

"Dia cantik, tapi juga cerewet. Dia berisik sekali. Tapi aku tidak tahan melewatkan satu hari tanpa mendengar suaranya.

"Bodohnya, aku menghabiskan banyak sekali waktu sebelum menyadari bahwa aku telah jatuh cinta."

Baekhyun menggigit erat bibirnya. Napasnya mulai sesak dan matanya terasa kian panas.

Kalau tahu begini, Baekhyun mungkin akan memaksa dirinya masuk ke fakultas yang sama dengan Chanyeol. Mengawasinya 24/7 dan tidak membiarkan lelaki itu dekat dengan siapapun selain dirinya.

Sudah begini, segalanya kepalang terlambat untuk Baekhyun sesali.

Memang sudah saatnya mereka mengakhiri persahabatan kekanakan mereka.

"Aku sedikit takut untuk sekadar mengaku.

"Aku takut dia tidak menerima.

"Kalau sampai dia menjauh, aku tidak tahu apakah aku masih bisa melanjutkan hidupku."

Baekhyun meremat kuat kain celana di sisi tubuhnya. Berapa lama lagi dia harus mendengarkan siksaan ini?

"Aku sudah terlalu terbiasa dengan keberadaannya. Kalau duapuluh tahun itu harus berakhir begitu saja, mungkin segalanya tidak akan ada artinya lagi."

Wah, jadi gadis itu juga teman kecil Chanyeol? Kenapa dia tidak tahu?

Baekhyun merasa seluruh tubuhnya merinding ketika tiba-tiba merasakan usapan lembut di pipinya. Itu sontak menarik Baekhyun dari tunduk kepalanya.

"Ch—chanyeol?"

Yang ia dapati begitu menengadah adalah senyum serta tatap dalam dari Chanyeol.

Tatapan yang amat lembut, serupa usap jemari pada bongkah pipinya.

Apa?

"Chan.. Apa yang—"

"Baek, kau keberatan kalau aku menyukaimu?"

Baekhyun tercekat. Segalanya terasa berdenging selain suara berat Chanyeol yang mendominasi pendengarannya.

"C—chanyeol, t—tidak lucu.."

Baekhyun membutuhkan sesuatu untuk menyadarkannya dari mimpi ini. Apapun, karena ia bisa runtuh kapan saja bila harus menyelami mimpi ini lebih jauh lagi.

Chanyeol membola melihat mata Baekhyun yang kemerahan. Ia baru menyadari sepasang kelopak itu membengkak. Sembab.

"Kau.. menangis? Baek—"

"Jangan.. permainkan aku, Chanyeol," Suara Baekhyun bergetar, bersamaan dengan melemahnya pertahanan dirinya.

Baekhyun hanya tidak ingin, dirinya jatuh oleh harapan yang ia bangun sendiri.

Satu langkah, Chanyeol mendekat padanya. Membuat tubuh mereka hampir menempel dengan jarak yang nyaris terkikis habis.

Tidak menanggapi perkataan Baekhyun, Chanyeol menatap lekat kedua mata sipit itu.

"Apa kau menangis karenaku?"

Baekhyun balas menatap mata besar milik Chanyeol bersama kecamuk kacau dalam hati. Kenapa ia justru memperoleh tatap selembut ini dari Chanyeol?

"Apa kau juga menyukaiku?"

Pertanyaan itu tidak juga mampu Baekhyun jawab. Baekhyun masih membutuhkan bukti bahwa apa yang tengah terjadi adalah nyata.

Maka ia menggapai tubuh Chanyeol. Memerangkap pinggang lelaki tinggi itu ke dalam lingkaran lengannya. Merasakan betul-betul keberadaannya di tempat ia berdiri.

"Chanyeol, ini bukan mimpi.. 'kan?" tanya Baekhyun nyaris serupa bisikan, "Kau tidak berbohong 'kan?"

Sebuah hela napas yang begitu kentara bisa Baekhyun dengar dari Chanyeol.

"Baek, apa ini berarti kau tidak menolakku?"

Sempat ragu apakah ia dapat langsung memberi jawaban, Baekhyun akhirnya menganggukkan kepalanya yang ia sandarkan di dada Chanyeol.

Setelah itu Baekhyun merasakan tubuhnya direngkuh erat. Bersama dengan satu lagi embus napas lega di lehernya.

"Anggap saja aku tidak punya pilihan lain." kata Baekhyun dengan nada merajuk.

Tapi Chanyeol menemukan itu sebagai sesuatu yang menggemaskan.

Baekhyun merasakan gelitik menyenangkan di perutnya saat Chanyeol mendaratkan kecupan di puncak kepalanya.

Sekarang, dibanding tenggelam dalam mimpi, Baekhyun justru merasa dibangunkan dari mimpinya. Mimpi berisi lautan prasangka buruk yang sesungguhnya hanyalah ciptaannya sendiri.

"Aku menghabiskan berbulan-bulan mengumpulkan keberanian untuk ini." kata Chanyeol.

"Uh?" Baekhyun bersemu, merasakan hangat menjalar di pipinya. "B-bodoh.."

Selama beberapa waktu yang tak satupun dari mereka menghitung, pelukan itu menjadi hal ternyaman yang mereka peroleh satu sama lain.

"Chanyeol.." panggil Baekhyun.

"Hm?"

"Aku belum mandi,"

"Hmm.. pantas badanmu bau."

Baekhyun memukul punggung Chanyeol, protes minta dilepaskan.

"Aku bercanda." Chanyeol terkekeh. Baekhyun dibuat menggelinjang ketika Chanyeol mengendusi lehernya. "Aku suka aromamu,"

Bisikan Chanyeol sukses membuat Baekhyun meremang. Kalau diingat-ingat, ini bukan kali pertama Chanyeol mengendusi tubuhnya tapi segala sesuatunya terasa berbeda sekarang. Ada debaran asing yang anehnya terasa menyenangkan yang ia peroleh karena itu.

"Oh—" Chanyeol tiba-tiba melepas tautan tubuh mereka. Ia merogoh saku, meraih sesuatu dari sana. "Tanganmu," pintanya, menengadahkan tangan meminta Baekhyun meletakkan miliknya di atas sana.

Baekhyun mengernyit namun patuh menempatkan tangan kirinya di atas telapak tangan Chanyeol.

Saat melihat Chanyeol menyematkan sebuah benda titanium perak bergaris hitam di jari tengahnya, Baekhyun tidak bisa menahan mulutnya untuk terbuka karena takjub.

Cincin itu melingkar dengan pas di jemarinya.

"Kau membeli ini untukku?"

"Menurutmu untuk siapa?" tanya Chanyeol geli.

"Untuk—"

Teringat akan sosok gadis berambut pirang, Baekhyun mendadak jengkel. Mood-nya berputar pada mode yang lain.

"Kukira kau menyukai gadis bernama Rose itu."

Suara merajuk Baekhyun menciptakan tawa geli pada Chanyeol.

"Bagaimana aku bisa menyukai orang lain saat kotak pesanku hanya penuh oleh pesan darimu?"

Baekhyun tersipu. Kenapa semua yang dilakukan Chanyeol jadi membuatnya terus-terusan berdebar? Bahkan senyum yang biasa Baekhyun terima, kini menimbulkan efek yang berbeda.

"Tunggu, Chanyeol." Terhenti, Baekhyun teringat akan sesuatu. "Kau belum menjelaskan soal tadi,"

"Tadi?—,"

"Kau mencium gadis itu," tuntut Baekhyun.

"Apa? Astaga, aku tidak menciumnya—"

"Lalu?"

Chanyeol membasahi bibirnya. Menemukan memberikan penjelasan sebagai hal yang sulit.

"Itu kecelakaan, Baek. Dia yang melakukannya."

Baekhyun merengut, tidak mempercayai penjelasan itu.

"Dia mengejarku." jelas Chanyeol. "Kukira dia hanya berusaha membuat urusan tugas kuliah jadi lebih mudah, tapi dia bertindak lebih."

Tapi Baekhyun tetap tidak bisa mengendalikan rasa kecewa di hatinya.

"Tetap saja.." rengutnya. "Apa itu ciuman pertamamu?"

Chanyeol mengangkat alis bingung, "Apa maksudmu, Baek? Kau tidak ingat ciuman pertama kita?"

Baekhyun mengerjap,

"H—ha?"

"Dulu, waktu kau jatuh dari sepeda," jawab Chanyeol dengan santainya. "Kau menangis karena terluka, jadi aku mencium bibirmu dan kau berhenti menangis."

"M—mana bisa itu dihitung! B—bodoh!" Baekhyun bersemu, memberi pukulan kecil pada dada Chanyeol, merutuki betapa bodohnya Chanyeol yang menyebut kejadian saat umur mereka masih 6 tahun sebagai ciuman pertama.

Chanyeol tertawa kecil, lantas mendekatkan diri kembali pada Baekhyun.

"Kalau begitu kita lakukan ciuman pertamamu sekarang, bagaimana?" senyumnya.

Wajah Baekhyun serasa terbakar. Jaket Chanyeol yang tersampir di bahunya membuat suasana malam justru terasa semakin gerah.

"Ti-tidak mau—"

"Hmm.. tapi sentuhan Rose masih tersisa di bibirku.."

Mendengar itu, gantian dada Baekhyun seperti terbakar. Mengabaikan rasa malunya, ia meraih rahang Chanyeol dengan kedua tangannya, berjinjit dan mengecup singkat bibir Chanyeol.

"Sudah kuhapus." ketus Baekhyun, buru-buru mencari hal lain sebagai tambatan matanya.

Ia kesal membayangkan bagaimana gadis itu mencuri ciuman dari bibir Chanyeol, tapi ia pula sungguh malu luar biasa atas refleksnya melakukan itu..

Baekhyun melarikan pandangannya ke arah kursi teras di ujung sana, sebisa mungkin menghindari tatapan Chanyeol.

"Tidak terasa, Baek."

"Apa maksudm—"

Mata sipit Baekhyun membola sempurna saat kalimatnya dibungkam dengan bilah bibir yang menempel pada miliknya. Chanyeol memberikan lumatan-lumatan kecil dan itu mengaburkan pandangan Baekhyun.

Tubuhnya melemas seiring mata yang memejam. Nyaris jatuh kalau saja Chanyeol tidak sigap menahan pinggangnya.

Baekhyun membiarkan Chanyeol memberi kecupan-kecupan basah di bibirnya. Ia terlalu lemas untuk sekadar mampu bergerak juga.

Beberapa detik yang terasa seperti segalanya, Chanyeol lantas melepas tautan mereka dengan memberi jarak tak berarti. Baekhyun akhirnya perlahan memperoleh kembali kesadaran yang sempat nyaris hilang.

"Jadilah kekasihku,"

Bisikan Chanyeol meremangkan seluruh tubuh lelaki yang lebih kecil.

Baekhyun tidak menemukan barang satu alasan pun untuk memberi penolakan. Tidak ada dan tidak akan.

Ia sekali lagi mendapati bibir Chanyeol di atas miliknya. Kali ini, Baekhyun mencoba memberi balasan atas semua pergerakan yang ia terima.

"Park Chanyeol!"

Teriakan nyaring itu membuat keduanya berjengit kaget. Mereka menoleh ke arah pintu pagar yang menjadi sumber suara.

"Astaga, kalau mau ciuman itu pilih-pilih tempat." Park Yoora bertolak pinggang di sana, menatap ke arah sang adik yang masih merengkuh erat pinggang Baekhyun.

"Noona.." cicit Baekhyun, tidak menyangka akan tertangkap basah melakukan hal yang iya-iya dengan adik wanita tersebut.

"Yoora~ Kau mengganggu mereka~" Rajukan lain terdengar.

Bibi Park?

Baekhyun menganga melihat Nyonya Park muncul dari balik pagar bersama ponsel yang baru diturunkannya,

"Kau membuat rekamannya jadi tidak bagus."

"Ibu!"

"Lanjutkan, lanjutkan. Kami akan pergi dari sini. Dah, Chanyeol~"

Nyonya Park menyeret Yoora dari sana, meninggalkan dua orang yang masih terperangah dalam posisi mereka.

"Chanyeol! Bawa Baekhyun masuk! Dia bisa kedinginan, bodoh!" Teriakan Yoora menggema.

Sepeninggal kedua wanita tersebut, Chanyeol dan Baekhyun bertukar tatap.

Baekhyun merasa wajahnya semakin terbakar begitu menyadari Chanyeol masih melingkarkan tangannya erat pada pinggangnya. "Kau.. berpikir kita harus menjelaskan sesuatu pada mereka?" tanyanya.

Chanyeol memiringkan kepala, "..Kurasa begitu?"

Meski enggan, Chanyeol meloloskan pinggang Baekhyun. Beralih menggenggam sebelah tangannya.

"Ayo."

Baekhyun mengikuti langkah Chanyeol menuju kediaman Park yang hanya berjarak beberapa kaki dari rumahnya sendiri.

Walaupun terasa seperti mimpi, Baekhyun tahu ini bukan. Chanyeol nyata menggenggam tangannya, berada di sisinya. Untuknya.

Setelah ini, Baekhyun akan segera menemui Kyungsoo. Berterima kasih, sekaligus memberi tahu kalau ia telah menemukan jawaban untuk tugas mereka.

Philia, selalu ada dalam setiap kisah cinta.

.

fin

.

oOo

.

.

A: What if chanbaek is real? That would be good..

B: Chanbaek is indeed real!

Which team are you? A or B?

Hehehe, ini saya tulis udah lama, tapi baru di-publish sekarang. Mon maap ya klise banget, saya bener-bener pecinta fluff-cliche plot wkekekeke

Salam #chanbaekisreal!