Taufan menyandarkan tubuhnya sesantai mungkin di atas kursi depan mobil Rolls Royce Wraith yang sedang dikemudikan oleh Maripos. Seluruh tubuh Taufan terasa kaku dan lelah setelah menghabiskan waktu bersama kenalan barunya. Siapa sangka remaja berperawakan feminim macam Maripos itu mampu menguras stamina Taufan sampai titik penghabisan.
Memang sudah cukup lama setelah Maripos dan Taufan meninggalkan hotel tempat mereka memadu kasih namun tanda-tanda pergumulan mereka masih terlihat jelas terutama bagi Taufan. Bekas lilitan tali yang membelenggu kedua tangannya masih tercetak jelas pada kulit di sekitar pergelangan tangan Taufan. Demikian juga dengan kedua pergelangan kaki Taufan walaupun tertutup oleh kaus kaki yang ia kenakan.
Sesekali kelopak mata Taufan memejam lemah sementara tatapan lembutnya tetap tertuju kepada Maripos yang sedang mengendalikan mobil Rolls Royce Wraith miliknya.
"Fan-Fan lelah ya?" tanya Maripos. Sejenak ia melepaskan pandangannya dari jalanan yang tengah ia lalui dan membalas tatapan Taufan.
Tanpa terasa, mobil Rolls Royce Wraith yang dikemudikan Maripos sudah melewati batas kota. Kini mobil iti sudah kembali berada di dalam kota Kuala Lumpur.
"Gimana ngga?" Taufan balas bertanya sembari melipat kedua tangannya di depan dada dan memasang tampang cemberut. "Pundakku pegal habis kamu ikat tadi... Tanganku banyak bekas tali..."
Maripos terkekeh renyah. "Maaf deh... Habis Fan-Fan imut sekali," komentar Maripos dengan disertai pujian tulus.
"Lagipula ..." Mendadak air muka Maripos berubah. Senyum cerianya lenyap seketika digantikan dengan raut wajah kaku. "Ngga tiap hari aku bisa begini."
Tentu saja Taufan melihat perubahan drastis wajah Maripos. "Apa maksudmu?" tanya Taufan sembari menaikkan sebelah alis matanya.
Maripos tidak langsung menjawab. Beberapa kali dia menarik napas panjang sebelum memperlambat laju mobil yang sedang ia kemudikan. "Orangtuaku bekerja sebagai atase kedutaan asing ... Jadi ngga setiap hari aku bisa ada di Malaysia."
Kembali Maripos menarik napas panjang. Beberapa detik lamanya dia terdiam, seakan sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diungkapkan. "Sebetulnya, besok aku akan ikut orangtuaku pulang ke negara asalku. Entah kapan lagi aku bisa kembali ke Malaysia."
Penjelasan dari Maripos itu cukup menjadi jawaban bagi pertanyaan Taufan. Di dalam lubuk hatinya, Taufan bisa merasakan sedikit kesamaan sifat antara dirinya dengan Maripos. "Maripos ...," panggil Taufan dengan suara lembut. Perlahan-lahan manik netra biru safir Taufan bergulir melirik ke arah Maripos.
"Ya Fan-Fan?" balas Maripos tanpa melepas pandangan matanya dari jalanan yang sedang dilalui.
"Kamu ngga punya teman ya?" tanya Taufan. "Eh ... maksudku, kamu kesepian? Duh, eh..." Taufan yang memang terkenal ceplas-ceplos dan tidak pandai berdiplomasi merasa sulit untuk menemukan kata-kata yang bisa ia ucapkan tanpa terdengar menyindir. Seperti kebiasaannya jika gugup, nervous atau cemas, mulailah Taufan terkekeh cengengesan sembari menggaruki pipinya.
"Yah begitulah," ucap Maripos. Wajah ceria tanpa beban remaja itu kini tidak terlihat lagi.
"Ah, maaf!" sahut Taufan dengan tergesa-gesa. Dia tidak ingin membuat konflik dan melukai perasaan Maripos.
Maripos memaksakan segaris senyum di wajahnya. "Ah, ngga apa-apa kok Fan-Fan. Aku sudah biasa begini ... Tapi hari ini aku senang bisa menghabiskan waktu denganmu."
"Ahahaha." Taufan tertawa gugup. Kembali terputar dalam otaknya saat-saat dimana ia diikat di atas ranjang dan diajak main oleh Maripos sebanyak dua ronde tanpa berjeda. Belum pernah Taufan merasa begitu kering dan terkuras habis staminanya.
"Fan-Fan ngga keberatan 'kan main denganku?" tanya Maripos, kali ini sembari mengedip-ngedipkan kedua kelopak matanya.
Pertanyaan Maripos membuat Taufan meneguk ludah. "Ah, ng-ngga kok," jawab Taufan sembari terkekeh gugup. Dia tidak ingin remaja yang baru dikenalnya itu tersinggung.
"Syukurlah kalau begitu. Aku senang bermain dengan Fan-Fan." Senyum Maripos berangsur kembali mengulas di wajahnya.
"Ah, i-iya." Sejenak Taufan mengalihkan perhatian dari remaja yang berada di sampingnya. Walau kurang dari sedetik, Taufan menyadari bahwa Maripos mengemudikan mobilnya melewati stasiun kereta Aero Train ke Pulau Rintis.
"Kita naik ferry saja, aku mau mengantar kamu sampai ke rumah," ucap Maripos. "Mungkin akan masih lama aku bisa ketemu Fan-Fan lagi ... Boleh 'kan aku berlama-lama bersama kamu?"
Sejenak Taufan terdiam. Dia memandangi Maripos yang tengah menunggu jawaban. "Iya, aku ngga keberatan," jawab Taufan, kali ini tanpa ragu-ragu dan ditambah dengan sebuah senyuman termanis.
"Kalau begitu ..." Tanpa basa-basi Maripos langsung mengaitkan lengan kirinya melewati pundak Taufan. "Terima kasih, Fan-Fan," ucap Maripos sebelum menarik Taufan ke dalam pelukannya. Tiada kesulitan yang berarti bagi Maripos untuk mengemudikan mobilnya sembari memeluk Taufan.
Memang perjalanan menuju Pulau Rintis dengan menggunakan kapal ferry memakan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan menggunakan kereta cepat Aero Train. Walau lebih lama, tidak ada diantara Maripos atau Taufan yang keberatan dengan waktu ekstra yang dibutuhkan untuk menyeberangi selat yang memisahkan semenanjung Malaya dengan Pulau Rintis.
Waktu nyaris tepat menunjukkan pukul sebelas malam ketika mobil Rolls Royce Wraith milik Maripos tiba di depan kediaman Taufan dan saudara-saudaranya.
"Sampai kita ketemu lagi, Fan-Fan," ucap Maripos dengan suara lembut setelah ia menghentikan mobilnya di depan rumah kediaman Taufan. Dipandanginya remaja bernetra biru safir dengan tatapan lembut mendamba.
Taufan terdiam. Dia membalas tatapan mendamba Maripos dengan tatapan yang sama persis. Entah mengapa Taufan merasakan setitik kesedihan karena perkenalannya dengan Maripos berlangsung begitu sebentar dan harus langsung berpisah.
Di satu sisi Taufan masih ingin mengenal Maripos lebih jauh lagi, namun di sisi lain Taufan juga tahu bahwa Maripos tidak bisa tinggal lebih lama lagi di Malaysia.
"Kamu harus telpon aku kalau ada rencana ke Malaysia lagi ya?"Suara Taufan kali ini terdengar sedikit tercekat seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam tenggorokannya.
Maripos menjawab dengan sebuah anggukkan kepala. Senyum mengulas di wajah Maripos, mengkhianati tatapan sendu kedua matanya. Setelah beberapa saat terdiam, Maripos mengulurkan kedua tangannya dan menangkup kedua pipi Taufan.
Tidak perlu kata-kata lagi yang terucap. Maripos menempelkan bibirnya pada bibir Taufan. Dengan penuh kelembutan Maripos memberikan cumbuan yang terakhir kali kepada Taufan. Waktu pun terasa berhenti ketika lidah kedua remaja itu saling bertautan.
"Sampai kita ketemu lagi, Mari ... Mar," ucap Taufan sembari menyungging senyum selepas cumbuannya dengan Maripos.
Kedua netra lavender Maripos membelalak. "Hah? Apa kamu panggil aku?" tanya Maripos keheranan.
"Kamu panggil aku Fan-Fan. Boleh dong aku panggil kamu MariMar?" Taufan terkekeh jahil selagi ia membuka pintu mobil.
"Hey aku bukan tokoh sinetron Meksiko ya!" ketus Maripos. Walaupun nada suara Maripos terdengar kesal, tetap saja ia tersenyum dan terhibur dengan tingkah polah Taufan yang jahil.
Paling tidak perpisahan Taufan dengan Maripos berujung dengan tawa dan senyum. Tiada penyesalan dalam hati Taufan selagi ia memandangi mobil Rolls Royce Wraith milik Maripos yang berlalu meninggalkan dirinya di depan rumah. Bahkan senyum ceria Taufan tetap terlihat mengulas di wajahnya setelah mobil milik Maripos menghilang dari pandangan. "Seru juga tadi itu," gumam Taufan sembari memandangi pergelangan tangannya yang masih berbekas lilitan tali.
Baru saja Taufan hendak melangkah masuk ke dalam rumah ketika ia dikejutkan oleh suara nyaring knalpot mobil dari kejauhan yang semakin mendekat. Kerasnya suara knalpot mobil itu jelas sekali mengindikasikan mobil itu dipacu dengan kecepatan cukup tinggi.
Terlihatlah sebuah mobil Toyota JZX berwarna ungu ketika Taufan menolehkan kepalanya. Dia sangat mengenal mobil berpintu empat dan bersuara knalpot cukup nyaring itu.
"Fang?" Taufan menegur Fang yang turun dari mobil Toyota JZX itu. "Apa yang-"
Mendadak kedua kelopak mata Taufan membelalak lebar ketika ia melihat seorang lagi yang turun dari mobil milik Fang. "So-Solar?"
"Sini kau Taufan!" dengkus Fang sembari berjalan mendekati Taufan. Dengan cepat Fang menyambar lengan Taufan. "Sudah kubilang jangan ember 'kan? Solar nyaris ketahuan Gempa tuh!"
"Eeh?" Taufan meneguk ludahnya. Sebuah firasat buruk langsung menghantui benaknya apalagi ketika dirinya langsung ditarik Fang menuju mobil yang sudah terparkir. "Ta-tapi-"
"Ngga ada tapi-tapi. Ayo sini!" ketus Fang sembari memaksa Taufan masuk ke dalam mobil, dimana Solar sudah menunggu.
"Halo Kak Taufan," sapa Solar dengan senyuman lebar. "Seru ya tadi jalan-jalan sama Maripos?" Solar lanjut bertanya sembari terkekeh.
Tentu saja Taufan terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Solar tahu akan perihal Maripos.
"Aku cukup kenal Kak Maripos kok ... Kak Ufan pikir darimana dia dapat obat tidur itu?" tanya Solar sembari tersenyum-senyum.
Tercenganglah Taufan dengan tidak elitnya setelah mendengar kata-kata Solar.
"Dunia belok seperti ini sempit, Kak Ufan... Tentu aku kenal Kak Maripos," ucap Solar sembari membetulkan letak kacamatanya. "Nah karena Kak Ufan sudah ember..."
"Sepertinya kamu harus diberi pelajaran, Fan." Fang menyambung ucapan Solar. Dia memutar kunci kontak dan menyalakan mesin mobilnya. "Semoga kamu betah menginap di rumahku barang satu atau dua malam," lanjut Fang sembari menyeringai setan.
Usaha Taufan membuka pintu mobil berakhir sia-sia karena pintu bagian belakang mobil milik Fang itu terkunci dengan tuas anti anak yang membuat pintu itu hanya bisa dibuka dari luar mobil. "Alamaaak ... Habislah aku...," lirih Taufan selagi ia membayangkan dirinya menjadi bulan-bulanan Fang dan mungkin Solar.
.
.
.
Tamat.
Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk membaca, semoga berkenan. Mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan.
Saran, kritik, review dan komentarmu sangat saya hargai dan sebisa mungkin akan saya balas dengan kebaikan pula.
"Unleash your imagination."
