"Hentikan itu," ketus Toneri. Ekpresi wajah berubah malas saat mengkritik, "Kebiasaan seperti itu … aneh …, kau tahu?" Berhubung dua orang ini adalah teman karib yang sudah berteman lebih dari sepuluh tahun, Toneri tidak mungkin melewatkan kebiasaan aneh Naruto ini.

Siapa yang membeli cangkir yang menjadi bahan rebutan dua puluh orang hanya untuk dipecahkan? Dilayangkan bagai bola dan dihantam dengan pemukul? Tidak ada, kecuali Naruto seorang! Naruto memang kaya raya tujuh turunan, tapi tetap saja tidak bisa membenarkan kebiasaan anehnya.

Naruto tidak menjawab. Dia mengendik bahu dengan tampang heran dan kemudian menggeleng kecil. Kebiasaan bukan sesuatu yang mudah dirubah. Umur Naruto hanya enam tahun saat dia mulai mencuri koleksi vase bunga kesayangan sang ibu dan menghancurkannya.

"Ayo pergi," ajak Naruto setelah melirik jam yang melekat di tangan kanan, bersembunyi di balik jas. "Kita ada meeting," tambahnya.

"Ayo." Toneri menghabiskan minuman terlebih dulu sebelum bangkit untuk menyusul sang atasan.

.

.

.

Disclaimer : Demi apapun, Naruto bukan punya saya, punya Masashi Sensei, saya hanya pinjam saja.

Trap By Bad(ie)

(Hati hati typo, tulisan mendadak hilang, OOC, AU dan lain-lain. Udh usahain sebagus mungkin)

Trap By Bad(ie) by Authors03

Please ... dont like, dont read ... thanks.

.

.

Chapter 03

Jam sepuluh malam menandakan café akan tutup. Tapi Hinata harus menghadapi sesuatu yang menyebalkan yang paling dia benci selama bekerja yaitu, pelanggan memasuki ruangan.

Dapur sudah bersih tanpa noda, meja sudah dilap dan kursi sudah dinaikan. Lampu sudah dimatikan, tapi pelanggan itu sama sekali tidak peka. Dia menurunkan kursi sendiri dan menghempas bokong di sana layaknya orang tidak berdosa.

'Sebagai pekerja yang baik, kita hanya akan pulang setelah semua pelanggan minggat.' Sebagai pekerja profesional, Hinata tidak mungkin melupakan nasehat dari sang atasan. Tapi di dalam kasus ini, toko sudah 99 persen tutup. Apakah tidak ada pengecualian?

Baik, mari buat pengecualian hari ini karena Hinata lelah, jangan lupa kalau ia bekerja sendirian sepanjang hari. Hal yang wajar mengusir pelanggan dan melanjutkan acara menutup toko, bukan?

Secarik senyuman ramah hadir di bibir sebelum Hinata menuju meja sang pelanggan yang sama sekali tidak masalah terduduk di dalam kegelapan. Gadis itu dengan sopan berkata, "Pak, kami sudah tutup. Silahkan kembali besok."

Sangat sopan. Dengan suara manisnya, lelaki itu seharusnya malu, sadar diri dan segera minggat. Tapi telunjuknya malah mengacungi tempat pajangan yang terletak di belakang meja kasir, biasanya digunakan untuk menempelkan foto atau beberapa note penyemangat.

Mata sang tamu memicing tajam, seolah-olah mencoba membaca salah satu tulisan dinota yang tertempel. "Kami tidak akan tutup sebelum semua pelanggan tercinta kami pulang."

Mata Hinata terbelalak. Ingin menangis, tapi bibir tetap harus menyunggingkan senyuman ramah. 'Bagaimana mungkin dia bisa melihat nota super kecil yang ditempelkan oleh bos itu?' Hinata berpikir keras, tidak menyangka ia bisa sesial ini dipertemukan dengan pelanggan yang sama seperti pagi tadi. Dia yang membuang kertas menu hanya karena Hinata dianggap lamban bekerja.

"Tapi, Pak-"

"Capucino panas satu," pesan Naruto dengan mengabaikan eluhan Hinata. Pada akhirnya, gadis itu tidak punya pilihan lain selain menurut dan kembali ke dapur yang sudah gelap, tertutup dan terkunci!

Menyalakan lampu, memasak air panas hanya demi satu gelas minuman.

Naruto tidak dapat duduk dengan tenang di dalam café yang tidak dinyalakan lampunya. Dia celingak-celinguk sebelum memutuskan untuk mengintip ke dapur, dari pintu yang tidak ditutup sepenuhnya.

"Lama sekali!" gerutu Hinata, mata tidak lepas dari api kompor yang memanaskan sedikit air di atas panci dengan sangat lamban.

Tidak usah menunggu! Hinata ingin segera menghidangkan agar pelanggan itu puas dan pulang. Tangan diayun dan mata Naruto terbelalak. Dia bergegas menutup mulut yang mengangga lebar tanpa aba-aba.

Tongkat yang sebelumnya sempat Naruto pegang muncul secara ajaib di tangan gadis itu. Sekali lagi ayun, secangkir capucino panas sudah terhidang di atas meja, lengkap dengan tapak berwarna senada.

Hinata mematikan kompor dan tersenyum. "Easy peasy," gumamnya senang. Tongkat dilempar tinggi. Dengan mata kepala sendiri, Naruto menyaksikan benda itu menghilang, lenyap begitu saja tanpa jejak.

Menyadari Hinata yang akan keluar, Naruto bergegas lari kembali ke tempatnya duduk.

Lampu menyala saat kontak di dekat meja kasir ditekan. Hinata bisa melihat surai kuning itu lebih jelas, dia mendekat dan secangkir capunio dihidangkan dengan senyuman manis.

"Silahkan," ucap sang pelayan. Dia berniat pergi untuk duduk dan termenung sampai sang pelanggan pulang, tapi tangannya malah ditarik.

"Tunggu!" pinta Naruto tanpa aba-aba. Dia menatap tangan yang ia genggam dan kemudian menyusuri sang empu sampai ke mata yang sudah menatap.

"Ada yang bisa aku bantu, Pak?" tanya gadis itu. Dia menatap tangan yang akhirnya mau dilepas setelah dari tadi ia tarik tanpa henti.

"Aku perlu palu," kata Naruto tiba-tiba.

"Palu?" Hinata tidak paham pada apa yang disinggung secara mendadak. "Kau perlu palu?" Alat yang biasanya digunakan untuk memukul paku, mengapa? Heran gadis itu.

Naruto menunjuk pinggir meja, tepatnya salah satu paku yang berjejer rapi. Paku itu sedikit, benar-benar sedikit tidak terpukul dengan baik. Hinata sampai harus menunduk dan menatap sangat dekat agar bisa menyadari kesalahan itu.

"Aku tidak bisa minum jika mejanya seperti itu!" ungkap sang pelanggan, tapi Hinata tidak ada waktu untuk bercanda seperti ini. Hinata ingin segera pulang dan mandi!

Main curang, itu adalah apa yang otak bisikkan. Hinata meletak tangan kiri di balik punggung dan tongkat ajaibnya muncul di sana. Tangan kiri menjentik di depan wajah sang pelanggan dan lelaki itu langsung jatuh tak sadarkan diri.

"Maafkan aku, ini karena kau terlalu cerewet," sesal Hinata. Sungguh menyesal, tapi apa boleh buat? Dia menarik menjauh cangkir yang hampir saja pipi itu tabrak saat jatuh ke atas meja.

Niat Hinata adalah menyimpan cangkir kembali ke dapur dan meletak sang pelanggan di luar café, tapi sesuatu yang mustahil terjadi, terjadi tepat di depan wajahnya.

Lelaki yang seharusnya tidak bangun sebelum tiga jam itu membuka mata. Hinata terlalu terkejut untuk bisa menyadari tangannya yang menyelip, merebut sesuatu yang bersembunyi di balik punggung.

"Aku tahu benda ini nyata!" syok Naruto. Dia tersenyum senang menyaksikan sendiri benda yang sebelumnya lenyap entah ke mana. Naruto hanya menjadi bersemangat karena otak ini ternyata tidak gila. Ia dengan sengaja datang malam-malam hanya untuk membuktikan, usahanya tidak sia-sia.

"Bagaimana mungkin kau bangun?" Hanya hal itu yang memenuhi kepala Hinata. Magicnya tidak pernah gagal sebelumnya apalagi jika yang terkena adalah seorang manusia, itu sebab dia gagal loading.

"Biar aku yang bertanya." Naruto memamerkan tongkat itu sebelum bertanya, "Benda apa ini?" Tongkat diayun karena Naruto tidak sabar menunggu jawaban.

"Jangan diayu-kyaaaah!" Tubuh Hinata terpental kuat sesuai dengan gerak benda itu, kanan dan kemudian kiri. "Akh!" Tubuh gadis malang itu terjatuh menghempas lantai, sama seperti tongkat yang lepas dari tangan Naruto.

"Apa … yang baru saja terjadi …" Syok Naruto dibuat keajaiban atau keanehan yang mata ini saksikan.

TO BE CONTINUE

Laparrrrrrrrrrr alright guys, semoga suka. Maap kalau tidak bagus, tapi semoga bisa ngisi waktu luang.