Warning: Adegan Yaoi.

Berat ...

Begitulah yang dirasakan oleh Taufan ketika dia mencoba menggerakkan tubuhnya. Ingatannya masih terasa sangat kabur walaupun kesadarannya perlahan-lahan mulai kembali.

Perlahan-lahan Taufan mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi dengan dirinya. Dia masih mampu mengingat akan pertemuan dirinya dengan seseorang dari media sosial. Kemudian hal berikutnya yang kembali dalam ingatan Taufan adalah perjalanan menuju sebuah kafe.

Perlahan-lahan memori yang kabur pun mulai tersusun. Satu per satu ingatan yang kosong mulai terisi kembali sampai akhirnya Taufan ingat kalau ia tertidur ketika bersama Maripos, kenalan barunya.

'Maripos ...?' bisik Taufan di dalam batinnya.

Perlahan-lahan Taufan mencoba untuk mengangkat dan membuka kedua kelopak matanya. Butuh usaha luar biasa bagi Taufan untuk menjaga kedua kelopak matanya tetap membuka. Anehnya,walaupun ia merasa sudah membuka kedua kelopak matanya, Taufan menemukan bahwa dirinya masih diliputi kegelapan total.

Tidak hanya kedua kelopak matanya saja, Taufan merasakan nyaris seluruh tubuhnya menolak perintah dari otaknya. Kedua lengan dan kakinya terasa sungguh kaku.

Seiring dengan berjalannya waktu, Taufan mulai bisa merasakan indera-indera tubuhnya mulai kembali bekerja. Betapa terkejutnya Taufan setelah ia menyadari bahwa ada sesuatu yang melilit kepalanya dan menutup kedua matanya.

Refleks Taufan pun langsung bekerja memerintahkan otot-otot lengan dan tangannya untuk bergerak. Sayangnya otot-otot lengan dan tangannya itu menolak untuk bergerak.

Butuh beberapa detik bagi Taufan untuk menyadari bahwa kedua pergelangan tangannya terbelenggu oleh beberapa utas lilitan tali di atas kepalanya. Kedua pergelangan kakinya juga tidak jauh berbeda, terbelenggu oleh lilitan tali dan diposisikan menjauh satu sama lain.

Panik mulai membanjiri otak Taufan setelah dia menyadari bahwa dirinya terikat di atas ranjang dengan kedua tangannya tertahan di atas kepala dan kedua kakinya dipaksa mengangkang.

"Mmmphhh!" Betapa terkejutnya Taufan ketika ia menyadari ada gulungan kain yang melilit sekeliling kepalanya dan menyumbat mulutnya. Taufan bisa merasakan gulungan kain itu tidak bisa didorong lepas dengan lidahnya.

Lebih menakutkan lagi, Taufan menyadari bahwa tidak ada selembar kain pun yang menutupi tubuhnya. Dengan kata lain, kini Taufan menyadari bahwa dirinya sudah diikat di atas sebuah ranjang dan dalam keadaan telanjang bulat.

Jari-jemari Taufan bergerak meraba dan mencari simpul tali yang mengikat kedua tangannya. Dia bisa menemukan simpulnya, namun tidak bisa menemukan ujung talinya untuk mengurai simpul itu.

Di dalam rasa ketidakberdayaan, Taufan mencoba meronta melawan lilitan tali yang membelenggu kedua tangan dan kakinya. Hasilnya hanya kelelahan saja tanpa membawa kebebasan. Walaupun tidak terlalu ketat, tetap saja kedua tangan dan kakinya tidak bisa ditarik lepas dari lilitan tali yang mengikatnya.

Sebagai upaya terakhir, Taufan mencoba menjerit untuk meminta tolong. Hanya saja usahanya itu berakhir sia-sia karena mulutnya yang terbekap hanya bisa mengeluarkan suara lenguhan saja

Taufan meneguk ludahnya. Belum pernah dia merasa begitu tidak berdaya, apalagi dalam keadaan telanjang bulat. Kesunyian yang terngiang pada indera pendengarannya dan kegelapan total pada indera pengelihatannya tidak membuatnya semakin tenang, sebaliknya malah membuat dirinya semakin gelisah.

Tiba-tiba saja Taufan merasakan sentuhan lembut sebuah jari mendarat di perutnya. Gelombang kepanikan kembali menggulung otak Taufan karena dia tidak bisa melihat apa yang sedang dan akan terjadi dengan dirinya.

"Hmmppfff!" lenguh Taufan sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Seakan tidak peduli, ujung jari yang berada di perut Taufan mulai bergerak naik. Gerakan ujung jari itu begitu lembut mengikuti kontur perut dan dada Taufan yang kembang kempis menarik napas cepat.

Tidak diduga oleh Taufan, secara mendadak dia merasakan ada sesuatu yang kenyal dan dingin menempel tepat pada bibirnya. Walaupun tidak bisa melihat, Taufan tahu bahwa ada sepasang bibir yang mencumbunya. Tanpa bisa melakukkan apa-apa, Taufan hanya bisa mendesah lembut dan pasrah menerima cumbuan itu.

Paling tidak Taufan bisa merasakan bahwa siapa pun yamg sudah mengikatnya di atas ranjang itu tidak bermaksud untuk mencelakai dirinya. Setidaknya untuk saat itu Taufan bisa merasa sedikit lebih tenang.

Sepasang bibir yang baru saja mencumbu dirinya itu perlahan-lahan bergerak turun.

"Hngh?" Taufan melenguh lembut saat ia merasakan adanya sesuatu yang basah di antara bibir yang bergerak di lehernya. Tanpa melihat pun Taufan tahu bahwa benda yang basah itu adalah lidah dari seseorang yang tadi mencumbu dirinya.

Perlahan tapi pasti, lidah dan bibir yang terasa oleh Taufan itu bergerak turun dan kini berada di atas dadanya. Secara refleks Taufan meneguk ludah ketika ia merasa lidah itu bergerak memyamping menuju salah satu titik sensitifnya.

"Mphhh ..." Tanpa kendali tubuh Taufan mulai gemetaran ketika lidah yang basah itu menyenggol puting dadanya. Dari gemetaran, tubuh Taufan berangsur mengejang-ngejang ketika ia merasakan sepasang bibir mengulum puting dadanya.

Taufan mencoba menghindar dari serangan rangsangan sensual pada kedua titik sensitifnya. Dia mencoba menggeliut dan memutar tubuhnya walaupun dengan ruang gerak yang sangat terbatas.

Sayangnya Taufan berada dalam keadaan terbelenggu sedangan oramg yang tengah memainkan dirinya itu tidak. Kemanapun Taufan menghindar, lidah, bibir dan jari-jemari itu tetap mengikut dan menyerang kedua titik sensitifnya.

Rangsangan-rangsangan yang diterima pada kedua titik sensitifnya itu mulai menggerus pertahanan mental Taufan. Perlahan tapi pasti, pertahanan mental Taufan ambruk, terlebih pada saat ia merasakan sentuhan lembut pada puting dadamya yang sebelah lagi.

"Nghaaahhh ...," desah Taufan lembut dengan suara gemetaran. Tidak hanya suaranya saja, hampir seluruh tubuh Taufan berkedut-kedut gemetaran.

Siksaan berupa godaan sensual tak berkesudahan itu bertubi-tubi merangsang Taufan. Tanpa tertahan lagi, batang kejantanan Taufan pun mulai mengacung tegak.

Mendadak Taufan merasa kepalanya ditarik mengangkat. Dia tidak bisa menebak apa yang akan terjadi dengan dirinya, namun Taufan bisa merasakan adanya gerakan sepasang tangan di sekitar kepalanya.

Tanpa disangka-sangka, benda yang menutup mata Taufan dicabut. Cahaya terang langsung membanjiri bahkan menyakitkan indera pengelihatan Taufan. Butuh beberapa detik bagi Taufan untuk matanya beradaptasi dengan cahaya terang di dalam ruangan dimana ia berada, yang ternyata adalah kamar hotel.

"Hngah?!" Taufan mendelik terkejut setelah ia menyadari siapa yang telah mengikatnya di atas ranjang.

"Halo Fan-Fan." Berdirilah Maripos di samping ranjang. Rambut panjang Maripos terurai lepas mengikuti lekuk tubuh feminimnya yang bertelanjang dada. Sama seperti kulit tangan dan lengan, tubuh Maripos yang ramping nyaris itu terlihat pucat.

Namun yang lebih menarik perhatian Taufan adalah batang kejantanannya sendiri yang teracung tegak tanpa tertutup sehelai benang pun. "MMPH!" Secara refleks Taufan mencoba menutupi batang kejantanannya, namun usahanya gagal karena kedua tangan dan kakinya terikat kuat.

"Fan-Fan malu?" Maripos terkekeh sembari menutup mulutnya yang mungil dengan sebelah tangan. "Kita kan sama-sama cowok ... Kenapa harus malu?"

Keberadaan dan perkataan Maripos membuat Taufan panik. Sekuat tenaga ia berontak melawan tali-temali yang mengikat kedua tangan dan kakinya. Bintik-bintik keringat pun mulai bermunculan di tubuh Taufan selagi ia menggelepar-gelepar liar.

Senyuman tipis mungil pun mulai mengukir di wajah Maripos saat ia menyaksikan Taufan yang menggelepar liar. Perlahan-lahan Maripos melepaskan celana boxer yang merupakan satu-satunya pakaian yang masih melekat di tubuhnya. Segera saja batang kejantanan Maripos yang sudah cukup mengeras langsung mencuat bebas.

Setelah melepaskan celana dalamnya, Maripos mendaratkan bokongnya di atas ranjang dimana ia mengikat Taufan. Pada saat itulah Taufan mulai kehabisan tenaga karena perlawanan yang sia-sia. Sepertinya Maripos sengaja tidak berbuat apa-apa sampai korbannya kehabisan tenaga dan melemah.

Pada akhirnya Taufan pun sadar bahwa dia tidak mungkin bisa melepaskan diri dari jeratan tali-temali Maripos. Memang simpul buatan Maripos tidak ketat sampai menyakitkan namun cukup kuat dan tidak mungkin dilepaskan tanpa bantuan. Di tengah ketidakberdayaannya, Taufan hanya bisa memandangi Maripos dengan tatapan sayu kedua netra biru safirnya.

Melihat perlawanan Taufan berhenti, Maripos mendaratkan jari telunjuknya di atas dada korbannya tanpa permisi dan tanpa berkata apa-apa lagi.

"Mmph?' lenguh Taufan. Kedua manik netra biru safirnya kini terpaku menatap jari Maripos. Tanpa sadar Taufan meneguk ludah ketika jari Maripos itu mulai bergerak menyamping.

Perlahan namun pasti, jari Maripos semakin mendekati puting dada Taufan. Semakin dekat jari Maripos dengan putingnya, semakin kuat pula degup jantung Taufan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menanti sentuhan lembut Maripos.

"Hngh!" Kedua kelopak mata Taufan langsung memejam erat ketika ia merasakan sentuhan jari Maripos yang dingin dan lembut tepat pada puting dadanya. Sentuhan itu terasa begitu nyaman, bahkan membuat Taufan merasa jauh lebih tenang. Paling tidak kini Taufan merasa bahwa Maripos tidak ingin menyakiti dirinya ... semoga.

Mendadak Taufan kembali mengejang. Dia merasakan sepasang benda kenyal dan lembut meliputi puting dadanya yang sebelah lagi. Tidak mengherankan sebetulnya bagi Taufan ketika ia membuka kelopak matanya dan melihat Maripos tengah bibir mengulum puting dadanya sembari memainkan puting yang sebelah lagi dengan tarian lembut jari-jemari yang terampil.

Tidak butuh waktu lama bagi batang kejantanan Taufan untuk mengacung tegak sepenuhnya ke udara bebas. Butiran-butiran lendir lengket pun mulai bermunculan pada ujung kepala kejantanan Taufan, pertanda gairah yang semakin memuncak tanpa pelampiasan.

"Aah, adik Fan-Fan minta dibelai ya?" ucap Maripos dengan suara lembut menggoda. Kedua manik netra lavendernya menatap batang kejantanan Taufan yang mengacung dan berkedut-kedut liar.

"Ngh! Ngh!" Taufan menganggukkan kepala dengan sangat antusias.

"Coba bilang yang betul," ucap Maripos. Kembali ia mendaratkan bibirnya pada puting Taufan.

"Hmmmpff! Hnghh!" Hanya lenguhan dan desahan saja yang keluar dari hidung Taufan selagi ia mendorong-dorong pinggulnya. Dia semakin frustasi karena tidak mendapatkan sentuhan yang sangat ia inginkan untuk memuaskan gairah yang semakin memuncak.

Maripos tidak peduli. Dia terus saja mengulum dan menjilati puting kanan dan kiri Taufan secara bergantian. Sesekali jari-jemari Maripos ikutan menyerang dengan mengelitiki dan menggerayangi bagian rusuk sampai ketiak Taufan yang masih polos.

Frustasi yang tidak berkesudahan itu membuat Taufan semakin menggelepar liar. Batang kejantanannya kini benar-benar basah oleh lendir yang merembes keluar dari ujung kepala kejantanannya itu.

"Fan-Fan mau aku sentuh?" tanya Maripos dengan suara lembut.

Anggukan cepat kepala Taufan menjadi jawaban. Dia sudah benar-benar frustasi sementara dia tidak bisa memohon karena mulutnya masih terbekap.

Maripos terkekeh kecil sembari menutup mulut ketika melihat Taufan yang begitu frustasinya. Dengan sebuah gerakan cekatan, Maripos menyambar gulungan kain yang membekap mulut Taufan.

"Hahhh! Maripos! Le-lepaskan aku!" pinta Taufan sembari memasang tampang memelas.

Maripos membalas dengan tampang merengut. "Tapi aku belum puas memainkan Fan-Fan." Kembali jari-jemari Maripos menari tepat di atas puting Taufan yang terlihat membulat dan keras.

Seakan teraliri sengatan listrik, otot-otot seluruh tubuh Taufan gemetar berkontraksi. Rangsangan dari Maripos kembali memompa gairah dan birahi yang tak kunjung tersalurkan bahkan sampai membuat punggung Taufan melengkung ke atas.

"Ma-Maripoooss!" desis Taufan lirih. Tatapan kedua manik netra biru safir Taufan sudah benar-benar tidak terfokus sementara kedua bibir Taufan menyusul terbuka menganga. "Su-sudah! Ampun!"

"Hm ...," gumam Maripos. Dia menatap ke arah langit-langit kamar seakan tengah berpikir keras.

"Maripoooss!" panggil Taufan lirih.

"Ngga!" Dengan itu Maripos merebahkan dirinya di atas tubuh Taufan. Mulailah Maripoa kembali menjilati puting Taufan seperti seekor kupu-kupu yang tengah menjilat serbuk sari dari setangkai bunga.

Kembali Taufan merasakan perutnya tergelitik. Tubuhnya pun mengejang-ngejang tak berdaya melawan lilitan tali yang membelenggu dirinya. Isi otaknya benar-benar terasa sedang diaduk-aduk, mengaburkan batas antara alam sadar dan tidak.

"Fan-Fan mau aku lepas atau keluarkan?" tanya Maripos setengah berbisik.

"Le-lepaskan!"

"Yakin?" Kembali Maripos mendaratkan lidahnya tepat pada ujung puting Taufan yang masih membulat keras.

"Ahhhh! Ke-keluarkan!" Secepat namanya, Taufan langsung berubah pikiran. "Keluarkan aku!"

"Tapi ada syaratnya-"

"Ahh! Apapun aku mau! Keluarkan aku!" pinta Taufan memotong ucapan Maripos dengan tergesa-gesa.

"Oke." Senyum ceria pun langsung terkembang di wajah Maripos. Dia mengulurkan tangannya ke bawah ranjang dan menarik sebuah botol kecil yang sudah ia persiapkan.

Dari dalam botol itu Maripos mengeluarkan cairan kental yang langsung dituangkan pada liang bokong Taufan. Tidak lupa Maripos mengoleskan cairan kental itu pada batang kejantanannya sendiri.

Taufan meneguk ludah ketika ia merasakan cairan kental dan licin yang dituang oleh Maripos itu dioleskan merata pada liang bokongnya. Tanpa bertanya pun Taufan bisa mengerti apa yang akan dilakukan Maripos, apalagi setelah Taufan mulai merasakan jari Maripos pada liang bokongnya.

Setelah beberapa saat lamanya Maripos menembus liang bokong Taufan dengan jari, mulailah dia menempelkan ujung kepala kejantanannya pada bukaan liang bokong Taufan. Perlahan-lahan Maripos mendesak batang kejantanannya masuk ke dalam liang milik Taufan.

"Ahh!" Secara refleks Taufan mencoba menjauh dari sakit yang ia rasakan dari liang bokongnya. Belum pernah Taufan merasakan liang bokongnya diterjang oleh benda asing, apalagi diterjang batang kejantanan seseorang.

Beruntung Maripos tidak terburu-buru menanamkan batang kejantanannya ke dalam liang Taufan. Dia memastikan otot-otot di sekeliling liang bokong Taufan menjadi terbiasa dengan ukuran batang kejantanannya.

Cairan kental yang dituangkan Maripos berfungsi dengan baik. Begitu licin rasanya batang kejantanan Maripos terasa oleh Taufan ketika liang bokongnya itu diterjang perlahan.

Walaupun begitu tetap saja Taufan merasakan nyeri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Belum pernah ia merasakan ada benda yang mengganjal dan memaksa liang bokongnya terbuka. Dari posisinya saat ini Taufan memang tidak bisa melihat prosesi pendobrakan liang bokongnya namun ia bisa merasakan seakan tubuhnya tengah dibelah hidup-hidup dimulai dari bokong.

"Sakitt," desis Taufan menahan nyeri yang bersumber dari liangnya.

"Tahan sedikit ya Fan-Fan," bisik Maripos sembari menanamkan batang kejantanannya sedikit lebih dalam lagi ke liang bokong Taufan. Sengaja Maripos berlama-lama ketika ia mendorong kejantanannya ke dalam liang Taufan. Dia tahu bahwa otot-otot di sekitar liang Taufan membutuhkan waktu untuk beradaptasi.

Taufan menganggukkan kepalanya dan menggigit bibir bagian bawahnya. Rasa nyeri yang terasa oleh Taufan berangsur memudar dengan bergulirnya waktu, bahkan sekarang rasa nyeri itu digantikan oleh sensasi baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Mimik muka Taufan semakin tidak menentu, apalagi ketika ia merasakan kepala kejantanan Maripos menyentuh sesuatu bagian dalam tubuh yang belum pernah Taufan rasakan sebelumnya. Sensasi yang dialami Taufan itu terasa sangat baru dan asing namun sangat menggelitik birahinya.

Seperti terkena setruman listrik, berkali-kali Taufan mengejang ketika batang kejantanan Maripos didorong keluar-masuk sepenuhnya ke dalam liang bokongnya. Kembali batang kejantanan Taufan berkedut sembari mengeluarkan lendir kental dan tipis.

"Hahhh... Mariposs," gumam Taufan setengah mendesah lembut. Setelah sekian lama barulah Taufan merasakan tangan Maripos membungkus batang kejantanannya. Tidak sabar lagi, Taufan pun mulai berusaha mendorong-dorong pinggulnya untuk menggesekkan kepala kejantanannya yang sudah sangat haus akan sentuhan pada tangan Maripos.

"Ah... Fan-Fannh." Maripos mendesah lembut. Dia pun mempercepat ritme permainannya karena merasakan perutnya semakin tergelitik.

"Ta-Taufaaannn... A-aku... Ahh!" Maripos nyaris menjerit ketika ia akhirnya menumpahkan seluruh isi kejantanannya di dalam liang Taufan. Dia langsung terkulai lemas di atas tubuh Taufan, namun tangannya masih meremas lembut dan memompa batang kejantanan Taufan.

Hanya beberapa detik saja berlalu setelah Maripos mencapai klimaks ketika Taufan mulai merasakan dorongam yang sangat sulit dibendung di dalam kejantanan miliknya. "Ma-Mariposs! Nghh!" lenguh Taufan ketika pada akhirnya seluruh isi kejantanannya meledak keluar dengan begitu kuatnya.

Sedemikian kuat semburan benih kejantanan Taufan bahkan sampai membasahi tubuhnya sendiri dan tubuh Maripos yang menindihnya.

"Ah... Hah... Hah... Ter-terbaik," desah Taufan yang kini terkulai lemas. Sekarang barulah Taufan merasakan pegal dan nyeri pada otot-otot kedua lengan dan kedua kakinya karena sudah terikat cukup lama. Walaupun masih terbelenggu, niatan Taufan untuk berusaha melepaskan dirinya sama sekali tidak muncul di tengah rasa lelah setelah memadu kasih dengan Maripos.

"Lepaskan aku?" pinta Taufan sembari mengangkat kepala untuk menatap Maripos yang kini terbaring di sisinya.

Maripos menolehkan kepalanya dan menatap balik kepada Taufan. Perlahan-lahan sebuah senyum tipis mengukir di wajahnya. "Oh? Nanti dulu Fan-Fan." Senyum tipis Maripos bertukar menjadi seringaian selagi ia mendaratkan telapak tangannya di atas dada Taufan. "Aku belum selesai, hari masih panjang dan kamu... tawananku, Fan-Fan."

Memucatlah wajah Taufan. Dia hanya bisa meneguk ludah dan berserah diri ketika melihat jari-jemari Maripos bergerak mendekati puting dadanya. "A-alamaaak. Habislah akuu ...," lirih Taufan sesaat sebelum tubuhnya berkedut lagi ketika titik sensitif tubuhnya disentuh oleh Maripos.

.

.

.

Bersambung