Kyungsoo pindah dari ibukota Seoul ke kota Goyan untuk mencari kakaknya sekaligus bersembunyi dari atasannya, tapi ia malah bertemu dengan makhluk terkonyol dalam hidupnya yang bernama Baekkie.
.
.
.
My Brother
By Sayaka Dini
Disclaimer: This story belong to me, but the character not be mine
Main Cast: Kyungsoo; Baekhyun; Jongin; Chanyeol
Pairing: Chanbaek / Baekyeol, Kaisoo, Sulay
Setting: AU
Genre: Family—Romance—Spiritual
Rated: T.
Warning: Yaoi, Shounen-ai, Boys Love, Boy x Boy.
Please, Don't Like Don't Read.
Note: No bashing, no flame, no copas, no re-publis, no plagiat, yes to like and comment
Hope You Enjoy It~ ^_^
_o0o_
.
.
.
.
.
...
.
.
"Ini flat anda, saya harap anda akan nyaman dan betah tinggal di sini." Wanita pemilik gedung apartement itu tersenyum ramah pada Kyungsoo, penghuni baru salah satu flat di lantai lima dalam apartement sederhana tersebut.
Kyungsoo mengangguk, membalas dengan senyuman ramah sambil mengucapkan kata terima kasih. Setelah wanita paruh bayah itu pamit pergi, Kyungsoo beranjak untuk melihat flat kecil yang ia beli sebagai tempat tinggal barunya di kota ini.
Flat sederhana itu hanya memiliki tiga ruangan. Satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu ruangan utama yang dibagi dengan dapur dan hanya disekat dinding pembatas sepinggang orang dewasa. Sangat sederhana tapi sudah sangat nyaman bagi Kyungsoo yang sedang dalam pelarian dari 'seseorang'.
Kyungsoo membuka pintu kamarnya. Sebuah ranjang dengan kasur bersih tanpa seprei, langsung jadi objek pandangnya. Ia menarik salah satu koper berisi perlengkapan bajunya dan menuju lemari pakaian yang juga masih kosong. Waktunya untuk merapikan semua barang bawaannya.
"Kamarku akan berubah," sebuah suara lain menyeletuk, terdengar agak menggema. Tapi Kyungsoo tak mau mempedulikannya. Ia masih melanjutkan pekerjaan memindahkan pakaian ke dalam lemari. Beberapa menit kemudian, suasana kembali hening dalam kamar yang hanya ditempati Kyungsoo, seorang diri.
...
Namanya Do Kyungsoo, pemuda berumur dua puluh tiga tahun itu berprofesi sebagai penulis novel dengan pen nama Dio. Tiga buku novel miliknya sudah terbit dan cukup banyak terjual di pasaran. Karya tulisnya dapat diterima dengan baik di masyarakat karena mengandung banyak kisah yang kadang terjadi di kehidupan nyata. Kisah cerita yang ia buat tak pernah muluk, sederhana, tapi cukup membuat pembaca selalu meneteskan air mata dengan kisah yang ia buat. Yah, dia selalu membuat cerita yang berakhir sedih, dengan pemeran utama yang meninggal di akhir cerita karena suatu hal.
...
Kyungsoo memasuki kamar mandi. Ada sosok namja lain yang duduk memeluk kedua lututnya di atas toilet duduk. Mata sipit namja itu memperhatikan gerak gerik Kyungsoo yang sedang meletakkan perlengkapan mandi di lemari kecil di samping cermin wastafel. Sementara Kyungsoo tetap diam, tak membuat kontak mata atau bahkan melirik sosok namja yang sedang memandang lekat punggungnya itu.
"Kerannya masih rusak," suara namja yang duduk di atas toilet itu menyeletuk, sekali lagi terdengar menggema pelan dalam kamar mandi tersebut. "Minta pada pengurus apartement untuk memperbaikinya, kalau kau tidak mau kulitmu membeku dengan air dinginnya."
Tangan Kyungsoo terulur untuk memutar sedikit keran air shower, sementara tangan lain, menengadah, merasakan suhu airnya, dan Kyungsoo langsung terjingkat kebelakang satu langkah sambil mengeryit saat kulitnya ditusuk oleh air dingin yang mengalir dari atas shower.
"Apa kubilang? Kau tidak mau dengar sih," namja di atas toilet itu kembali berbicara, meski ia tahu Kyungsoo lagi-lagi menghiraukannya. Dia lalu menghela nafas, sedih. "Dasar kau bodoh, Baekkie," ejeknya pada dirinya sendiri, mengerucutkan bibir merah mudanya dan menumpukan dagu di atas lutut yang ia peluk. Ia melihat Kyungsoo yang beranjak ke arah pintu, melewati dirinya di atas toilet duduk begitu saja. "Mana mungkin dia bisa mendengarkanku..." ia berbisik lirih pada dirinya sendiri namun tetap terdengar menggema,. "... aku yang sekarang kan bukan manusia lagi..."
Tangan Kyungsoo yang menyentuh kenop pintu kamar mandi sempat terhenti, hanya sebentar, sebelum akhirnya dia benar-benar keluar, meninggalkan sosok namja mungil tembus pandang yang duduk sendirian di atas toilet duduk.
...
Do Kyungsoo tak mau mengakui kalau dia bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Mendengar sesuatu yang tak mungkin bisa didengar kebanyakan orang lain. Dan juga bisa berinteraksi dengan sesuatu yang seharusnya sudah tak ada di dunia ini. Karena bagi Do Kyungsoo, kemampuan yang ia punya hanya akan merepotkan dirinya sendiri. Sudah cukup dia menjadi ajang tempat curhat bagi 'mereka' yang tak bisa berbicara dengan orang lain selain dengan Kyungsoo. Meski terkadang dari cerita 'mereka' bisa membuat inspirasi bagi Kyungsoo untuk plot cerita novel yang ia buat. Tapi tetap saja, ia jauh-jauh pindah dari Seoul kembali ke Goyan bukan untuk menjadi pendengar setia keluh kesah dari sesosok tembus pandang, seperti biasa yang ia lakukan di Seoul, tapi tidak di Goyan. Dia mau istirahat dari hal yang merepotkan itu.
Sebenarnya ada dua alasan lain mengapa Kyungsoo memilih untuk pindah ke Goyan. Pertama, Ia ingin mencari kakaknya yang menghilang, dan yang kedua...
... Ia ingin menghilang dari kehidupan seseorang...
Andai itu bisa semudah yang ia rencanakan.
...
Pagi harinya, Kyungsoo memulai hari barunya di tempat tinggal barunya. Seperti rutinitas-nya sehari-hari, hanya saja ini adalah tempat yang baru baginya. Sosok tembus pandang namja bermata sipit itu masih saja ada di flat barunya, selalu muncul di setiap sudut ruangan dimana Kyungsoo berada. Sosok itu selalu berceloteh sendiri, tentang merawat flat yang dulu adalah miliknya, ia berbicara bebas dan tak sungkan mengejek Kyungsoo yang ceroboh megoreng telur gosong. Tak ada beban bagi sosok itu untuk terus berkomentar karena mengira Kyungsoo tak bisa mendengarkannya. Sementara Kyungsoo juga terus terdiam tanpa sekali pun menimpalinya, meski rasanya ia ingin sekali menyumpal mulut sosok itu. Ah, mana mungkin? Menyentuhnya saja Kyungsoo pasti tak bisa.
"Dasar pendek, menaruh kardus di atas lemari saja kau tidak bisa. Gunakan kursi!"
Urat nadi Kyungsoo sempat berkedut kesal. Tapi ia mencoba bersabar dengan suara menggema tersebut, dan terus mengabaikannya.
...
Hyung, sekarang kau di mana? Aku sudah pindah di Goyan.
Satu pesan Kyungsoo tulis dan mengirimnya ke email kakaknya. Tak ada balasan. Ini sudah yang kesekian kalinya Kyungsoo mengirimnya email, tapi kakaknya tak pernah membalas. Jelas itu membuat Kyungsoo khawatir. Beberapa hari tak mendapatkan kabar dari kakaknya, membuat Kyungsoo gelisah.
Awalnya dia berniat ingin ke Goyan untuk bertemu dengan kakaknya yang sudah selama sepuluh tahun ini mereka berpisah. Tapi karena suatu masalah, Kyungsoo memutuskan untuk sekalian pindah ke Goyan. Namun, entah karena ada alasan apa, kakaknya lagi-lagi menghilang seperti sepuluh tahun yang lalu, tanpa kabar, tanpa membalas email Kyungsoo lagi.
Do Kyungsoo tak memiliki keluarga lain selain kakaknya, setelah kematian ibunya dua tahun lalu. Karena itu, ia tak ingin kehilangan keluarganya lagi. Tidak untuk kesekian kalinya. Dan untuk menempuh cara apapun, dia akan berusaha mencari kakaknya. Tak peduli email-nya tak kunjung dibalas, Kyungsoo tak akan menyerah begitu saja.
Hyung, Kalau kau sudah membuka emailku, tolong balas lah lagi seperti dulu.
Untuk kesekian kalinya, Kyungsoo kembali mengirim email.
...
Gelas aluminium yang Kyungsoo pegang, terjatuh dari tangannya. Kyungsoo melompat ke belakang dengan sebelah tangan yang mengelus dadanya, terkejut. Ia menatap tajam sosok yang melayang di hadapannya.
"Tak bisakah kau berhenti muncul secara tiba-tiba?" sungut Kyungsoo memprotes. Tapi detik berikutnya, Kyungsoo menyesali apa yang baru saja ia katakan.
Sosok tembus pandang di hadapannya itu melebarkan matanya tak percaya. "Kau..." ia menunjuk dirinya sendiri. "... bisa melihatku?" suaranya menggema.
Kyungsoo melengos, melirik lantai samping sambil mengumpat pelan. "Sial, aku keceplosan." Sementara sosok tembus pandang di hadapannya mulai menjerit histeris.
"Gyaaaa! Dia bisa melihatku!" sosok namja mungil itu panik, buru-buru melayang pergi menembus dinding.
Kyungsoo sweatdropp di tempat. "Dasar hantu bodoh."
.
.
.
.
.
.
.
.
Bukan suara alarm yang membangunkan Chanyeol dari alam mimpinya, tapi suara dering ponsel yang berbunyi nyaring dalam kamarnya. Tangannya ke luar dari balik selimut, meraba nakas dengan asal, meraih ponsel itu, dan mengeser layarnya.
Kepalanya menyamping dari posisi tengkurap di balik selimut, menempelkan ponsel ke sisi telinga dengan mata yang masih terpejam. "Hmmm?"
Ada suara dengusan di ujung sana. "Ini sudah jam sepuluh siang, Chanyeol. Kau harus bangun."
"Kalau kau menelpon hanya untuk membangunkan aku, akan ku tutup telponnya."
"Arraso, aku akan langsung ke intinya." Ada suara helaan nafas lagi dari namja di ujung saluran. "Malam ini kau harus kembali bekerja, atau aku akan terpaksa memecatmu?"
Ancaman itu tidak berarti, karena Chanyeol sama sekali tidak merespon. Seolah ia tak peduli dengan hal itu lagi.
"Hei, kau dengar aku–"
"Hmm, pecat saja aku, Suho hyung."
"Yach! Chanyeol!" yang di ujung sana malah keberatan dengan ancamannya sendiri. "Aku tidak sedang serius. Astaga, tapi sungguh. Sampai kapan kau akan terus seperti ini? Ini sudah lewat dari seminggu, Yeol. Bergerak lah maju. Tak ada gunanya kau mengurung terus di dalam apartementmu."
"Aku hanya..." Suara Chanyeol agak tercekat, ia membuka matanya yang tampak sendu. "... mencoba menenangkan diri..."
Suho tak segera membalas, seolah ia mengerti bagaimana perasaan Chanyeol saat ini. "Chanyeol-ah..." suara Suho berubah pelan. "Kami mengkhawatirkanmu..." lirihnya. "... dia pasti juga mengkhawatirkanmu."
Chanyeol tersenyum miris. "Arraso Hyung. Aku akan ke tempatmu malam ini," ujarnya, tak ingin membuat teman dekat sekaligus bosnya itu kecewa, dan ikut larut dalam kesedihannya.
"Ah, Jangan memaksakan diri kalau–"
"Hei, Hei, kau yang tadi mengancamku. Mengapa kau sekarang berubah lemah padaku, hyung?" Chanyeol mencoba sedikit bercanda, terkekeh kecil, meski tidak sepenuh hati. "Baiklah, sampai jumpa nanti malam." dan sambungan telepon ditutup.
Keheningan kembali menyeruak dalam kamar itu. Chanyeol masih tidak bergerak dari posisi tengkurap di balik selimutnya. Beberapa detik berlalu, ia mencoba bangkit. Tapi baru sesaat, setelah tanpa sengaja arah pandangnya jatuh pada bingkai foto di atas nakas. Sebuah foto dirinya yang sedang merangkul mesra namja mungil lain dalam pelukannya, tersenyum bersama di hadapan kamera, penuh kebahagian.
Seolah ada beban berat yang kembali jatuh menimpa punggung Chanyeol, hatinya teriris menyadari kebahagian itu tak akan pernah datang lagi. Setiap sendi ototnya berubah lemas, dan ia kembali jatuh tengkurap di atas kasur. Dengan sebulir air mata yang tercipta di ujung kelopaknya. Kembali terisak lirih di atas bantal, seperti hari-hari sebelumnya...
"Bogoshipo Baekhyunnie..." selanya di isak tangis, meremas permukaan seprei dengan putus asa.
Aku merindukanmu...
.
.
.
.
Beberapa tahun yang lalu...
Sambil berjalan, Chanyeol melirik nomor kamar tiap flat di lantai tiga gedung apartement. Mencari sebuah flat yang sudah ia pesan jauh hari. Tanpa disangka ada seseorang yang menabrak punggungnya dari belakang. Chanyeol oleng kedepan, lalu berbalik.
"Ah, maaf." Sebuah suara namja menyahut, wajahnya tak terlihat karena ia sedang membawa tumpukan tiga kardus di depannya yang jauh lebih tinggi dari badannya sendiri. Dari bawah, terlihat kakinya yang berdiri itu sedikit gemetar, menahan beban berat kardus yang ia bawa. Mau tak mau, Chanyeol simpati padanya.
"Tak apa, biar ku bantu." Chanyeol mencoba mengambil dua kardus teratas yang dibawa namja itu.
"Ah, tidak perlu–" dia tak sempat memprotes, karena dua kardus itu sudah berpindah tangan pada Chanyeol. "Astaga, aku jadi merepotkanmu," sesalnya, tanpa sadar mempoutkan bibirnya.
Chanyeol melihat itu, dan ia tersenyum geli menyadari betapa lucunya raut wajah namja mungil yang baru ia temui itu. "Jadi mau dibawa kemana?" tawarnya sambil tersenyum ramah.
Namja di hadapannya berkedip. Sempat terdiam sesaat melihat Chanyeol. "A-ah, itu..." ia melirik ke direksi lain di balik punggung Chanyeol. "... ke depan kamar flat 23."
"Ah. Nomor kamar flatku 22. Jadi kita tetangga?"
"Benarkah?"
"Sepertinya begitu."
"Ah. Sebenarnya aku baru pindah. Jadi mohon bantuannya."
"Aku juga penghuni baru di sini."
Keduanya saling memandang, lalu tertawa bersama.
"Namaku Byun Baekhyun imnida. Mohon bantuannya," namja mungil itu membungkuk sopan.
Chanyeol hanya bisa tersenyum sambil mengangguk karena sedang membawa dua tumpukan kardus. "Aku Chanyeol. Ayo, kita ke depan flatmu, barang bawaanmu berat juga."
"Ah, maafkan aku."
Chanyeol terkekeh melihat wajah Baekhyun berubah panik, tapi tetap terlihat lucu. "Aku hanya bercanda."
...
"Jadi kau tidak meneruskan sekolah lagi?" Baekhyun bertanya penuh minat. "Kenapa? Padahal kita masih seumuran, kau bahkan lebih muda enam bulan dariku."
"Uangku belum cukup untuk itu."
"Ah, maaf, aku tak bermaksud–"
"Tak apa." Chanyeol tersenyum, tak merasa keberatan. "Aku senang kau punya minat untuk tahu tentangku,"senyumannya membentuk sebuah seringai menggoda.
Baekhyun memicingkan mata jijik, meski warna merah di pipinya mengkhianati aktingnya. "Aku kan hanya ingin tahu," belanya. "Jadi kau akan terus kerja jadi pelayan restoran?" suara Baekhyun kini berubah simpati. "Apa kau tak memiliki sebuah cita-cita? Kita kan masih muda."
Chanyeol tersenyum, tersentuh, mengerti bagaimana Baekhyun mengkhawatirkan masa depannya. "Tenang saja, kalau tabunganku cukup. Aku akan menyusulmu untuk mengambil pendidikan kuliah yang lebih tinggi."
"Benarkah?" mata Baekhyun berbinar, entah mengapa dia begitu peduli dengan tetangganya tersebut. "Janji yah."
"Hmm. Janji." Chanyeol ikut tersenyum, mengacak rambut Baekhyun dengan gemas.
...
Di pagi buta, Chanyeol baru kembali pulang ke apartement-nya yang sederhana. Agak terkejut mendapati Baekhyun sudah berada di flat ruang tengahnya. Duduk di karpet, dengan kepala berbaring di atas meja, dan sebuah cake ulang tahun berhiaskan strawberi di hadapannya.
Sebuah katu ucapan bertuliskan 'Selamat ulang tahun yang ke 21, Chanyeolie' tergeletak di sampingnya. Chanyeol tersenyum, membelai pelan sisi kepala Baekhyun yang sedang terlelap.
"Umm..." Baekhyun terjaga, membuka mata pelan, mengerjap, lalu bergumam pelan. "Chanyeol..."
"Hmm, aku pulang."
"Ah," Baekhyun mengangkat kepalanya. Mengucek matanya dengan gerakan menggemaskan. "Kenapa pulangnya lama sekali? Ini bahkan sudah hampir mau pagi." Ia cemberut melihat jam yang tertera di dinding.
"Maaf," Chanyeol mengambil kartu ucapan Baekhyun. "Biar pun aku telat pulang. Tapi kau tetap yang pertama mengucapkan ulang tahun padaku. Terima kasih."
"Aku belum mengucapkannya~"
"Oh, kalau begitu ucapkan."
"Kau belum meniup lilinnya."
"Oke, oke, aku nyalakan dulu." Chanyeol mengambil pemetik api di atas meja, dan menyalakan lilin di atas cake. "Nah, sekarang tiuplah."
"Yang ulang tahun siapa sih?" Baekhyun merengut.
Chanyeol terkekeh. "Ku kira kau mau meniupnya."
"Yeollie~"
"Arraso. Akan ku tiup."
"Make a wish dulu~"
"Hmm." Chanyeol memejamkan mata sebentar, lalu meniup lilinnya.
Baekhyun tersenyum senang. Bertepuk tangan riang. "Yee... Selamat ulang tahun Chanyeollie ~" Kini ia menatap Chanyeol dengan rasa penasaran. "Apa yang tadi kau harapkan?"
Dan sebuah kecupan manis mendarat di bibir Baekhyun.
"Kau..."
Chanyeol tersenyum. Baekhyun merona.
~Flashback End~
.
.
.
.
Kenangan manis itu memang selalu indah untuk kembali dikenang, tapi terasa begitu sakit saat menyadari hal itu tak bisa lagi terulang.
Dengan kaki terseret, tanpa semangat, Chanyeol berjalan pelan melewati ruang utama tanpa minat. Menuju dapur hanya untuk sekedar menghapus dahaganya. Tak ada lagi makanan apapun dalam kulkas, kosong, persedian seminggu sudah habis untuknya seorang diri selama ini. Suho benar, ia harus bergerak maju, terbukti dengan bunyi perutnya saat ini yang meminta jatah.
"Meski bekerja dari pagi sampai malam, kau tak boleh melupakan makan siangmu Yeollie. Lihatlah badanmu itu, terlihat makin kurus. Aku tak mau namja yang kurus sepertimu!"
Chanyeol tersenyum miris di depan kulkas, saat suara Baekhyun yang mengomelinya berkelabat dalam ingatannya. Dalam kesunyian ruangan itu, Chanyeol berbisik lirih. Sebuah kalimat sama yang ia lontarkan pada balasan omelan Baekhyun yang lalu.
"Meski aku kurus, kau masih mencintaiku 'kan?"
Senyuman Chanyeol yang miris, perlahan menghilang, terganti dengan gigitan bibir bawahnya, ia lalu menambahkan dengan hati yang makin teriris, "... bahkan saat kau sudah tak ada, mungkin kah kau juga masih mencintaku?"
Tangannya terangkat untuk menutup wajahnya. Kembali air mata menyakitkan itu menetes, tak peduli seberapa banyak ia menangis, bahkan jika persedian air mata itu telah habis, tak akan ada yang bisa menyembuhkan hatinya yang sudah teriris. Ironis, dan sangat miris.
...
Chanyeol membuka pintu flatnya, keluar untuk mengambil kiriman botol susu di depan pintu.
Ada suara kunci pintu yang diputar dari flat sebelah. Membuat Chanyeol terhenti, menoleh ke pintu sebelah dengan penuh antisipasi. Kenop pintu itu mulai berputar dari dalam. Chanyeol tercekat di tempat, sebuah harapan yang sebenarnya mustahil terwujud, muncul dalam benaknya, seandainya mukjizat itu ada, mungkinkah...
Pintu terbuka, tapi bukan Baekhyun yang keluar dari sana, melainkan sosok namja lain bermata bulat seperti burug hantu yang Chanyeol tak kenal siapa. Pintu kembali ditutup dari luar oleh namja itu, suaranya mampu menyadarkan Chanyeol dari lamunannya.
Kyungsoo, namja yang baru saja mengunci pintu flatnya dari luar, menoleh, menyadari keberadaan tetangganya. Ia tersenyum ramah, sambil membungkuk sedikit, sekedar memberikan tata krama pada tetangga barunya.
Tapi Chanyeol tak membalas. Menatap dengan pandangan tak bersahabat pada Kyungsoo, lalu berbalik, membanting pintu flatnya dengan kasar. Kyungsoo terperanjat dengan sikap tak sopan itu.
"Apa-apaan dia?" gumam Kyungsoo heran seorang diri.
.
.
.
.
.
.
.
.
Suho menghela nafas, lalu menutup teleponnya.
"Jadi bagaimana? Chanyeol mau kembali bekerja?" suara Yixing menyeletuk dari belakang.
Suho menggeleng lelah. "Entahlah, dia bilang dia mau kembali malam ini. Tapi dari suaranya aku tak yakin."
"Kurasa satu minggu belum cukup untuknya."
"Aku juga berpikir seperti itu." Suho menghela nafas, lalu berbalik. Sebuah seringai senang tiba-tiba mampir di wajahnya setelah melihat penampilan Yixing yang baru keluar dari kamar mandi. Yixing berdiri membelakanginya, di depan lemari, mencari baju Suho yang cocok untuknya. Dengan hanya menggunakan handuk putih yang melilit pinggangnya sampai selutut, punggung putih telanjang Yixing yang dihiasi beberapa kissmark terpampang jelas di mata sang kekasih.
Suho bersiul menggoda. "Kau seksi sekali Yixingie..."
Lay berdecak, meski wajahnya sempat merona tanpa sepengetahuan Suho. "Kau sudah sering mengatakan hal itu."
"Benarkah?" Suho bertanya dengan nada pura-pura yang sangat kentara. "Memangnya kapan terakhir kali aku mengatakan kau sangat seksi? Umm... apa semalam ya? Saat aku menunggangimu?"
Sebuah lipatan baju asal terlempar tak beraturan menuju ke arah Suho yang masih duduk di atas ranjang. Tapi Suho malah terkekeh menerimanya, sementara wajah Yixing memanas, menahan malu. "Kau tak perlu menjelaskannya lebih detail. Lagi pula untuk apa kau bertanya kalau kau sudah tahu jawabannya!"
"Jangan marah begitu, jagiya~ aku kan hanya senang menggodamu."
"Cih," Yixing membuang muka, kembali berbalik menghadap lemari.
Tak lama, sepasang tangan melingkar di pinggangnya, dan kecupan mesra mendarat di bahu telanjangnya. "Kau bahkan terlihat sangat manis saat marah. Bagaimana bisa aku tak berhenti untuk terus menggodamu? Hmm..." Suho mengendus aroma Yixing di lehernya.
"Hentikan, Myeonnie, kau membuatku geli..."
"Tidak mau~" Suho cemberut. "Aku masih mau lagi~"
Dan sebuah sikutan menyakitkan mendarat di perut Suho
...
Yixing menyajikan sarapan –entah itu masih bisa disebut sarapan jika sudah lewat jam 10 siang–, di atas meja makan, di hadapan Suho yang duduk manis di kursinya. Suho tersenyum senang dan bangga terhadap keahlian kekasihnya yang selalu menciptakan makanan enak.
Belum selesai mereka menikmati makan bersama, sebuah suara dering ponsel lain berbunyi, dari ruang santai rumah Suho, di atas meja laci samping televisi.
Keduanya sama-sama membisu mendengar dering ponsel itu. Yixing meletakkan sendoknya, "Akan aku ambil," ia beranjak meninggalkan meja makan. Sementara mata Suho yang khawatir meperhatikan gerak geriknya. Pada akhirnya, Suho juga ikut menyusul Yixing.
"Dari siapa?"
"Kyungsoo lagi," jawab Yixing sendu. Membaca email yang baru saja masuk.
Kenapa tak membalas emailku lagi hyung? Kau tak ingin bertemu denganku?
"Kau masih tak mau membalasnya?" tanya Suho.
"Aku tak tahu harus membalas apa," Yixing menghela nafas. "Ini semua..." suaranya mulai tercekat. "... terlalu tiba-tiba..."
.
.
.
.
Suara dering ponsel bertandakan email masuk, membuat Kyungsoo tersentak dari kegiatannya mengetik sebuah cerita di laptop. Ia beranjak mengambil ponsel, matanya berbinar saat mendapatkan balasan email dari kakaknya.
Kau di mana sekarang?
Kyungsoo tersenyum lebar.
"Wah, ternyata kau bisa tersenyum juga~"
Senyuman Kyungsoo langsung sirna. Melirik kesal pada sosok tembus pandang yang sekarang berbaring di atas kasur, tepat di sampingnya. "Kenapa kau belum pergi juga?" sindirnya.
"Kenapa aku harus pergi?" sosok namja mungil itu balik bertanya. "Ini kan flatku, kamarku," ia meraba kasur yang ia tiduri sambil tersenyum childish. "Ranjangku, sepreinya saja yang berbeda."
Kyungsoo mencibir. "Sadarlah. Semua ini sudah menjadi milikku, aku telah membelinya. Dan kau, sebaiknya cepat kembali ke tempatmu yang seharusnya. Dunia ini bukan lagi tempatmu."
Sosok namja imut itu cemberut kesal. "Tapi aku tidak bisa kembali. Ada sesuatu yang tertinggal."
Terkadang, satu arwah tak bisa kembali ke tempatnya dengan tenang jika ada sebuah keinginannya yang tak terkabul, atau sebuah janji yang ia buat belum bisa ia wujudkan semasa hidupnya.
Kyungsoo menghela nafas, ia sudah sering mendapati sebuah arwah yang bergentayangan di sekitarnya dan meminta bantuannya. Meski ia sudah bertekad untuk tak lagi mengurusi urusan mereka, tapi untuk yang satu ini, sepertinya tak bisa Kyungsoo abaikan begitu saja. Kalau Kyungsoo tak membantunya, hantu ini akan terus menganggu kehidupannya. "Kalau begitu, katakan saja apa yang kau inginkan, mungkin aku bisa membantu."
"Benarkah?" sosok itu bangkit, menatap berbinar pada Kyungsoo. "Wah~ kau orang yang baik~"
"Cepat katakan sebelum aku berubah pikiran."
"Oke, oke. Hehehe... jadi, aku minta..." sosok itu tampak berpikir, kepalanya miring sedikit, matanya melirik ke atas dengan bibir yang mengerucut lucu. "... aku... ah, aku tak ingat..."
Kyungsoo hampir saja terjatuh dari kasurnya. "Yach! Apa-apaan itu!"
Namja imut itu nyengir. "Maaf, aku memiliki sedikit masalah saat aku meninggal. Entah karena apa kepalaku terbentur, jadi ada beberapa ingatanku yang menghilang."
"M-mwoya?" mata Kyungsoo melebar. "Astaga, aku tak tahu kalau hantu bisa amnesia juga."
"Hehehe... yang aku ingat hanya sekedar flat ini. Flat yang dulu kutempati, dan biasanya orang memanggilku Baekkie."
Kyungsoo menghela nafas. "Kau benar-benar tak bisa mengingat yang lain?"
Baekkie alias Baekhyun, hanya mengangguk sambil mempoutkan bibir, merasa bersalah. "Maaf..."
"Tak apa," Kyungsoo ikut menunduk menatap lantai, menerawang sedih. "... Kita sama saja, aku sendiri juga memiliki kenangan yang tak bisa kuingat..."
... salah satunya, Kyungsoo tak bisa mengingat dengan jelas bagaimana rupa kakaknya...
...
Ketukan pintu dari luar flat menginterupsi kegiatan Kyungsoo mengetik plot ceritanya.
"Ada tamu," suara Baekhyun yang menggema, menyeletuk.
"Buka kan saja," balas Kyungsoo ogah-ogahan sambil melanjutkan ketikannya, ia sudah sampai di sebuah adegan inti cerita, sayang jika ditinggal dan akan terlupakan.
"Seandainya bisa, pasti sudah kubuka dari tadi~" suara itu merengut kesal. "Ayolah Kyungsoo. Kau tak boleh mengabaikan tamu. Cepat buka pintunya."
"Aissh!" Kyungsoo mengumpat. Mulai kesal dengan kebiasaan Baekhyun yang suka merengut seperti anak kecil, tapi ujung-ujungnya malah memerintah layaknya orang tua –entah dia masuk dibagian peran Umma atau Appa.
"Tunggu sebentar!" seru Kyungsoo sambil membuka pintu kamar, berjalan dengan malas menuju pintu flat. Tanpa ingin mengintip siapa yang berdiri di balik pintu, Kyungsoo langsung membukannya tanpa semangat.
"Kyungsoo–"
Satu suara familiar, satu lirikan Kyungsoo pada namja tan di hadapannya, dan satu detik itu pula Kyungsoo kembali menutup pintu tanpa bertanya. Menguncinya dengan cepat sebelum tamu tak diundang itu berinisiatif membuka paksa pintunya.
"Kyungsoo-yah!" ketukan pintu itu lagi. Tapi kali ini terdengar lebih panik dan tidak sabaran. "Kyungsoo, kumohon buka pintunya. Kita harus bicara."
Kyungsoo mengabaikannya. Malah memilih untuk kembali berjalan masuk ke dalam kamarnya, dan kembali menutup pintu kamar, tak ingin mendengar seruan memohon dari orang yang berdiri di depan apartementnya.
"Yach, kenapa tidak membiarkannya masuk–"
"Diam!" Kyungsoo membentak. Baekhyun tersentak.
Mengabaikan laptop yang masih menyala di atas nakas, dengan dokumen terbuka tanpa niat kembali melanjutkan ceritanya, Kyungsoo melempar tubuhnya di atas ranjang. Mengambil bantal untuk menutupi wajahnya.
"Ada apa?" suara Baekhyun yang menggema terdengar lebih lembut, tersirat kekhawatiran.
"Apa kau tak tahu arti kosakata 'diam'?" Kyungsoo malah membalasnya dengan sarkastik, mood-nya berada dalam keadaaan buruk. "Kubilang 'diam', jadi diamlah!"
Tak ada suara lagi, bahkan suara ketukan dan panggilan dari luar flat Kyungsoo sudah tak ada lagi...
... sampai akhirnya suara isakan pelan Kyungsoo dari bantal yang menutupi wajahnya, mulai terdengar pelan. Sangat lirih, tersirat akan perasaan terluka.
Sebuah sentuhan angin pelan menyentuh ubun-ubunnya, meski terasa abstruk, tapi Kyungsoo bisa merasakan tangan kasat mata mencoba membelai puncak rambutnya. "Tak perlu malu untuk menangis, aku juga sering menangis kok." suara bisikan pelan yang masih menggema itu, terdengar sangat tulus. " Tak ada yang salah dengan itu, kok."
Kyungsoo tak tahu, mengapa tangisnya malah semakin pecah hanya karena perilaku Baekhyun tersebut.
"Ssstth... tak apa, semuanya pasti akan baik-baik saja..."
Dia bahkan tak tahu dengan jelas apa masalah Kyungsoo, tapi entah karena apa, mood Kyungsoo perlahan membaik, dan lebih tenang. Seolah-olah dalam lubuk hati Kyungsoo, ia bisa mempercayai perkataan Baekkie tersebut.
Tanpa sadar, Kyungsoo terlelap. Jatuh ke alam mimpi di mana ia berbaring di pangkuan sang kakak yang mencoba menenangkannya dengan membelai puncak kepala Kyungsoo.
.
.
.
.
Sayangnya, lagi-lagi Kyungsoo tak bisa melihat maupun mengingat dengan jelas bagaimana wajah sang kakak...
.
.
.
.
.
.
.
.
Namanya Park Sunyoung, atau biasa dipanggil Luna. Wanita cantik yang masih berusia 21 tahun. Di usianya yang dewasa dia sudah meluncurkan sebuah novel fiksi bergendre misteri, dan sudah menjadi Bestseller tahun lalu di negara Korea, bahkan novel buatannya menarik perhatian seorang sutradara untuk membuatnya dalam sebuah movie.
Banyak orang menyukainya, dengan kecantikan, keramahan, dan kesopanan membuat semua orang tidak bisa untuk tidak menyukainya, kecuali pemuda bernama Kim Jongin.
Meski kadang jika mereka berpapasan, atau sekedar mengobrol biasa, Jongin terlihat meladeni Luna dan membalas senyuman ramah wanita itu. Tapi jika kau bertanya mengenai Luna, dalam lubuk hati Jongin akan langsung menjawab dengan jujur kalau dia membenci wanita itu, sangat membencinya. Alasannya sederhana, karena menurut Jongin, Luna sudah merebut Kyungsoo darinya.
Ah, bisa dibilang bukan merebut juga sih, karena nyatanya hubungan antara Jongin dan Kyungsoo selama ini hanya sekedar teman dekat, atau rekan kerja antara penerbit buku dan novelis. Do Kyungsoo adalah novelisnya –sama seperti Luna– dan Kim Jongin adalah presider termuda yang menjabat sebagai penerbit novel mereka. Karena hubungan kerja selama dua tahun ini lah yang membuat Jongin tertarik dengan pribadi sosok Kyungsoo, dan diam-diam menaruh hati padanya, sayang, dia kedahuluan dengan Luna.
Sialan. Satu umpatan selalu meluncur dalam benak Jongin saat melihat Kyungsoo dan Luna saling berinteraksi satu sama lain, atau ketika Kyungsoo bersemangat menceritakan tentang Luna pada Jongin. Seandainya saja hukum tak berlaku untuknya, mungkin dengan senang hati Jongin akan menebaskan pedang samurai ke tangan Luna yang sudah merangkul manja lengan Kyungsoo, atau jika dia nekat, dia akan mengurung wanita itu ke dalam ruang bawah tanahnya seorang diri dan membawa lari Kyungsoo sejauh mungkin dari tempat itu, bersamanya.
Jongin hampir putus asa dengan perasaannya sendiri melihat semakin hari semakin romantis pula terlihat kebersamaan Luna dengan Kyungsoo, bahkan orang-orang di sekitar mereka pun mempredeksikan bahwa hubungan mereka akan berlanjut sampai ke ikatan sakral kelak.
Sampai akhirnya suatu hari, Jongin mendapatkan kesempatan untuk memisahkan Kyungsoo dengan Luna, namun naas, itu malah membuat Kyungsoo makin menjauhi dirinya...
.
.
.
.
Malam itu, Jongin yang baru pulang dari kantornya menggunakan mobil, tanpa sengaja ia melihat Luna jalan seorang diri sambil membawa dua kantong besar plastik dari minimarket, terlihat baru saja belanja untuk persedian makanannya. Awalnya Jongin ingin mengabaikan wanita itu, tapi tiba-tiba terbesit dalam pikirannya untuk mendekati Luna dan menanyakan sudah sejauh mana hubungannya dengan Kyungsoo sekarang, apa sudah sampai ke bagian yang paling intim? Jujur, Jongin begitu was-was sendiri jika memikirkan kemungkinan hal itu sudah terjadi di antara sepasang kekasih tersebut.
Jongin memutar stir mobilnya, menepi di pinggir jalan, menyapa Luna dan menawarkannya tumpangan menuju ke apartement wanita itu. Maka sampailah Jongin di apartement Luna, berdua, mengobrol, dari urusan kerja sampai perlahan-lahan merambat ke masalah pribadi.
"Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Kyungsoo?" Jongin memulai, berusaha terdengar dengan nada santai.
Luna yang baru kembali dari dapur sambil membawa sebotol anggur, tersenyum kecil. "Hubungan kami baik-baik saja. Seperti biasa." Ia menuangkan air anggur itu ke dalam gelas kaca Jongin.
"Seperti biasa bagaimana? Memangnya sudah sejauh mana?"
Luna memicingkan mata, mulai curiga. "Kenapa kau terlihat begitu penasaran, Jongin-sshi? Apa kau cemburu dengan hubungan kami?"
"Cemburu?" Jongin terkekeh pelan, terdengar canggung karena dipaksakan. Ia meminum anggurnya untuk menutupi kegugupannya.
Luna beranjak lebih dekat, menggeser pantatnya di atas sofa untuk duduk lebih dekat di samping Jongin, menatap atasannya dengan pandangan meneliti. "Apa kau menyukaiku?"
Jongin sedikit tersedak, menoleh pada Luna yang menatapnya intens. Sebuah ide lain mulai muncul dalam benak Jongin, dalam hati ia menyeringai. "Kalau iya?" Ia mencoba mengumpan.
Yang selanjutnya terjadi malah membuat mata Jongin melebar terkejut. Luna melompat ke pangkuannya, menyerangnya dan mencumbu bibir atasannya. Jongin meladeninya tanpa minat, menyeringai mengejek diantara cumbuan mereka. 'Dasar jalang', umpatnya dalam hati.
...
"Temani aku malam ini," Luna menatapnya sayu.
"Apa kau sudah melakukannya dengan Kyungsoo?" Jongin balik bertanya -takut jika saja wanita jalang ini telah memangsa Kyungsoo terlebih dahulu.
Luna menggeleng. "Aku tak pernah menyukai si bodoh itu," akunya dengan seringai mengejek, tak menyadari tatapan Jongin berubah jadi tajam. "Sebenarnya, aku menyukaimu, sejak dulu."
"Kau mau tinggalkan Kyungsoo?"
"Kau mau denganku?"
"Tinggalkan Kyungsoo dulu."
"Terserah kau."
Ya, dan aku akan segera meninggalkanmu, dasar jalang...
...
Jam menunjukkan lewat tengah malam, Jongin yang sudah topless, bangkit dari atas ranjang. Mengancing resleting celananya yang sempat dibuka oleh tangan nakal wanita itu. Dalam hati Jongin bersukur celananya tak sampai lepas dari tempatnya, sementara Luna sendiri sudah pingsan dan tertidur di balik selimut, di sampingnya, tanpa pakaian yang sudah wanita jalang itu lepas sendiri.
Jongin mencibir, mengambil tisu di atas nakas dan menlap tangannya dengan jijik. Sepulang dari tempat ini, ia harus mandi dengan bersih. Jongin berdiri dari ranjang, tepat di saat pintu kamar mendadak terbuka dari luar.
Itu Kyungsoo...
Dan kesalah pahaman itu pun dimulai.
.
.
.
,
Setelah kejadian itu, Kyungsoo benar-benar bertindak jauh, langsung menghindari mereka berdua tanpa ingin mendengar lebih jauh penjelasan mereka. Tentu saja, bagi Kyungsoo, apa yang ia lihat tidak perlu dijelaskan lebih jauh.
Lima hari seperti sedang main kucing-kucingan, karena Jongin berusaha keras untuk mengejar Kyungsoo dan menjelaskan semuanya, tapi sekeras itu pula Kyungsoo selalu bisa menghindar darinya. Sementara Luna, jangan tanya, dia sudah tak peduli lagi dengan Kyungsoo, dan malah gencar mendekati Jongin. Bahkan wanita itu dengan sengaja sempat menjadi penghalang bagi Jongin untuk berbicara dengan Kyungsoo.
Lima hari berlalu tanpa hasil, akhirnya apa yang ditakutkan Jongin terjadi. Kyungsoo menghilang, pindah apartement entah kemana.
Jongin kalang kabut, mencari ke sana kemari seperti orang gila. Rasa takut akan kehilangan Kyungsoo dari kehidupannya itu lebih besar daripada saat Kyungsoo menjadi kekasih orang lain. Hari pertama mengetahui Kyungsoo pindah, ia panik. Hari kedua belum ketemu, kantung matanya sudah terlihat. Hari ketiga, orang disekitarnya mulai mengeluh tentang pakaian Jongin yang tak berubah. Hari keempat, Jongin hampir pingsan di ruang meeting karena nyaris tak makan apapun. Hampir saja Jongin disarankan untuk ke rumah sakit dan dirawat di sana karena kondisinya menyedihkan, jika saja orang suruhannya tidak kembali dan memberitahukan pada Jongin bahwa mereka sudah menemukan ke mana Kyungsoo pindah.
Saat itu juga, Jongin tersenyum lega, dengan pancaran mata yang lebih bersinar.
.
.
.
.
Siang itu, setelah yakin dengan penampilan dan kondisinya kembali seperti sedia kala, Jongin memantapkan hatinya untuk melangkah masuk ke dalam gedung apartement sederhana, di mana salah satu flat di dalamnya adalah tempat tinggal Kyungsoo selama enam hari ini.
Penuh dengan rasa antisipasi, Jongin mulai mengetuk kamar flat yang sudah diberitahu oleh suruhannya. Lima ketukan, belum ada jawaban. Jongin mulai gelisah, mengira Kyungsoo sudah tahu kedatangannya dan telah pergi lagi sebelum Jongin datang. Untungnya, dugaan Jongin salah.
"Tunggu sebentar!"
Terdengar suara Kyungsoo yang berseru dari dalam. Hati Jongin bergetar, betapa ia merindukan suara itu.
Pintu terbuka. Mata Jongin berbinar melihat sosok Kyungsoo secara nyata.
"Kyungsoo-yah-"
Mata mereka bertemu. Tapi detik kemudian pintu kembali ditutup. Jongin tersentak, mulai panik, ia kembali menggendor pintu.
"Kyungsoo-yah! Kyungsoo, kumohon buka pintunya. Kita harus bicara."
Tak ada balasan, yang terdengar malah suara bantingan pintu lain dari dalam, menandakan Kyungsoo masuk ke dalam kamarnya. Jongin mulai berseru putus asa sambil menggendor pintu seperti orang kesetanan. "Jebal! Kyungsoo-yah! Buka pintunya!"
Seseorang menarik paksa bahu Jongin. "Apa yang kau lakukan?!" Chanyeol menggertak marah. "Kau akan merusak pintunya!" Tegurnya sensitif, seolah pintu flat itu begitu berharga bagi Chanyeol.
"Lepaskan aku!" Jongin menepis dengan kasar tangan Chanyeol dari bahunya. "Kyungsoo-yah! Buka pin-"
"Yach!" Chanyeol kembali menarik lengan Jongin. "Kubilang berhenti! Kau merusak pintunya! Suaramu yang keras itu menganggu penghuni di dalam!"
"Apa sih masalahmu?" Balas Jongin menggertak, ikut tersulut emosi.
Petugas keamanan, yaitu dua satpam apartement itu langsung datang setelah mendapatkan laporan keribuatan di tempat itu. Jongin yang dituduh sebagai pengganggu ketenangan penghuni apartement, terpaksa mengalah dan memilih mundur untuk menemui Kyungsoo hari ini. Besok dia akan mencoba lagi, yang penting dia sudah tahu di mana Kyungsoo tinggal sekarang.
Chanyeol tetap berdiri di sana, melihat punggung Jongin dengan digiring dua petugas, menghilang di tikungan lorong. Penghuni kamar lain yang sempat terganggu dengan keributan tadi, kembali masuk ke flat masing-masing. Meninggalkan Chanyeol yang masih berdiri di tempatnya.
Chanyeol berbalik, terdiam, tangannya terangkat perlahan di depan pintu flat bernomot 23, lalu meraba pelan permukaan pintu tersebut dengan pandangan sendu. "Kau bisa tenang sekarang, Baekkie," bisiknya pelan, berbicara sendiri.
Kepalanya menunduk, lalu tersenyum miris dengan perilakunya sendiri yang nyaris menyamai orang gila. Dengan perasaan yang sedikit tak rela, Chanyeol berbalik, menuju ke flatya di sebelah flat nomor 23 tersebut. Sama sekali tak menyadari ataupun melihat...
... kalau sosok transparan Baekhyun sejak tadi berdiri di depan pintu flat nomor 23, memperhatikan segala gerak-gerik Chanyeol dengan pandangan yang tak terbaca...
... tangan tembus pandang Baekhyun menyentuh pipinya sendiri yang transparan. Meski tadi tangan Chanyeol menembus pipinya saat menyentuh permukaan pintu, entah mengapa Baekhyun bisa merasakan kalau sentuhan lembut itu seolah mampu menyentuh pipinya...
.
.
.
.
Bersambung
.
.
.
_o0o_
Review?
~Sayaka Dini~
[2 Januari 2015]
