Chanyeol X Baekhyun

Fantasy!AU

.

.

Berada dalam bahaya tidak pernah ada di dalam catatan perjalanan kehidupan Chanyeol. Hidupnya selalu baik-baik saja bersama dengan keteguhannya memegang segala nilai-nilai kebaikan yang telah sejak kecil tertanam dalam diri. Sayangnya, kebaikan itu membawa Chanyeol pada marabahaya pertama dalam kehidupannya.

.

.

oOo

.

.

Jalanan yang gelap nan sepi tidak pernah menjadi bersahabat bagi Chanyeol. Agaknya ia selalu dibuat bergidik setiap kali terpaksa pulang larut malam—atau, dalam kasus hari ini, dini hari. Lampu rumah-rumah penduduk di kanan dan kirinya kebanyakan sudah padam, menjadikan suasana temaram di bawah cahaya bulan dan redup lampu jalan.

Chanyeol membenahi tas gitar yang tersandang di bahu. Sebenarnya, ia tak benar berniat pulang ke rumah saat melihat jam sudah menunjuk angka 1. Chanyeol sempat memutuskan akan menginap di studio milik Yixing, setelah menghabiskan berjam-jam menyusun aransemen lagu baru untuk tugas kuliah di sana. Tapi Chanyeol teringat pada anjing peliharaannya yang belum ia beri makan di rumah. Kalau tak segera pulang, anaknyaitu bisa mati kelaparan.

Sembari merisaukan peliharaannya yang mungkin sudah menggonggong kelaparan di rumah, Chanyeol memacu langkah lebih cepat. Lagipula ia juga tidak berniat menghabiskan lebih banyak waktu lagi di jalan setapak gelap ini. Suara jangkrik bahkan terdengar seperti menggema. Dan.. oh, apakah itu suara burung hantu?

Chanyeol bergidik saat embusan angin dingin menerpa tengkuknya. Ia benar-benar tidak akan pernah bisa berteman dengan malam—atau pagi—yang terlampau gelap dan hening seperti ini.

Langkah Chanyeol melambat saat telinganya menangkap suara lain yang terdengar janggal. Tidak, itu bukannya seperti suara-suara yang menakutkan, tetapi..

—sebuah isakan?

Ia membawa langkahnya ragu menuju salah satu gang sempit di depan sana, sebuah celah di antara dua rumah yang dipenuhi kantung-kantung sampah, yang menurutnya merupakan asal dari suara itu. Sudut itu tampak kumuh dibandingkan dinding-dinding rumah yang berderet di sana, dengan coret-coretan graffiti berantakan dan noda-noda kotor di tembok sekitar tumpukan plastik itu.

Semakin mendekati gang, Chanyeol dapat lebih jelas mendengar suara itu.

"Hik.. di—dingin.."

Setelah memastikan suara yang ia dengar benar-benar suara manusia—dan itu suara tangisan!—Chanyeol berderap menuju celah itu. Tangis dengan isakan itu semakin jelas Chanyeol dengar. Mungkin, suara seorang anak laki-laki. Ia dengan panik mencari-cari siapapun yang menjadi sumber suara begitu menyambangi celah penuh kantung sampah tersebut.

"Astaga!"

Kedua mata Chanyeol membola begitu mendapati satu sosok yang meringkuk di samping salah satu kantung besar sampah. Bahunya bergetar, kepalanya tertunduk dalam di antara lutut. Suara isakan terus terdengar darinya.

Ia bergegas berusaha menyingkirkan semua yang menghalangi akses memasuki jalan sempit itu dan berlari menuju sosok tersebut.

Sesampainya di dekat tubuh kecil yang meringkuk lemah dengan wajah terbenam di antara kedua lutut yang dipeluknya, Chanyeol tidak bisa menjadi lebih terkejut lagi. Itu seorang remaja lagi-laki dengan tubuh penuh noda kotor. Dan..

dia telanjang.

Chanyeol meletakkan gitar dan melepas jaketnya cepat. Ia bahkan tak sempat merasakan angin dingin yang bagai menyerbu kulit tubuhnya begitu pakaian hangat itu ia lepaskan.

Anak itu tidak mengenakan meski sehelai benang. Chanyeol tak dapat membayangkan sebeku apa rasanya berada di tengah udara dingin tanpa pakaian apapun.

Begitu Chanyeol berhasil membungkus tubuh itu dengan jaketnya, ia memperoleh tatap dari remaja itu.

Anak itu mendongak. Wajahnya basah. Helai rambut legamnya tak beraturan. Tetapi yang membuat Chanyeol tertegun adalah.. kedua bola mata yang sewarna langit. Bibir merekah sewarna darah. Itu aneh karena udara dingin tak mampu membuat bibirnya pucat seperti apa yang akan terjadi pada kebanyakan orang.

Dari posisi berlututnya, pandangan Chanyeol jatuh pada kulit bagian wajah, kemudian leher si anak laki-laki yang tak tertutup kain jaketnya.

Kulitnya amat putih. Pucat. Mungkin jauh lebih pucat lagi jika saja tidak ada noda kotor apapun di sekujur tubuh. Warna yang nyaris sempurna putih, kontras dengan bibir semerah darahnya. Chanyeol tidak pernah menyaksikan warna kulit seperti itu pada siapapun.

Kedua iris biru menyala itu menatap Chanyeol, bersama dengan sisa isakan yang masih keluar dari bibir kecilnya.

Chanyeol buru-buru mengumpulkan kesadarannya kembali. Menjadi tenggelam pada paras di hadapannya benar-benar bukan pilihan tepat untuk dilakukan karena ia sungguh mendapati gelenyar beku dari tangannya yang menyentuh kulit anak lelaki itu dari balik kain jaket.

"Kau baik-baik saja?" tanya Chanyeol. Ia membantu anak itu membenahi posisi jaket agar terpakai dengan benar, yang untungnya, cukup untuk setidaknya membungkus tubuh mungil itu dari leher hingga separuh paha.

Anak lelaki itu mengangguk pelan, mengamati Chanyeol melalui kedua iris birunya.

"Bisa berdiri?"

Melihat anak itu kesulitan memposisikan diri di atas kedua kakinya yang gemetar, Chanyeol berbalik dan berjongkok di depannya.

"Naik ke punggungku," pintanya. Butuh beberapa waktu sampai Chanyeol benar-benar mendapatkan anak itu di punggungnya. Setelah menopang kedua kaki anak lelaki itu dengan lengannya, Chanyeol meraih gitarnya dan bangkit. Ia beranjak keluar dari gang kumuh itu.

"Dimana rumahmu?" tanya Chanyeol, sedikit menolehkan kepala ke anak lelaki yang kini ada di gendongannya.

Lama, Chanyeol tidak mendapatkan respon selain keterdiaman. Ia baru akan mengulangi pertanyaannya saat suara serak dari si anak lelaki terdengar,

"Aku tidak punya rumah,"

Chanyeol tergugu.

Yang benar?

"Lalu dimana kautinggal?" tanya Chanyeol lagi. Dahinya berkerut memikirkan kemungkinan seperti apa yang menjadikan anak ini harus tampak terlantar di tempat yang tidak layak seperti tadi.

Setelah menunggu, rupanya Chanyeol benar-benar tidak memperoleh jawaban. Masih dalam keadaan bingung, Chanyeol diam-diam memikirkan tindakan apa yang harus ia lakukan jika anak ini memang benar seorang tunawisma.

"Namaku Chanyeol, siapa namamu?"

Jeda sejenak, suara cicitan menjawabnya,

"Baekhyun."

Chanyeol bersyukur setidaknya anak itu masih mau menjawab pertanyaannya.

"Jadi, Baekhyun-ie, Kakak akan mengantarmu pulang. Dimana rumahmu?" tanya Chanyeol sekali lagi.

Jeda yang sama, "Aku tidak punya rumah," cicitan yang sama.

Chanyeol kebingungan. Apa anak ini sungguh tidak punya tempat tinggal?

"Mengapa kau menangis di sana tadi?"

Diam.

Kenihilan reaksi memaksa Chanyeol berpikir lebih jauh. Mungkin saja, anak ini baru mengalami sesuatu yang sangat buruk. Dan bicara pada orang asing tentu bukan sesuatu yang akan kaulakukan dalam keadaan seperti itu. Mengingat bagaimana anak ini meringkuk dan—uhm—telanjang, Chanyeol tidak bisa menyingkirkan prasangka yang terbentuk dalam benaknya. Anak itu mungkin saja telah dilecehkan oleh seseorang.

"Apa seseorang sudah menyakitimu?"

Diam.

Chanyeol menghela napas. Ia sudah lelah bertanya. Tubuh di gendongannya terasa begitu dingin bahkan setelah terbungkus jaket tebal miliknya. Jadi, Chanyeol memutuskan untuk mengabaikan semua pertanyaan tak terjawab itu sementara waktu.

"Baiklah, kita ke rumahku saja."

.

.

Gonggongan anjing peliharaan Chanyeol menyambut begitu ia menginjakkan kaki di pekarangan. Anjing itu berputar-putar dan menarik-narik rantai yang mengikatnya pada rumah kecilnya agar dapat mendekati Chanyeol.

Chanyeol memberi isyarat agar anjingnya itu duduk, yang seharusnya dapat langsung dimengerti oleh peliharaan itu.

Tetapi, ia tetap menggonggong. Sesekali mengeluarkan geraman sambil mata kecilnya menatap Chanyeol dan si anak lelaki di gendongan.

Chanyeol terpaksa menghiraukan anjingnya terlebih dulu. Ia harus buru-buru masuk agar lelaki dalam gendongannya tidak menjadi lebih kedinginan lagi.

"Tunggu di sini, biar kunyalakan pemanas airnya. Kau harus membersihkan tubuhmu." kata Chanyeol sambil mendudukkan tubuh kecil Baekhyun di atas sofa tua ruang tamu.

Chanyeol baru akan beranjak namun sesuatu yang dingin menyentuh tangannya. Ia mendapat wajah Baekhyun yang mendongak saat ia menoleh.

"Ada apa?" tanyanya. Baekhyun menatap dirinya selama beberapa saat sebelum bibir kecilnya berucap,

"Jangan tinggalkan aku,... Chanyeol," kata anak itu, menyebut lirih nama si tinggi di akhir kalimatnya.

Chanyeol terdiam sejenak. Melihat bagaimana sendunya tatapan anak itu, Chanyeol berpikir bahwa mungkin apa yang baru saja dialaminya membuatnya begitu takut.

Maka, ia menggenggam tangan mungil nan dingin itu, membantunya bangkit.

"Kalau begitu kau akan duduk di dekatku sementara kita akan menyiapkan air panas di kamar mandi. Bagaimana?"

Setelah itu, Chanyeol merasakan tangannya digenggam semakin erat. Meski pelan dan masih sedikit gemetar, Baekhyun akhirnya mampu mengikuti langkah Chanyeol.

Chanyeol mampir untuk mengambil sehelai handuk baru dari kamarnya. Lantas mereka berjalan ke arah kamar mandi. Di sana Chanyeol menyalakan pemanas air. Dan semua itu ia lakukan tanpa sekalipun melepas genggamannya pada tangan Baekhyun. Ia hanya merasa, tangan itu terlalu dingin untuk dibiarkan. Hatinya iba melihat bagaimana Baekhyun terus mengerut seperti takut akan sesuatu.

Baekhyun ia arahkan untuk duduk di kursi kecil yang tersedia di kamar mandinya. Chanyeol biasa menggunakan itu setiap menggosok badannya di bawah pancuran air.

Beberapa waktu, air menjadi cukup hangat untuk digunakan.

"Airnya sudah siap. Kau mandilah. Kutunggu di luar." ucap Chanyeol, sembari tangan bergerak melepas genggaman yang lebih mungil.

Tapi Chanyeol tidak mendapatkan ruang untuk melepas itu.

Sepasang mata biru menatapnya dengan kedua iris yang sesekali bergetar ketakutan. Telapak yang dingin sama sekali enggan melepas genggamannya.

"Baekhyun—"

Chanyeol tercekat. Arti tatapan memohon yang ia dapatkan dari kedua bola mata langit itu entah bagaimana bisa ia mengerti. Anak ini ingin ditemani.

Tetapi, meski mungkin Baekhyun tampak lebih muda darinya dan Chanyeol sungguh menganggap anak ini bagai seorang adik yang butuh perlindungan, dia tidak mungkin...

Chanyeol menghela napas, menyerah pada rasa ibanya. Prasangkanya tentang apa yang mungkin telah dialami Baekhyun memupuk rasa iba itu dalam dirinya.

"Baiklah, Kakak akan membantumu mandi." kata Chanyeol pada akhirnya.

Ia menarik Baekhyun menuju bathtub, melepas jaketnya, lantas mendudukkannya di dalam sana.

Tangan Baekhyun akhirnya lepas dari genggaman Chanyeol. Anak itu duduk dengan patuh, membiarkan Chanyeol menarik beberapa peralatan mandi.

Melihat si mungil tidak melakukan apapun, Chanyeol mengambil alih semuanya. Pikirannya berputar-putar—masih—pada prasangka. Apa yang baru saja dialami Baekhyun mungkin begitu buruk sampai anak itu hanya mampu duduk diam bertumpu pada kedua kakinya yang setengah menekuk. Maka dari itu Chanyeol tidak keberatan untuk mengambil hand shower dan sepenuhnya bertindak membantu membersihkan tubuh Baekhyun.

Chanyeol menempatkan tangannya pada bagian punggung Baekhyun. Mulai mengusap membersihkan kotoran yang ada di dana.

Ia sekali lagi dibuat tercekat begitu kulit tangannya menyentuh bagian itu. Halus dan lembut. Persis seperti kulit bayi. Dalam setiap gerakannya berusaha meluruhkan kotoran yang menempel, Chanyeol sampai harus menelan ludah merasakan betapa halusnya kulit Baekhyun.

Chanyeol mulai merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia memejam sejenak.

Demi Tuhan, tidak mungkin aku tergoda hanya karena menyentuh tubuhnya, kan?

Berusaha meredakan dentum di dadanya, Chanyeol bergerak lebih cepat. Ia menolak mentah-mentah ide kalau tubuh yang mulai bersih dari noda dan menampakkan putih bersih yang semestinya itu membuatnya darahnya terasa mendidih.

Limabelas menit Chanyeol berjibaku melawan pikirannya sendiri, sampai akhirnya ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Ia beranjak cepat menarik handuk di gantungan dan membalut tubuh anak itu dengannya. Chanyeol bersyukur telah secara tak sengaja mengambil handuk yang paling lebar dari lemarinya, sehingga itu mampu membungkus tubuh kecil Baekhyun sebagaimana jaketnya tadi.

Setelah itu, Chanyeol mengajak Baekhyun ke kamarnya tanpa bicara. Ia mengambil beberapa potong pakaian dan meletakkan itu di atas pangkuan Baekhyun yang ia bawa duduk di tepi ranjang. Ia tak menghabiskan waktu lebih lama lagi sebelum beralih keluar kamar dan menutup pintu.

Punggung ia sandarkan pada daun pintu. Memejamkan mata rapat-rapat. Punggung tangan Chanyeol terangkat ke kening dan matanya.

"Ya Tuhan.." keluhnya.

Chanyeol mengeluhkan detak tak normal dari jantungnya. Mengeluhkan panas di dalam tubuh dan beberapa tetes peluh yang mulai membasahi pelipisnya.

Untuk pertama kalinya dia merasakan sensasi itu. Dan Chanyeol tak benar yakin apa alasan sensasi itu menggelayuti seluruh tubuhnya.

Bagaimana mungkin ia merasa panas karena tubuh seorang anak laki-laki?

Di tengah kesibukannya menenangkan diri, Chanyeol mendengar ketukan pelan dari balik pintu tempatnya bersandar.

"Chanyeol?"

Suara Baekhyun memanggil. Lirih dan redam oleh pembatas di antara mereka.

"Ya," Chanyeol menjawab, belum berniat membuka kembali papan kayu di balik punggungnya.

"Kenapa?" Suara dari dalam menyahut lagi.

Chanyeol berkerut tidak mengerti.

"Chanyeol.. marah?"

Seketika tegangan yang Chanyeol rasakan berangsur luruh. Suara lemah serta isi perkataan yang baru Baekhyun lontarkan mengundangnya membuka pintu.

Ia mendapati Baekhyun berdiri di depan pintu dengan handuk putih membungkus tubuhnya sambil memeluk pakaian yang diberikan Chanyeol, menatap Chanyeol dengan sorot sedih serta kebingungan.

Chanyeol menghela napas, lagi. Ia meletakkan sebelah tangannya di pundak si kecil dan tangan satunya untuk mengusap lembut rambut basah anak itu.

"Baekhyun-ie pakai baju dulu, ya. Ada sesuatu yang harus Kakak lakukan."

Seperti slow motion, waktu berlalu sebelum Baekhyun akhirnya memberi sebuah anggukan.

Chanyeol tersenyum dan sekali lagi mengusak surai hitam Baekhyun. Ia kemudian menutup pintu dan beranjak menghempaskan bokongnya ke atas sofa. Di sana, ia mengutuk apa yang baru saja dirasakannya tentang Baekhyun. Ia telah begitu kurang ajar dengan sempat-sempatnya merasa tegangpada anak lelaki seperti Baekhyun.

Kaki ia bawa ke pintu rumah setelah memutuskan menghampiri anjing peliharaannya untuk memberi makan. Chanyeol raih bungkusan yang ada di rak dekat pintu sebelum keluar menuju rumah anjing di pekarangan.

Chanyeol menerima gonggongan ribut dari anjingnya.

"Aigoo.. benar-benar tidak sabaran."

Sambil memberi makan, Chanyeol mengelus rambut-rambut lebat anjing peliharaannya tersebut, bermonolog meminta maaf karena baru memberinya makan.

Namun anjingnya tidak bisa tenang. Makanan tidak dihabiskannya dan justru ia menyalak ke arah pintu masuk rumah.

"Tidak, Toben-ie. Kau tidak boleh masuk dulu. Kita sedang kedatangan tamu,"

Perkataan Chanyeol dibalas gonggongan yang lebih keras lagi. Meski bingung, Chanyeol memutuskan untuk memberi satu elusan terakhir sebelum beranjak meninggalkan anjingnya di luar. Ia membawa kakinya kembali untuk masuk ke dalam rumah.

Kembali menghempas diri, punggung serta kepalanya ia rebahkan ke sandaran sofa ruang tamu. Kedua tangannya ia bawa merentang pula ke atas sandaran sofa.

Untungnya, gejolak itu sudah menghilang. Napas dan detak jantungnya sudah terasa normal kembali. Chanyeol bersyukur dan menganggap kalau mungkin saja ini hanya masalah hormon kelelakiannya yang sedang tidak terkendali. Ya, pasti begitu.

Tak berapa lama pintu kamar Chanyeol terbuka. Chanyeol menoleh tanpa benar-benar merubah posisinya.

Dari tempatnya duduk bersandar, Chanyeol mendapati Baekhyun berdiri ragu di depan pintu kamar. Tubuhnya kini berbalut baju wol berwarna marun dan celana pendek hitam. Semua itu tampak kebesaran di tubuh kecil Baekhyun. Lingkar leher baju wol itu bahkan harus menampakkan begitu banyak bagian tulang selangka hingga nyaris ke bagian pundak Baekhyun. Salah Chanyeol tak sempat berpikir untuk mencarikan baju yang paling kecil dari miliknya.

Chanyeol berdeham sekilas.

"Baekhyun-ie bisa tidur di kamar kalau mengantuk." kata Chanyeol.

Baekhyun bergeming di tempatnya. Ia hanya menatap Chanyeol dan sesekali menunduk pada jemari kedua tangannya yang memainkan ujung baju wol yang dikenakan.

Melihat itu, Chanyeol akhirnya bangkit. Ia menuntun Baekhyun kembali ke kamar, ke atas ranjang. Ia membantu membaringkan Baekhyun di ranjangnya. Selimut ia naikkan sampai sebatas dada anak itu.

"Tidurlah." Chanyeol memberi usapan pada kepala Baekhyun.

Tetapi lagi-lagi Chanyeol tidak memiliki ruang untuk pergi. Baekhyun menarik tangannya sebelum ia berbalik pergi.

"Ada apa?"

Baekhyun tidak menjawab. Tapi Chanyeol sedikit banyak bisa menangkap apa keinginan anak itu.

Jadi, Chanyeol menyerah—lagi—pada rasa ibanya dan merangkak naik ke atas ranjang, memposisikan diri di samping Baekhyun dan merengkuh anak itu di dadanya.

"Nah, begini bagaimana?"

Chanyeol tersenyum saat mendapati tarikan kecil pada bibir Baekhyun. Meski samar, Chanyeol bisa menangkap kelegaan pada wajah polos itu.

Maka Chanyeol memutuskan untuk turut memejamkan mata, memasuki alam mimpi bersama Baekhyun di pelukannya.

.

oOo

.

Beberapa hari telah berlalu dengan Chanyeol yang membiarkan Baekhyun tinggal di rumahnya. Selama waktu itu pula, Chanyeol memperoleh beberapa informasi meski tak cukup membantu untuk mengetahui dimana tempat tinggal anak itu.

Pertanyaan mengenai rumah, keluarga, atau apa yang telah terjadi pada Baekhyun malam itu tidak pernah Chanyeol peroleh jawabannya. Anak itu selalu berubah murung setiap kali Chanyeol mencoba menanyakan. Maka, Chanyeol tidak melakukannya lagi. Setidaknya sampai Baekhyun siap untuk menjawab.

Di luar persoalan itu Chanyeol akhirnya tahu Baekhyun berusia 19 saat ini—itu sempat mengejutkannya—hanya satu tahun lebih muda dari Chanyeol. Jadi ia berhenti menganggap Baekhyun seperti anak usia remaja awal sebagaimana malam itu. Ia juga akhirnya tahu, kalau Baekhyun sebenarnya anak yang cukup periang. Kenyataan itu menghidupkan suasana rumah yang sepi sejak kedua orang tuanya meninggal. Ia rasa apa yang telah dialami Baekhyun membuatnya cukup terpukul hingga berefek pada diamnya ia malam itu.

Baekhyun takut anjing. Itu fakta yang sangat Chanyeol sayangkan, tetapi ia tidak berbuat apa-apa melainkan membantu anak itu dengan tidak membiarkan Toben masuk ke dalam rumah untuk sementara waktu.

Chanyeol menatap bungkusan yang ia tenteng di sebelah tangan, tersenyum membayangkan wajah Baekhyun yang sumringah begitu melihat apa yang ia bawa. Baekhyun sangat suka daging. Itu Chanyeol ketahui setelah dua kali mendapati anak itu memakan dengan lahap setiap menu daging yang dibawanya. Beruntung uang saku Chanyeol masih terbilang cukup untuk sering-sering membeli daging. Nominal uang yang dikirimkan pamannya setiap bulan memang lumayan besar.

Begitu sampai di rumah, Chanyeol disambut oleh dua hal. Gonggongan anjingnya, serta pintu rumah yang terbuka cepat dari dalam.

"Chanyeol!"

Baekhyun melompat kecil menerjang tubuhnya begitu Chanyeol sampai di pintu. Ia tersenyum lebar seolah sudah menunggu-nunggu kedatangan Chanyeol.

Ya, sejak malam itu, Baekhyun seperti tidak bisa lepas dari dirinya. Anak itu selalu saja baru bisa tenang jika Chanyeol memeluknya, menggenggam tangannya, atau sekadar berada dekat dengannya. Itu telah menjadi seperti kebiasaan dalam hari-hari yang singkat.

Tentu saja Chanyeol tidak mempermasalahkan itu. Mengetahui Baekhyun berada dalam keadaan yang jauh lebih baik dari saat dimana pertama kali mereka bertemu, sudah cukup melegakan. Memberi bantuan kepada orang lain selalu membuat Chanyeol menemukan bahagianya sendiri. Mereka berbagi obrolan, makanan, dan pakaian. Chanyeol membiarkan Baekhyun mengisi kehidupannya di hari-hari belakangan.

"Hey, hey. Biarkan aku masuk dulu," kata Chanyeol, melangkahkan kakinya masuk mendorong tubuh Baekhyun yang masih menggelantungi lehernya.

Baekhyun melepas pelukannya pada leher Chanyeol setelah pintu ditutup.

"Apa itu yang kaubawa, Chanyeol?"

"Uhm.. kutebak, kau sudah tahu apa ini." kata Chanyeol, mengerling pada si mungil yang kini terkikik jenaka. Bungkusan di tangannya ia letakkan di meja makan.

"Ketahuan, ya." Baekhyun mengikuti Chanyeol yang kini tengah mengambil beberapa peralatan makan. "Kubuka, ya." katanya sambil mulai mengurai kemasan makanan itu. Ia membantu Chanyeol menata makanan di piring dan mangkuk dengan antusias.

Selama makan malam, Chanyeol tidak bisa berhenti memandangi lelaki di depannya. Dia terlihat begitu menggemaskan dengan sweater milik Chanyeol yang jelas-jelas terlalu longgar untuk dipakai. Warna hitam baju semakin membuat kontras dengan kulit putih pucatnya.

Belum lagi, kedua iris cerah itu. Bibir merah itu. Chanyeol berpikir ia mungkin berhalusinasi, salah lihat, atau itu hanya pengaruh dari entah apa pada situasi malam di mana ia menemukan Baekhyun, tetapi anak itu nyata memiliki iris biru pada matanya dan warna semerah darah pada bibirnya. Tidak berubah bahkan setelah mandi, tidur, atau setelah Chanyeol berusaha menyadarkan diri yang ia anggap tengah berkhayal.

"Chanyeol?"

Chanyeol tersadar begitu mendengar namanya dipanggil. "Hm?"

"Ada yang mau kukatakan,"

Tidak seperti sebelumnya, Baekhyun tampak termenung. Chanyeol melihat itu sebagai tanda dari sesuatu yang penting.

"Katakan saja, Baekhyun,"

Anak itu telihat menimbang-nimbang,

"Kurasa lebih baik kita selesaikan makan malam dulu," katanya, mengulas senyum kembali setelah sempat hilang dari wajahnya.

Perkataan tadi mau tidak mau mengundang Chanyeol memikirkannya. Mungkin, Baekhyun akhirnya memperoleh keberanian untuk menceritakan segalanya. Itu akan bagus sekali.

Seperti biasa selepas makan malam dan membersihkan badan, Chanyeol akan duduk sebentar di depan televisi untuk mencari beberapa hiburan sebelum mengerjakan tugas kuliahnya. Dan Baekhyun akan selalu ada di sampingnya, duduk nyaman memeluk lengan Chanyeol dan menyandarkan kepalanya di pundak Chanyeol pula.

Chanyeol sedang terfokus pada tayangan di televisi saat merasakan Baekhyun bergerak dari posisinya. Anak itu memindahkan kedua lengan ke leher Chanyeol dan turut menyurukkan kepalanya ke sana.

Tak pelak, Chanyeol meremang merasakan embusan napas Baekhyun di lehernya.

"Chanyeol harum sekali,"

Fokus Chanyeol pada tayangan di televisi pecah begitu saja. Baekhyun mengendus di lehernya dan itu menciptakan sensasi aneh pada tubuh Chanyeol.

"Baek—"

Chanyeol berusaha melepaskan kontak mereka, tetapi apa yang ia dapati saat menoleh justru membuatnya kesulitan meneguk ludah sendiri. Sweater besar miliknya yang dikenakan Baekhyun melorot di sebelah bahu anak itu, menampakkan pahatan tulang selangka dengan kulit putih tak bercela.

Pekikan kecil Baekhyun menyadarkan Chanyeol dari tindakannya. Begitu sadar, taunya ia telah membawa tubuh kecil Baekhyun merebah pada sofa dengan tubuhnya sendiri di atasnya.

Chanyeol mengerjap.

Apa yang telah ia lakukan?

Chanyeol melenguh frustasi. Nyaris saja. Nyaris Chanyeol hilang kendali. Segera ia bangkit, kembali duduk. Ia menghempaskan diri ke sandaran sofa dan menutup matanya dengan sebelah telapak tangan.

Ia sungguh tidak mengerti dengan gejolak yang ia rasakan pada anak itu. Apa yang ada pada diri Baekhyun terkadang terasa begitu menghipnotis dan Chanyeol seringkali nyaris lepas kendali.

Beberapa detik yang hening. Chanyeol menggunakan itu untuk menenangkan dirinya. Mengurangi tegangan dan mendinginkan darah yang sempat terasa mendidih.

"Chanyeol.."

Chanyeol menyingkirkan telapaknya, mendongak pada Baekhyun yang kini duduk menghadap padanya di samping.

"Tentang sesuatu yang mau kukatakan padamu.."

Mendengar itu Chanyeol segera bangkit. Ia langsung teringat pembicaraan mereka di meja makan.

"Ada apa?"

"Bisa kita pergi ke suatu tempat sebelum aku mengatakannya?"

Kening Chanyeol berkerut, "Ke mana?"

"Akan kutunjukkan. Bisakah, Chanyeol?" tanya Baekhyun memelas. Kedua alisnya mengerut sedih dan Chanyeol sepenuhnya lemah untuk itu.

"Aku mengerti. Kita akan pergi besok."

"Tidak!" Baekhyun menyahut. "Sekarang, Chanyeol."

Chanyeol membenahi posisi duduknya, "Tapi ini sudah larut malam, Baek,"

Tetapi begitu melihat bibir ranum milik Baekhyun mulai melengkung ke bawah, Chanyeol seketika mengoreksi perkataannya, "Baik, baik. Kita pergi sekarang. Ayo ambil jaketmu."

Mereka akhirnya beranjak, dengan Baekhyun yang tersenyum senang mengikuti langkah Chanyeol ke kamar. Hanya butuh waktu sebentar sampai keduanya siap.

Pintu rumah baru saja Chanyeol buka dan si anjing peliharaan telah lebih dulu menyalak ribut. Ia dan Baekhyun beranjak keluar setelah pintu dikunci. Inginnya Chanyeol menghampiri Toben si anjing untuk melihat keadaannya—binatang itu tidak biasanya menyalak demikian keras.

Tetapi Chanyeol urung saat sadar Baekhyun telah lebih dulu berjalan melewati pekarangan.

"Jadilah anak baik, Toben-ie. Jangan ribut malam-malam begini," Chanyeol bertuah pada anjingnya, lantas berlari kecil menyusul Baekhyun.

Tingkah Baekhyun tampak meredup dari yang biasa Chanyeol lihat. Semenjak keluar rumah anak itu seolah benar-benar terfokus pada sesuatu yang yang ada di kepalanya. Chanyeol dibuat heran sekaligus penasaran apakah sesuatu yang hendak disampaikan Baekhyun padanya adalah sesuatu yang sebegitu sensitif.

Semua pertanyaan yang hendak Chanyeol lontarkan tertahan di pangkal tenggorokan. Melihat Baekhyun yang tercenung sungguh membuat Chanyeol khawatir kalau-kalau apa yang keluar dari mulutnya justru menyakiti anak itu.

"Baekhyun, ada apa?" Chanyeol akhirnya membuat satu pertanyaan.

"Um?" Baekhyun memberi kerjapan bingung dengan manik matanya, yang bagi Chanyeol, tampak seperti upaya menyembunyikan perasaan yang anak itu rasakan sebenarnya. "Aku ingin menunjukkan sesuatu pada Chanyeol," katanya lagi.

Mungkinkah.. Baekhyun akan mengajaknya ke tempat tinggalnya? Kepada apapun yang selama ini tak mampu ia jelaskan pada Chanyeol?

Chanyeol diam dalam rasa penasarannya.

Sepuluh menit berjalan. Ketika sampai di tepi sebuah lahan luas yang dipagari pohon-pohon besar, Baekhyun berhenti, diikuti si lelaki tinggi di belakangnya.

Chanyeol mengedarkan pandangannya pada lahan berpagar deretan pohon itu. Yang ia ketahui hanyalah bahwa tempat itu merupakan lahan kosong terbengkalai yang jarang disambangi penduduk sekitar. Pemiliknya ingin membangun rumah mewah di tanah ratusan meter persegi itu namun tak kunjung terlihat rupanya hingga sekarang.

Mengapa Baekhyun mengajaknya ke sini?

Chanyeol mengarahkan matanya pada si lelaki mungil. Anak itu sempat mengamati pepohonan sebagaimana yang dilakukan Chanyeol, sebelum menoleh pada dirinya.

Baekhyun tersenyum riang seperti biasa. Mengulurkan tangan pada Chanyeol—sesuatu yang biasa ia lakukan untuk meminta agar tangannya digenggam.

Chanyeol tentu meraihnya. Ia menggenggam erat telapak dingin milik Baekhyun.

Langkah mereka berlanjut melewati baris pepohonan. Berjalan beriringan dengan tetap si mungil yang memimpin arah.

"Chanyeol," Baekhyun memanggil.

Gumaman Chanyeol berikan sebagai jawaban. Suasana malam yang hening serta langkah mereka yang tak seberapa cepat agaknya membuat waktu terasa berjalan lambat. Anehnya Chanyeol menikmati itu.

"Apa aku telah banyak merepotkanmu? Apa kehadiranku sering membuatmu terganggu?"

Dahi Chanyeol berkerut mendengar rentetan pertanyaan itu. Kedua iris langit milik Baekhyun menatapnya dengan sorot yang begitu implisit; Chanyeol tidak mampu mengetahui artinya.

Chanyeol menarik napas pelan, "Tidak, Baekhyun." jawab Chanyeol lembut. "Kau membantuku menghidupkan kembali rumah," katanya, mengulas senyum tipis sebab perkataan itu benar berasal dari hatinya. Detik ini juga, ia baru menyadari kalau kehadiran Baekhyun memang cukup memberi warna pada hidupnya.

"Benarkah?" Si mungil turut tersenyum, menghentikan langkahnya. Matanya melengkung serupa sabit yang cantik.

Chanyeol terpesona.

Mereka hanya berpayungkan langit malam dengan temaram sinar bulan namun Baekhyun terlihat begitu bersinar di matanya.

Di tengah tanah lapang itu, mereka berdiri berhadapan. Entah sejak kapan kedua tangan telah bertaut dengan jarak tubuh tak seberapa.

Chanyeol melempar senyum lembut pada wajah di hadapannya. Baekhyun begitu cantik. Terlepas dari semua kesempurnaan fisiknya, Chanyeol yakin anak itu memang dilahirkan dengan keindahan tak terdefinisi.

"Chanyeol," panggil Baekhyun lagi. "Apa aku.."

Chanyeol menunggu.

"..boleh jatuh cinta pada Chanyeol?"

Kedua iris Baekhyun tampak begitu bersinar di mata Chanyeol. Dalam jarak yang sempit, hal itu menjadi perpaduan yang amat indah bersama kata-kata yang terlontar dari bilah bibir merah milik si mungil itu. Apakah setelah ungkapan itu, Chanyeol diperbolehkan meruntuhkan benteng pertahanannya? Mengaku kalau ia telah jatuh untuk anak ini dalam waktu singkat yang mereka habiskan bersama?

Dalam satu gerakan perlahan, Chanyeol menghabisi jarak di antara mereka dan menyapu bibir merah Baekhyun dengan miliknya.

"Kau telah memilikiku sejak pertemuan pertama kita," aku Chanyeol, berbisik tepat di depan bibir yang kemudian ia kecup kembali. Keberanian datang bersamaan dengan hatinya yang seketika terasa lega.

Chanyeol merasakan ujung bibir mungil itu tertarik untuk sebuah senyuman.

"Aku sangat menyukai Chanyeol," kata Baekhyun, di antara kecupan-kecupan kecil yang mereka bagi bersama.

Chanyeol tersenyum bahagia. Ia rasa suasana malam yang temaram membawa dirinya pada perasaan melankoli yang membuat ia mengatakan dan melakukan ini semua. Tapi toh, nyatanya perasaannya tidak memberi penolakan. Memang begitu adanya.

Ia membuat beberapa jarak dari Baekhyun. Saat itu ia sadar Baekhyun telah menempatkan jemari lentiknya di pundak tinggi Chanyeol. Anak itu tersenyum. Bibirnya semakin merekah merah dan matanya bersinar cantik. Itu sungguh memicu gelenyar bahagia pada tubuh Chanyeol.

Sinar bulan semakin benderang. Bulan purnama. Chanyeol menyempatkan diri menikmati pemandangan itu dari langit. Tidak lama karena taunya ia sudah punya keinginan besar untuk kembali memandang wajah cantik milik lelaki di rengkuhannya.

Namun, yang Chanyeol ingat adalah sepasang iris biru yang berubah sewarna darah sebelum ketidaksadaran menenggelamkannya.

Byun Baekhyun masih mengulas senyumnya, menarik bahu Park Chanyeol agar merapat pada tubuhnya.

Kedua iris merah berkilat senang. Senyumannya melebar.

Bilah bibir merahnya ia tempatkan pada leher si lelaki tinggi. Memberi satu jilatan sensual, sebelum mengeluarkan taringnya di sana.

"I got you,"

.

fin

.

.

Tentang siapa atau apa baek di cerita ini, boleh dispekulasikan sendiri ya, hehehe.

Baik hati dan bodoh itu emang beda tipis, guys. Kkkk~ Padahal sejak awal udah ada keanehan, tapi chanyeol nggak sadar. Selain toben si anjing yang keliatan beda sejak kedatangan baekhyun, ada satu lagi keanehannya. Kalau memang baek abis dilecehkan orang, dia seharusnya bersikap defensif sama chanyeol, bukannya malah nempel mulu minta skinship wkwkwk. Tertipu kau, nyol.

Btw kangen banget nulis ff fantasy! I used to write so much fantasy stories back then on my personal blog. It's been 8 years, I think, since the time I write my first fantasy short story.

Ada dua ff fantasy yang pernah saya post di blog pribadi saya, dengan genre yang mirip dengan ff ini. Tapi itu udah cukup lama saya tulis, kira-kira up ke sini nggak ya..

Ah, todays baekhyuns birthday and it means D-1 of mine. Saya selalu bahagia setiap inget kalau ulang tahun saya cuma beda sehari sama baek, kkkk~~

Anw terimakasih untuk siapapun yang sudah baca cerita ini! /lovelovelove/ Looking forward for any feedback!^^