"Mereka mendendangkan lagu sedih, bukan untuk mengurai isi hati–
namun untuk mengadu kasih, dalam senja yang abadi."
.
.
.
Please Enjoy to Read!
.
.
.
Erste - von Augburma
Author's POV
Takdir umat manusia bukan sekedar berada dalam sangkar bertajuk tembok dan menggantung nasib pada satu pasukan konyol yang berlagak siap mati untuk perdamaian dunia.
Bukan.
Takdir manusia lebih dari itu.
"Kita maju untuk umat manusia." Cih. Levi tidak suka. Ia tidak suka kalimat penjilat seperti itu. Manusia bukanlah makhluk penuh solidaritas yang akan melakukan satu hal paksa dengan resiko nyawa hanya untuk kata bebas.
Tapi seniornya ini entah kenapa begitu menyukai ideologi kuno perdamaian yang terucap manis dari bibir tipis sang komando pasukan.
Namanya Erwin Smith. Dan sejak awal ia adalah sang yin dari yang seorang Rivaille.
.
.
The Crime of Satisfactory
Story & OC'sNakashima Aya
Attack on Titan © Isayama Hajime
[There's no profit we gain from this fanfiction]
Genre : Fantasy, Friendship, Family, Angst, Romance.
Warning : Multi-chap, Typo(s), OOT, OOC, Levi x OC
.
.
"Aku pergi, Ayah."
Ia menutup erat pintu depan rumah keluarganya. Selesai sudah. Semua akan berakhir dan sudah waktunya berakhir.
Tangannya yang kaku dan dingin dengan ragu memberikan kunci berlapis perak itu pada pria paruh baya di sampingnya–yang tersenyum penuh dusta dan sok suci–sembari membalas senyum yang terlontar. Pria itu menyukainya, ia menyukai keadaan yang dialami gadis ini. Mengapa? Karena itu mendatangkan uang untuknya, tentu saja. Ia tidak akan munafik. Gadis itu bodoh karena mau menjual rumah besar dan mewahnya itu seharga satu hektar tanah penuh beton yang gersang.
Gadis bodoh.
Tapi pria tua itu lebih bodoh lagi. Karena merasa bahwa membodohi seorang gadis belia adalah hal yang benar. Sampah.
Sang gadis tidak berniat membawa kenangan buruk dalam dirinya lebih lama lagi. Berada di rumah itu seorang diri hanya akan semakin memberi tensi buruk dalam dirinya. Ia harus melanjutkan hidup, dan rumah itu adalah penghalangnya untuk beranjak pergi.
"Senang berbisnis dengan ada, Miss Augburma."
"Ya."
Dengan membawa satu buah tas kulit kuda di punggung, gadis itu berjalan membelakangi rumah yang menaunginya selama 19 tahun hidupnya. Waktunya pergi dan melanjutkan apa yang sudah ia tinggalkan selama 12 bulan terakhir ini.
Namanya Genovefanadja von Augburma, dan hari ini adalah resmi ia melepas kata 'von' dari hidupnya. Ia adalah Genovefanadja dan hanya Genovefanadja.
.
.
.
3 years later–
"Oh, Nadja-chan, ohayou!"
"Ohayou, Azuma-san."
Senyum merekah tatkala ia membuka keranda rumah susun yang ia tempati. Ini adalah tahun kedua ia bekerja di panti orang tua yang kini berada dalam jangkau jejak kakinya.
Dan dalam 500 hari ini pula, ia berhasil menamatkan sekolah kedokterannya.
Jika ia boleh berkata, jauh dalam hati kecilnya, ia ingin membangun kembali usaha Augburma yang gugur 5 tahun yang lalu. Keluarganya adalah pengusaha obat herbal sukses–yang mampu naik pangkat menuju kebangsawanan hanya dalam satu generasi dan memiliki teritori kepemimpin sendiri di sebuah distrik kecil di sudut tembok. Ia bisa. Sangat bisa untuk kembali ke jalan yang sama.
Tapi, apa gunanya? Toh ia bahkan sudah membuang namanya. Ia kini hanyalah seorang pengurus muda panti bernama Nadja.
Mungkin Nadja terlalu dini untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kala itu hingga keluarganya hancur lebur tak bersisa. Namun kini ia tahu, ia tahu semuanya, ia mengerti segalanya. Dan mengulangi hal yang sama untuk kedua kalinya adalah sebuah kebodohan.
"Kau benar-benar akan melakukannya?"
Nadja mengangguk. Ia tersenyum. Manik hijaunya menatap langit tanpa batas, mencoba paham apa yang tertulis dari guratan awan di atas sana.
"Nad-chan, umurmu masih terlalu muda untuk melakukannya. Kenapa tidak di sini saja untuk dua-tiga tahun ke depan?"
Tidak bisa.
Nadja tidak akan sekuat itu.
Hatinya tidak terbuat dari baja. Dan luka yang tergores sejak lama masih pula membekas hingga detik ini, tidak berkurang barang satu gurat pun.
Sayang, dunia tidak bekerja seperti seorang pahlawan tanpa tanda jasa, mereka licik, kejam, dan siap menghujammu kapan saja. Ya. Seseorang pernah mengatakan ini padanya.
"Aku terlalu … tidak bisa. Aku hanya tidak bisa."
Wanita tua itu tidak bodoh. Ia tahu ada luka parau yang dalam dari diri sang gadis. "Lalu, kenapa harus ke sana? Kenapa harus seorang dokter perang?"
'Karena di sana tidak akan ada yang peduli dan merasa sedih jika aku menghilang.' Namun tidak sekalipun kalimat itu terucap dari bibirnya. Nadja terlalu hampa untuk sekedar berkata jujur.
"Karena di sana, adalah tempat aku dibutuhkan."
Ya. Nadja. Genovefanadja. Mulai hari esok akan bekerja menjadi seorang dokter khusus Survey Corps.
.
.
.
Kerutan terlihat jelas di dahi sang pemuda. Hari ini resmi ia bekerja sebagai komandan pasukan kebebasan, tapi sampai detik ini pula ia masih tidak paham kenapa harus dirinya yang menjadi komandan?
Hanji Zoe, kawan seperguruannya, jauh lebih mampu dan lazim untuk menjadi pemimpin daripada dirinya yang penuh kecacatan ini. Namun tentu saja, wanita aneh itu lebih memilih untuk bekerja di balik laboratorium daripada harus memimpin banyak orang dan melakukan hal-hal yang tidak disukainya.
Jalanan distrik Greust hari itu agak ramai, seperti yang selalu terjadi tiap tahunnya pada hari 20 bulan ketiga. Hari perayaan ternak untuk distrik kecil wall rose itu.
"Jadi, khusus untuk hari ini kita diminta untuk membantu polisi militer dan berjaga di areal perayaan? Kenapa mereka harus memberikan tugas mereka pada kita? Menyebalkan."
Memang bukan hal yang lazim, tapi setiap tahun hal ini menjadi salah satu agenda wajib untuk Survey Corps. Dan setiap tahun pula para junior akan mengeluh dan membicarakan hal ini. Levi lelah mendengarnya, tapi toh itu juga yang dulu ia pertanyakan di tahun pertamanya menjadi anggota.
"Mereka melakukannya lagi ya, para junior."
Levi mendengus. Hanji tertawa di sebelahnya–mungkin mengingat bahwa dulu mereka juga seperti itu–sembari masih mencekal kacamata yang bertengger di atas kepalanya.
"Sebaiknya mereka cepat-cepat terbiasa dengan hal ini." Ujarnya tanpa mengubah posisi kedua tangannya yang bersendekap di depan dada.
Suasana keramaian bukanlah hal yang menyenangkan untuk Levi, bukan juga hal yang ia benci. Hanya saja, jika ia boleh memilih, Levi lebih suka berada di tengah-tengah orang yang sudah ia kenali. Karena itulah ia lebih memilih harus bersama dengan Hanji yang berisik daripada berkeliling dengan anggota baru layaknya ketua yang baik. Toh ia tidak meminta menjadi ketua, Erwin dan orang-orang aneh lainnya yang memilihnya.
Confetti bertebaran, mengotori jalanan. Levi benci sesuatu yang kotor dan tidak rapih.
"Ha! Kau menggunakan ekspresi itu lagi!" Hanji kembali membuat Levi berkerut. "Hah?"
Hanji tahu Levi tidak suka kerusuhan, dan kini di depan matanya hanya ada rusuh dan tidak rapi, tentu saja ekspresi Levi begitu menggelikan saat ini.
"Kau selalu berwajah seperti itu setiap tahun, Rivaille–ehem, Korporal Muda Rivaille, maksudku." Hanji mengejek, toh sang pria muda itu memang baru beberapa hari kebelakang diangkat menjadi seorang korporal pasukan tersebut.
"Terserahmu saja."
DRAPP–DRAPP–
Suara pacuan kereta kuda membuat keduanya menoleh menuju sumber suara dan mundur beberapa langkah, menjaga jarak agar tidak tertabrak.
Seorang pria tua dan istrinya duduk di sana, melambai dengan konyol seraya membiarkan anak-anaknya menebar bunga di sepanjang jalanan.
Para bangsawan.
Keluarga yang menjadi pemilik distrik ini. Sudah hal yang lazim untuk distrik-distrik kecil seperti ini dikuasai oleh satu keluarga bangsawan dari generasi ke generasi. Merekalah yang bertugas mengatur perekonomian di distrik tersebut serta menyetorkan upeti kepada kerajaan.
Setiap tahun juga Levi selalu melihat pemandangan yang sama ini, sang pemilik tanah yang berjalan dengan kereta kudanya sembari tersenyum lebar dan memamerkan tangannya yang berbalut perhiasan emas.
Haah, Levi bosan. Ia ingin duduk di kediamannya dan meminum secangkir kopi.
Suara hiruk-pikuk kota ditambah dengan ledakan tawa dari penduduk distrik membuat sang corporal muda memutuskan untuk angkat kaki sejenak dari tempat tersebut, memilih untuk menepi dan membiarkan bawahan-bawahannya melakukan pekerjaan konyol mengawasi festival ini.
Lorong-lorong yang ia lewati terlihat sepi; jika saja ia masih menjadi seorang bajingan, tempat-tempat ini akan menjadi ladang uang favoritnya. Tentu saja, toh semua orang kini sedang keluar dari rumahnya dan pergi menikmati festival meriah di sentral kota. Guratan keriput di dahinya mengkerut bersamaan dengan kedua iris yang berkilat tajam ketika melihat seorang dengan jubah panjang tengah berjalan melewatinya, tepat di hadapannya, di lorong kecil ini.
Pemuda itu bisa mencium semerbak aroma lily bercampur dengan roti hangat.
'Wanita?' dibalik jubah itu, Levi bahkan tidak mampu mengenali jenis kelamin seseorang. Mencurigakan.
.
.
.
Tempat ini hangat. Terlampau hangat. Hangat dalam artian yang buruk, menurut Nadja.
"Haah–" bahkan ketika hanya helaan nafas yang mampu keluar dari bibirnya tidak mengubah pandangan Nadja bahwa 'ini' bukanlah tempatnya.
Sudah sejak lama pesta dan keramaian tidak lagi menjadi tempatnya berasa. Sudah sangat lama. Dan Nadja sudah lebih dari terbiasa untuk berada dalam kesendirian, terutama di musim-musim seperti ini.
Ia memacu kedua kakinya untuk memasuki lorong-lorong kota dan menjauh dari keramaian, memilih untuk beradu dengan kegelapan kota daripada harus memenuhi dirinya dengan rasa muak di luaran sana. Lorong demi lorong ia lalui tanpa ia tahu ke arah mana sebenarnya ia berjalan, toh sepertinya orang (atau tempat) yang ia cari sedang dalam posisi tidak bisa menerimanya.
Saat itulah ia melihatnya, seragam itu. Survey Corps.
'Haruskah aku?' batinnya dilema, satu detik mengatakan iya tapi detik berikutnya berkata tidak. Setelah diam beberapa saat gadis itu memilih untuk berjalan, melewatinya, tanpa mengucap apapun.
Belum waktunya bagi Nadja untuk sok mengakrabkan diri dengan orang lain, apalagi dengan orang yang terlihat berwatak buruk dengan wajah ditekuk itu. Ia mendekap jubahnya semakin erat, merasa tidak aman dengan entah siapapun di sana. Toh pasukan kebebasan itu luas, hanya sebuah kebetulan yang akan membawanya berada dalam satu barak yang sama dengan pria berseragam yang ia lewati itu.
Kedua tangannya memeluk erat jubah yang ia kenakan, dan ia berjalan melewati prajurit itu. Masih satu hari lagi sebelum gadis dengan surai kemerahan kusam itu harus pergi bekerja, dan ia ingin hari terakhirnya menjadi sedikit tenang dengan tanpa ada gangguan apapun–terutama dari orang yang kemungkinan besar akan menjadi rekan kerjanya.
'Kenapa aku mendadak merasa risau?' Ia tidak menyukai perasaan ini. Dimana dadanya bergemuruh, darahnya berdesir, dan dingin yang ia rasa di sekujur tubuhnya. Ini sama seperti yang tiga tahun ini ia alami di wiswa orang tua dan barak perawatan. Ini sama seperti ketika ia tahu seseorang … akan meregang nyawa.
BRUKK–
"KYAAAA!" Nadja sontak menoleh, kembali ke kesadarannya dan berlari mengikuti sumber suara. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia akan sangat benci jika apa yang ada dalam benaknya ini benar.
Dan semua itu terjawab bersamaan dengan langkah kakinya yang terhenti dengan begitu tiba-tiba.
Seorang wanita. Terduduk dan menangis dengan memeluk lengan bagian atasnya.
Seorang pria. Tergantung tepat di balkon bangunan ortodok. Tanpa kesadaran. Dengan tali yang seakan bisa putus kapan saja.
"Madam," Nadja membuka tudung jubahnya, menepuk perlahan tubuh wanita paruh baya itu, "Tolong tenanglah."
Nadja kembali berlari. Masuk kedalam bangunan tua tanpa penghuni itu, ia bahkan tidak melihat satupun perabotan yang mumpuni di dalam sana. Urgh, dan kenapa pula ia masih merasa mual dan sesak di dadanya? Nadja sungguh membenci perasaan ini. Tapi justru itulah yang membuat Nadja tetap berusaha memacu dirinya untuk terus berlari.
Kedua kakinya terus memacu menaiki satu demi satu anak tangga, lantai pertama, kedua, ketika, hingga lantai dimana balkon itu berada. Nafasnya tersengal dan ia tahu bahwa wajahnya pasti kini membiru–sejak dulu Nadja memang tidak terlalu baik dengan hal-hal yang bersangkutan dengan fisik–namun ia tetap harus secepatnya menarik pria itu sebelum mayatnya jatuh ke bawah.
Krrtt–krrtt–
Ia bisa merasakannya.
Untaian tali itu semakin menipis, dan akhirnya terlepas sebelum Nadja mampu menangkapnya. Dan pria itu jatuh mencium tanah.
'Sial.'
BRUAKK–
"Berhenti dan jangan bergerak!" Uh oh. Pemuda berseragam itu disana, melihatnya dengan pandangan yang tidak mengenakkan, dan Nadja tahu ia berada di situasi yang buruk.
.
.
.
Dia seorang perempuan, ternyata.
"Setidaknya biarkan aku melihatnya dulu!" ia bersikeras. Padahal Levi sudah dengan jelas melihatnya berada di lokasi kejadian, apa lagi yang bisa diperjelas?
"A-Anoo, nona itu … ia hanya … ia tidak bersalah." Nadja menghela nafas lega. Setidaknya wanita itu memang melihatnya dengan benar. Dan berani bersaksi untuknya.
Bahkan dengan tubuhnya yang bergetar hebat dan bagaimana gesture tangannya memeluk dan menutup lengan bagian atasnya, wanita ini masih membelaku.
Rivaille melirik pada gadis bersurai kemerahan di hadapannya. Untaian cerahnya itu terlihat lepek oleh keringat, pun dahinya yang basah dan pupilnya yang terlihat lelah. Sejujurnya Rivaille sendiri juga tahu bahwa gadis itu berlari setelah teriakan terdengar, maka bisa dipastikan ia bukan tersangka. Well, ia hanya melakukan apa yang biasa dilakukan seorang pejabat keamanan sewajarnya.
'Kenapa juga hal seperti ini harus terjadi saat ada festival menyebalkan itu?' Levi benci ini. Toh perkara pidana-perdata seperti ini adalah tugas polisi militer, bukan tugasnya sebagai prajurit kebebasan. Inilah mengapa Levi sangat menghindari penugasan dalam kota, ia tidak suka hal-hal yang runyam dan menyebalkan seperti ini.
Nadja bisa melihat pemuda itu menghela nafas, "Setidaknya tetaplah disini sampai polisi militer tiba."
Ia hanya bisa diam. Walaupun dadanya masih terasa sesak dan tidak nyaman. Ada sesuatu yang terlewatkan, dan ia tidak tahu apa itu. Ruangan tempatnya bernaung sekarang juga bukan yang terbaik, ia tidak bisa melihat keluar, pun ia tidak bisa melihat korban; walaupun Nadja sungguh sangat ingin melirik apa yang terjadi padanya. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang Nadja tahu salah namun ia tidak bisa memahami.
KRIETT–
"Rivaille," Levi menoleh, mendapati Hanji di ambang pintu dengan wajah seriusnya yang sejujurnya sangat jarang ia lihat. "Ada korban kedua, di tempat yang sama."
"Hah?"
"A-Apa?"
Bersamaan. Levi melirik singkat gadis itu. Lalu kembali berbicara pada rekan kerjanya dengan tangan bersilang di dada. "Pria?"
"Wanita. Ditemukan di salah satu ruangan dengan pisau di punggung bawah bagian kiri. Tusukannya tidak vital, namun karena ia terlambat ditemukan, wanita malang itu kehilangan terlalu banyak darah dan berakhir meregang nyawa sebelum ada yang menemukannya."
Hanji Zoe, wanita berkacamata itu, salah satu petinggi survey corps yang sudah tersohor dimana-mana. Nadja mengenalnya, bukan, lebih tepatnya mengetahui tentang kisah heroiknya dengan para titan. Sang gadis menggelengkan kepalanya cepat, tidak, tidak, itu bukan hal yang seharusnya ia pikirkan sekarang. Ada korban lain, entah sebelum atau sesudah mereka menemukan pria malang itu.
"Oy, Levi," Nadja kembali tersentak, merasakan kedua personil berseragam itu menatap penuh padanya, "Bukankah itu berarti kau sudah punya tersangka disini?"
Oh tidak...
"T-Tunggu, aku bahkan baru sampai ketika wanita itu berteriak–" Nadja bahkan belum menyelesaikan kalimatnya ketika sang kapten memotongnya mentah-mentah, "Kau masuk ke dalam sana. Cukup untuk sekedar menusuk dengan pisau dan kembali keluar seakan kau berniat menolong korban pertama."
Tidak terima, Nadja berdiri, bahkan dengan berani menatap pria di hadapannya tanpa ragu, "Aku bahkan tidak punya cukup waktu untuk menarik tali yang melilit leher korban pertama dan kau menuduhku melakukan penyerangan buta pada korban kedua?"
"Hee, menarik." Ia tersenyum, bukan, sebuah seringai lebih tepatnya. Ugh, Nadja benci melihatnya. "Lalu jelaskan bagaimana caranya ada korban kedua sedangkan tempat itu telah dijaga ketat pasukan keamanan sejak ditemukannya korban pertama."
Hah?! Memangnya dia pikir Nadja adalah esper sehingga bisa menebak hal yang tidak ia lihat.
Kedua netra tajamnya hanya mampu untuk tetap menatap lurus pada sang pria bersurai gelap, toh hanya itu yang bisa ia lakukan. Setidaknya tidak ada penjahat yang berani terus menatap mata lawan, dan ia bisa melakukannya karena ia yakin tidak bersalah. Hey, Nadja adalah seorang dokter. Dan tidak ada satupun dokter waras di dunia ini yang akan bermain-main dengan nyawa.
"Menyerah?" Levi mengangkat alis, menolak untuk membuang muka atas tantangan sang gadis.
"Aku akan membuktikan." Nad menarik nafas, berdiri tegak, "Akan kubuktikan bahwa bukan aku pelakunya."
Bibirnya tertarik ke atas.
'Menarik,' gumam sang pria.
.
.
.
To be continued
