.
Go To A Low-Level Dungeon But End Up With Tragedy
.
.
"Woi Morgan Freeman! Keluar kau! Gw nggak tahu kenapa gw bisa balik ke sini, tapi ada yang mau gua tanya!"
"Namaku Iosa, Arzio." Si Dewa menampakkan diri dari balik kegelapan. Dengan santainya dia berjalan manghampiri anak itu. "Dan alasan kenapa kau bisa kembali kesini tak lain adalah karena aku yang mengkehendakinya-"
FALCON PUNCH!
Arzio mendaratkan pukulan uppercut ke wajah Iosa. "Pak tua kampret! Apa-Apaan maksud lu hah!? Gw kira gw doang yang dikirim ke dunia itu. Knapa ada 5 orang lagi!? Dan lagi napa lu nggak ngasih tahu gw!"
"D-Dengarkan dulu nak Arzio! Ini salah paham!" Sanggah si Dewa. Dia kembali berdiri dibantu Arzio. "Alasan kenapa aku tidak memberitahumu tak lain adalah karena aku sendiri tidak tahu. Berbeda denganmu yang khusus aku kirim ke dunia itu, mereka tidak sama sekali." Ujarnya lagi.
Anak itu mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu?"
"Bukan akulah yang membawa mereka ke dunia itu. Tapi para manusia, orang-orang yang kau lihat kemarin, mereka lah yang sudah memanggil ke-5 orang itu."
"Jangan bilang kalau mereka juga bakalan diutus buat ngalahin raja iblis?"
"Mungkin iya...mungkin juga tidak..."
"Memangnya apa tujuan lainnya?"
"Saat ini kita belum tahu." Jawab Iosa. "Kau tahu sendiri kan kelicikan manusia tak ada batasnya. Jika memang mereka ingin meminta pahlawan untuk mengalahkan raja iblis, kenapa tak mereka minta langsung pada kami para Dewa?"
Kata-kata barusan menohok dalam ke dada Arzio. Dia menggeram kesal. "Dan kau ingin aku menyelamatkan mereka?"
"Lho? Sejak kapan?" Dewa itu balik bertanya. Dengan senyum mengerikan di wajahnya dia berkata. "Aku hanya memintamu mengalahkan raja iblis. Bukan melindungi umat manusia."
"Hooo. Aku suka gayamu pak tua." Anak itu terkagum-kagum. "Jadi selebihnya terserah padaku apa yang akan aku lakukan ya?"
Iosa mengangguk. Dia tersenyum pada Arzio. Arzio sendiri tertawa kecil dibuatnya. "Ya sudahlah. Kalau begitu, bisa kau kirim aku kembali pak tua?"
.
.
.
.
"Mmmm...dimana aku?" Tanya Arzio seraya membuka matanya. "Oh...benar...ini dungeon ya..."
Anak itu terbangun dan mendapati dirinya duduk bersandar pada sebuah dinding tua yang habis ditutupi lumut. Dia ingat sekarang. Mereka semua di tugaskan oleh yang mulia raja untuk memasuki dungeon agar bisa bertambah kuat. Dan berhubung ini dungeon untuk pemula, seharusnya tak ada masalah.
5 Orang itu mendapat kekuatan yang luar biasa ketika mereka dipanggil ke dunia ini. Liam, seorang pria kantoran, menjadi ksatria dengan pedang suci ditangannya. Ali, pekerja tambang, menjadi Warlord. Sofia, seorang ibu rumah tangga, menjadi healer. Audrey, pekerja customer service, menjadi Priest. Dan Yuki, siswi SMA, menjadi Mage. Mereka tampak senang dengan peran mereka didunia baru. Padahal Arzio sudah mati-matian memperjuangkan kebebasan mereka menentang sang raja.
Arzio sendiri class-nya tak terdefinisi. Nampaknya Iosa memberinya pertolongan sehingga kerajaan tak bisa mengetahui skill, class ataupun kekuatannya yang sebenarnya. Tapi akibatnya dia di-cap tak berguna oleh orang-orang. Pahlawan gagal.
"Hei teman-teman. Benar kalian nggak masalah dengan semua ini?" Tanya anak itu pad teman-temannya yang kini sedang duduk mengelilingi api unggun. "Apa kalian yakin kalian nggak mau pulang?"
"Tentu saja aku mau pulang." Jawab Liam. "Aku punya istri yang cantik dan dua orang anak yang menunggu-ku di rumah. Tapi kau dengar apa yang raja bilang kan. Jika kita berhasil, kita akan diberikan banyak sekali kekayaan!"
"Iya!" celetuk Audrey. "Kita kalahkan raja iblisnya dulu, baru kita kembali. Uangnya akan ku pakai buat bikin perusahaan sendiri!"
"Lagipula apa yang kau takutkan nak Arzio? Kita ini kan punya kekuatan yang luar biasa. Lawan raja iblis mah gampang."
Arzio hanya diam. Dia tak berkeinginan menghancurkan mimpi indah mereka. Namun dia takut. Dia tak ingin orang-orang ini sampai kehilangan nyawa mereka di pertarungan. "Kalau kalian bilang gitu sih akupun nggak punya hak buat maksa. Hanya saja kalian juga harus ingat, kalau kalian mati di dunia ini, kalian juga bakalan mati di dunia asal kalian." Kata anak itu.
Mereka terdiam mendengar perkataan Arzio barusan. Alasannya tak lain adalah karena perkataan anak itu ada benarnya.
"Kalau begitu sebisa mungkin kita nggak boleh mati! Nggak satupun dari kita yang boleh mati. Kita kalahkan raja iblis itu bersama, lalu kita kembali ke dunia kita!" Seru Liam. Seperti seorang pemimpin yang hebat, kata-katanya berhasil mempengaruhi yang lainnya. Arzio ikut senang. Tapi dia masih saja takut.
Sofia menghampiri Arzio. Naluri keibuannya menyadari rasa takut yang ada pada anak itu. Dia duduk disampingnya. "Tak apa. Semuanya pasti akan baik-baik saja kok." Ujarnya lembut, berusaha menenangkan anak itu.
Arzio mengangguk. "Ya. Aku harap begitu."
Mereka beristirahat sambil memakan daging monster yang barusan mereka bunuh di awal. Baru 2 hari tapi nampaknya orang-orang itu jauh lebih mudah beradaptasi dengan dunia ini daripada Arzio. Saat anak itu masih bingung dengan kenyataan, mereka telah menapakkan kakinya jauh di depan dirinya. Arzio sendiri tak mempermasalahkannya. Selama mereka masih hidup, itu sudah cukup.
"Baiklah! Ayo kita lanjutkan!" Seru Liam. Mereka ber-enam melanjutkan perjalanan masuk lebih dalam ke dungeon. Ali dan Liam maju di depan untuk membuka jalan, Yuki dan Audrey bersiaga di belakang untuk berjaga-jaga, sedangkan Arzio dan Sofia di tengah-tengah. Ini lebih aman karena Sofia berperan sebagai support sedangkan Arzio bahkan tak tahu caranya bertarung. Tugasnya hanyalah mengumpulkan loot item dan menyimpannya di inventory box miliknya.
"Arzi-kun, kau masih takut ya?" Tanya Sofia yang menyadari sikap Arzio. "Tidak perlu takut. Ini kan Cuma dungeon awal. Kita pasti aman kok."
"Apa kau tidak takut mati, Sofia-san?" Tanya anak itu. "Bagaimana kalau kau tidak bisa kembali ke dunia asalmu?"
"Entahlah." Jawab wanita itu. "Ku rasa tak kembali pun bukan masalah bagiku."
"Eh? Apa maksudmu Sofia-san?" Tanya Arzio lagi.
"Di dunia sana aku udah nggak punya tujuan lagi. Suamiku dan aku bercerai dan dia membawa putri ku pergi bersamanya. Jika saja tidak datang ke dunia ini mungkin aku sudah gantung diri di rumahku sekarang."
"B-Begitu..." Arzio tertegun. Dia lupa kalau semua orang punya masalahnya masing-masing. Dia hanya tak mau sampai ada korban diantara mereka semua.
Mereka masuk makin dalam ke Dungeon. Tak ada masalah berarti bagi mereka sejauh ini. Seperti yang dikatakan oleh raja, dalam sekejap level mereka sudah naik. Terkecuali Arzio tentunya.
Pada akhirnya mereka sampai ke lantai paling akhir dari dungeon itu.. Disana sangat gelap. Sihir api milik Yuki menjadi satu-satunya penerangan. Tempat itu sangat luas dan sangat besar. Setiap sisinya dipenuhi oleh batuan stalaktit yang menopang tempat itu. Apa yang mereka cari-cari juga ada disana, emas dan harta yang berlimpah. Senjata legendaris, buku sihir kuno, dan segala macamnya.
Semuanya berteriak kegirangan. Mereka langsung berenang dalam lautan harta. Tapi Arzio tidak. Dia merasa ada yang tak beres. "Tidakkah menurut kalian dungeon ini terlalu mudah untuk hadiah sedemikian besar?"
"Ahh ayolah! Kau terlalu paranoid!" Timpal Ali. "Ayo sini! Ambil seberapa banyak yang bisa kau bawa! Kita bakalan kaya!"
Arzio menurut saja. Dia pun mengampiri mereka. Tapi kemudian dia secara tak sengaja menendang sesuatu. Betapa terkejut dirinya saat mendapati apa yang dia tendang itu adalah tengkorak manusia. "A-Apa ini?" Ternyata tak hanya satu. Ada banyak sekali tulang belulang manusia disana.
Tak lama, 9 pasang mata bersinar dalam kegelapan. Api menyembur deras dari pemilik 9 pasang mata itu, membakar semua yang ada di dekatnya sehingga kini tempat itu menjadi terang. Mereka semua langsung terperangah saat melihat jelas sumber dari semburan api barusan yang tak lain adalah seekor naga raksasa berkepala 9.
"Itu Hydra!" Seru Audrey. "Bagaimana bisa Hydra ada di dungeon pemula seperti ini!?"
"Hydra? Monster tingkat tinggi itu? Apa artinya semua ini!?" Tanya Ali. "Bukannya raja bilang dungeon ini isinya Cuma monster kelas bawah!?"
"M-Mungkin saja monster itu tiba-tiba pindah kesini dan raja nggak tahu?" papar Yuki.
"Itu nggak mungkin!" Sela Arzio. "Udah jelas kalau monster itu udah tinggal lama disini."
"Jadi kita dibohongi!?" Liam menggeram kesal.
Monster itu mendekat. Mereka berenam pun perlahan mundur. "S-Sekarang kita harus apa?" Tanya Sofia yang gemetar ketakutan.
"Lari! Kita keluar dari dungeon ini! Saat ini kekuatan kita belum cukup buat ngelawan dia!" Seru Liam.
Sesuai perintah, mereka pun melarikan diri dan kembali ke lantai sebelumnya. Tapi Hydra tak membiarkannya begitu saja. Dari mulutnya dia tembakkan bola api ke gerbang sihir yang menghubungkan lantai itu sehingga gerbang itu hancur dibuatnya.
"Nggak ada cara lain! Kita lawan!" Kata Ali. Dia langsung maju dengan BattleAxe di tangannya. Aura merah muncul menyelimuti tubuhnya. Dia pun melompat lalu menepaskan kapak miliknya pada kepala monster itu. Hydra kena. Kepalanya langsung putus dibuatnya. "Berhasil! Ini tidak terlalu sulit. Ayo!"
Melihat aksi Ali barusan, mereka semua kembali bersemangat. Tapi semangat itu kemudian pudar ketika melihat kepala Hydra yang dipotong oleh Ali tadi membusuk dan kepala baru tumbuh. Monster itu beregenerasi.
Ali pasrah. Monster itu pun kemudian menembakkan bola api yang langsung meledakkan tubuh pria hingga hancur itu berkeping-keping.
"ALIII!" Liam maju. Dengan pedangnya dia melesat dan menebaskan kilatan cahaya pada monster itu. Seperti sebelumnya, Hydra kena, tapi dalam sekejap lukanya kembali sembuh. Salah satu dari kepala Hydra itu bergerak cepat menelan tubuh Liam.
"TIDAAKK!" Arzio menjerit ketakutan. "Tak bisa begini. Aku harus berubah! Bagaimana caranya!?"
"Henshin!" Dia mencoba memperagakan cara berubah Kamen Rider Ghost, tapi tak ada yang terjadi. "Henshin! Henshin! Henshin! Kenapa tidak bisa!? Ayo berubah! Rubah aku jadi Kamen Rider Ghost!"
"Kalian semua larilah! Aku akan menahanny-" Belum lagi Audrey menyudahi ucapannya, api panas sudah membakar tubuhnya hingga gosong. Sontak saja Yuki pun menjerit ketakutan. Tapi hal itu malah mengundang perhatian si monster. Dan BLAM! Bola api pun meledakkan tubuhnya.
Sofia dan Arzio terlempar jauh. Kepala anak itu membentur batu hingga berdarah. "Arzio!" Teriak Sofia. Dia langsung berlari ke arah anak itu untuk mengobati lukanya, melupakan keselamatannya sendiri. Dia tak sadar kalau Naga berkepala banyak itu sudah melecutkan ekornya ke arah dirinya.
"SOFIAAA!" Tanpa pikir panjang, Arzio berdiri dan melesat menuju wanita itu. Sekuat tenaga dia dorong tubuh wanita itu sehingga dia selamat dari ekor Hydra. Sebagai gantinya, kepalanya kena oleh serangan monster itu dan hancur seketika. Dia tewas. Tubuhnya ambruk dan menggelepar beberapa saat sebelum kemudian diam sepenuhnya. Dengan darah mengucur deras dari kepalanya yang hancur tak bersisa.
"Arzio!" Panik. Sofia langsung menghampiri anak itu. Dia rapalkan sihir penyembuhnya berkali-kali pada tubuh anak itu. Dia menangis. "Aku mohon! Tolonglah! Hidupkan dia kembali!"
Hydra tadi kini beralih pada Sofia. Kepala-kepala monster itu sudah bersiap hendak melahap wanita itu. Sofia sendiri tak mempedulikannya. Dia terus saja merapal mantera healing miliknya pada Arzio.
"Aku mohon hiduplah! Arzio!"
Sang Hydra mengaum keras. Kuatnya galombang angin yang tercipta dari auman barusan membuat Sofia terpental jaug dari sana. Tubuhnya terguling di tanah sebelum kemudian terhenti ketika menabrak batu besar. Kakinya terkilir. Dia meringis kesakitan. Sofia sendiri tak lagi bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menangisi ketidakberdayaannya dan nasib malangnya. "Tolong..." pintanya lirih, berderaian air mata.
JDAARR
Tiba-tiba saja bunyi guntur terdengar dari sana. Sontak saja sang Hydra san Sofia kaget. Mengingat mereka saat ini berada jauh di dalam tanah. Tak lama setelah itu, simbol mata berwarna oranye muncul tepat di atas mayat Arzio yang kini diliputi oleh asap hitam pekat.
"A-Arzio?"
Dengan sendirinya tubuh Arzio berdiri. Kepalanya yang tadinya hancur perlahan mulai terbentuk kembali dan utuh seperti sebelumnya. Luka-lukanya sembuh. Ghost Driver muncul dan terpasang dengan sendirinya di pinggangnya. Arzio yang sudah tewas, kini kembali hidup. Sehat seperti sedia kala.
"Jadi begitu...tak hanya berubah jadi kamen Rider Ghost, aku juga mendapat kekuatan Kamen Rider Ghost sepenuhnya..." Gumam anak itu. Kali ini 3 buah ikon circular dengan masing-masing bergambar wajah Ghost, Zero-One dan Zi-O hadir di depan matanya. Hanya saja selain Ghost, dua ikon lainnya sedikit gelap pertanda belum bisa digunakan. "Masih sama seperti di dalam game."
Dia tekan ikon bergambar wajah Kamen Rider Ghost. "Kalau begitu baiklah. Henshin!"
[Batchiriminaa~]
[Kaigan!] [Ore!]
[Let's go! Kakugo!]
[Go Go Go! Ghost! Go! Go! Go! Go!]
Asap hitam mengepul menutupi seluruh tubuhnya. Dari dalam asap hitam pekat itu keluarlah sesosok ksatria hitam legam dengan garis-garis oranye menyala pada dada, tangan dan kakinya. Helm hitam bertanduk dengan visor bersinar menyerupai wajah berwarna oranye dan sepasang mata hitam besar. Tubuh bagian atasnya juga ditutupi oleh semacam jaket berwarna dominan hitam dan sedikit selingan warna oranye. Dia berubah menjadi Kamen Rider Ghost. Tak seperti di serial tv yang dulu dia tonton, transformasi Ghost menjadi sangat sederhana.
Ghost melayang menghampiri monster besar itu. Sang Hydra pun tak tinggal diam. Dari mulutnya dia semburkan api super panas pada Ghost. Namun serangan itu menembus Ghost begitu saja. Tak ada dampak atau kerusakan pada Ghost, serangan itu lewat begitu saja. Seperti hantu.
Gan Gun Saber muncul di tangan sosok itu. Dengan pedangnya itu dia tebas salah satu kepala Hydra hingga putus. Tapi sama seperti sebelumnya, kepala yang putus tadi membusuk sementara kepala baru tumbuh. Makhluk ini benar-benar tak dapat dikalahkan dengan mudah.
"Aku harus ganti form. Tapi bagaimana caranya!?" pikir Ghost. Dia kemudian tersadar ketika sang Hydra menembakkan bola energi cahaya dari mulutnya. Kali ini Ghost kena. Dia pun terlempar namun dengan mudah kembali menyeimbangkan tubuhnya. Nampaknya cahaya adalah kelemahan Ghost di dunia ini.
Pertarungan mereka berlanjut. Hydra terus mengejar Ghost sementara Ghost sendiri terus melancarkan serangan yang sia-sia. Setiap kali pedangnya menyayat tubuh naga berkepala banyak itu, lukanya beregenerasi dengan cepat. Sementara si Hydra yang sudah tahu kelemahan Ghost pun terus-terusan menembakkan bola cahaya pada Ghost. Tak ada celah baginya.
Di tengah-tengah pertarungan, muncul lagi satu buah ikon circular di sisi kanan bawah pandangannya. Kali ini dengan tulisan 'BC'. Ghost terperanjat. "Mungkin kah!?". Cepat-cepat dia tekan tombol BC itu. Berkatnya, tubuh Ghost bersinar.
"BOOST CHANGE!"
[Mugen Shinka!]
[Batchiriminaa~] [Batchiriminaa~]
[Cho Kaigan! Mugen!]
[Keep on going! Go, Go, Go! Go, Go, Go! Go, Go, Go! Gotta! Ghost!]
Ghost yang tadinya hitam-oranye berubah menjadi putih dengan banyak glitter dan lambang infinity beragam warna ditubuhnya. Visor wajah berwarna hitam dengan dua mata besar berwarna oranye. Inilah final form milik Ghost, Mugen Damashii.
"Jadi begitu. Cara kerjanya sama seperti di dalam game!"
Dengan Gan Gun Saber di tangannya, Ghost terbang ke tinggi ke atas lalu menukik tajam ke bawah. Naga itu kembali menembakkan bola cahaya bertubi-tubi, namun kini semua itu tak mampu melukai Ghost. Ghost tetap saja melesat menuju monster itu. Dia tarik tuas pada sisi kanan Ghost Driver miliknya.
[Inochi! Dai Kaigan!]
Simbol segel milik Mugen Damashii muncul dibelakang tubuh Ghost. Simbol segel itu kemudian bersinar dan berpecah menjadi kumparan energi beragam warna yang kemudian masuk ke batang pedang Gan Gun Saber. Dia bersiap.
[Kanashimi Break!]
"HEAAA!" Sekuat tenaga dia tebaskan pedangnya ke tubuh monster itu. Hydra pun kena. Akibat kekuatan Ghost barusan, kemampuan regenerasinya rusak. Hydra rubuh. Tubuh monster itu bersinar, lalu kemudian terurai menjadi serpihan cahaya. Hilang tak bersisa.
Ghost berdiri mantap membelakangi Hydra yang menghadapai kematiannya. Gan Gun Saber menghilang. Dia segera pergi menemui Sofia yang masih takjub dengan aksinya barusan. Tapi tiba-tiba saja sebuah layar pop-up muncul. [25 Hero Stone acquired] Isi pesan tersebut.
Ghost sontak menghentikan langkahnya. Kaget dan keheranan, dia memiringkan wajahnya. "Hah!? Hero Stone!?"
.
.
.
