.
X-Men
(Yang tentu saja bukan milik saya)
Chara : Charles Xavier & Erik Lehnsherr
Warning : Kekerasan, umpatan, ucapan kurang sopan. Dan bromance, mungkin.
Tentu saja, penjara, narapidana dan hal buruk lainnya.
.
Break The Line Part 4
B.B.
Enjoy~
.
..
.
"Di mana Bobby, Logan? Aku tidak melihatnya setelah sarapan." Charles bersandar di pintu masuk sel Logan. Manatap pria yang asik menikmati cerutunya sambil bermalas- malasan di atas kasur.
"Apa kau merindukan pengasuhmu?" Sarkas seperti biasa. Yang ditanggapi dengan rolling eyes darinya. "Aku serius." Balasnya setengah kesal.
"Dia kerja. Kemarin mengajukan diri meminta pekerjaan ke ruang staf. Kupikir dia mendapat pekerjaan di kebun."
Charles mengangguk, mengerti bahwa rupanya petugas sipir juga menyediakan pekerjaan yang bisa diambil para narapidana untuk digaji. Selain pekerjaan wajib yang diberikan dan dikerjakan sesuai jadwal yang ditetapkan. Kemarin Charles telah mendapat jadwalnya dan bekerja membersihkan setiap jendela dan lantai di gedung blok A bersama beberapa narapidana lainnya di hari Rabu.
Tepukan dan remasan pada pantatnya mengejutkannya. Lupa bahwa dia telah berdiri dengan pantat mengarah ke luar sel. Dia menoleh, untuk mendapati tetangganya yang bertato tersenyum padanya, "Yo, heroes. Selamat pagi, kenyal seperti biasa."
Berengsek, bahkan dia hanya sekali saja menyentuh pantatnya. Bagaimana bisa mengatakan seperti biasa?
"Joe, pergi bertugas?" Charles menanggapi, berbalik kemudian untuk menyembunyikan pantatnya di dalam sel Logan. Joe si berengsek berhenti sejenak, tersenyum senang, "Ya, mau bergabung?"
"Tidak, terimakasih. Jadwalku kemarin."
"Baik, sayang sekali kita tidak satu jadwal, aku akan pergi."
"Bye."
"Bye, Charlie."
Dan merekapun berpisah. Charles senang itu hanya salah satu tingkah iseng orang lain. Dia sudah muak dipandang dan disentuh dengan sengaja karena nafsu. Itu membuatnya merinding dan terkadang sedikit tertekan.
Sudah hampir seminggu sejak kejadian di gym. Dia menjadi sorotan lebih banyak lagi. Beberapa seperti Joe yang secara terang- terangan memujinya hebat dan kemudian menyentuhnya di sana- sini begitu dia lengah. Tapi kebanyakan tidak senang dan tidak peduli. Daniel dan anteknya bubar, karena Daniel telah dipindahkan ke blok B setelah kerusuhan. Sehingga posisi ketua geng masih kosong.
Charles berpikir untuk mencobanya, tapi sekali lagi, dia tidak bisa bersenang- senang karena tugasnya. Jadi dia hanya akan melihat siapa yang akan merangkak di posisi itu. Logan atau Erik bisa jadi kandidat. Tapi Logan sangat pemalas. Dia bisa saja hanya tidur sementara anak buahnya merajalela sendiri. Dan Erik?
Bagaimana dengan Erik?
"Melamun seperti biasa, bung. Kau menghalangi jalanku."
"Ah, maaf, Logan. Hanya berpikir." Logan mendecih, dia kemudian keluar begitu Charles menyingkir.
Sudah terlalu lama dia berada dalam kegelapan, dia harus segera mencari tahu kebenaran Apolo. Atau begitu Moira datang minggu depan, dia belum menemukan informasi apapun. Menghela napas panjang, Charles memutuskan berjalan- jalan. Mungkin mencari tukang gosip akan mencerahkan pikirannya.
...
"Apa kau dengar? Mereka berulah lagi. Dua orang narapidana blok A ditemukan mati di selnya sendiri. Sangat mengerikan karena bola matanya sendiri masuk ke tenggorokan, dan luka tusukan itu merobek perutnya brutal."
"Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah itu Apolo lagi?"
"Ssstth, itu memang dia. Siapa lagi kalau bukan? Mereka dibunuh karena mencuri hasil penjualan sabu- sabu. Mereka pecandu, Men. Bagaimana menurutmu jika mereka mengambil hasil penjualan untuk membeli obat mereka sendiri. Itu mengerikan."
"Jadi itukah sebabnya banyak penjaga dikerahkan di gedung itu? Mereka juga membiarkan orang- orang blok A makan bersama kita hari ini."
"Jangan tatap mata mereka. Bisa saja yang kau tatap itu psikopat."
"Abaikan saja."
"Ya, aku setuju. Itu mengerikan."
Charles duduk tidak jauh dari mereka. Yang asik mengobrol di bangku taman di sebelahnya. Dia baru mendengar kabar itu, tentang dua narapidana yang mati secara brutal. Jadi itulah kenapa hari ini banyak Sipir bersenjata di mana- mana. Dan orang- orang dari blok A yang terlihat lebih lama di luar, di tempat santai mereka sendiri yang dipisahkan dengan ram besi tebal. Charles menatap di kejauhan. Dari satu orang ke yang lainnya. Bertanya- tanya seperti apa rupa Apolo sebenarnya. Tapi semuanya sangat menyeramkan dengan otot dan muka masam hampir setiap waktu.
Dia juga bisa melihat Erik sedang membentuk otot lengannya mengangkat barbell di pinggir lapangan yang jauh dari Charles sendiri. Pria itu benar anti sosial. Karena tidak banyak yang dilihat Charles dekat dengannya. Hanya Logan, atau si penjaga muda bernama Alex yang kerap ditangkap Charles dapat dekat dengannya. Bahkan padanya, Erik sering menarik diri.
Melompat dari tribun kayu yang didudukinya. Charles melangkah pelan menuju kerumunan penggossip. Berhenti di sana dan mengambil duduk di tengah- tengah mereka. "Apakah mereka sangat mengerikan?" Tanyanya, yang lansung mendapat tatapan heran dari beberapa orang.
Si raja gossip mendengus, "Hei, bung. Mereka tidak hanya sangat mengerikan. Tapi brutal, dan monster. Mereka tidak akan ragu- ragu bahkan untuk memotong- motong tubuhmu menjadi 10 bagian."
"Itu.. tidak manusiawi." Komentar Charles, sedikit mengernyit dan mengerucut. Menampilkan perasaan jijik dan ngeri.
"Ya, itu tidak manusiawi. Aku harap aku tidak pernah terlibat dengan orang- orang seperti itu." Charles ingin menyetujuinya. Tapi sepertinya tidak mungkin dia tidak akan terlibat, jika yang dia tuju adalah orang berdarah dingin itu sendiri.
"Hei, apa kalian pernah melihat orang bernama Apolo itu?" Bisik Charles, lebih rendah dan mengamati wajah itu satu persatu. Mereka tampak terbelalak, aneh dengan pertanyaan yang baru muncul dari bibit tipis seorang pria muda.
"Apa kau gila menanyakan itu kepada kami?"
"Aku hanya ingin tahu seperti apa dia, sehingga aku bisa menghindarinya."
"Kami tidak tahu!" Untuk mendekati orang- orang blok A saja sudah membuat kami merinding. Bagaimana kami bisa tahu seperti apa rupanya!"
"Hei, bung. Cukup kau tahu dia kejam, dan jangan terlalui ingin tahu. Itu tidak baik untukmu. Kau bisa mati."
Ya, ada atau tidak Apolo itu. Nyawanya tetap tidak akan selamat. Ini misi bunuh diri, gagal artinya mati. Dan ada peluang dia juga akan mati di tangan narapidana lain. Jika misinya berhasil, dan dia selamat, dia hanya beruntung.
"Aku tahu dia seperti apa." Tiba- tiba sebuah suara memecahkan kesunyian diantara mereka. Yang entah sejak kapan tercipta. Charles mendongak, mengamati pria kurus kering yang berdiri di pinggir kerumunan. Wajahnya sangat tirus sampai matanyapun nampak melotot dan hampir keluar.
"Dan, seperti apa dia?" Tanya Charles, suaranya rendah dan lamat. Membuat kelompok kecil itu mau tiak mau menahan napas mereka dan menatap si kurus.
"Dia punya tubuh besar dan tinggi, sekitar 189 cm. Matanya hitam kelam, sangat mengerikan dan dingin. Jika kau melihat ke matanya, itu akan mengirim hawa dingin keseluruh tulang punggungmu. Dia juga kejam, tangannya tidak pernah berhenti untuk menyakiti orang. Monster."
Well, itu cukup hiperbolis. Tapi Charles tidak akan tahu sebelum melihat yang aslinya. "Apa kau yakin benar- benar pernah melihatnya?"
"Tentu saja! Aku melihatnya di rantai dan dibawa ke ruang isolasi dengan mata kepalaku sendiri. Dia mengerikan!"
"Dari mana dan kapan kau melihatnya?"
"Dari jendela kamar selku, di atas. Tadi malam."
"Kau di blok mana?"
"Aku dari blok B."
Jika ucapannya benar, mungkin saja sekarang Apolo sedang di tahan di ruang isolasi. Tapi bukankah seharusnya anak buahnya yang ditahan? Untuk orang seperti Apolo, tentunya dia tidak akan bekerja sendirian. Apalagi dia memiliki pengaruh di dalam penjara. Dia tidak akan mungkin dengan mudah ditahan. Dia harus punya alibi bagaimanapun. Untuk saat ini, ada yang berani berbicara tentangnyapun adalah kemajuan. Sedikit kemajuan.
"Terimakasih untuk informasinya. Siapa namamu?"
Dia bisa melihat orang itu ragu untuk sejenak, tatapannya bahkan tidak terlalu fokus, tapi Charles tahu bagaimana perasaan gugupnya setelah mengatakan hal yang tidak jelas kebenarannya tentang seseorang seperti Apolo, yang bisa membunuh siapa saja tanpa rasa bersalah. Kemudian untuk sesaat yang terasa lama, pria itu menjawab dengan nada lirih.
"Hawi, senang bertemu denganmu. Kau bisa memanggilku Charles."
Sepertinya dia harus bertanya kepada beberapa orang yang tinggal di blok B untuk memastikan beritanya benar. Seseorang dengan tinggi 189 cm. Dan mata hitam. Ya, itu kemajuan.
...
.
Tapi sampai hari menjelang malam, tidak ada yang mengatakan apapun perihal orang yang diseret ke ruang isolasi malam itu. Beberapa orang dari blok B menyangkal bahwa Apolo pernah masuk ruang isolasi. Seperti yang Charles duga, itu hanya anak buahnya. Apolo tidak pernah menyentuhkan jarinya kepada siapapun, kecuali itu di masa lampau. Saat orang itu merangkak dari bawah menuju posisinya saat ini. Orang- orang yang telah lama tinggal di blok B mengatakan bahwa Apolo adalah pria paruh baya, yang menjalankan bisnisnya di dalam sel penjara. Dia punya koneksi khusus untuk bisa menyelundupkan barang dagangannya, dan menjualnya hampir kepada setiap penghuni penjara. Dikabarkan bahwa beberapa sipir juga terlibat dalam melancarkan penjualan. Transaksi. Semua itu dijalankan dengan hati- hati oleh anak buahnya. Dan tidak ada yang tahu siapakah di antara para tahanan yang telah menjadi anak buahnya.
Charles cemas dia tidak akan bisa menjangkau Apolo untuk mengkonfirmasi itu sendiri. Ada peluang bahwa Apolo bukan yang ia cari. Dan mencari dalam gelap itu tidak semudah menjulurkan lidah. Bisa saja saat ia berjalan menuju pria itu, siapapun yang menjadi anteknya akan memenggal kepalanya. Dan jika bukan Apolo yang memiliki koneksi dengan Mafia Inggris, apa yang akan dia lakukan?
Dia sendirian di dalam penjara.
Moria mengkonfirmasi bahwa ini misi bunuh diri. Dia harus menjalankan misinya sendirian, dan mengurangi kecurigaan yang tidak perlu. Dan lawannya tiga kali lipat lebih besar darinya, baik kedudukan maupun kekuatannya.
Charles duduk termenung di atas tribun kayu usang. Menatap ke depan dengan tidak fokus. Sikunya bertumpu pada kedua lututnya. Menyangga dagu yang terasa berat. Lima hari lagi Moria akan datang meminta beritanya. Dan dia masih belum mendapatkan apapun. Jika Marko tahu betapa lambatnya dia, bisa jadi nyawa Moria menjadi taruhannya.
"Nak, hei." Sebuah suara serak termakan usia tua, membuyarkan lamunannya. Membuat Charles mengedipkan matanya beberapa kali untuk mendapati seorang narapidana berumur berdiri di sebelahnya.
"Ya, apa aku bisa membantumu?" Dia bertanya ramah, menatap pada wajah keriput tua yang balas tersenyum padanya.
"Aku ingin meminta tolong untuk membantuku mengembalikan linggis ini ke gudang, punggungku sangat sakit, dan aku berencana ke klinik untuk meminta obat nyeri."
Charles bisa melihat sebuah linggis dengan panjang 30 cm digenggam pada tangan yang gemetar. Ujung tajamnya kotor, ternodai oleh tanah liat yang lengket. Seorang pekerja mungkin, karena hari ini dia melihat beberapa pria pekerja membuat lubang di sisi selatan lapangan. Untuk memperbaiki saluran air. Tanpa banyak bertanya, Charles menerima benda itu. Tersenyum ramah sebelum turun dari tempat bertenggernya.
"Terimakasih, Nak."
"Ya, semoga punggungmu lekas sembuh, kek."
Charles telah melangkah cukup jauh, saat kakek itu berseru padanya, "Hati- hati." Dan hanya mendengus menanggapinya. Kakek itu baik, terlepas dari apapun kejahatan di masa lalunya. Tipe ayah yang pengertian. Charles bertanya- tanya, seperti apakah ayahnya dulu?
Dia tidak mengingat apapun.
.
..
Gudang itu sepi. Saat ini sudah gelap, dan beberapa sipir nampak berdiri di kejauhan, di depan gerbang setiap gedung sel penjara. Makan malam telah usai beberapa waktu yang lalu, hanya tinggal menunggu jam malam untuk dia kembali ke selnya sendiri. Charles membuka pintu gudang, yang terbuat dari kayu yang dilapisi seng tua. Pintunya dicet coklat, dan itu telah pudar hingga menciptakan beberapa bercak perak warna aslinya.
Saat pintu terbuka, Charles bisa melihat kegelapan di dalamnya. Hanya beberapa barang yang dapat dilihat karena cahaya yang masuk melalui pintu yang terbuka. Bobby pernah bilang bahwa lampu gudang rusak pagi ini. Jadi percuma saja jika dia merangkak dan menghidupkan saklar. Angin dingin berhembus, mengirim keragu- raguan dalam benak Charles untuk melangkah masuk.
Sebenarnya, dia bukan orang yang takut gelap. Hanya saja firasatnya mengatakan ini tidak benar. Tapi mengingat benda yang di bawa di tangannya. Diapun melangkah masuk. Berdiri di sana di tengah ruangan untuk menunggu serangan.
Tapi tidak ada apapun.
Tidak ada siapapun.
Yang membuat Charles tanpa sadar menghela napas karena sempat menahannya. Melangkah menuju meja perkakas. Dia meletakkan benda itu, lalu berbalik hanya untuk mendapati pukulan dari balok kayu mengenai pelipisnya.
.
To be continue
