Chapter 4. Latte And Date
Tidak seperti mobil biasa pada umumnya, kabin mobil Rolls Royce Wraith milik Maripos nyaris kedap suara sepenuhnya. Bahkan suara deru mesin V12 6600cc Rolls Royce Wraith itu terdengar begitu sunyi dan senyap di indera pendengaran Taufan. Tidak hanya kedap suara, bangku mobil buatan Inggris itu terasa sangat nyaman dan sempurna menopang tubuh Taufan bahkan ketika mobil itu dipacu oleh Maripos melewati jalanan yang tidak terlalu baik kualitas aspalnya.
Walaupun mobil Rolls Royce Wraith itu berkualitas superior, tetap saja Taufan merasa gelisah selagi duduk di samping Maripos. Tidak ada yang menakutkan atau berbahaya dari cara Maripos mengemudikan mobilnya dan Taufan tahu bahwa Rolls Royce Wraith itu memiliki fitur keamanan yang luar biasa.
"Fan-Fan kenapa?" Sejenak Maripos melirik ke arah Taufan sebelum manik netra lavendernya kembali terfokus kepada jalanan yang sedang ia lalui.
Lirikan singkat dari Maripos itu cukup untuk membuat Taufan gugup. Seperti kebiasaan Taufan ketika ia gugup dan merasa kurang nyaman, mulailah dia terkekeh-kekeh sembari cengar-cengir tidak keruan. "Eheheh, a-aku cuma ... agak canggung saja."
Kembali Maripos melepaskan tatapannya dari jalanan yang terbentang di depannya. Kedua manik netra lavendernya kini tertuju kepada Taufan. "Kenapa harus canggung, Fan-Fan?" tanya Maripos sembari melempar senyum tipis nan manisnya. "Kamu belum pernah sedekat ini dengan cowok lain?"
Jakun Taufan berkedut kecil saat ia menelan ludah. "Ah ... bu-bukan begitu. A-aku ada beberapa teman cowok. Kakak-kakak dan adik-adikku juga cowok semua," ucap Taufan berusaha menjelaskan kegelisahannya. "Ta-tapi iya, a-aku belum pernah nge-date dengan sesama cowok."
Jawaban Taufan itu membuat Maripos terkekeh. Perhatiannya kini kembali kepada jalanan dan setir mobil yang ia kemudikan. "Tenang saja Fan-Fan. Aku ngga gigit kok."
Tanpa terasa mobil yang dibesut oleh Maripos sudah meninggalkan daerah perkotaan Kuala Lumpur. Bangunan gedung-gedung bertingkat pun terlihat semakin sedikit dari jendela samping mobil Rolls Royce Wraith yang dikemudikan Maripos. Begitu pula dengan kepadatan lalu lintas yang mulai berkurang. Jalan yang ditempuh oleh mobil pabrikan Inggris itu semakin lengang walaupun tetap sama lebarnya.
Seiring dengan jalanan yang semakin lengang, jarum penunjuk kecepatan mobil Rolls Royce Wraith itu semakin menanjak. Angka 150 kilometer per jam pun dilewati dengan mudahnya. Hanya samar-samar suara deru angin terbelah mobil berbadan coupe itu yang mampir di indera pendengaran Taufan.
Memang bukan pertama kalinya Taufan merasakan terpacunya hormon adrenalin di dalam tubuhnya ketika berkendara dengan kecepatan tinggi. Sebelumnya dia pernah merasakan diajak kebut-kebutan dengan mobil, namun itu bersama Fang yang sangat dikenalnya sedangkan Maripos baru saja dikenalnya kurang dari satu jam yang lalu.
"Mau kemana kita?" Taufan memberanikan diri bertanya. Walaupun tidak tinggal di daerah Kuala Lumpur, Taufan mengenali jalanan yang sedang ditempuhnya. Dari rindangnya pepohonan dan tanjakan yang ia lalui, Taufan mengambil kesimpulan bahwa Maripos membawanya ke daerah berbukit. "Katanya kita mau ngobrol sambil ngopi?"
"Iyap!" jawab Maripos dengan ceria. "Ada satu kafe yang aku tahu cukup asyik untuk kita ngobrol. Memang agak jauh, tapi aku suka tempatnya ... Tenang, Fan-Fan, aku mau nge-date sama kamu, bukan menculik kamu."
Jawaban dari Maripos membuat Taufan merasa lebih tenang. Memang mustahil rasanya seseorang yang berperawakan feminim dan gemulai seperti Maripos akan berbuat aneh-aneh. 'Tenang, Fan ... Dia punya mobil Rolls Royce, ngga mungkin dia menyandera karena duitnya pasti jauh lebih banyak daripada kamu,' gumam Taufan di dalam batinnya.
Setelah beberapa saat, mobil yang dikemudikan Maripos berbelok masuk ke dalam sebuah kompleks hotel. Sebetulnya hotel bukanlah kata yang tepat untuk melukiskan tempat yang menjadi tujuan Maripos itu. Lebih tepat tempat itu disebut sebagai kompleks pondok-pondok vila yang bisa disewa untuk menginap.
Pondok-pondok vila itu terlihat dibangun mengikuti kontur tanah bertingkat pada sebuah bukit. Hembusan angin pegunungan menerpa kompleks vila, membawa kesejukan yang begitu nyaman. Hijaunya hamparan rumput dan pepohonan menyegarkan indera pengelihatan yang terbiasa dengan hiruk pikuk pemandangan perkotaan yang sarat oleh kesibukan.
Pada tingkat tertinggi kompleks vila itu berdirilah sebuah kafe berpadu dengan restoran. Desain atap terbuka kafe itu memang tidak menyatu dengan asrinya alam sekitar namun tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjungnya.
Tepat di depan kafe itu Maripos memarkirkan mobilnya. Rolls Royce Wraith milik Maripos itu terlihat begitu gagah dan anggun terparkir di depan kafe itu bersama dengan deretan mobil-mobil mewah lainnya. Bahkan boleh dibilang mobil milik Maripos itulah yang termewah di antara mobil-mobil lainnya.
"Ayo Fan-Fan," ucap Maripos. Dia mematikan mesin dan membuka kunci pintu mobilnya.
"Ah, iya." Masih sedikit gugup, Taufan buru-buru mengikuti ajakan Maripos.
Segera hembusan sejuk angin pegunungan menyambut dan menerpa tubuh Taufan saat remaja bernetra biru safir itu melangkah keluar dari mobil Rolls Royce Wraith yang ia tunggangi bersama kenalan barunya. "Waah, anginnya segaaar!" Senyum lebar Taufan mengambang tanpa tertahan.
Perangai Taufan yang mendadak bertukar ceria itu menarik perhatian Maripos. Dia tidak menyangka bahwa remaja bernetra biru safir yang tadinya gugup bisa mendadak ceria dalam hitungan detik saja.
"Fan-Fan suka ya?" tanya Maripos tanpa menunjuk pada sesuatu yang spesifik.
"Iya," jawab Taufan, masih dengan senyum ceria ekstra lebarnya. Kedua tangan Taufan membentang saat ia merasakan dinginnya hembusan angin pada tubuhnya. "Aku suka angin sejuk pegunungan, apalagi kalau langitnya cerah... Yah seperti sekarang ini."
Seutas senyuman jahil mengukir pada bibir Maripos ketika sebuah ide melintas di dalam otaknya. Dengan cepat Maripos bergerak menyelinap melewati bagian bawah lengan Taufan yang membentang. Sengaja sekali Maripos menempatkan pundaknya di bawah bentangan lengan Taufan.
"Ah? Ma-Maripos?" Taufan hanya sempat meneguk ludah saat ia merasakan lengan Maripos mengait pinggangnya.
"Ayo kita masuk," ucap Maripos riang sembari menuntun Taufan masuk ke dalam kafe.
Terjebak oleh rasa sungkan, dan tidak enak hati untuk menolak, Taufan pun menuruti ajakan Maripos. Tanpa protes, Taufan membiarkan dirinya digandeng dan dituntun oleh Maripos menuju sebuah meja kosong di dalam kafe.
Meja yang dipilih Maripos terletak bertepatan di atas balkon kafe. Hamparan luas pepohonan dan rumput menghias pemandangan bukit hijau dari balkon kafe dimana Maripos membawa Taufan.
"Vanilla latte, satu." Maripos memesan minumannya ketika pelayan kafe itu datang menghampiri.
"Ah, aku ... hazelnut latte saja." Menyusul Taufan memesan minuman untuk dirinya sendiri.
"Ah sebentar ya Fan-Fan, aku mau ke toilet dulu." Mendadak Maripos berdiri.
"Oke," jawab Taufan dengan diikuti oleh sebuah senyuman malu-malu kecil.
Sementara Maripos mempermisikan diri ke toilet, Taufan memilih untuk menikmati bentangan pemandangan alam hijau di hadapannya dengan tatapan kedua manik netranya yang tidak tertuju pada satu titik spesifik. Dia menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara segar dan sejuk pegunungan yang jarang sekali bisa ia nikmati.
"Tempat ini lumayan juga," gumam Taufan selagi ia menikmati pemandangan alam yang terbentang di hadapannya. Hijaunya pepohonan dan rerumputan dikombinasikan dengan udara dingin benar-benar membawa kesejukan untuk badan dan hati Taufan. Seperti berada di dalam sebuah hipnotis indah, alam pikiran Taufan pun mengembara ke memori masa lalu seiring dengan lembutnya terpaan angin
"Kamu melamun, Fan-Fan?" Tidak berapa lama berselang Maripos pun kembali dan langsung menegur Taufan.
Teguran Maripos membuyarkan lamunan Taufan dan membuatnya sedikit terkejut. "Ah, i-iya. Aku suka alam terbuka begini."
Maripos terkekeh lembut selagi kembali duduk di samping Taufan. "Ngga salah berarti aku bawa kamu ke sini, Fan-Fan," ucap Maripos sebelum menyandarkan tubuhnya pada lengan Taufan.
Pada saat yang hampir bersamaan datang pula pelayan kafe dengan membawa minuman yang dipesan oleh Maripos dan Taufan. Dua buah gelas tinggi berisikan minuman hangat yang masih mengepulkan uap kini terhidang untuk menemani kedua insan yang tengah bercengkerama.
"Aku baru tahu kalau Fan-Fan juga suka alam terbuka begini," ucap Maripos lagi sembari meraih minuman vanilla latte yang ia pesan. Dengan hati-hati Maripos menyeruput minuman hangat itu sebelum dia menoleh ke arah Taufan. "Ayo Fan-Fan, jangan malu-malu."
Mengikuti saran Maripos, Taufan pun merain minuman hazelnut latte pesanannya. Kehangatan minuman bercitarasa cokelat bercampur kacang itu terasa membawa sebuah kenyamanan yang terasa seakan menyebar di tubuh Taufan dari pangkal leher sampai ke ujung kaki. "Hmm... Enak. Seharusnya bisa kujiplak rasa minuman ini."
Pernyataan tak diundang Taufan itu menarik perhatian Maripos. "Eh? Fan-Fan bisa membuat minuman begini?" Kedua manik netra lavender Maripos kini tertuju menatap Taufan dengan penuh perhatian.
"Iya." Taufan menganggukkan kepalanya. "Aku belum cerita kalau aku juga bekerja di kedai keluargaku?"
Sebuah gelengan kepala menjadi jawaban dari Maripos.
"Aku, kakakku dan adik-adikku bekerja bergantian menjaga kedai peninggalan almarhum kakekku," tutur Taufan. "Jadi selain kuliah, aku juga bekerja."
Mimik muka Maripos yang tadinya penuh pertanyaan kini bertukar menjadi sebuah kekaguman. "Hebat kamu bisa mandiri begitu dengan saudara-saudaramu ... Aku ... ngga punya kakak atau adik ..."
"Yah, kadang terlalu banyak kakak adik bisa jadi merepotkan juga. Rumah yang aku tinggali itu juga peninggalan kakekku, yang sebenarnya agak terlalu kecil untuk dihuni tujuh orang ... Aku ngga ada kamar sendiri, kamarku berbagi dengan satu adik dan kakak tertuaku." Taufan menceritakan kehidupan dan keadaan di rumahnya kepada Maripos. "Adikku juga ngga cuma satu..."
Kedua kelopak mata Maripos mengedip cepat dan dahinya mengernyit saat sebuah pertanyaan muncul di dalam otaknya. "Kamu berapa bersaudara?" tanya Maripos.
Taufan tidak langsung menjawab. Dia mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto dirinya bersama seluruh saudara-saudaranya pada ponsel miliknya itu. "Aku tujuh bersaudara-"
"Kembar?" tanya Maripos dengan penuh kekaguman. Dia melihat foto pada ponsel Taufan dan mengamati kemiripan akan Taufan dengan saudara-saudaranya. "Muka kalian mirip-mirip, tapi sorot mata, warna mata dan tinggi badan kalian berbeda-beda."
Taufan menganggukkan kepalanya. "Ini kakakku yang tertua, Halilintar ... lalu ini adikku, Gempa ... lalu Blaze, Thorn, Ice, Solar." Satu-persatu Taufan menunjuk seluruh saudara-saudaranya yang ada di foto yang tersimpan di dalam ponselnya.
"Ah, aku tahu yang ini." Maripos menunjuk pada foto Solar. "Dia ada di aplikasi RomeoRomeo juga 'kan? SmartGeek namanya kalau ngga salah."
"Iya, Solar. Adikku yang paling kecil ..." Mendadak Taufan terdiam. Sesuatu yang janggal dan mengganjal mendadak terlintas di dalam otaknya. "Apa kamu pernah ketemu dengan dia?" tanya Taufan sembari melirik ke arah Maripos.
"Ngga," jawab Maripos singkat. "Aku lebih suka Fan-Fan yang ... serba biru?" lanjutnya lagi sembari terkekeh lepas.
"Ahahaha." Taufan tertawa dengan riang. "Kamu juga suka yang biru-biru ya?"
Maripos menganggukkan kepalanya dengan cepat. Sebuah senyuman manis dengan kelopak mata yang menyipit menghias wajahnya yang berseri-seri. "Biru itu indah," ucap Maripos sembari tangannya meraih dagu Taufan. "Seperti mata Fan-Fan ..."
Tatapan tanpa berkedip Maripos dan jarak yang begitu dekat membuat Taufan meneguk ludah. Belum pernah Taufan mengalami sebuah kedekatan dengan orang yang baru saja dikenalnya, apalagi dengan orang yang mempunyai ketertarikan pada dirinya. Entah mengapa, Taufan merasakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan sedang mengelitiki perutnya.
Belum sempat Taufan berkata-kata lebih lanjut ketika ia merasakan sesuatu yang kenyal dan dingin menempel pada pipinya. Bahkan butuh waktu beberapa detik bagi Taufan untuk menyadari bahwa benda kenyal dan dingin yang menempel sepersekian detik di pipinya itu adalah bibir Maripos.
"Pipi Fan-Fan kenyal-kenyal," sindir Maripos. Sebuah cengiran jahil tipis mengulas di wajah remaja bernetra lavender itu.
Taufan merasakan sebuah kehangatan aneh mulai merambat pada sekeliling lehermya dan kehangatan itu menyebar naik menuju wajahnya. Tanpa perlu diberi tahu pun Taufan sadar bahwa wajahnya merona merah dan buru-buru menyibukkan dirinya dengan menyeruput minuman hazelnut latte-nya sebelum ia menjadi lebih salah tingkah lagi.
"Te-terima kasih?" ucap Taufan. Seperti kebiasaannya, selain terkekeh gugup, Taufan juga menggaruki pipinya yang sebetulnya tidak terasa gatal.
"Fan-Fan imut sekali," puji Maripos. Tanpa basa basi lebih lanjut, dia langsung melemparkan dirinya dan mengaitkan kedua lengannya melewati tubuh Taufan yang ramping.
"Ah?! Mariii?" cicit Taufan. Kini wajahnya benar-benar memerah. Belum pernah ada pria lain yang memeluk dirinya selain adik-adiknya atau kakaknya dan hari ini adalah pertama kalinya Taufan merasakan sebuah pelukan dari pria lain secara intim.
"Fan-Fan ngga suka?" tanya Maripos dengan berwajah memelas bercampur kecewa.
"Bu-bukan begitu!" Taufan mengibas-ngibaskan kedua tangannya dan menoleh-noleh ke sembarang arah. Dia berharap interaksinya dengan Maripos tidak menarik perhatian orang lain. "A-aku belum pernah dipeluk cowok lain seperti ini!"
"Santai saja Fan-Fan, kafe ini sudah biasa melayani pasangan seperti kita... Kalau kamu mau tahu, kafe ini malah khusus untuk pasangan seperti kita ini." Maripos tersenyum lebar dan mendaratkan kepalanya di dada Taufan. "Makanya aku pilih tempat ini."
Penjelasan Maripos membuat Taufan sedikit lebih tenang walaupun tidak sepenuhnya. Paling tidak Taufan berpikir bahwa dia dan Maripos tidak akan terlalu mencolok di kafe itu.
Seiring dengan bergulirnya detik, semakin tenang dan nyaman Taufan merasakan dirinya bersama Maripos. Seruputan demi seruputan hangatnya minuman hazelnut latte menemani canda gurau dan cengkerama Taufan bersama kenalan barunya itu.
Mungkin Taufan merasa terlalu tenang karena semakin lama dia bersama Maripos, semakin berat pula kelopak kedua matanya terasa.
"Eh? Fan-Fan kenapa?" tanya Maripos ketika ia menyadari Taufan semakin kerap menganggukkan kepala dan mengedipkan kedua kelopak matanya.
"Entah ..." Kedua bibir Taufan bergetar. Jelas sekali ia berusaha untuk tidak menguap di depan Maripos. Taufan tidak ingin memberikan kesan yang keliru di depan Maripos.
Butuh perjuangan ekstra bagi Taufan untuk tetap membuka kedua kelopak matanya namun pada akhirnya perjuangannya itu berakhir sia-sia. Kedua kelopak mata Taufan memejam dan kepalanya pun tertunduk lemah ketika pada akhirnya kesadaran meninggalkan raga Taufan.
"Heh heh heh heh." Maripos terkekeh puas melihat Taufan yang akhirnya tertidur. "Kamu milikku, Fan-Fan."
Dari dalam saku celananya, Maripos mengeluarkan sebuah kantung plastik kecil berisikan serbuk putih. "Ngga sangka obat tidur racikan SmartGeek ini begitu ampuh ... Terima kasih, Solar."
.
.
.
Bersambung.
Didedikasikan untuk teman artist (LeilaZen). Semoga chapter ini bisa jadi mood booster.
