Sabaku Sophia

Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Sabaku Sophia copyright Sabaku No Maureen

Pair: always GaHina. Sasuke x oc.

Warning: au, ooc, oc

.

.

.

Chapter 5

Apa ajaran nenek yang masih membekas dalam ingatan kalian? Bisa jadi mungkin begini: cuci tangan sebelum makan, menabung di celengan, tidak berbicara dengan orang asing, atau tidak langsung tidur sehabis makan malam. Bagi Sophia, salah satu ajaran neneknya yang cukup mengena adalah makan dengan tangan kanan.

Keluarga Hyuuga bisa dibilang konservatif. Hiashi dan Hikaru cukup ketat menanamkan berbagai kebiasaan yang menurut mereka sesuai norma. Tidak hanya pada anak, tetapi juga pada cucu. Hinata, Neji, dan Hanabi adalah generasi pertama. Sophia adalah generasi kedua yang menerima cipratan konservatif.

Bagi yang cinta kebebasan, mungkin terlahir di Keluarga Hyuuga adalah jebakan Batman. Sophia berada di area abu-abu. Ia senang kebebasan dan sikap moderat, tetapi tak keberatan dengan aturan yang membawa spirit positif.

"Makanlah dengan tangan kanan. Hanya setan yang makan pakai tangan kiri," petuah Hikaru berulang kali.

Sophia kecil menurut saja. Yang bandel justru anak Neji dan Tenten. Hyuuga Orion terang-terangan membangkang titah neneknya. Bocah lelaki yang lebih tua tiga tahun dari Sophia itu sengaja makan pakai tangan kiri. Bahkan ia menyuap langsung sayuran dan daging dari telapak tangannya tanpa sumpit! Tentu saja duo konservatif mengelus dada. Cara makan Orion persis pengunjung rumah makan lesehan.

Terekam di memori Sophia bagaimana Neji menegur putranya. Orion malah membalas dengan jawaban begini.

"Ini sama anehnya seperti kata Grandma yang melarang tidur sambil telungkup. Tidur dengan perut di bawah seperti tidurnya setan. Kayak Grandma pernah liat setan aja."

Jadilah si sulung Hyuuga tak enak hati dengan kedua orang tuanya. Hiashi dan Hikaru berhemat kata. Orion dan Sophia hanyalah cucu. Hak prerogatif mendidik mereka tetap ada di tangan Gaara-Hinata dan Neji-Tenten.

Menggelikan juga bila diingat. Sekarang sigung nakal itu telah menyabet gelar magister manajemen dan menduduki jabatan penting di grup bisnis Hyuuga. Akankah Orion menertawakan Sophia melihat cara makannya malam ini?

"Ada apa, Mitsuki?" tanya Sophia seraya memindahkan sumpit ke tangan kiri. Telapak tangan kanannya leluasa memegang ponsel.

"Aku ganggu nggak?" Bukannya memulai konversasi, Mitsuki malah melontar pertanyaan basi.

Sambil menyuap makanannya, Sophia menyahut. "Enggak, kok. Sama sekali nggak ganggu. Mau curhat, ya?"

Di seberang meja, sepasang kepala merah dan indigo bergeleng-geleng. Salut dengan kesetiakawanan buah cinta mereka. Sedang makan saja, Sophia masih mau meladeni curhatan kawannya. Untunglah ini di rumah mereka sendiri. Kalau di kediaman Hyuuga, Sophia bisa turun kasta dan dianggap sebandel Hyuuga Orion.

"Iya, aku suntuk banget." Mitsuki menghela napas dan memulai sesi curhat colongannya.

Sophia melanjutkan makan sambil mendengarkan cerita cowok berambut putih itu. Makan sambil beraktivitas adalah ide buruk. Akibatnya, gadis Sabaku malah menuang saus cabai banyak-banyak ke mangkuk supnya.

"Aku kesal sama Papa. Papa merhatiin Kak Kabuto terus. Mentang-mentang Kak Kabuto udah kasih dia cucu. Kami terpaksa bolak-balik Konoha-Otto. Papa ngotot pengen jagain cucu pertamanya. Aku dipaksa ikut. Padahal aku juga punya kehidupan sendiri. Urusanku banyak di Konoha."

Demi mendengar nada emosi dalam suara Mitsuki, Sophia menelan bulat-bulat sesendok penuh sup bercampur saus cabai. Rasa pedas berlebihan sontak menyengat lidah dan kerongkongan gadis cantik itu. Air mata berleleran di kelopaknya.

"Oh, Mitsuki ..." Itulah tanggapan pertama Sophia. Dia mendesah begitu seraya menyeka ujung mata.

"Ya, ampun, Mitsuki bilang apa sampai Sophia nangis gitu?" terka Hinata bodoh.

Gaara mendelik. Laki-laki tetaplah pada kodratnya: lebih menggunakan logika ketimbang perasaan. Peka, disodorkannya segelas air putih ke hadapan putrinya. Sophia menyambar gelas porselen itu dan mereguk isinya hingga tandas. Telinganya tetap detail menangkap kata demi kata yang diucapkan teman kuliahnya.

"Udah hampir dua tahun kayak gini. Katanya, Papa mau jaga cucunya sampai dia masuk playgroup. Aku saranin buat hire pengasuh. Papa, Kak Kabuto, sama Kak Karin nggak setuju. Parno sama pramusiwi. Ini merugikan buat aku. Seolah hidupku juga ikut terpusat di rumah tangga ala-ala keluarga muda punya kakakku. Liat mereka bikin insecured aja. Lagian Kak Kabuto dan Kak Karin bodoh. Kalau punya anak, ya tanggung jawab dong urus sendiri. It's not parent's job. Bukannya biarin Papa istirahat di masa tua."

Tubuh sintal Sophia merosot di kursinya. Dia membenarkan seratus persen pendapat Mitsuki. Kabuto dan Karin memang egois. Mereka yang mengalami kenikmatan membuat anak, tetapi justru orang tua mereka yang direpotkan.

"Aku nggak nyangka Om Orochimaru mau aja urus cucunya. Bukannya Papa kamu itu pintar? Ilmuwan besar dia itu. Urusan begini aja melempem," balas Sophia tajam.

Sebelum meninggalkan meja makan, Gaara dan Hinata masih sempat mendengar nada tak senang dalam vokal Sophia. Mereka jadi membayangkan andaikan Sophia menikah dan kelak memiliki anak. Tentu Gaara dan Hinata akan dengan senang hati berpartisipasi mengurus cucu mereka. Namun ternyata sang anak berpandangan lain.

Menguping sama sekali bukan style suami-istri Sabaku. Privasi adalah hak anak yang harus dihormati. Sekali ini saja, tolong sekali ini saja. Mereka sangat penasaran. Biarpun ini problema Mitsuki vs Orochimaru, tetap saja akan ada opini Sophia di situ.

"Parah ya, kakak kamu. Hampir dua tahun dia bikin hidup kamu nggak nyaman dan memperalat Papa kamu. Mendingan childfree aja nggak sih? Dari dulu aku kepingin childfree."

Satu kaki Hinata hampir menginjak lantai koridor. Gaara tersandung kaki Hinata dan hampir jatuh.

"Gaara, tolong cubit pipiku. Itu beneran Sophia yang bilang? Sophia-nya kita?" desah Hinata panik.

Ekspresi wajah Gaara sulit diartikan. Satu sisi hatinya bisa mengerti pertimbangan Sophia untuk memilih tak punya anak. Sisi lain hatinya mencemaskan nasib mutiara hatinya. Bagaimana kalau Sophia menjadi perawan tua gegara pilihan hidupnya yang tak biasa?

"Hime." Gaara hati-hati membelai tangan istrinya. Mana mungkin ia mencubit? Tak akan pernah ia sakiti Hinata seujung kuku pun.

"Yang menikah dengan Sophia kelak harus menerima anak kita seutuhnya. Yang membuat anak kita nyaman menjadi diri sendiri."

Saat mengucap kalimat terakhir, Gaara mendadak pening. Gempa dahsyat mengguncang syaraf otaknya. Bukan efek akibat migrain atau gangguan syaraf, ini lebih ke pikiran. Siapa pria yang membuat Sophia nyaman menjadi diri sendiri?

Hinata menelan ludah. Ia menatap nyalang dari pintu ke lorong panjang. Mungkinkah di masa depan mereka punya menantu yang tak jauh beda umurnya dengan mereka?

"G-Gaara, kurasa kita memikirkan hal yang sama." Hinata terbata.

Gaara tertawa gugup. Ya, ya bisa jadi. Ingat itu: seseorang yang membuat Sophia nyaman menjadi diri sendiri.

"Yah, yang bisa kamu lakukan hanya bersabar. Tunggu sampai keponakanmu masuk playgroup. Kalau nggak, cepat selesaikan S2 biar kamu bisa tinggal terpisah dari Om Orochimaru." Sophia berkata berat.

"Well, kamu orang yang tepat. Pas aku cerita ke Kurotsuchi, aku malah diceramahi. Katanya aku harus maklum. Anak kecil adalah keindahan dunia."

Sophia mendengus. Baginya, anak kecil adalah perusak ketenangan. Mereka hanya bisa mengganggu, merusak barang, dan membuat orang dewasa terpaksa mengalah untuk mereka. Anak bagaikan raja. Tangisnya adalah perintah. Tiap keluar rumah, ia disapa manis oleh rakyat tetangga. Kalau sakit, itu adalah peringatan SOS agar orang dewasa memberikan waktu, tenaga, dan materi secara utuh. Betapa mahalnya punya anak. Bayangkan, pemikiran itu datang dari anak pemilik Sabaku Group.

"Kayaknya damai banget, ya, kalau menikah tanpa anak. Sepanjang hidup berdua aja sama pasangan. Bahagia lahir batin." Mitsuki mulai halu.

"Kenapa enggak? Anak itu nggak wajib kok dalam pernikahan. Kalau menikah hanya ingin punya anak, mending nggak usah."

Pembicaraan mereka kian berbahaya bagi keluarga konservatif. Keluarga yang menganut paham menikah untuk punya keturunan.

"Makanya dari dulu aku takut menikah," cetus Sophia tiba-tiba.

"Takut nanti suamiku memaksaku punya anak. Aku, 'kan, nggak mau."

Tanpa permisi, rasa tidak aman lagi-lagi menyerbu. Sophia mencengkeram tepi meja demi menjaga tubuhnya tetap seimbang. Bagaimana bila kelak ia tak pernah menikah? Bagaimana jika semua pria hanya melihatnya sebagai objek seksual dan penghasil bayi? Tentu ini berlawanan dari Sophia yang cenderung aseksual dan lebih tertarik pada kepribadian seseorang alih-alih fisiknya. Hei, jangan salah. Orang aseksual berhak bahagia, 'kan?

"Mitsuki, menurutmu jodoh itu apa?"

Kalau Mawar de Jongh punya lagu sedang sayang-sayangnya, Sophia punya otak yang sedang kritis-kritisnya. Besar keinginannya mengais pendapat orang sebanyak mungkin tentang jodoh.

"Wow, pertanyaan menarik. Menurutku jodoh itu nggak melulu tentang pernikahan atau pasangan. Kita berteman ini juga jodoh. Orang tuaku Papa Orochimaru, orang tuamu Om Gaara dan Tante Hinata, itu juga jodoh. Tuhan begitu brilian memilihkan jodoh kita untuk setiap sisi kehidupan. Kamu berkuliah di Universitas Konoha, ya universitas itulah jodoh kamu. Bisa aja, 'kan, kamu nggak diterima dan terpaksa kuliah di tempat lain? Itu karena kamu dan Universitas Konoha berjodoh. Semua udah ada jodohnya, Sophia."

Bolehkah Sophia terpesona? Bukan naksir Mitsuki tepatnya. Ia jatuh hati pada pandangan pemuda itu tentang jodoh.

"Pemikiranmu lebih luas dari Samudera Pasifik, Mitsuki." Sophia tulus memuji. Di ujung telepon, Mitsuki terkekeh.

.

.

.

Gedung Chrisis Center bandara. Tangisan keluarga penumpang pesawat. Kantong-kantong mayat. Tim SAR yang pucat dan basah kuyup. Dua pasang mata emerald dan hitam yang menatap kosong. Sepasang tubuh tak bernyawa.

"Sa ... kura," igau Sasuke.

Mimpinya amat buruk. Suara tv yang mendominasi ruang tengah apartemen berduet dengan racauan Sasuke.

"Sarada, jangan tinggalkan Papa." Sasuke mengerang. Pilu, pilu tak terkira.

Detik berikutnya, Sasuke terjaga. Tangan putih Sasuke terangkat ke depan wajahnya. Dapat ia rasakan pipinya membasah. Terlukis jejak air mata.

Kacau nampaknya kurang cukup untuk menggambarkan kondisi Sasuke pagi ini. Ia seolah ditertawakan langit. Bumantara amat cerah, sebiru buah ganitri. Berbanding terbalik dengan hati Sasuke yang kelabu.

Perlahan ia bangkit duduk. Rambut awut-awutan, tertidur di sofa hitam, dan mimpi buruk. Lupakah Sasuke kalau apartemennya berkamar tiga? Sejak pesawat airbus tujuan Frankfurt yang membawa anak dan istrinya jatuh di lautan, Sasuke hengkang dari rumah megahnya. Hunian itu terlalu bising meneriakkan kenangan. Bayang-bayang Sakura dan Sarada dapat mencekiknya tiap saat. Pindah ke apartemen adalah ide bagus. Buat apa menempati rumah besar bila status telah menduda tanpa anak?

Sasuke mengucek matanya. Pandangannya tertumbuk ke arah jam kuno Westminster yang menempel di tembok. Melihat jarum panjang bertengger manis di angka delapan ...

"Astaga."

Diiringi seruan tertahan, Sasuke pontang-panting menuju kamarnya. Ia hampir melupakan janji dengan seseorang yang sangat penting. Lebih penting dari klien bisnis yang menjanjikan mega proyek.

Sepuluh kilometer dari apartemen Sasuke, Sophia berjalan hilir-mudik mengitari danau. Siluet rumahnya masih terlihat jelas dari danau berair bening ini. Ia bersetia menunggu walau Gaara telah menawarkan diri untuk menggantikan orang itu.

"Udahlah, biar Ayah aja yang antar ke tempat casting. Ayah sengaja libur hari ini demi kamu," tawar Gaara manis.

"Atau mau sama Bunda?" Senyum Hinata bahkan bisa membuat pengidap diabetes kolaps.

Sophia kukuh menolak. Ia sudah janji. Gaara dan Hinata saling pandang geregetan.

Tak sia-sia penantian Sophia. Ayah kedua akhirnya datang. Meminta maaf berkali-kali sebab terlambat. Gaara dan Hinata kontan pasang kuda-kuda. Olala, ternyata sahabat mereka yang dinanti Sophia.

"Nggak ngantor, Sas? Repot-repot mau temenin anakku casting," kata Gaara ringan.

"Meliburkan diri," balas Sasuke santai.

Gaara meringis. Sebenarnya, siapa ayah Sophia di sini? Mengapa Sasuke tak memperhatikan Chocho atau Himawari saja? Atau sekalian saja memperhatikan satu-dua gadis yatim piatu di panti asuhan yang ia kunjungi dua minggu sekali.

"Berangkat dulu, Ayah, Bunda." Sophia pamit diiringi kecupan kilat.

Hinata boleh menyebut dirinya jago akting. Senyum manisnya dapat dipertahankan. Sedangkan Gaara hanya bisa memberikan senyum masam disertai deathglare sembunyi-sembunyi pada Sasuke.

"Sasuke," panggil Gaara saat pria berambut hitam mencuat itu bersiap naik ke mobil.

Baik si pemilik nama, Hinata, maupun Sophia kompak menoleh. Gaara berjalan mendekat ke arah sahabatnya. Sophia mengerutkan kening melihat Gaara membuat gerakan seolah akan memeluk Sasuke.

"Ayah pengen peluk Ayah Sasuke?"

Sasuke mengerutkan dahi. Gaara berpaling, tersenyum lembut pada putrinya.

"Oh, iya. Ayah, 'kan, sayang sama Ayah Sasuke. Jadinya mau dipeluk."

Betapa baiknya Ayah, batin Sophia takjub. Sasuke memang butuh pelukan untuk menopang hatinya yang hancur. Barangkali bentuk-bentuk kasih sayang dapat menautkan kembali kepingan hati yang tercerai-berai.

Sembari memeluk Sasuke, Gaara berbisik. "Remember my boundaries. Kuharap Sabaku Sophia tak perlu mengganti marganya."

Sasuke mengangguk singkat. Gaara tak usah khawatir.

.

.

.

tbc

.

.

a/n

There isn't any sex scene in all my stories. Sama seperti Gaara, aku juga punya batasan. Batasan dalam ceritaku adalah tidak ada momen seks. Aku lebih mengutamakn cinta tanpa seks dan melihat personality. Mungkin pendapatku tentang childfree nggak bisa diterima semua kalangan. Apa lagi di Asia yang masih memuja darah daging. Berpandangan kalau nikah harus punya anak. Padahal memilih childfree nggak selamanya egois. Pertimbangannya banyak, guys.

Oh iya, aku mau kasih tahu sesuatu. Fict-ku yang Sabaku Sophia ini berkaitan dengan original fict yang aku buat sebelumnya. Kalian akan mengerti kalau baca novel-novelku sebelum ini. Bahkan bisa dibilang, Sabaku Sophia adalah olah pemikiran dan pengalamanku dalam versi fanfiction. Bingung ya? Silakan bertanya padaku kalau mau tahu lebih banyak.

Anw, bentar lagi buku pertamaku di tahun 2022 mau terbit. Ini pun akan menjadi bukuku yang ke16. Naskahnya udah ditulis tahun lalu, tapi baru bisa terbit tahun ini. Kan harus seleksi dulu sebelum diterbitkan. Check my Instagram for more information. My Instagram: /maurinta

Udah ah, capek ngetik. Sampai ketemu di chapter depan. Mungkin next chapter adalah ending.