Ketika Erik, Bob dan beberapa Sipir lainnya datang ke sana, hampir semua telah tergeletak dan menyebar hampir di seluruh ruangan, mengeliat dan mengerang kesakitan. Ada yang tersampir di beberapa alat fitness. Charles sendiri ditemukan roboh di bawah seorang pria yang pingsan. Wajahnya kacau oleh darah, dan pakaiannya kusut, bernoda serta koyak. Tapi dia masih bertahan. Sipir langsung mengamankannya untuk di bawa ke klinik, karena ditemukan luka bocor di kening dan luka tusukan di perut sisi kanannya.

.

X-Men

(Yang tentu saja bukan milik saya)

Chara : Charles Xavier & Erik Lehnsherr

Warning : Kekerasan, umpatan, ucapan kurang sopan. Dan bromance, mungkin.

Tentu saja, penjara, narapidana dan hal buruk lainnya.

.

Break The Line Part 3

Enjoy~

.

.

.

..

"Luka tusukan tidak terlalu dalam, beruntung itu tidak mengenai organ vitalmu, akan sembuh dalam beberapa hari, aku yakin. Kaki terkilir, dan luka pada kening tidak menjadi masalah. Semuanya normal."

"Terimakasih, Dokter.."

"Hank. Dokter Henry McCoy. Kau bisa menyebutku Dokter Hank."

"Ya, Dokter Hank. Terimakasih banyak."

"Tapi kamu perlu ke psikiater untuk memeriksa adanya trauma. Ini hari ketigamu di sini, kupikir itu akan mempengaruhimu setelah kejadian." Lalu dia di tinggalkan.

Charles menghela napas, melirik tangan kanannya yang di borgol pada palang besi ranjang klinik. Lukanya telah diobati dan dibebat sangat baik. Tapi luka di kening hanya ditutup dengan kapas dan plester. Hari ini dia telah membunuh seorang pria, itu adalah seseorang yang ia tusuk di lehernya. Beruntung yang lainnya tidak meregang nyawa. Mereka telah diamankan dan terbaring di sisi klinik yang lain. Charles memejamkan mata, tubuhnya gemetar karena kengerian. Dia tidak pernah merasa senang melukai orang lain, rasanya seperti dia telah melukai dirinya sendiri. Hatinya perih dan itu hampir membuat matanya panas membayangkan darah terciprat di wajahnya. Atau bagaimana pria itu panik, kesakitan dan memegang lukanya. Perlahan ia mengangkat tangan kirinya, menatap lama pada tapak tangannya yang masih terasa panas akibat perkelahian. Meski itu telah bersih, rasanya noda itu tidak hilang. Sama sekali tertinggal. Membuat tangannya gemetar sehingga ia perlu menggenggam sesuatu untuk menetralkannya.

"Sial.." Bisiknya pada dirinya sendiri. Matanya segera terpejam erat, dan ekspresinya pias karena terus memikirkan betapa panas darah itu mengenainya. Sekali lagi, dia benar- benar ingin membenturkan kepalanya sendiri ke dinding.

Bagaimana jika pria itu memiliki keluarga yang menantinya di rumah?

Bagaimana jika dia hanya terpaksa bertindak keras karena tertindas?

Tidak semua yang nampak jahat adalah penjahat itu sendiri.

Dan sialnya Daniel berhasil melarikan diri dan bersembunyi saat para sipir datang.

Bajingan pengecut itu!

"Aksi yang hebat Charlie." Suara Bob membangunkannya. Ia bisa melihat Bobby mendekat dan duduk di kursi yang ditinggalkan dokter. Menatapnya tanpa ekspresi.

"Selamat, kau semakin terkenal." Cemoohnya. Charles tertawa, tapi itu bukan tawa yang bahagia, nyaris menyedihkan.

"Kupikir aku akan dipindahkan. Kita tidak akan bertemu lagi."

Bibir Bob mengerucut, kurang setuju. "Keamanan sedang melihat rekaman CCTV. Itu bisa menjadi bukti bahwa kau sedang membela diri. Setelah beristirahat akan ada yang membawamu untuk diinterogasi. Dan itu tergantung 'ceritamu'. Mereka tidak akan bisa memindahkanmu jika itu adalah aksi membela diri."

"..."

"Kau gemetar, Charles. Aku tahu kau tidak berniat membunuhnya. Tapi lain kali dengarkan nasehatku. Jangan menantang bahaya sendirian."

Charles terdiam, menatap kesungguhan di mata kawannya. Dan dia tersenyum lega bahwa masih ada seseorang yang peduli dengannya, ia bahkan tidak merasakan air telah mengalir dari matanya sebelum terkekeh karena Bobby tampak khawatir. "Temui psikiatri." Saran pria itu.

Dan Charles hanya mengangguk ringan, "Ya, akan aku mencoba."

.

...

.

Dia pikir, dia akan dibawa ke ruang interogasi setelah seharian beristirahat di klinik. Tapi kemudian dua orang sipir muda itu malah menyeretnya ke ruang direktur. Dan menduduknya di kursi panas dan berhadapan dengan direktur itu sendiri.

Namanya Sebastian Shaw, Charles dapat membacanya di papan nama yang berdiri di atas meja. Ia memiliki wajah dan hidung yang runcing. Berkerut dan keriput karena usia tua. Rambutnya berwarna coklat emas dan disisir rapi. Dia punya bahu yang bidang, dibalut setelah seragam dinas yang membuatnya terlihat gagah dan penting. Jika dia lebih muda, dia pasti adalah pria yang tampan. Tapi senyumnya mengerikan, menciptakan kerutan di sisi- sisi matanya yang menyipit.

"Charles Francis Xavier, bagaimana kabarmu, nak?" Dan suaranya ramah, seperti seorang ayah yang bertanya kepada putra bandelnya.

Charles sendiri sedikit meringis mendengarnya, dan tiba- tiba saja lukanya kembali sakit. "Yah, saya baik- baik saja. Dokter Hank membantu pemulihan saya dengan baik. Dokter berbakat."

Direktur masih tersenyum, melihat ke arah Charles tanpa bisa dibaca niatnya. Dan Charles hanya merasa gugup dan berusaha melihat kemanapun asal bukan pada pria itu. Entah bagaimana dia punya perasaan tidak senang dengan pria di hadapannya.

"Aku melihat aksimu di CCTV. Itu luar biasa, dapat mengalahkan dua belas orang dan salah satunya meregang nyawa."

Menggigit bagian dalam pipinya, Charles menunduk. Kejadian itu terbayang lagi seperti rekaman yang dinyalakan. Dan gemetarnya kembali lagi. Tampak jelas pada kedua tangannya. Dan sialnya, Shaw melihat itu.

Dia terkejut, Charles tidak tahu itu sungguh- sungguh atau hanya drama. Tapi lelaki itu maju. Menjangkau tangannya dan melihatnya dengan prihatin. "Nonono, Charles, jangan takut. Aku tidak akan memberimu hukuman. Aku tahu posisimu, tidak bisa lari kemanapun saat dikeroyok lebih dari 10 orang. Pasti sangat membuatmu takut, dan tidak ada seorangpun yang membantumu saat itu. Aku senang bukan kau yang berakhir terbaring di ruang mayat dan dikirim kepemakaman." Suaranya pelan, seperti bisikan. Tapi Charles mampu menagkap desisan sarkasme itu dengan baik.

"Lain kali, sayang. Lebih berhati- hatilah agar kejadian yang sama tidak terulang lagi. Aku akan sangat tidak senang untuk memaksamu pindah ke wilayah sel blok A. Apa kau mengerti?"

Ini peringatan.

Charles tahu. Namun dia tidak mengerti mengapa dia diancam seperti ini, ketika Shaw sendiri yakin dia sedang membela diri saat itu. Atau mungkin dia sebenarnya tidak yakin dan menganggapnya bersungguh- sungguh untuk membantai?

Charles hanya membunuh satu orang. Tidak lebih.

"Ya, saya mengerti. Terimakasih banyak, Sir."

"Pergilah, obati dirimu. Mungkin kamu butuh nona Raven untuk membantumu melewati trauma. Dia psikiater berbakat di sini." Tangannya dilepas. Yang tidak menunggu waktu lama bagi Charles untuk bangkit dan mengundurkan diri. Kakinya terkilir, itu hanya di sebelah kanan. Jadi ia hanya bisa melangkah perlahan untuk mengurangi tekanan yang menyakitkan.

.

...

.

Dia sampai di selnya setelah waktu makan malam lewat. Beruntung Bobby menunggunya di depan sel dan membawa roti sandwich. "Aku mencarimu di klinik, tapi Alex mengatakan kau dibawa ke ruang direktur. Apa kau baik- baik saja?" Ujarnya, yang sangsung membantu memapahnya memasuki kamar. Erik tidak terlihat di manapun.

"Tidak apa- apa. Mereka hanya menanyakan kabarku."

"Kau tidak akan dipindah?" Bobby berjongkok. Di depannya saat ia duduk di atas kasur Erik. "Tidak, itu kasus membela diri. CCTV menyelamatkanku."

"Itu bagus." Mengangguk senang, Bob akhirnya menyerahkan rotinya. "Makan dan beristirahatlah. Aku akan di tempatku."

"Ya, terimakasih Bobby."

Mereka berpisah. Lalu beberapa saat kemudian Erik masuk dengan handuk tersampir di bahunya. Berhenti di tengah jalan keluar untuk menatap lama pada Charles sebelum benar- benar masuk dan meraih pasta giginya di washtafle.

"Bagaimana lukamu?"

"Baik, sudah masa pemulihan. Luka keningku sudah kering. Terimakasih."

Mata abu- abu meliriknya, tapi itu hanya sesaat ssebelum ia kembali sibuk menyikat gigi. "Kakimu bengkak."

"Ya, benar. Ini sudah lebih baik."

"Aku akan tidur di atas. Kau bisa menempati kasurku."

"Kenapa?"

"Karena kakimu bengkak." Awalnya Charles tidak mengerti mengapa dia harus tidur di ranjang orang lain. Tapi kemudian hanya mengangguk karena tahu, memanjat akan mempersulitnya karena kakinya bengkak. Jadi dia tersenyum, dan melihat Erik yang kini berkumur.

"Ya, benar, benar, terimakasih lagi."

"Namamu Xavier?"

"Hmm?"

"Xavier. Charles Francis Xavier."

Mereka bertatapan, Charles tidak mengerti. Wajah Erik terlalu datar untuk bisa dibaca, jadi dia hanya mengangguk untuk membenarkannya.

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku membaca berkasmu di Hank."

"Dokter Hank."

"Kau benar- benar anak pungut?"

"Ya, mereka bilang aku anak pungut."

"Keluarga apa?"

Keluarga apa? Charles mengulang dalam hati. Mengernyitkan dahi lebih dalam untuk menyembunyikan sedikit kekhawatiran yang muncul entah kenapa. "Hanya keluarga miskin dan sangat sederhana."

"Marga?"

"... Danton." Jawab Chales setengah berbisik, menyuntikkan sedikit ketegasan dalam suaranya. Kedua tangannya meremas erat roti pemberian Bobby tanpa sadar. Tidak khawatir itu akan remuk dan berceceran di lantai. Jantungnya berdegup kencang karena pertanyaan Erik yang tiba- tiba.

Mengapa Erik menanyakan keluarga angkatnya?

Apa mereka pernah kenal?

Jika pernah, di mana? Dan kapan?

"Dan kau tidak mengubah nama keluargamu?"

"Mereka selalu menjadi namaku sejak lahir. Itu ada di akteku, yang bisa kuingat." Erik memutus kontak mata setelah itu, yang kemudian berjalan untuk menaiki ranjang atas, bersiap merebahkan diri. Yang tentu saja, diam- diam membuah Charles menghela napas, setelah sadar dia telah menahan napas terlalu lama.

"Tidurlah lebih awal. Kau butuh memulihkan diri." Ucap Erik santai. Tapi Charles tidak menjawabnya kali ini. Hanya berusaha menormalkan detak jantungnya yang mengerikan.

.

...

.

"Kamu tampak buruk, Charlie."

Charles tertawa pelan, menempelkan gagang telepon pada ujung bibirnya sejenak. Menatap geli pada wanita paruh baya di depannya yang sama- sama memegang gagang telepon. Keduanya dipisahkan oleh dinding kaca yang tebal. Berdua dalam bilik yang sempit.

"Dan kamu cantik seperti biasa, Moira." Balasnya jenaka.

Moira mendecih, sebelum bersandar pada meja untuk lebih dekat mengamati narapidana muda di depannya. "Ada kabar?"

"Seharusnya kamu menanyakan dulu keadaanku, sebelum ke bisnis. Itu menyakitiku tahu."

Moria memutar bola matanya. Charles selalu menyebalkan dan senang menggobal. Tapi sejujurnya dia hanya bocah yang baik. Tapi bandel.

"Aku tidak punya waktu seharian."

Terkekeh sekali lagi, Charles terseyum manis. Ikut mendekat untuk menatap wajah berkeriput pengasuhnya. "Ya, aku masih belum menemukannya. Ada kabar bahwa seseorang mampu menjalankan bisnis ilegal dan sangat berpengaruh di penjara, bahkan sipir. Rumornya dia memiliki koneksi dengan mafia Inggris."

"Mafia Inggris?"

"Ya, belum jelas itu di masa lampau atau sekarang."

"Cari tahu itu lebih lanjut."

"Aku akan. Tenang saja."

"Dan jangan keras pada dirimu sendiri, Charlie. Kau tahu aku sudah sangat tidak senang dengan kau dikirim melakukan misi bunuh diri."

Charles tertawa, sangat senang dengan betapa wajah cantik itu mengkhawatirkannya. "Di sini tidak buruk, kau tahu. Aku punya teman baik bernama Bobby di dalam. Dia sangat perhatian dan protektif. Menjengkelkan bisa dibilang."

"Gay."

"Bukan, tentu saja. Dia tidak tertarik meniduriku."

"Baiklah, kupikir hidupmu tidak seburuk itu di sana. Aku akan datang dua minggu lagi. Selesaikan tugasmu dan aku akan mengeluarkanmu lebih cepat."

"Yess, Mom. Terimakasih sudah mengunjungiku, berikan salamku pada tuan Marko."

"Kau tahu dia hanya bajingan tengik. Tidak akan mendengarkanmu."

Lalu suara mereka terputus. Moria telah meletakkan gagang teleponnya di tempatnya. Merapikan sedikit kerutan pada jasnya sebelum melangkah pergi. Meninggalkan Charles yang masih diam menunggu punggungnya menghilang.

.

.

To be Continue

.

BrotherBee's Note :

To Anonim :

Nggak susah, cuma ngetik dan copy paste aja, Prend.. hehe