Note: Mohon dibaca dengan perlahan karena ini akan sedikit memusingkan/? Font italic menandakan flashback. semua hal di dalam ff ini murni berasal dari imajinasi author.
Masih ingin tetap membaca? Semoga kalian tidak kecewa.
.
.
.
Hujan mengguyur jalanan kota siang ini. Guyurannya menghantam aspal, bulirnya yang memantul lelah mengenai pejalan kaki. Celana hitam yang dikenakan Chanyeol saat itu adalah setengah basah─setelah langkah panjangnya melenggang di atas genangan air. Payung yang digenggaman masih menaungi tubuhnya dari hujan. Berisik, ketika rintik air tumpah di atasnya. Tapi Chanyeol tetap awas. Matanya yang bulat segera menembus rinai hujan. Menembus tiap benang-benang air yang membias lampu penting di jalan.
Gemuruh langit semakin menyisakan tangis. Menggulung awan hitam yang pekat, hingga yang diputuskan Chanyeol sekarang adalah menyalakan ponsel yang terbenam di saku.
Chanyeol tidak suka hujan, mobil mogok, maupun rasa kesal yang membuncah di dada. Tidak suka panggilannya terhalang daya ponsel yang habis, kemudian berujung putus asa di tengah jalan. Alih-alih tidak tahu harus berlaku apa lagi demi menemukan solusi yang dicarinya.
Kakinya yang lelah tanpa tujuan kini telah menemukan sebuah halte dengan kursi panjang. Sayangnya, atap halte yang sempit belum juga cukup untuk melindungi tubuhnya yang besar. Terlebih ditambah dengan kehadiran sosok mungil dengan tongkat lipatnya.
Lelaki bermata bulan sabit baru saja tiba dengan menggenggam erat tongkat putihnya. Wajah pucatnya basah. Jaket yang dikenakannya bahkan hanya bisa melindungi rambut coklat miliknya. Sepatunya pun sempat tenggelam dalam genangan air. Basah.
Sosok itu terus diam menatap sisa jalanan yang kosong. Bersenandung sambil menadahkan salah satu tangan mungilnya. Nyanyian merdunya kemudian sigap melawan hujan. Dan saat tangannya habis diguyur hujan, suara paraulah yang Chanyeol dengar.
Chanyeol tidak pernah sekalipun tertarik dengan orang asing. Bukan karena ia anti sosial atau kepribadian lain yang buruk. Hanya saja, keberadaan sosok familiar itu terlalu mengejutkannya siang ini.
.
Siapa yang tahu takdir Tuhan?
.
Sosok mungil itu menurunkan tangannya. Nyanyiannya terhenti ketika kepalanya menoleh menemukan wajah sendu Chanyeol di ujung tempat ia berdiri. Chanyeol sendiri sempat tertohok, seakan ketahuan mencuri tatap seseorang.
Tatapan kosong itu lalu mengisi jarak di antara keduanya. Memandang batas yang dihempas udara, tanpa kedipan pasti atau sebuah sapaan. Sayangnya, lelaki itu tahu bahwa Chanyeol telah lancang menatapnya tanpa bicara. Seakan Chanyeol sengaja diam disana sebagai penguntit beruntung. Selagi yang menyadari merasa tidak mampu menerjemahkan cahaya yang datang di retinanya.
"Kau mengenalku?" Ia bertanya. Lembut mengalun namun tidak lebih sopan. Lelaki itu menyapa dengan tatapan kosong, namun tampak manis dengan gurat curiga miliknya.
Chanyeol tersenyum dalam tundukan. Lantas membawa turun payungnya yang masih menaung. Untuk sepersekian detik hatinya meluluh tenang. Ajaib, seakan mendapatkan angin segar dalam rongga paru-parunya. Ia lalu memilih menutup payung yang mengembang diam-diam. Menolak mendekati pemuda itu, sekalipun ia mati sangat ingin.
"Kau mengingatkanku pada seseorang," akunya pada Chanyeol yang mulai duduk pada kursi halte yang lembab. Masih membiarkan sosok itu berdiri di ujung sana. Karena ia sudah bilang bahwa ia tidak pernah tertarik dengan orang asing.
"Irama langkahmu, aromamu dan─"
"Suaraku?" potong Chanyeol selesai menutup lipatan payungnya. Ia sedikit berdehem kecil sambil menenangkan jiwanya yang diguyur hujan. Sementara hatinya mungkin tergerak untuk berbicara lebih banyak. Tapi mendadak sorotnya berubah pudar, seakan menemukan sekat yang tidak terlihat.
"Bagaimana jika orang itu adalah aku?"
Sosok itu menggeleng sebagai jawaban. Tidak membenarkan bagaimana anggapannya bicara yakin. Alhasil, Chanyeol pun tertunduk menangkap senyum pahit.
.
.
.
.
.
.
MONOCHROMATIC
By
Gyoulight
.
.
.
.
.
.
Filled your life with someone else, like teardrops in your eyes.
Who does cares what you are while the river flows in you?
.
.
.
.
.
.
00. PAIN
Chanyeol kembali menuntun seseorang yang digenggamnya memasuki kamar kecil di ujung lorong. Awalnya sosok itu menolak, tapi nyatanya tidak mampu menolak ketika Chanyeol memaksa. Sepupu lelaki itu mau tidak mau menghentikan langkahnya ketika mereka sampai di ambang pintu. Senyumnya sedikit mengembang kala langkahnya berbalik menjauh. Memilih mempercayakan sepupunya pada sosok tinggi yang hingga saat ini lengannya masih diamit.
Chanyeol mengambil sebuah handuk kecil yang tanpa bertanya pun ia sudah tahu letaknya dimana. Tangannya tanggap mengusak rambut sosok di depannya lembut. Tidak lupa mengeringkan wajah halus yang masih menatapnya kosong tanpa bicara.
Sosok itu sudah lama tidak bersuara sepanjang perjalanan pulang. Mematung, tidak hirau dengan perlakuan Chanyeol padanya. Chanyeol sendiri berniat menarik turun ritsleting jaket si rambut coklat. Hendak membantunya, namun buru-buru sebuah penolakan menahan lengannya.
"Kau tidak bisa melakukannya."
Chanyeol terpaku. Sama sekali tidak berpikir tentang sebuah alasan mengapa bantuannya ditolak dengan mudah.
"Kenapa?" Dan pula mengapa ia bisa menanyakan 'kenapa' pada hal yang nampaknya sudah bisa ditebaknya─jika saja ia bisa memutuskan untuk sedikit berpikir.
"Kau pria," jawab Baekhyun sedatar dinding. Namun canggung nadanya mendayu di telinga Chanyeol. Lantas Chanyeol segera tahu, jika itu bukanlah jawaban yang sebenarnya.
"Dan kau juga pria," balas Chanyeol polos, yang demi Tuhan ia sadar masih butuh menatap sosok itu tanpa celah. Jujur, ia hanya takut jika sosok itu melakukan kesalahan saat ia berkedip sekalipun.
"Aku bisa melakukannya sendiri." Si rambut coklat kemudian beranjak dari sana. Langkahnya lalu menyangsi menuju suatu tempat. Sedangkan Chanyeol masih mematung di posisinya, hanya bisa menebak kemana sosoknya hendak pergi kali ini.
"Pulanglah," sarannya mulai meraba dinding. Memunggungi keberadaan Chanyeol yang masih memperhatikan detail. "kau tidak bisa berlama-lama di sini."
Chanyeol menggeleng dalam pikirannya. Ingin mengatakan bahwa tebakan lelaki itu salah. Tapi nyatanya ia tidak akan pernah bisa memungkiri bahwa Baekhyun selalu benar dengan segala terkaannya. "Kau butuh bantuanku."
Sosok itu lantas menghela nafasnya panjang. Sedikit bosan karena semua orang selalu menawarkan bantuan padanya. "Aku tidak butuh bantuan dari siapapun."
"Kau butuh," lawan Chanyeol bersikeras. Padahal ia sendiri pun paham sifat manusia. Masalahmu adalah masalahmu, dan masalahku adalah masalahku. Lalu manusia akan menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri. Tapi berbeda halnya kini, ia tentu bukanlah manusia yang melupakan sisi humanity.
"Tidak," tegas Baekhyun.
"Jangan tolak bantuan dari siapapun. Kondisimu─"
Bunyi yang berisik segera mengisi kekosongan. Frame yang terjatuh dari atas nakas tidak disangka bisa mengganti eksistensi mereka yang mengendap. Benda itu bahkan hancur menghantam lantai tanpa perkiraan. Baik Baekhyun dan juga Chanyeol hanya bisa terdiam beberapa saat, bahkan ketika seluruh udara jatuh menghembus jarak mereka.
"Kau membutuhkannya," desis Chanyeol lagi. Ia masih saja tidak bergerak saat Baekhyun masih mematung di posisinya. Masih berharap jika Baekhyun akan memanggil namanya. Menunggunya mengatakan sesuatu seperti ia butuh bantuan soal menemukan jalan yang tidak dilalui serakan kaca.
Namun Baekhyun melanjutkan langkahnya tanpa perduli. Begitu ingin percaya diri bahwa ia mampu melakukan banyak hal seorang diri. Ia pun punya dua tangan dan kaki, jauh dari espektasinya jika Chanyeol tahu langkahnya begitu sangsi. Maka saat ia menjejak, salah satu kakinya tersandung kaki nakas. Membuatnya terjatuh, tepat di atas hamburan kepingan kaca.
Ia kemudian meringis. Menekan titik luka di lengannya yang semakin berdarah.
Chanyeol buru-buru mendekat, tidak tahan lagi dengan keras kepala sosok di hadapannya. Diraihnya tangan kurus itu segera. Hendak mencabut pecahan yang menancap, tapi lebih dahulu Baekhyun mencoba mencabutnya sendiri.
"Biar aku bantu." Chanyeol merebut tangan mungilnya yang lain. Tapi lagi, Baekhyun tetap menolak dan menghempas tangan besarnya.
"Kau membutuhkan bantuanku," kekeuh Chanyeol tetap meraih tangannya.
"Argh…" Dan sampai padanya yang meringis sakit saat pecahan kaca itu menusuk jemarinya yang lain.
Chanyeol lalu bosan. Sudahlah habis kesabarannya. Dengan tegas ia meraih lengan itu kuat-kuat dan membersihkannya dari pecahan kaca yang menempel. Persetan dengan Baekhyun yang memberontak dan berteriak. Begitu lelah Chanyeol menahan lengan itu agar tidak banyak terluka akibat pergerakan yang tidak berarti.
"Biar aku yang melakukannya! Kau terluka!" tegas Chanyeol dengan mata berkilat. Amarah di kepalanya lantas mencapai titik toleran. Dan ia menjadi merasa amat sangat bersalah karena Baekhyun berakhir gemetar mendengarnya.
Melupakan air mata bayangan di depannya, perlahan Chanyeol menarik lengan jaket yang menghalangi. Menaikkannya segera sampai siku. Tidak juga mampu menatap bagaimana binar itu mematung tanpa bicara untuknya. Hanya berakhir menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, demi menahan perih yang menancap.
Sesak di hati Chanyeol lalu menjalar kuat ketika satu persatu potongan kaca itu dilepas dari jangkauannya. Maniknya yang mengabur lalu berkelana, mencuri tatap kekosongan sepasang mata bulan sabit yang redup. Ia lelah berperang, begitu gila ingin menghapus air mata yang dilihatnya di pipi itu. Namun segalanya seakan memberinya tekanan, memberinya batasan besar yang harus ia patuhi.
"Kau terlalu banyak terluka," ujar Chanyeol pelan. Yang kemudian sosok itu hanya bisa menangis memeluk luka di sekujur lengannya.
e)(o
Four Years Ago
Baekhyun mengarahkan kuasnya untuk menari di atas kanvas. Membubuhi bidang seputih kapas itu dengan warna-warna yang sudah lebih dahulu muncul dalam bagian kepalanya. Matanya awas dalam menggurat garis. Memperkirakan bentuk dan komposisi dalam sekali tarik sapuan kuasnya.
Nyaris selesai.
Namun saat ia menemukan bayangan yang terbias dalam ruangan favoritnya, maka semuanya adalah sebuah kesalahan. Demikian saat ia berhenti bergerak dalam menyapu kertas kanvasnya. Terlalu buyar sampai kehilangan garis seimbang.
Baekhyun sama sekali tidak menyalahkan siapapun saat seseorang masuk tanpa mengetuk ruangannya. Terlebih merusak imajinasinya, hasil pergulatannya dengan dua jam berenang dalam kolam warna di paletenya. Hanya saja keberadaan sosok yang disebutnya 'raksasa' itu sudah membuatnya beralih penuh dari eksplorasinya. Sebut mengganggu dan Baekhyun akan tahu bagaimana senyum itu bisa mengembang tanpa kata maaf yang disemat.
Sosok tinggi itu semakin jauh mendekat. Salah satu tangannya bersembunyi di belakang punggung. Menggenggam buket bunga yang semakin erat ia jaga dengan tangan besarnya. Dan siapa yang tidak akan tahu kejutan murahan para pria?
Menyembunyikan, meski nyatanya lebih dahulu ketahuan.
Baekhyun bukanlah seseorang yang penuh jiwa innocent atau pura-pura penasaran, lalu bertanya dengan manis 'apa yang kau sembunyikan?'. Karena baginya semua kejutan itu sama. Tidak menarik, sekalipun mungkin kadang ia bisa tersenyum senang.
Tapi Chanyeol nampaknya tidak akan perduli. Tetap menikmati dan menyebutnya menyenangkan. Sekaligus berharap banyak tentang bahagia jika Baekhyun mengambil kumpulan bunga yang dibawanya jauh dari negeri seberang.
Sedangkan bagi Baekhyun, hadiah Chanyeol sedikit bodoh. Selagi ada banyak bunga yang bisa ditemukan di negeri sendiri, mengapa harus susah mencari tempat yang jauh, sementara tanah yang dipijak saja masih dinaungi langit yang sama.
Baekhyun mau tak mau mengambil buket bunga itu setelah Chanyeol menyodorkannya tanpa kata. "Aku pulang," ujar pria itu senang.
Si pemuda tersenyum miris. Melupakan sejenak kuas dan kanvasnya yang masih membatu di hadapannya. Sedikit menghargai ia menyentuh kelopak lebarnya dengan jemari. Membawa sekumpulan flora cantik itu menuju wajahnya. Tidak lupa menghirup wewangian unik yang tercampur dari tiap kumpulan ras bunga itu.
Chanyeol mendekat di belakang punggungnya. Menundukkan bahunya, sambil mengusak surai Baekhyun yang halus. "Kali ini abstrak?" tanyanya memperhatikan tiap inci kanvasnya.
"Mungkin," jawab Baekhyun menurunkan buket bunganya. Bersiap menarik diri dari peredaran si tinggi. Yang kemudian ia dapat melihat sepasang mata bulat itu kembali menangkapnya. Menatap keterdiaman miliknya dalam renung sabar yang dapat diandalkan.
Baekhyun mungkin bisa mengakui, jika ia selalu hebat dalam membaca pertanyaan di kepala Chanyeol. Pria itu terlalu mudah dibaca. Terlalu mudah diraih, sampai ia yang segera menjelaskan, "Pesanan dari kantor Kyungsoo."
Barulah Chanyeol mengangguk mengerti.
"Kau selalu setuju jika itu ekspresionisme," Chanyeol menjauhkan diri saat Baekhyun bergerak jauh dari kursinya. "Tapi mereka juga pasti akan senang dengan lukisan abstrak pertamamu."
"Aku tahu," jawab yang mendengar mengemasi kuasnya. Memunggungi Chanyeol yang masih sibuk mengamati hasil karyanya, sekaligus meletakkan kumpulan bunga itu ke dalam vas di sudut ruangan.
Chanyeol memutar kedua matanya bosan. Mengawasi pergerakan Baekhyun yang sampai saat ini masih betah memunggunginya. "Kau tidak merindukanku?" tanyanya menyusul. Memberikan sapu tangan yang tanpa bertanya pun sudah Baekhyun rampas dengan tangan mungilnya.
Chanyeol melipat lengannya di dada. Memperhatikan setiap inci suaminya yang lagi-lagi tidak mau menatapnya barang sedetik. "Apa yang kau lakukan selama aku pergi?"
"One night stand," jawab Baekhyun mengembalikan sapu tangan itu pada si empunya. Sedangkan Chanyeol hanya bisa terkekeh. Tentu saja tidak percaya.
"Kau sakit?" Chanyeol menahan lengan Baekhyun yang semakin kurus. Tapi perlahan Baekhyun berhasil melepasnya tidak suka.
"Ku pikir lama di Jepang membuatmu betah." Baekhyun berlalu, kemudian meraih koper Chanyeol di dekat pintu, menarik gagangannya dan bersiap untuk menyeretnya keluar dari sana.
Chanyeol tersenyum. Ia kemudian berlari kecil menahan punggung itu. Hingga akhirnya, ia dapat menemukan wajah yang selama ini begitu gila ia rindukan. Ditariknya tubuh itu merapat padanya. Merasakan seluruh harum nafasnya yang memburu saat wajahnya mendekat. "I miss you," uangkapnya, yang kemudian ia telusuri pahatan wajah indah itu dengan jemarinya.
Sepasang mata bulan sabitnya lalu terpejam saat Chanyeol memberinya sebuah kecupan mesra.
Tangan Baekhyun terlepas dari gagang koper. Lebih tertarik untuk mengalungi leher si tinggi yang membawanya naik ke puncak. Merasakan tiap sensasi manis yang diberikan Chanyeol padanya, hingga ia lupa bahwa hari ini Kyungsoo tidak akan maklum jika ia terlambat mengantar pesanannya.
e)(o
GREEN
Chanyeol bergerak menuju ruangan yang sekelilingnya dipenuhi jendela besar. Ada sebuah tanaman berdaun lebar yang merayap di sekitar jendela. Memberi aksen antik dengan piano tua yang bertengger di bawahnya. Sejenak Chanyeol membiarkan jemarinya menyentuh permukaan piano penuh debu itu. Sayup-sayup nada lembut mengiang dalam benak. Sambil mengundang memori usangnya, matanya pun kembali berkelana menyisir setiap sudut ruangan.
Menemukan hal yang lebih menarik, Chanyeol mendekat pada easel yang tertutupi kain putih. Ia mungkin menikmati bagaimana indahnya jejeran lukisan dalam berbagai ukuran di tiap dinding dan lantai. Tapi tidak dengan lukisan yang bersembunyi di balik kain itu.
Chanyeol mati penasaran. Baru hendak meraih ujung kain di hadapannya, sebuah derap langkah lantas membuatnya urung. Sosok yang ditemukannya lalu berseru pelan, "Dia tidak suka barangnya disentuh orang lain."
Ia baru saja berbalik dan menemukan Luhan tersenyum padanya. Pria berambut coklat madu itu membawakannya set cangkir kopi di atas nampan. Tidak lepas dari memiringkan kepalanya ke arah pintu. Memberikannya arahan untuk segera keluar dari ruangan yang menjadi larangan juga baginya.
"Apa aku sudah menjadi orang lain baginya?" gumam Chanyeol membalas senyum itu sedikit. Perlahan kaki panjangnya mengayun untuk mendekat.
"Ada sesuatu yang harus aku sampaikan padamu." Luhan melanjutkan, "Atau kita akan ketahuan karena sama-sama masuk ke ruangan ini."
e)(o
Baekhyun menelusuri lorong panjang penuh dengan karyawan. Menaiki lift dan naik ke beberapa lantai yang dindingnya penuh dengan kaca. Pemuda tinggi di depannya kemudian tersenyum menunjukkannya sebuah pintu. Pintu kaca, tentu. Dan Baekhyun sangat suka dengan design gedung baru sahabatnya.
Yang ditemukannya pertama kali adalah senyum Kyungsoo yang mengembang saat menyambutnya. Pelukan hangat menjadi hal pertama yang selalu Kyungsoo berikan. Seakan selalu merindu karena tidak punya waktu untuk bertemu, padahal selalu saling menyapa setiap minggu.
Baekhyun pun tidak lupa membalas senyum seorang pemuda tinggi yang mengantarnya─setelah meletakkan lukisan yang dibawanya. Mengucapkan terima kasih karena sudah membantu membawakannya lukisan, dan segera mengiyakan pemuda itu pamit hilang dari ruangan.
Kyungsoo berakhir membongkar tidak sabar kertas yang sudah susah payah Baekhyun balut sebagai pembungkus lukisannya. Buruknya, ingin sekali Baekhyun menarik telinga Kyungsoo demi menagih penghargaan atas kesungguhannya dalam membungkus lukisan abstrak pertamanya.
"Ini sangat luar biasa," puji Kyungsoo takjub dengan karya lukisannya. Ia kemudian mengangkat lukisan itu tepat di depan wajahnya. Seolah ia menemukan harta karun di dalam tanah yang sudah susah payah digali. "Lihat, aku tahu kau bisa melakukannya!"
"Mana bayaranku?" tanya Baekhyun tanpa basa-basi dan sedikit melirik arlojinya. Tidak punya banyak waktu, karena ia juga harus memeriksa galeri.
"Kau terlihat berbeda," selidik Kyungsoo memicingkan kedua bulat matanya. Ia lalu cepat-cepat mendial nomor panggilan di telpon kantornya. "Apa Chanyeol pulang?"
"Ya. Dan dia merindukanku," jawab Baekhyun acuh tak acuh. Malas saja mendengar nama Chanyeol disebut.
Kyungsoo terkekeh sambil menerima panggilan dari kabel telponnya. Entah apa yang dikatakan lelaki itu pada lawan bicaranya di seberang sana, hingga─
"Dia sangat mencintaimu, Baek." Kyungsoo menutup panggilan itu dengan seenaknya. Karena semuanya selalu terlihat mudah di tangan Kyungsoo. Tidak ada hal yang tidak bisa dilakukan temannya itu meski terfokus pada sesuatu.
"Aku tidak percaya pada hal semacam itu," jelas Baekhyun yang membuat Kyungsoo merasa ingin muntah. Karena baginya, Baekhyun terlalu munafik untuk mengatakan quote semacam itu.
"Mau sampai kapan kau seperti ini padanya?" tanya Kyungsoo yang dibalas masam oleh Baekhyun. Namun karena takut kehabisan waktu, Baekhyun lebih memilih beranjak dari sana. Dan sebelum ia menyentuh pintu kaca di depannya, Kyungsoo buru-buru menyuruhnya menunggu.
"Tunggu─"
Baekhyun menoleh dengan malas. Lantas melipat lengannya di dada setelah mengacak surainya yang sudah tertata rapi.
"Sesuatu─" Kyungsoo masih menggenggam lukisannya. Melototinya seakan ada sebuah lubang besar pada kanvasnya. "kurasa kau melupakan sesuatu."
"Apa?" tidak mengerti Baekhyun. Ia kemudian lebih jauh menebak, "Kau bisa ambil kembali uangmu jika kau tidak suka─"
"No," jeda Kyungsoo cepat. "Not about that. Aku bersumpah, aku sangat menyukai ini. Tapi bukankah ini hijau? Aku yakin aku tidak salah bicara saat aku bilang aku memesan biru dominan padamu."
Menangkap keterdiaman dirinya, Kyungsoo pun kembali melanjutkan. Sebagai informasi, ia tipe orang yang tidak pernah suka dengan kekonyolan. "Kau kehabisan warna biru?"
Mungkin terdengar lucu. Sementara Baekhyun menyernyit tidak mengerti. Ia tentu tahu Kyungsoo bukanlah murid taman kanak-kanak yang tidak dapat membedakan banyak warna. Hanya saja, faktanya memang begitu. Lukisan itu bukan hijau dominan menurut Baekhyun, melainkan biru dominan.
Baekhyun yang terlihat bingung akhirnya mendekat ke arah lukisannya. Memeriksa lukisannya sekali lagi, dan mengizinkan Kyungsoo menatapnya dengan bingung saat ia bergumam, "Tapi ini biru, Soo."
Kyungsoo terdiam beberapa detik kemudian.
"Menurutmu ini biru?" tanyanya menunjuk salah satu bercak warna yang Baekhyun buat di lukisannya. Dan saat teman dekatnya itu mengangguk, Kyungsoo memilih meletakkan lukisan itu di atas meja. Rautnya pun berubah memucat.
"Mungkin saja aku salah, tapi─"
Baekhyun memiringkan kepalanya. Jikalau Kyungsoo bisa sampai berlaku aneh seperti sekarang, lantas apa yang sebenarnya salah dengannya? "Aku tidak mengerti, mengapa kau bisa bilang─"
Kyungsoo menggeleng. Rautnya sampai melunak menatapnya ragu. "Tidak apa. Kau bilang kau tidak punya banyak waktu, bukan? Maka pergilah."
"Soo?"
Ada sedikit jeda sebelum Kyungsoo menyentuh salah satu bahunya. "Baek, kunjungilah Minseok hyung jika kau sempat."
e)(o
Pada pagi yang lain, Baekhyun terbangun dari tidurnya. Mata beratnya mengerjab, mencuri secercah cahaya demi titik kesadarannya. Ia kemudian dapat merasakan kecupan selamat pagi yang diberikan Chanyeol beberapa detik yang lalu. Membuatnya terbangun, seakan mendengar alarm hidup.
Yang pertama kali dilihat oleh matanya saat itu adalah bayangan Chanyeol yang berbaring di sampingnya. Masih berbalut selimut dengan tubuh yang ia yakini sama sekali tidak berbalut kain sehelai pun. Sama dengan keadaannya.
Ia total tidak ingat bagaimana ia bisa berakhir seranjang dengan suaminya. Tertidur dalam pelukan si raksasa hingga pagi seperti ini. Entah, Baekhyun rasa ia terlalu lelah dan ia tidak perlu lagi bertanya mengapa. Karena nyatanya ia sudah mulai tidak wajar akhir-akhir ini.
Baekhyun beranjak dan mulai mencari keberadaan pakaiannya. Mengabaikan senyum Chanyeol yang belum─sama sekali─pudar menatapnya senang. Pria itu nyatanya masih memuja bagaimana tanda-tanda cinta itu menghiasi punggungnya semalam.
"Kau mabuk," mulai Chanyeol menjelaskan. Matanya yang bulat menatap awas setiap gerak-gerik Baekhyun dari kejauhan. Seakan mengawasi sang kekasih yang hendak menyeberangi jalan tanpa dirinya. "Remember, don't you?"
Baekhyun mengangkat asal potongan kemeja yang berserakan di lantai. Memasang kancingnya satu persatu tanpa perduli siapa pemiliknya. Mengenai alasan, ia sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi padanya semalam. Sungguh tidak ada sedikit pun niat di pikirannya untuk ingin tahu.
Karena jawabannya pasti lebih dari buruk.
"Ya, kita bertengkar," Chanyeol mendudukkan diri. Bersandar pada sandaran ranjangnya yang bisa Baekhyun sebut miliknya pula. "Lebih jelasnya, kau mabuk karena lukisanmu dan kau pulang mengajakku bertengkar."
"Lupakan─" potong Baekhyun tidak berminat menoleh.
Chanyeol tersenyum kelebihan lebar. "Tidak masalah, selagi kita berakhir seperti semalam."
Seolah tuli, Baekhyun pun dengan cepat beranjak dari sana. Selalu merasa tidak betah meladeni pembicaraan random yang Chanyeol bawa untuknya. "Mandilah, Yeol. Kau mau roti bakar? Kopi?"
"Anything's okay for me, dear."
e)(o
Baekhyun sama sekali tidak masalah jika dirinya selalu berakhir bergelut di dapur setiap pagi. Memasak untuk porsi dua orang setiap hari dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Karena memang sudah menjadi tugasnya sejak ia setuju untuk berbagi hidup dengan Chanyeol.
.
Chanyeol?
.
Entah bagaimana Baekhyun bisa setuju untuk mengiyakan permintaan besar pria itu dahulu. Permintaan yang disebut lamaran oleh banyak orang. Hingga ia akhirnya terikat dengan sebuah janji dengan Tuhan, walau ia mungkin tengah mengacaukan sendiri janjinya dengan Chanyeol di kapel tua itu.
Baekhyun mungkin sudah ingkar dan berbohong pada Tuhan bahwa bersedia menerima segala kurang dan lebih seorang Chanyeol. Berbohong pada rekan, keluarga dan temannya bahwa ia mencintai putra Presedir Park itu apa adanya. Berbohong bahwa ia menerima hidup barunya dalam suka maupun duka.
Karena nyatanya, hanya kosong yang dirasakannya.
Hatinya seakan mati. Sudah lama hatinya mati untuk sempat merasakan apa itu cinta. Hidupnya bahkan sudah terasa tidak berarti sejak awal. Apa pula yang selama ini dikejarnya di dalam hidup? Alih-alih melukis pun Baekhyun merasa hampa.
Bagai warna putih dan hitam. Tidak ada yang menarik setelah Chanyeol mencegahnya untuk mati karena melukai dirinya sendiri. Tidak ada, walau saat itu Chanyeol berjanji akan menjaganya dari putaran depresi yang selalu datang mengelabuinya. Menjanjikan banyak kata bahagia untuk menunjukkannya sebuah hidup yang diagungkan semua manusia.
Lalu bagi Baekhyun, menikah dengan Chanyeol mungkin adalah sesuatu yang tidak beralasan. Seperti ia tidak menolak untuk makan dan sekedar bernafas untuk hidup. Atau mungkin sebuah kebutuhan?
Kalaupun untuk sebuah nama besar yang menguntungkannya mungkin 'ya' jawabannya. Karena setelah ia menikah dengan Park Chanyeol, namanya semakin tinggi di dunia seni. Ia mampu mendirikan galeri pribadi, menjajarkan karyanya lengkap di tiap dinding, lengkap dengan pembicaraan di lembar-lembar kertas harian luar negeri.
Tapi untuk apa? Alasan Baekhyun untuk terus hidup saja kosong, apa yang harus ia harapkan dengan mimiliki Chanyeol di sisi?
Baekhyun membisu, namun selesai dengan mengangkat roti-rotinya dari toaster. Tidak lupa menyeduh kopi favorit Chanyeol. Sedangkan si pemesan kopi, nyatanya sudah lebih dahulu turun dan menyambutnya di meja makan. Wajahnya secerah mentari pagi dan bersiap mengatakan kata cinta yang banyak untuknya pagi ini.
"Apa yang ingin kau lakukan hari ini?" tanyanya terlalu manis sampai Baekhyun merasa mual.
"Galeri," jawab Baekhyun singkat. Tidak begitu perduli karena sesuatu yang megah seperti galeri sudah terlalu membosankan baginya.
Seakan mengerti, Chanyeol menggigit rotinya. "Akan ku antar."
"Aku akan menutup galeriku," sambung Baekhyun datar. Sedatar dinding putih gading di belakang punggungnya.
Chanyeol hampir tersedak mendengarnya. Terkejut saja. Bagaimana tidak, karena menurut pria itu, walaupun kiamat datang Baekhyun tidak akan pernah menutup galerinya. Kecuali ada sesuatu yang besar tengah terjadi. Seperti keluhannya semalam, mungkin.
"Kau sudah susah payah membukanya, kenapa tiba-tiba─"
"Aku bosan," gumam Baekhyun yang jelas didengar suaminya.
Chanyeol menyernyit. Mencoba mengiyakan namun sesuatu seperti itu terlalu segan untuk ia pahami. "Itu bukan alasan yang seharusnya aku dengar," ujarnya kemudian mencoba meminum kopinya yang masih mengepulkan uap panas. "Jadi itu alasan mengapa kau mabuk semalam?"
Baekhyun menegakkan kepalanya. Tatapannya lalu tajam menusuk kalbu Chanyeol di seberang meja. "Aku sudah bilang padamu untuk melupakan apa yang terjadi semalam."
Alhasil Chanyeol meletakkan cangkir kopinya. Menautkan jemarinya lelah, sesekali menatap keluar jendela. "Baek, menurutmu aku ini siapa?"
Baekhyun memainkan ujung sendok dalam gelas susunya. Menjeda beberapa saat seakan berpikir untuk memilah jawaban yang paling tepat. "Teman," kemudian jawabnya.
"Teman?" toleh Chanyeol tidak percaya. Ia sedikit terkekeh geli. Tentu saja merasa jenaka pada jawaban suaminya setelah mengingat sosok itu semalam mengagungkan namanya. "Aku ini suamimu, Baek. Kita sudah menikah hampir satu tahun lamanya."
"Suami?" Kini biarkan Baekhyun yang terkekeh menangkap Chanyeol dalam manik hitam jelaga miliknya. "Pernikahan itu ikatan antara dua jiwa. Pria dan wanita. Suami dan istri. Lalu aku ini apa? Suami pula?"
Chanyeol tersenyum getir. Merasa kehilangan, karena tidak lagi menemukan binar bulan sabit indah favoritnya. "Apa mabukmu belum hilang?"
"Jujurlah, kau juga pasti akan keberatan jika aku panggil istri." Baekhyun pada akhirnya meminum isi gelasnya yang mulai mendingin. Meredakan tawanya yang kian hilang dari pagi. "Aku bahkan berpikir, pernikahan di antara kita ini mungkin sebuah lelucon."
Chanyeol menyandarkan punggungnya di kursi. Mencoba tetap tenang walau mungkin hatinya kini koyak menganga lebar. "Baek, kita baru saja setuju untuk melupakan apa yang terjadi semalam. Jadi jangan lagi ungkit pertengkaran kita."
"Aku benar-benar lelah, Chanyeol" keluh Baekhyun yang kemudian beranjak dari kursinya. Meninggalkan Chanyeol yang sepertinya sudah tidak memiliki keinginan lagi untuk sekedar menyantap sarapannya.
"Aku tahu." Dan si tinggi hanya bisa menatap cangkir panasnya ketika Baekhyun menghilang.
e)(o
HEARTLESS
Pagi Baekhyun kadang secerah mawar kecil yang mekar di dekat jendela. Memberinya warna seindah goresan cat yang selalu Baekhyun bubuhkan dengan kuasnya. Begitu pun halnya dengan pagi Chanyeol, merdu suara burung yang bertengger di dahan kecil kadang mengiringi melodi indah yang Chanyeol buat dengan bilah pianonya.
Chanyeol mungkin tidak absen menarikan jemarinya pada tuts piano besar di dekat jendela. Berhasil menguasai melodi pagi, hingga tidak ada satu pun suara selain dari jerih permainannya. Sesekali kepalanya menoleh ke arah sosok yang masih terdiam di kursinya. Masih diam dalam lautan imajinasinya, tanpa perduli seburuk atau seindah apa permainan pianonya.
Sosok itu begitu bersinar diterangi cahaya pagi. Wajahnya selalu indah saat Chanyeol menatapnya. Dan menjadi yang terindah kala wajah itu lupa dunia karena tengah dihadapkan dengan kuas dan kanvasnya. Maka sebuah nada akan tercipta dengan jemarinya. Yang menjadikannya melodi indah, yang memuji dan memuja setiap inci dunianya.
Karena mungkin, Chanyeol selalu menjadi yang paling jujur mengatakan bagaimana hatinya mencintai Baekhyun─lebih dari segalanya. Walaupun nyatanya, mungkin hanya ia yang selalu merasa begitu.
Baekhyun menoleh kala permainan piano itu berhenti dengan Chanyeol yang beranjak dari kursinya. Mata bulan sabitnya mengerjab sesekali saat harus bersibobok dengan bening milik Chanyeol.
Chanyeol tersenyum mendekatinya dan Baekhyun tidak akan bisa melarikan diri walaupun ia sangat ingin. Sebut menghindar, dan Chanyeol berhasil mendekapnya ke dalam pelukan hangat. Diciumnya puncak kepala itu kemudian disentuhnya pelan pipi Baekhyun yang selalu sehalus kapas.
Karena bagi Chanyeol, mungkin tidak masalah mencintai sendiri. Dan Chanyeol tidak masalah jika hanya ia yang merasa jatuh cinta. Asalkan Baekhyun selalu berada di sisinya, selalu menjadi miliknya. Itu lebih dari cukup.
Lalu Chanyeol menjadi tidak akan bosan jika ia berharap suatu hari Baekhyun akan mencintainya. Entah terlambat atau waktu yang semakin usang, tidak masalah baginya.
"Aku akan pulang terlambat malam ini," bisik Chanyeol mesra di telinga Baekhyun. Ia melangkah menuju pintu. Disusul Baekhyun yang diam-diam sudah mengekori langkahnya. Suatu rutinitas Baekhyun ketika suaminya pamit untuk pergi.
"Aneh," bicara Baekhyun di belakang.
Chanyeol pun berhenti, membiarkan Baekhyun mendahuluinya.
"aku tidak pernah suka permainan pianomu. Tapi permainanmu kali ini sangat mengesankan─" Ia menjeda sebentar, "dan aku menikmatinya."
Chanyeol tersenyum ketika pintu rumah mereka dibuka oleh suaminya. Tubuh mungil itu berdiri di sisi pintu tanpa mendongak menatapnya. Sosoknya lalu menggaruk kepala kikuk, semenjak tidak nyaman diperhatikan.
"Apa?" tanya Baekhyun mencoba menepis hening yang menyusup.
Chanyeol mengusak surai halus itu sekali lagi. Merasa gemas sendiri dengan sikap tak tertebak milik suaminya. "Terima kasih."
Tapi sebelum Chanyeol melangkah keluar pintu, Baekhyun menahan lengannya. "Kau lupa hadiahmu."
Chanyeol berkedip tak mengerti. Ia bahkan mengabaikan ponselnya yang menjerit di saku. Karena mendengar Baekhyun adalah jauh lebih penting. Karena baginya, Baekhyun selalu menjadi yang terpenting dalam urusan hidup dan matinya.
Lengan kecil itu menarik dasi yang mengalung di kerah kemejanya. Kakinya berjinjit menggapai tinggi badannya. Dan Chanyeol semakin tertunduk mendekati wajah itu. Menatap lekat hazel yang menangkap seluruh getaran di dadanya. Tanpa tahu bahwa Baekhyun juga sangat gugup menerima senyumnya.
"Jangan sungkan saat kau ingin sebuah hadiah."
Dan pagi itu, Baekhyun bilang, kecupan manis itu adalah hadiah atas permainan pianonya. Lalu Chanyeol bersumpah, tidak akan pernah lupa akan manisnya hadiah Baekhyun untuknya.
.
.
.
.
.
TBC
.
.
.
.
.
Aku pikir kalian akan pusing membacanya.
Di luar hujan, perasaan lagi random, abis itu keputer 'Yiruma – River Flows in You', lalu terciptalah sebuah tulisan semerawut ini :D Just twoshot kok.
Untukmu yang menemukan ff ini, mohon untuk tetap meninggalkan jejak (Review/favorite).
Thank you,
