Sabaku Sophia

Disclaimer: Naruto copyright Masashi Kishimoto, Sabaku Sophia copyright Sabaku No Maureen

Pair: always GaaHina. Sasuke x oc

Warning: au, ooc, oc

.

.

.

Chapter 6

Pemerintah kota Konoha memang suka bercanda. Berawal dari protes para ibu yang mengeluhkan tingginya harga minyak goreng. Eits, jangan salah. Kota mereka yang kaya dan modern ternyata masih bergulat dengan problema semacam itu.

Para pemangku kebijakan tak tinggal diam. Bila mereka apatis, mereka berpeluang besar terdampak the power of emak-emak. Amukan sebatalion ibu sama merepotkannya seperti demonstrasi mahasiswa. Kalau para agen perubahan punya slogan "hidup mahasiswa!", grup para ibu punya semboyan "hidup para ibu!"

Sebagai tindak lanjutnya, pemerintah meluncurkan kebijakan baru: minyak satu harga. Sebentuk aturan yang menggandeng sejumlah perusahaan penghasil minyak goreng. Kebijakan ini mengundang pertanyaan baru dari aktivis, mahasiswa pergerakan, dan pihak posisi: semudah itukah perusahaan mau bekerjasama dengan pemerintah? Mungkinkah para eksekutif di pemerintahan ada main dengan swasta? Jawabannya mudah: kartel. Memainkan harga barang dan kartel berhubungan amat mesra, semesra Troy dan Gabriella di film High School Musical.

Lantas, apa akibatnya dari perubahan satu harga? Jalanan macet parah. Lebih dari setengah penduduk kota menyerbu minimarket untuk mendapatkan minyak goreng separuh harga. Di sini tampak jelas potret keserakahan manusia. Hasrat untuk membeli banyak barang, menimbun barang dan tak memberi kesempatan untuk orang lain memilikinya. Atas dasar itulah sejumlah minimarket membuat aturan main. Tiap orang hanya boleh membeli satu minyak goreng. Dua-tiga minimarket di pusat kota sengaja menempel stiker di pintu kaca berkilat:

Stok Minyak Goreng Separuh Harga Sampai Pukul 12.00

Lalu, apa korelasinya situasi rebutan minyak goreng ini dengan tokoh kita? Salah besar bila Sabaku Sophia menjadi terduga provokator gerakan itu. Pertama, Sabaku Sophia masih berstatus gadis lajang yang cantik jelita. Kedua, anak sultan tak ambil pusing dengan harga minyak yang meroket.

Anak semata wayang Gaara dan Hinata itu terkena imbas dari kerakusan warga urban. Ruas jalan raya yang macet akut membuat kansnya datang tepat waktu kian menipis. Hampir seperempat jam dia dan Sasuke hanya bisa termangu memandangi barisan kendaraan yang menyemut.

Hati Sophia puspas. Keresahan timbul tenggelam di benaknya. Bagaimana kalau dia terlambat? Kesan pertama saja sudah buruk. Tidakkah para penyeleksi dari agensi model ilfeel padanya? Sophia menggigiti kukunya gelisah.

Di sampingnya, Sasuke memperlihatkan raut wajah tenang tanpa emosi. Tetes kekaguman memerciki hati Sophia. Sasuke hampir sama sabarnya dengan Gaara dalam menyikapi situasi yang berada di luar kontrol mereka. Tak pernah Sasuke ribut menekan klakson mobil atau marah-marah dalam menyikapi kemacetan. Ia pendengar yang sangat baik. Di dekat Sasuke, Sophia merasa tenteram.

"Kamu takut terlambat, ya?" Pria berambut sekelam malam itu buka suara.

"Iya," sahut Sophia pelan.

Sasuke menurunkan tangan dari kemudi. Lembut diremasnya jemari lentik Sophia. Tangan dapat mengalirkan cinta. Melalui genggaman lembut nan hangat, kekuatan dapat tersalurkan. Genggaman tangan Sasuke membisikkan pesan cinta dan kasih tanpa suara.

"Kita akan sampai tepat waktu. Dan kalaupun terlambat." Sasuke menjeda kalimatnya sejenak.

"Itu lebih baik dari pada tidak mencoba sama sekali."

Kepala berambut merah lebat itu terangguk dalam isyarat persetujuan. Hadirnya Sasuke merilekskan pikiran Sophia. Bersama pria itu, ia tak perlu mengkhawatirkan apa pun.

"Ayah Sasuke?" Pita suara Sophia bergetar halus menyebut nama ayah keduanya.

"Ya?"

"Apa Ayah Sasuke sehangat ini pada Himawari?"

Termenung Sasuke disodori pertanyaan itu. Namikaze Himawari juga anak sahabatnya. Entah, sikapnya paling berbeda pada Sophia. Gadis itu lain dari anak sahabatnya yang lain. Sasuke menggigit bibir bawahnya dan memutuskan berkata jujur.

"Nope. Hanya kepadamu ..."

Para linguis atau ahli bahasa bakal menertawakan Sasuke. Kalimatnya sama sekali tak lengkap. Kemana subjek, predikat, dan objeknya? Kata-kata yang terlontar dari lisannya lebih layak disebut frasa tenimbang kalimat utuh. Sebutan klausa pun tak pantas. Namun, potongan kalimat tak lengkap itu amat cukup untuk Sophia.

"Ayah Sasuke, terima kasih." Sophia bergumam lirih.

Tangan kokoh itu bergerak naik ke rambut Sophia. Usapan lembut ia berikan pada surai indah tersebut. Onyx milik Sasuke menatap mata lavender Sophia lekat-lekat.

Bahana klakson bersahutan. Mobil dan motor di belakang menyerukan komplain. Terlarut dalam perasaan, Sasuke baru sadar kalau kemacetan sudah terurai. Gegas ia lajukan mobil kesayangannya. Sedikit menyesal sebab ia telah menghambat jalan beberapa kendaraan.

Tepat pukul sembilan, mereka tiba di agensi. Emerald Agency terlihat seperti kantor yang sibuk. Lokasinya menempati lantai kesembilan dari gedung tinggi yang menjulang menusuk langit. Orang-orang keluar-masuk lift. Gempita suara mereka membicarakan klien, proyek, dan audisi model. Jantung Sophia jumpalitan. Sebentar lagi, inilah saatnya.

Tak sedetik pun Sasuke melepaskan genggaman tangannya dari Sophia sejak langkah pertama mereka memasuki gedung. Dia berusaha menenangkan teruni itu secara non-verbal. Jiwa Sasuke memang telah dicederai kepedihan, tetapi biarkan ia menjadi penopang untuk Sophia.

Beberapa pria dan wanita berpakaian kantoran memandangi mereka. Ada sorot aneh dalam tatapan mereka. Barangkali mereka tak habis pikir karena gadis muda seperti Sophia berjalan bersisian dengan pria separuh baya seperti Sasuke. Tepat dua puluh lima tahun perbedaan umur mereka. September nanti, Sophia genap dua puluh lima. Sasuke akan resmi memasuki masa pra lansia alias lima puluh tahun di bulan ketujuh penanggalan Masehi.

Ting

Kisi-kisi keemasan menganga. Sasuke dan Sophia berderap masuk diikuti beberapa pegawai kantoran lainnya. Kala pintu lift akan menutup ...

"Wait!"

Sesosok wanita semampai berpenampilan sempurna berseru. Rambut pirang panjangnya beriak di punggungnya saat dia berlari. Tangan putih mulusnya melambai, mengisyaratkan siapa saja untuk menahan pintu lift. Sasuke menahan pintu stainless itu hingga si wanita masuk.

"Thank you," ucap si wanita, sepenggal senyum dilemparnya pada Sasuke.

Bungsu Uchiha tak membalas. Hanya mengerling sekilas perempuan bergaun mahal itu dengan ekor mata. Sophia ikut-ikutan memandangi si perempuan yang kelihatannya seorang model. Cantik, pikirnya merasa insecured. Pasti Ayah Sasuke tertarik. Mau tak mau Sophia membuat komparasi dengan dirinya sendiri. Kian tebal perasaan insecured di dadanya.

Kehangatan menjalari lengan Sophia. Hangat yang menyebar pelan dari lengan, tulang belikat, hingga bahu. Sasuke telah meletakkan tangannya ke pundak Sophia. Kontak fisiknya ini menghadirkan rasa nyaman luar biasa. Sasuke seakan meyakinkannya tanpa kata kalau Sophia tak perlu insecured dengan model cantik itu. Tak perlu banyak kata bagi seorang Sasuke untuk menenangkan orang lain.

Keluar dari lift, mereka berjalan menyusuri koridor berkarpet. AC yang terpasang di sudut-sudut koridor menebarkan hawa dingin. Sekejap saja Sophia merasakan lengannya membeku. Bagai tangan tak kasat mata yang menempelkan balok es ke kulitnya.

Pintu ruangan casting sudah di depan mata. Bagai deja vu, Sophia terseret kembali ke dalam samudera kenangan. Momen semasa sekolah diantar Gaara sampai ke depan kelas. Kini di sinilah dia, diantar sampai ke depan pintu ruangan casting oleh Sasuke.

"Good luck," ucap Sasuke optimis.

Senyum Sophia melebar. Ia berjalan mantap memasuki ruangan bundar. Batinnya menyemangati, menyuruhnya agar tidak mengecewakan Gaara, Hinata, dan Sasuke.

Beberapa calon model sudah tiba. Ada yang mengenakan tank top, rok jeans di atas lutut, dan mewarnai rambutnya. Salah seorang calon model memenuhi tubuhnya dengan perhiasan: kalung kristal, gelang giok, dan cincin mutiara. Kalau Sophia jurinya, ia akan menganggap peserta itu berlebihan. Kecantikan alami jauh lebih indah ketimbang kilau perhiasan. Sophia sendiri hanya memoles wajahnya dengan riasan natural dan memakai maxi dress berwarna biru cerah.

Gilirannya tiba. Sophia menatap lurus ke arah kamera. Lampu kamera berkedip-kedip siap merekam.

"Halo, nama saya Sabaku Sophia Eleanor. Usia saya 24 tahun, pendidikan terakhir sekolah pascasarjana Universitas Konoha program studi Manajemen Bisnis. Kesibukan saya saat ini adalah menulis buku, belajar bisnis, menyuarakan toleransi dan perdamaian ..."

Jangan bayangkan casting yang diikuti Sophia seperti seleksi untuk memilih pemain film. Tak ada script dan tes melakukan adegan random. Para model melakukan tes kamera dan public speaking. Agensi sedang mencari model untuk kontrak eksklusif. Kelak mereka diarahkan untuk membawakan iklan produk atau kampanye di bidang kecantikan.

Hati Sophia seringan bulu angsa. Ia merasa telah melakukan yang terbaik. Tak henti nuraninya berbisik: untuk dirinya, untuk Ayah dan Bunda, untuk Ayah Sasuke.

"Well, well, well." Seorang pria berperut gendut dan berkepala botak memandang aneh ke arah Sophia.

Dipandangi begitu, firasatnya tak enak. Si pria gemuk punya aura kurang menyenangkan.

"Sabaku Sophia Eleanor, kamu sebaiknya tetap jadi penulis. Atau, jadilah pengusaha dan bantu ayahmu."

Tangan kanan Sophia tanpa sadar membentuk kepalan. Mengapa nama ayahnya diseret? Mungkinkah ini semacam tes mental? Penguji berusaha menjatuhkan Sophia secara psikologis untuk melihat reaksinya. Sophia tetap diam dan memasang sikap tenang yang elegan.

"Peluangmu diterima di agensi ini sekecil kuku," timpal wanita setengah baya yang masih terlihat seksi.

Tes mental lagi. Sophia memperkuat benteng pertahanannya.

"Kamu seram." Si perempuan seksi melanjutkan dengan kejam.

Keterlaluan, ini pasti bukan tes psikologis. Lancang sekali ia menyandingkan Sophia dengan diksi seram.

"Maaf, apa maksud Anda?" sergah Sophia.

Tawa angkuh pria dan wanita berdering di penjuru ruangan. Dua calon model yang telah diaudisi sebelumnya dan bebas komentar negatif, memandang Sophia iba.

"Kamu seram, Sabaku Sophia Eleanor. Matamu mengerikan. Atau, itu make up karakter?" Telunjuk lancip bermanikur diarahkan ke mata Sophia.

"Ini mata asli. Warisan dari keluarga ibu saya. Saya memiliki darah Hyuuga," terang Sophia dingin.

Menghina mata Sophia sama saja menghina Keluarga Hyuuga. Menghina Bunda Hinata juga tentunya. Dan Sophia tak rela.

"Oh, mata Hyuuga. Ya, ya ..."

Sunyi. Pendingin udara tak mempan mendinginkan kepala Sophia. Sekuat tenaga ia mempertahankan raut tenang di parasnya.

"Unfortunately, agensi kami tak bisa menerima model bermata seram sepertimu," pungkas si wanita dengan nada keji.

Sekujur tubuh Sophia gemetar. Bukan, bukan karena penolakan. Hatinya cukup lapang atas segala bentuk rejeksi. Masalahnya, orang agensi ini baru saja merendahkannya. Menghina matanya dengan mulutnya yang kejam.

"Baik."

Satu kata dari bibir Sophia bagai diperkeras dua kali lipat. Ia berjalan tegak menuju pintu. Sewaktu tangannya bertengger di handel pintu, Sophia menyurutkan langkah dan memandangi wajah-wajah penuh hinaan itu.

"Masih banyak tempat yang akan menerima saya."

Pintu pelan menutup. Semarah-marahnya Sophia, etika tetap nomor satu. Terima kasih untuk didikan bagus Ayah Gaara dan Bunda Hinata.

Pintu coklat berpelitur itu memuntahkan figur Sophia. Begitu ia mengeluarkan badannya dari ruangan mengerikan itu, dinding pertahanannya runtuh. Sophia berlari menubruk Sasuke dan memeluknya.

.

.

.

Sejak muda, Sasuke bercengkerama dengan derita. Derita bagai kawan tanpa tubuh tetapi terus mewujud. Sasuke dapat menghidu aromanya di udara, mendengar suaranya, dan mengenal rupanya. Sasuke dan derita adalah kawan karib.

Lagi-lagi derita menyapanya. Teman akrab itu menjelma dalam tangisan Sophia. Ditabrak dan dipeluk seorang gadis yang tersedu bukanlah pemandangan indah. Tidak, Sasuke sama sekali tak mengharapkan ini. Dia sedang merangkai bayangan indah di benaknya. Sophia yang berlari ke arahnya sambil tersenyum dan membawa kabar baik. Bukan Sophia yang tersedu-sedu di pelukannya seperti sekarang.

Tanpa bicara, Sasuke membawa Sophia ke rubanah. Mendudukkan gadis cantik itu di mobilnya dan mengendarai kendaraan roda empat itu meninggalkan gedung pencakar langit. Tak butuh banyak penjelasan, nuraninya telah meraba kalau di dalam ruang casting telah terjadi hal buruk.

Memaksa orang untuk bercerita sama sekali bukan gaya Sasuke. Kalau ada yang ingin curhat padanya, harus dilakukan tanpa paksaan. Sophia adalah pengecualian.

"Cerita sama Ayah, apa yang terjadi di dalam sana?" lirih Sasuke. Isak tangis Sophia mengiris hatinya bagai psikopat yang tega memotong tubuh korbannya.

Sophia mengeluarkan bulir bening dari kedua mata. Entah sudah berapa butir air matanya habis untuk menangisi agensi akhlakless itu.

"M-mereka ... mereka menghina mataku. Mereka bilang mataku seram. Mereka sudah menghina Keluarga Hyuuga, menghina Bunda."

"Demi Tuhan, mereka bilang begitu?"

Sasuke tak bermaksud mempopulerkan kembali dua kata khas yang diteriakkan pria bernama panggung Arya Wiguna. Ia hanya shock, terguncang, sedih, dan marah. Gadis yang paling ia perhatikan menangis gegara bibir-bibir kejam minim pendidikan karaktter.

Larik awan terhuyung keberatan memikul muatan air. Hitam pekat menggurat langit. Sedetik, dua detik, tiga detik, rintik hujan memukul-mukul kaca mobil. Sasuke menepikan mobilnya dan berhenti. Ia merangkum wajah Sophia dengan kedua tangannya. Lembut dihapusnya likuid bening yang membanjir dari mata pucat itu. Mata yang belum lama ini dihina dan direndahkan.

Sungguh, hanyalah dirimu yang aku cintai

Dan sungguh, 'ku 'kan di sisimu

Hingga 'ku mati

Sasuke menderita, amat menderita menyaksikan gadis itu menangis. Sedu sedan Sophia bagaikan cerminan dirinya sendiri di usia dua puluhan: kehilangan penglihatan, dibuang ke panti, diperlakukan buruk, dan hampir mengalami kekerasan seksual. Tidak, Sasuke tak sanggup melihat Sophia tergugu. Sasuke akan selalu di sini, bersamanya, sampai Shinagami menagih nyawanya.

Lembut dibawanya badan tremor Sophia ke dalam rengkuhan. Tubuh Sasuke ikut bergetar menopang dara jelita yang terguncang dalam isak.

"A-Ayah Sasuke, jangan tinggalkan aku."

Aku ingin engkau selalu

Hadir dan temani aku

Di setiap langkah yang meyakiniku

Kau tercipta untukku

"I won't."

"Hinaan itu masih terngiang di telingaku. Aku seram, mataku menakutkan."

Spontan Sasuke menutupkan tangan ke telinga Sophia. Jari-jarinya menutup telinga gadis itu, memblokir suara toksik.

"Tidak ada. Tidak ada lagi yang menghinamu. Kamu cantik, Sophia. Sangat cantik. Dan matamu indah, kamu harus tahu itu." Sasuke berujar lembut, amat lembut.

Meski waktu akan mampu

Memanggil seluruh ragaku

Kuingin kau tahu

'Ku selalu milikmu

Yang mencintaimu sepanjang hidupku (Ungu ft Rossa-Tercipta Untukku).

Pernah Sasuke mencoba bunuh diri beberapa kali. Rongrongan luka batin memperburuk kualitas hidupnya. Dan kini, batang usianya pun sudah meninggi. Jarak umurnya dan Sophia teramat jauh. Meski begitu, Sasuke ingin Sophia tahu. Bahwa Sophia tak perlu merasa sendirian, bahkan sekalipun Sasuke harus meninggalkannya karena usia.

Sophia mengangkat pandangan. Lama ia dan Sasuke bertatapan. Tetiba rasa malu menampar-nampar. Hanya karena satu hinaan, tangisnya sudah sepilu ini. Lihatlah Sasuke, masa lalunya puluhan kali lipat lebih kelam. Ia tetap tegar walau berulang kali diempas ombak ujian.

"Aku seharusnya belajar ilmu tegar dari Ayah Sasuke," ujar Sophia sengau. Suaranya mirip orang yang kena selesma.

Ujung bibir Sasuke melengkungkan senyum tipis.

"Ayah hanya orang biasa. Apa yang bisa kamu pelajari dari Ayah Sasuke-mu ini?"

"Cobaan hidup Ayah Sasuke jauh lebih berat dariku. Tak semestinya aku tumbang hanya karena hinaan dari satu-dua orang," tutur Sophia.

"Sophia, kita boleh jatuh tujuh kali. Tapi kita harus bangkit delapan, sembilan, atau sepuluh kali."

Tepukan lembut Sasuke di puncak kepala Sophia lebih meneguhkan. Sisa tangis dihapus Sophia dari matanya. Selamat tinggal air mata. Dia hanya akan dikeluarkan pada momen bahagia. Memangnya momen bahagia apa yang akan menanti Sophia di ujung sana? Mungkin ada kaitannya dengan Ayah Gaara, Bunda Hinata, dan Ayah Sasuke. Siapa tahu, 'kan?

.

.

THE END

.

.

A/n

Udah, gitu ajaaa? Aneh, ya? Menggantung, ya? Aduh, chapter terakhir ini buruk sekali. Bahkan GaaHinanya nggak ada sama sekali. Tapi ada beberapa insight yang mau aku tunjukkin di sini. Pertama, tentang banyak bentuk cinta. Ada cinta GaaHina yang menyatu dalam ikatan pernikahan. Ada cinta beda usia, dan ada cinta yang nggak ada kata cintanya. Yah kayak cintanya Sasuke itu. Dari awal nggak ada kata cintanya, 'kan? Kedua, tentang cinta beda usia. Memang unik, mungkin aneh untuk beberapa orang. Tapi cinta jenis ini beneran ada. Ketiga, body shaming di agensi model itu sungguhan nyata, guys. Menghina bagian tubuh, apa lagi mata, wah menyakitkan pokoknya. Itu aja sih insight yang pengen aku tunjukkin ke pembaca. Semoga nggak kecewa. Sadly, dari awal cerita ini sampai akhirnya tamat belum ada reviewnya. But thanks buat 63 silent readers yang udah ikutin cerita ini.

Rencananya aku pengen bikin special chapter. Semacam epilog tapi bukan juga sih, yang ada GaaHinanya dong pasti. Semoga aku nggak males ya. Kalau GaaHina sih, insya Allah semangat. Fict ini kubuat sebelum aku mulai bergumul dengan perjuangan menyelesaikan tesis yang melelahkan.