Disclaimer : Naruto hanya milik om Masushi Kisimoto
Keberatan buat ninggalin jejak review?
.
Naruto stres. Barangkali itulah gambaran mengenai keadaan pria itu sekarang. Hidup sebagai bapak-bapak berusia empat puluhan, sudah menikah dan dikaruniai tiga orang putra-putri. Tapi itulah masalahnya, memikirkan mereka, yang muncul dalam benak Naruto cuma angka-angka, dan angka-angka saja, seakan hidup ini hanya terdiri dari angka 1 sampai 9 saja. Tagihan ini, tagihan itu, sementara dia mulai kwalahan dengan sisa gaji yang makin berkurang saja tiap bulannya.
Tempat bergaulnya pun tak luas-luas amat. Kalau tidak di kampung, ya di tempat kerja. Padahal seumur-umur Naruto ingin sekali rasanya bebas kemana saja. Bebas melakukan apa saja. Bebas membelanjakan uangnya sesuka hatinya. Keluar kota, ke tempat-tempat yang indah, menginap di hotel bintang lima, melihat pemandangan eksotis di tepi pantai, tanpa ada masalah, tanpa mendengar anak-anak itu merengek-rengek minta uang jajan. Apalagi mendengar rengekan makhluk bernama bocah dan balita itu! Istrinya! Aduh, pusing tujuh keliling rasanya.
Naruto menyulut sebatang rokok. Sambil memandangi rokok terakhir yang dipunyainya hari ini, ia berjalan di tepi trotoar. Asapnya mengepul sebentar di udara, lantas hilang tersapu angin. Ia pun menengok kendaraan-kendaraan membelah jalanan. Ada berpuluh-puluh jumlahnya. Suara mesin-mesin itu menderu-deru.
Istrinya, Naruto mengingat-ingat, perempuan yang bukan main membosankannya. Dua hari yang lalu dia datang dengan manja meminta ini dan itu. Bayangkan saja, usianya mendekati empat puluh, tapi tingkahnya masih saja kekanak-kanakkan!
Sehabis pulang kerja, Naruto sengaja meninggalkan sepedanya di halaman parkir kantor. Dia enggan untuk cepat-cepat sampai ke rumah. Naruto ingin bersantai-santai, menikmati angin malam. Lagi pula, pikirnya masam, jarak rumah dan kantornya hanya satu setengah kilo meter tanpa bonus tanjakan juga turunan. Persis seperti hidupnya yang tak naik-naik, dan untungnya tidak turun-turun.
Naruto bertanya-tanya berapa kali dalam hidupnya ia merasa bahagia? Cuma sekali saja. Itu pun sudah bertahun-tahun silam. Ketika melamar perempuan yang dicintainya itu. Diterima begitu saja, bahkan perempuan itu tampak lebih ceria dari sebelumnya. Sesudah itu yang ada hanya masalah, dan masalah, lagi-lagi masalah yang tak sudah-sudahnya merampok dompetnya.
Naruto mampir sebentar ke mesin ATM di pinggir jalan. Menarik sebagian tabungannya yang berjumlah segitu saja dari dua bulan lalu. Dua kali tarikan maksimal sebuah mesin ATM, dan masih menyisakan jumlah yang cukup banyak. Sambil memandangi segepok uang ditangannya dengan jengkel, Naruto pun memasukkannya ke dalam dompet dengan mantap. Bahwa malam ini ia akan bersenang-senang. Tak usahlah dia pulang dulu, setidaknya sebelum uang ini habis. Naruto mampir ke Indomart, membeli sebungkus rokok, dan sekantong plastik kecil minuman bersoda. Setelah itu Naruto masuk ke kedai bibi Ayumi. Memesan sepiring nasi goreng.
Naruto pun duduk dengan santai. Aroma dari penggorengan itu pun menguar memenuhi ruangan itu. Naruto mengedarkan pandangan ke sekeliling. Pandangannya berhenti pada dua orang yang duduk di dekat dinding. Menangkap sepotong-sepotong pembicaraan mereka. Pembicaraan biasa mengenai kehidupan orang-orang di antah berantah.
Setelah selesai, Naruto pun membayar makanannya pada putri bibi Ayumi yang kebetulan berdiri di belakang meja kasir. Tapi ada yang aneh, semenit lamanya Naruto bertatap mata dengan gadis itu. Tatapan mata itu membuat Naruto merasa tergelitik. Roman dan rona wajah gadis itu mengingatkan Naruto pada seseorang.
Dia pun terdiam dengan pandangan sayu, memandangi sepasang mata hitam yang jernih itu. Sampai seorang pelanggan lainnya berdehem menyadarkannya. Dia menoleh sebentar, kembali lagi menatap gadis itu. Tapi gadis itu sudah berpaling.
Naruto mengamati wajahnya. Pipi gadis itu telah memerah. Disertai sikap gugup yang tidak dibuat-buat. Lalu gadis itu mengulurkan uang kembalian dengan tangan gemetaran. Naruto berpikir, mungkin inilah yang disebut-sebut pesona gadis belia itu.
Sembari menerima uang kembalian itu, Naruto tersenyum. Tapi buru-buru ditegur bibi Ayumi.
"Jaga matanya, to pak. Kasian yang nungguin di rumah. Udah capek-capek ngurusin anak, malah suaminya jelalatan di luar," sindir bibi Ayumi terang-terangan. Naruto berpaling pada bibi Ayumi sambil menyeringai.
Gadis itu mendesis. "Ibu...," rajuknya. Bibi Ayumi langsung memelototi putrinya.
"Tidak apa-apa bi," kata Naruto riang. "anak bibi punya kecantikan yang khas. Saya jadi teringat pada seseorang."
Alis bibi Ayumi yang berwajah tembam itu pun terangkat. Rautnya masih tampak cemberut. "Hati-hati dengan yang begitu-begitu itu pak," nasehat bibi Ayumi. "biasanya rumah tangga jadi hancur gara-gara kangen seseorang dari masa lalu. Ujung-ujungnya malah anak yang jadi korban."
Senyum di wajah Naruto pun memudar. Naruto mengerutkan kening. Kalimat teguran itu tidak membuatnya tersinggung. Soalnya kalimat itu kedengaran lebih ditujukan untuk diri bibi Ayumi sendiri dari pada lawan bicaranya. Sekarang ia jadi terbayang hidup bibi Ayumi yang mengenaskan itu~cerita yang sudah didengarnya berulang kali selama ia jadi pelanggan tetap di kedai ini. Rumah tangga bibi Ayumi dengan suaminya yang mata keranjang itu.
"Maafkan saya kalau begitu," ujar Naruto tulus. "saya turut prihatin dengan nasib yang menimpa bibi." Raut bibi Ayumi melunak sebentar. Lantas ganti menenang. Naruto melanjutkan, "Saya pulang dulu kalau begitu."
Naruto bergegas pergi sebelum bibi Ayumi kembali mencurahkan isi hatinya yang panjang lebar itu. Dia pun berhenti dan duduk pada sebuah bangku taman. Sambil mengingat-ingat wajah jelita putri bibi Ayumi itu, Naruto meregangkan otot-ototnya. Udara malam itu kebetulan lumayan dingin.
Naruto mengenang. Secercah bayangan samar muncul dibenaknya. Seorang gadis remaja dua puluh tahunan lalu, yang nyaris ditabraknya ketika sedang mengendarai sepeda. Wajah yang pucat sederhana dengan pipi merona delima. Matanya... yang teduh dan gelap menusuk tepat ke jantung Naruto. Rambut gelapnya diikat lemah, dan sebagiannya menjuntai di depan wajahnha... Ah, Naruto tercenung lama pada bunga-bunga di taman. Pada satu titik pandangannya terpaku. Dia menjadi begitu diam seakan tertidur. Pikirannya menerawang jauh ke belakang. Senyum terus mengembang di wajahnya, sedang malam kian larut dan taman itu jadi agak gelap. Kisah-kisah dengan Ayame terbentang indah dalam benak Naruto.
Naruto menarik napas panjang. Lantas membuangnya. Lamunan tentang Ayame pun usai dan menyisakan beban berat dalam dirinya. Naruto melirik jam, sontak melotot. "Sialan!" Ia mengumpat panik. Dalam sekejap seluruh perhatiannya terpusat pada keluarganya yang menunggu di rumah. Ia bangkit berdiri, lalu berjalan terburu-buru dengan perasaan menyesal.
Sebentar kemudian Naruto mengerutkan kening. Menyadari sesuatu tentang uang dan keluarga yang menjengkelkan. Naruto memelankan langkah. Kenapa mesti terburu-buru? Tak ada yang perlu diburu. Toh, mereka tak kemana-mana. Telat sejam dua jam juga tak akan berarti apa-apa. Paling-paling mereka sudah tidur sekarang. Lagipula ada petualangan seru yang menunggunya malam ini. Dia ingin melakukan sesuatu yang disebut berhura-hura, dan tak boleh buang-buang waktu dengan urusan menyebalkan itu.
Naruto berhenti berjalan pada suatu pertigaan remang-remang di pinggiran taman. Ia mendengar hiruk pikuk belasan meter di kirinya. Suara tawa, seruan, percakapan-percakapan yang mengalir samar di udara serta musik-musik modern. Lantas ia menoleh, terpaku pada empat lusin remaja dengan hobi receh mereka di balik pepohonan. Di bawah lampu, pada monumen, sepeda-sepeda berjalan hilir mudik, begitu juga skateboard-skateboard. Sekitar dua puluh orang manusia berdiri dan duduk-duduk membentuk lingkaran sambil bertepuk tangan, lalu berteriak gila-gilaan. Sementara yang lain melakukan aksi akrobatik pada undakan seukuran landasan helikopter.
Bagaimanapun juga sepeda-sepeda itu menarik minat Naruto. Hobi Naruto adalah bersepeda sejak ia masih bocah baru gede. Dan gara-gara hobi itu pula pada akhirnya membawa pertemuannya dengan Ayame. Naruto kembali merasa sedih. Ia menyandarkan bahunya di sebuah pohon sambil terpaku pada keramaian itu. Ia membuka kaleng terakhir minuman bersodanya, lantas meninumnya teguk demi teguk. Pada tegukan terakhir suatu sosok di keramaian menarik perhatiannya.
Perlu beberapa saat bagi Naruto untuk memastikan sosok itu. Tak salah lagi, Naruto meyakinkan diri, bahwa sosok yang baru datang itu adalah putri bibi Ayumi. Dia datang sambil menenteng sepeda warna merah muda. Selama saat-saat yang menyenangkan pandangan Naruto mengikuti gerak-gerik gadis itu. Persis seperti Ayame bertahun-tahun yang lalu. Lalu ia pun mendesah, merasa letih.
Ia lalu berjalan menghampiri bak sampah di dekat pagar pembatas, membuang kaleng yang sudah kosong. Diam sejenak memandangi keramaian itu, lantas melanjutkan perjalanan sambil berpikir-pikir apa yang akan ia lakukan selanjutnya dengan uang-uang ini. Menonton bioskop? Lagi-lagi Ayame muncul dalam benaknya. Apa lagi ini? Ia membatin. Tak sudah-sudahnya Naruto membuang napas. Sekarang ia berpikiran, pulang dengan berjalan kaki tanpa rencana yang jelas begini membuatnya tampak kayak gembel.
Ia berhenti sejenak. Membuat rencana. Tepat saat rencana itu nyaris tersusun sekonyong-konyong seseorang memanggilnya.
"Om Naruto."
Naruto terkesiap seperti ayam. Terheran-heran pada sosok putri bibi Ayumi yang menghampirinya.
"Ya?" tanya Naruto.
"Om mau pulang?"
Naruto mengangguk. "Ya."
"Kok gak naik sepeda?"
"Sedang ingin jalan-jalan saja," sahut Naruto. "Kamu? Kamu putri bibi Ayumi 'kan?"
Gadis itu tersenyum, lalu mengangguk. "Tadi om sedang apa di dekat Taman? Tumben saya liat om di sana. Biasanya 'kan langsung pulang."
Naruto tidak mau mengintrogasi dengan bertanya-tanya mengapa gadis itu tahu betul salah satu hal remeh kebiasaannya. "Tidak ada apa-apa. Om cuma ingin santai kalau lagi banyak pikiran. Kebetulan saja om lihat, dan nonton sebentar," kata Naruto. Ia menambahkan. "O ya, kamu mau kemana malam begini?"
"Pulang, om."
Alis Naruto mengernyit. Betapa pun zaman telah berubah, dan orang sudah berpikiran modern. Tetap saja Naruto merasa tak nyaman melihat seorang gadis pulang malam-malam sendirian. "Sendirian?" Gadis itu mengangguk. "Teman-temanmu mana?"
"Mereka masih di komunitas. Saya pulang duluan."
Naruto menatap profil wajah gadis itu yang terkena sinar lampu tiang listrik. Senyumnya yang cerah, dan kulitnya yang pucat dan rambut sebahunya yang entah bagaimana memang cocok dengan bentuk wajahnya yang kecil. Diperhatikan begitu lama oleh Naruto membuat gadis itu salah tingkah. Akhirnya, dengan sikap seorang gentleman, Naruto menawarkan, "Mau om anterin?"
Gadis itu mengangguk. "Boleh. Lagian takut juga kalau pulang jam segini. Banyak yang suka usil."
Tak lama kemudian mereka telah berjalan di tepi jalanan sambil bercakap-cakap. Baru diketahui Naruto nama gadis itu adalah Rin. Dengan agak aneh Naruto merenungkan nama Rin yang selama ini ada dalam benaknya. Rin dengan penampilan modernnya, dengan Rin yang ada dalam benak Naruto sangat tidak cocok. Karna sejak dulu ia selalu beranggapan bahwa Rin identik dengan perempuan-perempuan kembang desa yang manis dan sederhana penampilannya. Seorang gadis ibu rumah tangga yang baik. Sedangkan gadis ini, Naruto menimbang-nimbang, lebih cocok bernama Sakura, atau Lisa, atau Elizabeth, dan saudara-saudaranya.
"Sebentar," ujar Naruto tiba-tiba. Mereka lalu berhenti. "rumah kamu masih jauh tidak?"
"Lumayan," jawab Rin sambil berpikir-pikir. "kira-kira 200 meter lagi mungkin. Di pertigaan nanti masuk gang. 100 meteran dari situ, dekat pos kamling."
Naruto baru sadar kalau mereka berada di tempat yang lumayan sepi. Ia berkata, "Ya sudah, biar om bonceng. Soalnya sudah terlalu larut. Nanti ibu kamu khawatir lagi."
"Dari tadi kek om," ujar gadis itu spontan. Lalu terdiam dengan malu-malu setelah menyadari ucapannya.
"Tak apa-apa. Tak usah malu. Lagi pula jalan bareng gadis seusia kamu saja sudah cukup aneh. Apalagi sudah larut seperti ini. Apa kata orang nanti?"
Rin mau tak mau tersenyum merona. Tapi tak merasa malu meski orang-orang melihat mereka dengan agak sinis tadi. Jadi Rin pun duduk di belakang, sedang Naruto mulai mengayuh. Sepeda itu meluncur di jalanan yang sepi. Begitulah mereka kembali mengobrol. Malam begitu cerah. Naruto merasa kembali menjadi Naruto muda penuh semangat, dan gairah menyala-nyala, bersama Ayame yang cantik jelita dibelakangnya. Sampai pada sebuah pertigaan, sekonyong-konyong sebuah sepeda motor mencegat perjalanan mereka. Seorang pemuda yang duduk dibelakang langsung turun sambil memelototi mereka berdua.
"Balikin pacar saya om."
Naruto mengernyit tidak mengerti. Ia menengok ke belakang. "Pacar kamu?"
Rin yang tampak sebal pun mengangguk sambil mendengus. "Pacar menyebalkan." Lalu dalam kurun waktu kurang dari lima detik terjadilah adegan romansa kelas satu yang lagi trendy zaman sekarang. Naruto menghabiskan delapan menit lebih 40 detik menonton adegan itu.
Naruto pun menengahi. "Jadi kalian akan melanjutkan ini sampai kapan? Soalnya saya mau pulang, sudah larut pula. Sebaiknya kalian lanjutkan saja di rumah. Tak enak kalau di jalan begini."
Setelah itu tanpa susah payah Naruto sudah melepaskan diri dari mereka, dan berjalan pulang. Sekarang ia malah merenungkan petualangan singkat itu, ada gerangan apa dengan semua itu? Pengalaman apa yang telah didapatnya? Nasehat-nasehat bibi Ayumi mengenai rumah tangganya yang bakal hancur. Tentang Rin yang mengingatkannya pada bayangan Ayame. Mungkin Tuhan sedang berusaha memberi pelajaran hidup melalui takdir-Nya pada Naruto. Kadang bila menyangkut uang, kita berubah menjadi orang yang egois, dan lupa tujuan kita sebenarnya mendapatkan nominal-nominal itu, atau bisa saja ketika kita begitu terobsesi melepaskan diri dari tanggung jawab yang sudah diberikan pada kita. Lantas sang takdir berusaha menuntun kita kembali ke jalan itu. Melalui kata-kata bibi Ayumi, Naruto merasa ditegur. Meski Naruto tak ada niatan buat selingkuh. Satu perempuan saja sudah merepotkan hidupnya, apalagi dua atau tiga lagi. Tapi keluarga yang hancur itu cukup bisa memberi bayangan mengenai keluarganya jika ia nekat bersenang-senang sendirian, atau melepaskan diri sepenuhnya dari mereka. Naruto memikirkan Ayame, istrinya di rumah. Perempuan yang dicintainya selama puluhan tahun itu. Memang Ayame tak lagi muda, tapi Ayame tak pernah kehilangan senyum cerah, dan pesona mata coklatnya itu. Ia mengeluarkan semua uang di sakunya, lalu memandanginya sejenak. Ia pun tersenyum, kemudian bergegas pulang dengan langkah terburu-buru...
Akhirnya mereka pergi ke pasar malam, membeli ini dan itu. Lalu berakhir dengan pergumulan di atas ranjang. Mereka masuk rumah dengan hasrat menyala-nyala. Mereka berciuman liar dengan Ayame yang digendong bagai anak kecil. Naruto menutup pintu kamar dan menguncinya. Lantas ciuman itu berhenti, terengah-engah. Ayame berkata di depan mulut Naruto, "Jangan galak-galak." Lalu begitulah...
End
Nb : Sebenarnya awalnya mau dibuat NaruHina, tapi kayaknya udah banyak fic tentang NaruHina. Jadi ane ubah aja tokoh2nya... Lumayan... Soalnya jarang banget Naruto x Ayame... Heheheh
