Chapter 3. Pertemuan Pertama
Jarum pendek jam dinding bergulir perlahan menunjuk pada angka tiga di sore hari yang sedikit berawan. Sejuknya semilir udara membawakan suasana yang sangan tepat untuk bermalas-malasan pada sore hari itu. Sangat menyenangkan bagi orang-orang yang tidak memiliki acara untuk tidur siang menikmati indahnya hari libur.
Bahkan untuk seorang Halilintar yang jarang sekali tidur siang. Momen yang sangat tepat untuk bersantai itu dimanfaatkan oleh Halilintar untuk tidur-tiduran di atas ranjangnya. Tidak perlu AC untuk mendinginkan udara pada sore hari itu, cukup sebuah kipas angin saja yang membawa udara sejuk menerpa tubuh Halilintar. Pilihan busana berupa kaus armless yang dipakai Halilintar pun cukup mendukung untuk menemaninya bermalas-malasan.
Seiring dengan bergulirnya jarum detik pada jam dinding kamarnya, kedua kelopak mata Halilintar pun terasa semakin berat. Bersamaan dengan mengatupnya kelopak matanya, kesadaran Halilintar pun berangsur mengawang meninggalkan tubuhnya. Begitu tenang dan damainya dunia sampai ...
"PAPA ALFA CHARLIE ALFA ROMEOOO!" Melantunlah suara cempreng nan kampret Taufan membelah keheningan dan ketenangan pada siang hari yang damai sentosa itu. "Mengajakmu gombal di udara! Memang cinta asyik dimana saja walau di angkasaaaa!"
Kedua kelopak mata Halilintar yang sudah mengatup membelalak terbuka selebar-lebarnya. Jauh dari kata elit, elegan ataupun anggun, Halilintar langsung tersentak bangun terduduk di atas ranjangnya. "Astaga Taufan," ketus si kakak tertua yang mendadak batal istirahat siang indahnya. "Hoi Taufaan! Berisik!"
Sayangnya si biduan dadakan tak diundang itu sama sekali tidak memedulikan protes yang dilayangkan kepadanya oleh Halilintar. Entah tidak memedulikan atau memang suara Halilintar tidak dapat menembus dinding kamar mandi dimana Taufan berada.
"Romantika diamooor! Pengiring asmara kitaaa! Romantika diamooor! Paling asyik dinikmati yang sedang berduaan!" Begitulah terdengar suara cempreng nan kampret yang terdengar indah bagi si empunya saja terdengar lanjut mengalun dari dalam kamar mandi.
"Aish ... Kesambet apa lagi Taufan ...," ketus Halilintar sembari menggaruki bagian kepalanya. Runtuhlah sudah mood indah yang susah payah dibentuknya siang itu. Sembari komat-kamit menggerutu tanpa bersuara, Halilintar memutar tubuhnya dan menjejakkan kedua kakinya ke atas lantai kamar.
Tepat pada saat Halilintar beranjak bangun dari kasurnya, Taufan melangkah keluar dari kamar mandi dengan hanya sebuah handuk melilit di pinggangnya. Tubuh Taufan yang langsing dengan kulit yang halus pucat nampak basah oleh bintik-bintik air yang luput dari sekaan handuknya.
Tidak mengherankan bagi Halilintar melihat Taufan bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk saja. Pemandangan seperti itu sudah sangat biasa setiap kali Taufan selesai mandi. Namun ada sesuatu yang sedikit berbeda dari Taufan, yaitu mimik mukanya.
Kedua netra biru safir Taufan berbinar-binar dengan kedua alisnya yang melengkung tinggi ke atas. Senyum ceria Taufan pun mengembang natural lebar sepenuhnya seakan tiada beban hidup yang mengganggu.
Jauh berbeda dengan Halilintar yang cemberut sampai otot rahangnya terlihat kaku. Kedua alis matanya pun nyaris lurus kaku membentuk sudut tajam dan kadang yang sebelah kiri berkedut-kedut tak beraturan.
"Hey, Happy Virus," dengkus Halilintar memanggil adiknya yang kini tengah menyisiri rambutnya. "Kamu ngapain jam segini sudah mandi? Ngga biasanya?" Halilintar lanjut bertanya dengan nada suara dan tatapan penuh kecurigaan pada adiknya itu.
Dari ceria, mimik muka Taufan berangsur menjadi kaku. Bahkan jakunnya berkedut kecil saat Taufan meneguk ludah. Tatapan tajam penuh kecurigaan si kakak tertua itu terasa mampu melubangi keningnya. "Ahahahaha ..." Kekehan Taufan yang tadinya ceria kini bertukar menjadi gugup. "A-aku ada acara dengan temanku."
Buru-buru Taufan membuka lemari pakaiannya. Dari dalam lemarinya itu Taufan meraih sebuah kaus armless putih berbahan polyester yang langsung ia kenakan. Jaket biru berhiaskan garis-garis kuning dan putih melengkapi penampilan Taufan dan dikombinasikan dengan celana panjang jeans biru tua.
Taufan menyemprotkan pula sedikit deodoran di tubuhnya yang tentu saja menggelitik rasa penasaran Halilintar. Jarang sekali Halilintar melihat adiknya begitu niat untuk pergi sampai-sampai menggunakan baju terbaiknya bahkan sampai menggunakan deodoran. Memang Taufan tidak memiliki krisis aroma badan, namun tetap saja hal itu terlihat sangat tidak biasa.
"Acara dengan teman?" tanya Halilintar. Kedua kakinya melangkah perlahan mendekati Taufan sampai keduanya hanya terpisah jarak hitungan inci saja. "Ngga biasanya kamu sampai dandan begini urusan mau ketemu teman doang?" Halilintar lanjut bertanya.
Semakin dekat jarak si kakak tertua dengan dirinya, semakin guguplah Taufan jadinya. "Ah ... itu ... anu ... Se-sekali- kali boleh dong?" ucap Taufan mencoba beralasan meskipun alasan yang ia lontarkan itu terdengar sangat tidak meyakinkan.
Halilintar membuka mulutnya dan hendak menginterogasi Taufan lebih lanjut namun dalam sekedipan mata saja Taufan sudah menghilang dengan meninggalkan desiran angin di belakangnya. Hanya suara derap cepat langkah kaki Taufan saja yang masih terdengar oleh Halilintar.
"Hey tunggu! Taufan! Aku belum selesai ngomong!" pekik Halilintar sembari belari sekuat kedua kakinya mampu membawa dirinya mengejar Taufan. Begitu cepatnya Halilintar berlari sampai ia terpelanting ketika berbelok sekeluarnya dari kamar menuju tangga.
Kali ini Halilintar kalah cepat berlari karena ia hanya menemukan Solar di ruang keluarga. Adik Halilintar yang satu itu pun menatap cengo ke arah pintu rumah yang terbuka lebar seakan baru saja diterjang angin beliung.
"So-Solar," panggil Halilintar diantara napas yang tersengal-sengal. "Ma-mana Taufan?"
"Tuuu." Solar menunjuk ke arah pintu rumah yang masih terbuka.
Halilintar menengok ke arah yang ditunjuk oleh Solar dan mendecih kesal. "Ada apa lagi dengan happy virus itu ...," gerutu Halilintar.
Solar mendengkus geli setelah mendengar gerutuan si kakak tertua. "Kak Hali ini memang ngga peka ya?"
Secepat kilat tatapan tajam Halilintar beralih tertuju kepada Solar. "Apa maksudmu?" tanya si kakak dengan nada ketus.
"Astaga, itu kan perkara gampang, Kak." Solar terkekeh sembari menggelengkan kepalanya. Tatapan netra kelabu di balik kacamata model visornya pun terlihat menyipit sinis. "Coba perhatikan, Kak Ufan dandan sampai rapi, baju yang dipakai juga bersih, wangi seperti baru dicuci. Kalau Kak Ufan main sama teman biasa, seperti apa?"
Sejenak Halilintar berdiam diri. Dia memutar otaknya dan mencari jawaban atas pertanyaan Solar.
"Biasanya kalau pergi main, Taufan pakai baju seadanya ... kadang malah baju bolong-bolong dipakai juga," gumam Halilintar mengucap jawaban yang ia temukan dalam pemikirannya. "Jarang-jarang Taufan dandan sampai pakai deodoran, padahal dia ngga krisis bau badan ..."
"Artinya ..." Solar menyambung kata-kata Halilintar. "Kak Ufan seperti itu karena mau ketemu dengan seseorang yang ... spesial."
"Hah? Spesial?" Halilintar tercengang setelah mendengar kesimpulan yang dibuat oleh Solar.
"Yap ...," sambung Solar lagi. "Dengan kata lain, Kak Ufan pergi berburu."
"Berburu?" gumam Halilintar dengan dahi mengernyit. Butuh beberapa saat bagi Halilintar untuk menemukan makna kata-kata yang baru saja diucapkan oleh Solar. "Ooh ... berburu," gumam Halilintar lagi sembari menganggukkan kepala.
Namun mendadak kedua kelopak mata Halilintar membelalak lebar ...
"Apa? Berburu pacar?!" tanya Halilintar setengah berteriak. "Ba-bagaimana mungkin?!"
Solar yang melihat reaksi si kakak tertua yang telat mikir itu tersenyum kecil. "Panjang ceritanya-"
"Pendekkan!"
Solar berdehem beberapa kali sembari memejamkan kedua kelopak matanya. Dia mengelus-elus dagunya laksana orang tetua bijak di film silat Mandarin. "Aku duga semuanya berawal dari ..."
.
.
.
Waktu tepat menunjukkan pukul 17.25 sore saat roda-roda kereta Aero Train yang ditumpangi Taufan mulai melambat. Kereta super cepat modern itu semakin mendekat dengan stasiun tujuannya di kota Kuala Lumpur sebelum akhirnya berhenti di samping peron yang kosong.
"Huft ... Sampai juga." Taufan menggumam seorang diri. Dengan gerakan yang gemulai tanpa bersuara, Taufan berdiri dari bangku kereta yang ia duduki.
Langkah ringan kedua kaki Taufan mengkhianati irama degup jantungnya yang semakin cepat dan kencang saat ia berjalan mendekati pintu kereta. Mulailah Taufan merasa gelisah ketika ia berjalan melewati pintu kereta.
Bagaimana tidak? Sore itu Taufan berjanji untuk menemui orang yang baru saja dikenalnya melalui media sosial. Belum pernah Taufan menggunakan media sosial untuk berkenalan, apalagi berkenalan untuk dating. Banyak pertanyaan yang menghantui alam pikiran Taufan.
'Apakah Maripos ini sesuai dengan fotonya? Seperti apa sifatnya? Akankah kita bisa jadi teman baik? Apakah aku bisa membuat dia senang? Apakah dia serius mau ketemu aku?' Begitulah sebagian dari banyak pertanyaan dalam batin yang membuat Taufan gelisah.
Semakin menjadi kegelisahan Taufan karena ia tidak melihat keberadaan Maripos di stasiun.
Enggan menyerah begitu saja, Taufan pun mencoba untuk menghubungi nomer ponsel Maripos. Pada malam sebelum Taufan dan Maripos keluar dari aplikasi RomeoRomeo, keduanya sempat bertukar kontak. Nomor yang diberikan oleh Maripos itulah yang dicoba dihubungi oleh Taufan.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif ..." Begitulah suara komputer yang terdengar menjawab panggilan Taufan.
'Jangan-jangan aku dibohongi,' keluh Taufan di dalam batin sembari menghela napas panjang dan berat.
Kegelisahan bertukar menjadi kecemasan seiring dengan berlalunya waktu. Air muka Taufan yang ceria berangsur menjadi muram. Date Taufan bersama kenalan baru dari media sosial itu berakhir mengecewakan.
Dengan hati yang gundah dan langkah yang teramat berat, Taufan berjalan menuju loket stasiun kereta. Tidak ada lagi yang bisa ia perbuat kecuali membeli tiket untuk pulang ke Pulau Rintis.
Mau tidak mau Taufan merogoh sakunya. Dia menarik dompetnya keluar dan mulai mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar tiket kereta.
"Taufan?" Terdengarlah suara lembut memanggil dari arah belakang.
Taufan tersentak kaget ketika ia mendengar namanya disebut. Kurang dari hitungan satu detik, Taufan menoleh ke belakang.
Berdirilah Maripos di belakang Taufan. Segaris senyum tipis mengulas pada wajah remaja berkulit pucat itu. "Maaf, ponselku low batt," ucap Maripos dengan nada merendah. "Akhirnya kita ketemu juga, Fan-Fan. Aku Maripos."
"Ah, sa-salam kenal Maripos," ucap Taufan gugup. Begitu manis senyum remaja yang berdiri di hadapan Taufan, sampai-sampai membuatnya meneguk ludah. Biasanya Taufan tidak pernah ragu untuk menyalami orang yang berkenalan dengannya, namun kali ini Taufan merasakan tangannya sulit bergerak seakan menolak perintah dari otaknya.
"Kamu lebih imut dari foto aslimu, Taufan," puji Maripos, masih dengan senyuman manisnya.
"I-iya, kamu juga cantik-" Mendadak Taufan terdiam. Secara spontan ia menutup mulutnya dengan tangan. 'Astaga, aku salah ngomong, dia kan cowok! Masa kubilang cantik?!' jerit Taufan di dalam batinnya.
Di luar dugaan Taufan, Maripos terkekeh geli sembari menutup mulutnya. "Terima kasih, Fan-Fan," ucap Maripos disela-sela kekehannya.
Seketika itu juga segala kekhawatiran dalam benak Taufan sirna. Dia tampak jauh lebih santai dan rileks. "Ah sama-sama, Mari," balas Taufan sembari tersenyum.
"Yuk, kita cari kafe biar kita bisa ngobrol santai." Tanpa permisi, Maripos mengamit tangan Taufan dan menarik si empunya tangan untuk berjalan mengikutinya.
Telapak tangan Maripos terasa begitu lembut oleh Taufan. Jari-jemari remaja itu pun begitu gemulai namun tetap terasa kokoh. "Uh ... Mari, kita mau naik taksi?" tanya Taufan selagi ia dituntun berjalan keluar dari stasiun kereta.
"Ngga. Aku bawa mobilku kok." Maripos berjalan memandu Taufan menuju pelataran parkir mobil di stasiun kereta. Setelah melewati beberapa baris mobil yang terparkir, Maripos berhenti di depan sebuah mobil berwarna biru-merah. "Ini mobilku," ucap Maripos lagi sembari mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam saku celana yang ia kenakan.
Apa yang dilihat oleh Taufan membuatnya tercengang. Mobil yang dimaksud oleh Maripos bukanlah mobil biasa. Lambang figur malaikat di atas kap mobil dan logo yang terdiri dari dua buah huruf R bertumpuk sudah cukup menjadi petunjuk bagi Taufan untuk mengenali tunggangan milik Maripos.
"A-alamaaaak," gumam Taufan. Kedua kelopak netra biru safirnya membelalak lebar, mengenali kendaraan legendaris lansiran Inggris yang termasyhur itu. "I-ini-"
"Ah ..." Sebuah cengiran mungil mengulas di bibir pucat Maripos. "Mobilku mungkin Rolls Royce, tapi aku ngga matre kok, Fan-Fan. Ayo masuk, kita cari kafe."
Hanya dengan pijitan pada tombol di kunci mobilnya, Maripos membuka pintu mobil miliknya itu. Terbukalah pintu unik mobil Rolls Royce milik Maripos yang engsel pintunya bertumpu di belakang, tidak di depan seperti mobil biasa pada umumnya.
"Ayo, Fan-Fan ... Kita jalan-jalan."
.
.
.
Bersambung.
Coba tebak apa nama lagu yang dinyanyikan Taufan dan siapa penyanyinya.
